Bab 13a
Serena tercengang saat mendapati Gavin di luar rumahnya. Laki-laki itu datang setelah melakukan perjalanan jauh. Semua dilakukan Gavin demi membawanya ke dokter. Padahal, ia merasa sakitnya tidak seberapa.
"Hanya flu, Pak."
Ia mengatakan itu berulang-ulang tapi Gavin bersikukuh membawanya ke dokter. Kekuatiran laki-lkaki itu terlihat jelas, membuat Serena merasa tidak enak hati. Tidak ingin dianggap manja, ia menolak ke dokter dan Gavin tidak menerima penolakannya.
"Flu juga akan jadi penyakit berat kalau nggak diobati."
Diantar oleh asisten Gavin, mereka berdua ke rumah sakit. Sesampainya di sana, Gavin dengan setia menunggu sampai Serena mendapat penanganan dokter dan menebus obat.
"Padahal baru pulang kerja, sempat-sempatnya datang, Pak."
"Nggak apa-apa, lagian aku juga belum makan. Sekalian makan malam sama kamu."
Selesai dari rumah sakit, mereka makan sop daging di restoran yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Mereka memesan dua meja untuk empat orang. Serena tidak dapat menahan senyum saat melihat Gavin makan dengan lahap.
"Sepertinya benar-benar lapar, Pak?"
Gavin mengangguk. "Jadwal pertemuan sangat padat. Sedikit sekali waktu yang diberikan untuk makan dan istirahat. Belum lagi melakukan lobi-lobi bisnis."
"Pasti banyak yang datang."
"Memang. Ngomong-ngomong, aku ketemu mantanmu."
Serena mendongak, menatap bingung pada Gavin. "Mantanku? Siapa?"
"Marcello dari Food And Good."
Serena tertegun, lalu tersenyum lebar. Menggigit daging dan mengunyah perlahan. Ingatannya tertuju pada Marcello. Laki-laki tampan, dan ramah. Ia pernah begitu tergila-gila dengan laki-laki itu, sampai akhirnya memutuskan untuk mengaku kalah pada Deswinta. Gadis muda yang enerjik. Deswinta yang ceria dan apa adanya, adalah tipe Marcello dibandingkan dirinya yang dianggap banyak orang lebih pemurung dan serius.
"Apakah anaknya sudah lahir?" tanya Serena.
Gavin menggeleng. "Nggak tahu. Nggak tanya juga."
"Marcello, dia baik. Yah, sayangnya kami nggak berjodoh." Serena mengulum senyum.
Gavin menandaskan sopnya. Seakan takut kalau makan lebih lama, daging akan mengeras. "Ternyata, dia mantan terindahmu."
Serena menggeleng. "Bukan Marcello. Mantan terindah justru pacar SMP. Cinta monyet yang lucu. Kalau Marcello, hanya datang sekejap di hati lalu menghilang keesokan hari. Cukup dikenang karena pernah kenal, bukan karena sesuatu yang istimewa. Lagi pula, dia sudah menikah dan punya anak. Untuk apa aku naksir laki-laki beristri? Cih, kayak nggak laku!"
Serena mengangkat wajah dan saat melihat Gavin memandanganya tak berkedip, bertanya heran. "Kenapa, Pak? Ada sesuatu di wajahku?"
Gavin menggeleng. "Kamu aneh. Katamu Marcello baik, lalu bilang soal cinta monyet. Yang mana yang benar sebenarnya?"
"Hahaha, Maaf. Suka aneh memang kalau bicara soal cinta."
Sebenarnya tidak aneh bagi Gavin. Ia merasa sudah cukup tahu tentang perasaan Serena yang sebenarnya dan itu membuatnya tenang. Ia justru merasa aneh dengan diri sendiri, gembira untuk sesuatu yang tidak dimengertinya. Memang apa urusannya kalau Serena jatuh cinta? Bukankah sudah sewajarnya bagi perempuan dewasa untuk menjalin hubungan? Yang mereka lakukan sekarang hanya hubungan tanpa status. Sex antara laki-laki dan perempuan dengan kesepakatan.
"Pak, aku mau bilang terima kasih. Pabrikku sudah mulai lancar beroperasi dan cicilan utang semoga bisa kami lunasi segera."
Gavin mengambil rokok dan menyulutnya. "Apakah ada orang yang menghubungimu?"
"Iya, selain supplier ada juga customer baru. Mereka semua tahu nama kami karena rekomendasi Pak Gavin." Serena meraih tangan Gavin dan menggenggamnya. "Terima kasih saja rasanya tidak cukup untuk membalas budi."
Gavin tersenyum, mengisap rokoknya. "Kamu sudah menemukan cara membayar yang baik. Jangan lupa itu."
Serena tersenyum malu-malu, ingin melepaskan tangan Gavin tapi laki-laki itu menahannya. Tidak masalah kalau ia harus membayar semua niat baik Gavin dengan sex. Bagi orang yang tidak tahu, ia pasti dianggap pelacur murahan. Tapi setidaknya apa yang dilakukannya sudah menyelamatkan bukan hanya keluarga tapi juga ribuan karyawan pabrik. Ia rela mengorbankan harga diri dan tubuhnya demi mereka. Lagi pula, Gavin bukan orang yang jahat. Sangat baik malah, dan juga memperlakukannya dengan lembut. Serena merasa kalau hubungan timbal balik mereka, cukup bagus dilakukan.
"Malam ini Pak Gavin pasti lelah sekali. Sebaiknya pulang, jangan jalan-jalan ke pasar malam."
Gavin mengangkat sebelah alis, mempermainkan jari jemari Serena. "Kalau aku mau main, entah itu ke pasar malam atau ke mall, pasti mengajakmu."
"Dengan senang hati, Pak!"
Serena terkikik. Mengelap mulut dengan tisu, dan mengibaskan rambutnya ke belakang. Ia melirik beberapa pelanggan yang berada di meja sebelah. Mungkin karena letaknya yang dekat dari rumah sakit, restoran ini 24 jam.
Serena mengetuk permukaan meja dengan lembut, berkata malu-malu. "Sebenarnya, ada satu tempat yang ingin aku datangi. Tapi, takut Pak Gavin nggak mau."
"Kemana?"
"Taman bermain. Kita naik halilintar, arung jeram, kincir angin, pasti menyenangkan."
Gavin terbelalak, membayangkan tempat yang ramai dan panas yang menjadi tujuan Serena. Ia tidak menyangka kalau perempuan lembut dan anggun seperti Serena ternyata menyukai tempat seperti itu.
"Hanya sekedar keinginan, Pak. Jangan diambil hati."
"Bukankah itu tempat bermain anak-anak? Maksudku, mana ada orang dewasa seperti kita yang mau membayar hanya untuk menakuti diri sendiri?"
"Pak, orang dewasa yang nggak mau bayar adalah jenis seperti Anda yang sangat serius. Di luar sana, banyak juga yang bersedia membayar untuk bermain dan memacu adrenalin."
"Aneh."
"Memang, dunia ini aneh, Pak. Termasuk kita."
Setelah membayar, Gavin mengantar Serena pulang. Ia sendiri merasa sangat lelah, hinggar nyaris tertidur di mobil. Malam ini, ia memilih tidur di apartemennya dari pada hotel. Sebenarnya, berniat mengajak Serena datang kemari, tapi sadar kalau perempuan itu sedang sakit. Lebih baik membiarkannya istirahat.
Membuka pintu dan menyalakan lampu, Gavin menghela napas panjang. Kesunyian mendadak menyergapnya. Suasana apartemen ini jauh lebih dingin dari pada hotel. Meletakkan koper dan jas di ruang tamu, ia melangkah perlahan ke dapur. Membuka kulkas untuk mengambil air minum dan melihat ada banyak makanan menumpuk di dalam. Serena membeli persediaan makanan dengan harapan dirinya tidak kelaparan. Tapi, nyatanya ia bahkan tidak punya waktu untuk sekedar pulang ke apartemen. Gavin mengingatkan diri sendiri, untuk meminta pelayan mengosongkan kulkas. Agar saat Serena datang, bisa mengisi dengan yang baru.
Gavin membuka kemeja, mengeluarkan ponsel dari celana dan menyadari ada satu pesan pendek dari sang papa.
"Datang ke kantor pusat besok. Ada hal penting yang papa ingin bicarakan."
Gavin membalas singkat. "Iya, Pa."
Ia tidak tahu apa yang ingin dibicarakan sang papa. Punya dugaan pasti berkisar tentang pertemuan hari ini. Padahal, ada Andrea yang juga sama-sama ikut pertemuan. Entah kenapa sang papa masih ingin bertemu dengannya. Mungkin untuk berunding tentang banyak hal.
Setelah menelanjangi diri, Gavin masuk ke kamar mandi. Membuka shower dan mengguyur dirinya dengan air hangat. Berharap mandi tidak hanya membasuh tubuh dari kotoran tapi juga membantunya mengusir rasa lelah.
****
Tersedia di google playbook lusa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro