Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5a

Serena duduk di kursi, mengamati sang mama yang sedang membasuh wajah papa. Mama yang tidak pernah lelah merawat dan menjaga papanya, memastikan kalau semuanya akan baik-baik saja. Serena memutar kepala, lehernya terasa pegal karena bekerja sepanjang malam. Pabrik mulai berproses normal, Serena dibantu Indra dan Minda, meneruskan semua pekerjaan yang ditinggalkan sang papa. Bekerja siang dan malam, menangani masalah demi masalah, yang seolah bergulir tanpa henti. Berada di belakang meja membuat Serena menyadari kalau sang papa ternyata sangat hebat, bisa mengurus pabrik dan perusahaan dengan karyawan yang tidak sedikit.

"Serena, kamu capek?" tegur Wintari saat melihat anaknya tertunduk lesu. "Pulanglah, tidur. Ini masih pagi."

Serena mengusap mata. "Harus ke kantor, Ma."

Wintari menghela napas panjang. "Kamu bekerja seharian, malam juga lembur. Hanya tidur tiga jam setiap malam. Memangnya kamu nggak capek?"

"Capek, Ma. Tapi aku semangat kok. Perusahaan membaik setelah aku bicara dengan direktur PT. Ultima." Serena tidak perlu mengatakan pada sang mama, kalau dirinya lebih dari bicara dengan Gavin. Biarlah itu menjadi urusannya.

Wintari tersenyum cerah, sekarang menyisir rambut suaminya. "Ternyata direktur itu baik juga, ya? Mama tadinya berpikir kalau mereka akan berbuat jahat padamu. Maksud Mama adalah, mereka akan menolak permintaanmu."

"Kami sama-sama orang bisnis, Ma."

"Memang, tapi banyak perusahaan besar yang menganggap kalau perusahaan kecil itu adalah saingan yang harus dilibas."

Serena bangkit, menghampiri sang mama dan menopang tubuhnya pada ranjang. "Papa tidurnya pulas, ya, Ma?"

"Iya, kerja terus. Jarang tidur pulas. Sekalinya tidur lama, biarlah. Anggap lagi istarahat."

"Semoga, saat Papa bangun nanti perusahaan kita makin kuat."

"Pasti papamu bangga sama kamu."

"Semoga, Ma."

Wintari mengusap rambut anaknya. Tersenyum sendu. "Kalau kamu ketemu sama Tante Marta dan Ayu, sebisa mungkin menghindar. Jangan sampai perkataan mereka bikin kamu sakit hati. Mereka tidak mengerti, kalau kamu sedang berjuang. Mama yakin, kalau hasilnya sudah terlihat, mereka pasti bangga padamu."

Serena tidak berharap penghargaan dari siapa pun, hanya ingin orang tuanya sehat. Semua yang dilakukannya sekarang, berfokus untuk kesembuhan sang papa. Biaya rumah sakit tidak sedikit, untungnya mereka punya banyak tabungan. Meski begitu, tidak cukup kalau untuk menjalankan satu perusahaan besar.

Ia berpamitan pada sang mama karena harus ke kantor. Misda sudah menunggu untuk rapat pagi. Indra berniat menjemputnya tapi Serena menolak. Ia sudah mengendarai mobilnya sendiri. Dipikir-pikir lagi, sepupunya itu lucu. Selama ini Indra terlihat malas-malasan, jarang kuliah dan tidak mau bekerja. Tapi saat Serena membutuhkan, Indra membantu dengan cepat dan kerjanya pun tidak buruk. Hanya perlu latihan dan pengalaman lebih banyak.

Ponsel Serena berdering saat kendaraan masuk ke parkiran kantor. Ia menghentikan mobilnya di area parkir khusus VIP dan menerima panggilan.

"Jenice, ada apa pagi-pagi telepon?"

Terdengar suara tawa dari ujung telepon. "Eh, Nyai. Lo belum cerita sama gue?"

"Cerita apaan?"

"Tentang lo sama Gavin? Gimana? Kok diam-diam bae?"

Wajah Serena memanas seketika, mengingat tentang apa yang sudah diperbuatnya dengan Gavin. Mengurung diri di hotel berdua selama tiga hari, dan melalui hari-hari yang panas dan penuh gairah. Padahal, mereka baru bertemu dua kali. Dulu, saat temannya bercerita tentang kehidupan sex satu malam, ia berpikir itu menjijikan. Bagaimana mungkin bercinta dengan orang asing. Ternyata, ia pun mengalaminya. Bertukar ludah dan bersimbah keringat berdua dengan Gavin, yang notabene adalah orang asing untuknya. Mengingat tentang hari-hari itu menimbulkan rasa malu sekaligus gejolak dalam dirinya.

Serena tanpa sadar memainkan kunci, mendengar celotehan Jenice.

"Apa orangnya galak? Umur berapa dia? Konglomerat emang rata-rata rasa aneh. Biasa kalau mereka itu angkuh. Pokoknya lo janga. Takut. Hadapi saja kayak lo dulu ngadepin, Marcello."

Mendengar nama Marcello disebut, Serena mengernyit.

"Napa bawa-bawa Marcello?"

"Nggak, hanya perumpamaan."

"Mereka berdua orang yang beda."

"Tentu saja, gue tahu kalau mereka beda. Pokonya gue tunggu lo di rumah buat cerita. Awas ingkar!"

Serene menghela napas panjang, tanpa sadar mengulum senyum. Sahabatnya memang sangat penuntut, tapi di satu pihak sangat perhatian dengannya. Di saat semua teman menjauh karena keluarganya dianggap jatuh bangkut, hanya Jenice yang tetap ada di sampingnya. Jenice yang baik hati, meskipun super cerewet.

Serena menyusuri lobi kantor, membalas sapaan orang-orang. Melihat Indra datang dengan setumpuk dokumen di lengan. Ia membantu sepupunya memencet tombol lift, bersam-sama keduanya menuju lantai lima.

"Gimana kabar, Om?" tanya Indra.

Serena menatap bayangannya di cermin lift. "Begitulah."

"Tapi, ada perbaikan?"

"Iya, kata Mama sesekali jarinya bergerak."

"Syukurlah."

Lift membuka, Serena masuk ke ruangannya. Sebuah pesan masuk dan membuatnya tertegun.

"Sabtu malam, Klub White Label. Detil alamat akan aku berikan padamu."

Serena menghela napas panjang, setelah menjawab pesan, duduk di kursi dengan lelah. Gavin mengajaknya bertemu, untuk kali ini entah apa yang diinginkan laki-laki itu darinya.

**

Andrea tidak bergeming, meskipun Gavin berkata keras padanya. Ia sudah terbiasa menghadapi kemarahan adik tirinya itu. Intinya, apa pun yang ia inginkan harus didapatkan. Sang papa selalu mendidiknya untuk selalu mengejar apa pun yang kita inginkan. Andrea sedari kecil sudah berjuang untuk itu, tidak peduli bagaimana pun caranya.

"Keluarga Wanajaya milikmu? Dari mana klaim itu berasal?" ucap Andre santai. Menjentikkan kukunya yang dimenicure rapi, memandang adiknya dengan senyum meremehkan. "Kamu hanya direktur boneka di perusahaan ini."

Gavin mendengkus. "Direktur boneka? Siapa yang berhasil meningkatkan keuntungan sampai 40 persen? Menambah cabang, dan juga export ke luar negeri? Akuu! Kalau mau bilang direktur boneka, ke adikmu yang bodoh itu!"

"Jangan bawa-bawa Andri ke masalah kita. Aku ingin kamu tahu, kalau menginginkan sesuatu, aku nggak suka ditentang."

Perkataan Andre membuat Gavin kesal. Tapi, ia mencoba untuk tetap tenang. Mengenal perempuan ini bertahun-tahun, ia mengerti kalau sifat dan sikap Andrea sangat arogan. Cenderung memaksa kalau menginginkan sesuatu. Andrea memang dididik seperti itu dari orang tuanya. Gavin sendiri merasakan bagaimana sang papa begitu keras mengajarkan padanya kalau semua sah dalam bisnis. Ia beruntung punya seorang mama yang adil dan pengertian. Memberikannya rambu-rambu dan batasan jelas tentang baik dan tidak untuk dilakukan. Sang mama yang lembut, selalu memberikannya nasehat kalau berbisnis itu penting, menjaga kemanusiaan jauh lebih penting. Petuah yang selalu ia ingat.

"Kamu nggak suka ditentang, aku pun sama," jawab Gavin tidak peduli. "Wanajaya sedang bermasalah denganku. Ada beberapa hal yang sedang kami lakukan sekarang. Kalau aku serahkan ke kamu sekarang, apa yang sedang aku kerjakan sekarang akan berantakan."

Andrea menggebrak meja, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Justru itu, semua berantakan karena kamu kurang tegas. Memangnya kamu pikir aku nggak tahu kalau kamu dicurangi oleh Wanajaya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro