Tujuh Belas - Siap Kehilangannya
Tujuh Belas - Siap Kehilangannya
Untuk kedua kalinya, smoothie buatan Kejora absen di meja makan. Semalam gadis itu juga tidak mengajak Langit makan. Langit tahu jika Kejora sedang berusaha bisa lulus tahun ini. Ia juga tahu kalau sekarang Kejora lebih sering bersama Pasha ketimbang dirinya. Akan tetapi, kenapa perubahannya begitu drastis? Langit belum siap.
Tidak ada minuman itu, Langit serasa kehilangan semangat. Ia tak mau membayangkan bagaimana hari-hari selanjutnya. Ucapan Senja memang benar. Kejora memilih laki-laki lain, artinya Langit harus terbiasa dengan keadaan ini. Mendukung apa pun yang Kejora pilih, bukankah tugas sahabat seperti itu?
Meski tidak dipungkiri jika harapan yang selama ini ia bangun terpaksa pupus. Langit mencoba untuk belajar bahwa tidak semua perasaan harus dibalas dengan rasa yang sama.
Ambu datang ketika kanvas bumi berwarna kelabu. Meminta Langit segera menyusul Kejora sebelum hujan turun. Tanpa meletakkan tas punggungnya--bahkan baru saja mematikan mesin motornya--Langit melesat pergi ke home stay. Namun, lagi-lagi begitu tiba di tempat itu, tidak ada tanda-tanda manusia yang aktif. Langit tidak mengulangi kebodohannya kemarin. Sekarang ia bisa mencari Kejora menggunakan ponselnya. Tanpa turun dari motor, lelaki itu lekas menghubungi Kejora.
"Jora, kamu di mana?" Sembari memegang ponsel, Langit mengangguk dan tersenyum kepada ibu-ibu yang melintas di depannya.
"Di Armor Kopi."
"Kami tau nggak sekarang udah jam berapa? Ini udah sore. Ambu udah nyariin kamu."
"Iya, tau, tapi A' Pasha mau nganterin aku pulang kalo syutingnya udah selesai."
"Tau kapan dia selesai?"
"Ya, nggak tau, sih ...."
"Kalo gitu nggak usah nungguin dia. Aku yang ke sana!"
Langit mematikan telepon sebelum Kejora membalas. Wajahnya kaku menahan amarah. Kapan-kapan artis itu harus diberi pelajaran supaya tidak berani membuat Kejora menunggu lama.
Tiba di kafe yang letaknya di dekat pintu masuk Taman Hutan Raya itu, Langit memarkir motornya dengan benar. Suasana Armor Kopi tampak padat merayap. Langit menelepon Kejora lagi, mengatakan bahwa dirinya sudah tiba. Ia sudah tahu orang asing tidak bisa sembarangan masuk ke lokasi syuting.
Sepuluh menit kemudian, Kejora muncul bersama seorang laki-laki yang Langit tidak kenal.
"Makasih, ya, Kak."
"Sama-sama. Besok main ke sini lagi, ya. Kalo sekarang, si Pasha lagi kena amuk Pak Ario."
Kejora terkekeh.
Kemudian laki-laki itu berbalik dan masuk ke lokasi.
"Siapa dia?" tanya Langit setelah punggung laki-laki itu tidak terlihat.
"Namanya Kevin. Dia pemeran pendukung di film ini."
Langit membulatkan bibirnya. "Sekarang pulang. Kamu masih punya utang dua smoothie sama aku."
Mendengar itu, Kejora meringis. "Tenang aja, habis ini aku bikinin yang enak buat kamu."
Beruntung hujan turun saat Langit dan Kejora sampai di rumah. Mereka berdua pun bergegas mandi.
Meski masih di dalam kamar, Langit dapat mendengar suara Kejora yang sedang berbicara dengan mamanya, juga suara blender yang berputar. Laki-laki yang kini mengenakan kaus hitam dan celana panjang keluar dari kamar, melangkah menuju dapur, menghampiri dua perempuan beda generasi itu.
Menyadari kedatangan Langit, Kejora memutar tubuhnya sebentar, lalu kembali fokus pada blender.
"Nih, aku bikinin dua gelas sekaligus." Kejora meletakkan dua gelas besar berisi smoothie di meja.
Langit menunjuk dirinya. "Itu aku semua yang minum?"
"Iya, dong. Kan, kata kamu aku punya utang dua smoothie."
Di depan kompor, Mamah terkekeh. Sementara Langit memandang dua gelas itu. Satu gelas saja sudah membuatnya kenyang, ini harus dua gelas yang dihabiskan?
"Nggak usah dibawa serius, ih! Itu yang satu buat aku," ucap Kejora selanjutnya, lalu meraih salah satu gelas, dan membawanya keluar. Langit pun mengikuti gerakan itu.
Kejora duduk sembari melihat tetesan hujan yang mengalir dari atap rumah Langit. Cengkeraman pada gelasnya begitu kuat. Langit mengambil tempat di samping gadis itu, melakukan hal yang sama, menatap hujan.
"Ngit, menurut kamu ... aku cocok nggak jadi artis?" Kejora membuka percakapan usai menyesap smoothie.
Langit memiringkan kepala agar wajah bulat gadis itu terlihat. "Cocok aja. Kamu mau jadi artis?"
"Kayaknya, sih. Tadi A' Pasha nawarin ikutan casting series. Tapi kalau aku pergi ke Jakarta, kasian Ambu sama Abah."
Rintik air mengambil peran kemudian. Langit dan Kejora sibuk dengan pikiran masing-masing. Langit mulai memikirkan jika Kejora benar-benar ingin jadi artis, artinya ia harus siap kehilangan gadis itu. Relasi Kejora makin luas dan tentu saja gadis itu lebih memilih menjalin hubungan dengan sesama artis. Lebih-lebih, jalan untuk dekat dengan Pasha semakin terbuka lebar. Bisa saja nanti Kejora satu film dengan aktor itu.
Membayangkan itu saja sudah membuat kepala Langit berdenyut. Bagaimanapun hatinya tak siap melihat Kejora lebih memilih laki-laki lain ketimbang dirinya. Belasan tahun tumbuh bersama, Langit berharap bisa selamanya bersama Kejora sebagai pasangan. Bukan bersama pasangan masing-masing seperti yang dibayangkan Kejora.
"Kalau menurut kamu, aku cocok nggak sama A' Pasha?"
Pertanyaan itu sontak mengejutkan Langit. Ia meletakkan gelasnya di meja. "Cocok jadi apa yang kamu maksud?"
"Pasangan, dong."
Tepat setelah Kejora mengatakan itu, gemuruh petir terdengar. Seolah semesta mengerti apa yang dirasakan oleh Langit.
"Kamu suka sama dia?" Meski hatinya berdarah, Langit tetap berani melontarkan pertanyaan pemungkas.
Tidak ada jawaban, tetapi wajah Kejora yang memerah sudah mewakili semuanya. Ternyata benar, Langit harus siap kehilangan Kejora.
Gak tau mau ngomong apa 😔
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro