Bab 8a
Saat Alexa meraih lengan Gavin dan membawanya turun dari pelaminan, di luar dugaan laki-laki itu mencari tangan Serena dan menggenggamnya. Alexa menatap sekilas tapi tidak mengatakan apa-apa. Pemandangan aneh, dua perempuan cantik mengapit seorang laki-laki dan seolah sedang berebut cinta. Faktanya tidak begitu. Serena merasa terjebak dalam hubungan sepasang kekasih yang belum bisa melupakan satu sama lain.
Alexa membawanya ke meja di bagian depan, sekali lagi Gavin duduk di tengah, diapit dua perempuan.
"Alexa, kenalkan ini Serena."
Alexa tersenyum kecil yang tidak mencapai matanya, mengangguk sopan. Serena pun melakukan hal yang sama.
"Apa kabarmu, Gavin. Berapa lama tidak ketemu?" tanya Alexa dengan suara mendayu.
"Kabar baik, Alexa. Pernikahan Kak Amy megah dan mewah. Banyak tamu orang terkenal."
Alexa mengusap rambutnya yang ditata cantik dengan sanggul dan bunga. "Seperti itulah, suaminya politikus. Wajar kalau kenal banyak orang."
Gavin mengangguk. "Kak Amy sendiri, dosen dan guru yang keren."
Serena mengambil minuman yang dibawa pelayan di atas nampan. Dari warnanya sepertinya jus jeruk. Ia meneguk perlahan, tidak tahu apakah harus menawari Gavin atau tidak. Ia merasa keberadaannya di sini hanya pajangan, dan tidak dianggap. Meski begitu, ia tidak peduli. Tugasnya hanya menemani Gavin. Laki-laki itu mau berbuat apa, tidak ada urusannya dengannya. Demi sopan santun, ia bertanya lirih pada Gavin.
"Pak, mau minum?"
Serena berniat memanggil satu pelayan pembawa minuman, dan ternyata Gavin melakukan hal yang tak terduga.
"Mau, haus."
Gavin tanpa dosa mengambil gelas Serena dan meneguknya hingga tanda.
"Lagi?" tanya Serena menyingkirkan keheranannya.
"Nggak, cukup."
Serena mengambil selembar tisu dan mengusap dagu Gavin yang terkena tetesan jus. Alexa menatap keduanya dengan mata berkilat tajam.
"Kalian mesra sekali, berapa lama kalian menjalin hubungan?" tanyanya.
Gavin menoleh. "Belum lama."
"Oh, aku senang. Setelah sekian lama akhirnya kamu menjalin hubungan lagi, Gavin."
Gavin meraih tangan Serena dan menggenggamnya. "Aku pun senang, karena menemukan perempuan yang cocok."
Percakapan janggal antara dua mantan kekasih, Serena seolah sedang syuting sandiwara. Sebagai pemeran pendamping, ia hanya duduk diam dan melengkapi peran utama. Tidak masalah kalau dirinya dianggap tidak ada, yang terpenting bayarannya setimpal.
"Kamu bahagia, Gavin. Itu yang terpenting."
Mereka serentak menoleh saat serombongan orang datang, seorang laki-laki berjalan paling depan. Laki-laki muda dan gagah, menyapa semua orang seperti selebrity menyapa penggemarnya. Dia melangkah ke meja mereka.
"Alexa, Sayang."
Alexa bangkit dari kursi, menyambut laki-laki itu dan memeluknya. "Kamu baru datang?"
"Maaf, sibuk sekali. Baru saja selesai rapat konsolidasi dengan para anggota pusat."
Laki-laki itu menatap Gavin dan mengernyit. "Sepertinya aku mengenalmu."
"Sayang, ini Gavin."
"Ah, ya. Gavin, direktur PT. Ultima. Apa kabar?"
Gavin mengangguk. "Kabar baik, Lateef."
"Kita ketemu lagi, setelah sekian lama. Bagaimana kabar papamu? Minggu lalu aku bertemu beliau di kantornya. Beliau siap menyumbang untuk dana kampanye. Tentu saja, dengan jaminan keberlangsungan perusahaan."
Gavin tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk kecil. Lateef menatap Serena dan bertanya dengan tertarik. "Siapa perempuan cantik ini? Kekasihmu?"
"Benar, Serena. Kekasihku," ucap Gavin tegas.
Lateef mengulurkan tangan untuk menjabat Serena dengan hangat. "Gavin tidak pernah salah memilih kekasih. Setelah Alexa, kini Serena. Aku akan bingung kalau bersama keduanya."
Serena tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Cara Lateef bicara terdengar aneh untuknya. Ia tidak suka disbanding-bandingkan dengan siapa pun. Alexa pun demikian. Perempuan itu mengedip kesal.
"Sayang, tidak sopan memuji kekasih orang lain," ucap Alexa.
"Benar juga. Tapi, Gavin dulu juga kekasihmu. Aku rasa, tidak masalah bukan?"
Sebuah percakapan yang buruk, pikir Serena. Para mantan kekasih bereuni, dengan pasangan baru mereka. Alexa kini bersama dengan Lateef, yang sekarang diketahui Serena adalah seorang politikus dari partai besar. Apakah karena itu Alexa memilihny, karena mereka sama-sama bergerak di bidang politik? Apakah Alexa dan Gavin putus dengan cara baik-baik? Berbagai pertanyaan berkecamuk di otaknya dan Serena memilih untuk menyimpannya sendiri.
"Lateef, hubunganku dengan Alexa sudah berlalu. Jangan lagi membawa-bawa masalah itu ke dalam percakapan kita."
Lateef menarik kursi dan duduk di sebelah Alexa. Menatap Gavin tak berkedip.
"Aku merasa tidak enak hati padamu, karena Alexa lebih memilihku. Meskipun begitu, aku sekarang bahagia karena kamu sudah punya Serena yang jelita."
Jemari Gavin menegang dalam genggaman Serena.
"Sebagai laki-laki, aku akui kalau kamu adalah bajingan yang beruntung, Gavin. Hahaha!"
"Bajingan?" ucap Serena lembut. "Maaf, tapi Gavinku bukan seorang bajingan."
Lateef melambaikan tangan, masih tergelak. "Hanya perumpamaan."
"Oh, kenapa tidak memakai istilah lain, gentleman misalnya. Kenapa harus menggunakan istilah kasar begitu?"
"Kamu marah? Gavin, kekasihmu marah padaku?" Lateef berkata heran. "Padahal, yang aku ucapkan adalah hal biasa dalam pertemanan."
Serena mengangguk. "Memang, tapi aku rasa kamu dan Gavin tidak berteman."
Suasana menjadi tegang seketika. Tawa lenyap dari bibir Lateef. Laki-laki itu menatap Gavin dan Serena bergantian. Alexa merasa tidak enak hati.
"Serena, bisakah bersikap sedikit sopan dengan kekasihku? Semua orang tahu dia hanya bercanda."
"Boleh, asalkan dia juga sopan dengan kekasihku."
"Kamu nggak ngerti atau gimana? Itu hanya bercanda!" Suara Alexa meninggi.
Gavin berdehem, meremas jemari Serena. "Aku rasa, sudah waktunya aku pulang. Tidak perlu bercakap dan seakan kita dekat satu sama lain. Alexa, semoga bahagia dengan Lateef. Aku tunggu undangan pernikahan kalian. Ayo, Sayang. Kita pulang."
.
.
.
Di Karyakarsa mendekati ending
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro