Tiga Puluh Lima - Terperosok
Tiga Puluh Lima - Terperosok
Sebelum pulang, Langit mentraktir teman-teman sekaligus Pak Dody di sebuah rumah makan. Entah kenapa muncul keinginan makan bersama rekannya.
"Tumben, nih, Ngit. Nggak biasanya, lho. Pasti lagi seneng," kata salah satu teman Langit bernama Asep. Piringnya sudah bersih dari sisa makanan.
Langit tersenyum tipis. "Ya, sekali-sekali kita makan bareng."
"Jangan-jangan kamu habis nembak sahabat kamu itu, ya?"
Celetukan Pak Dody membuat Langit tersedak nasi. Dengan cepat ia meraih gelas berisi air putih, meneguknya sampai tenggorokan lega.
"Nggak, Pak. Dia udah punya pacar," ucap Langit pelan. Rasanya masih berat menyampaikan berita yang seharusnya semua orang sudah tahu.
"Ya, sayang sekali."
Langit tersenyum kikuk. "Nggak apa-apa, Pak. Saya sudah ikhlas."
Pak Dody yang tak mau membahas mengalihkannya dengan topik lain. Dalam diam, Langit memandangi teman-teman serta bosnya. Entah kenapa ia memiliki firasat tak akan bertemu dengan mereka lagi. Langit tahu firasat tak sepenuhnya tepat, ia yakin salah satu di antara mereka tidak ada yang meninggalkannya.
Langit baru tiba di rumah pada pukul lima sore. Badannya lengket, ingin cepat-cepat masuk ke rumah lalu istirahat dengan tenang.
"Langit!"
Panggilan Ambu membuat gerakan Langit mendorong pintu terhenti. Laki-laki itu mundur satu langkah. "Iya, Ambu?"
"Minta tolong jemput Kejora di tempat artis, ya. Kasian kalo Dara yang harus antar ke sini."
"Oh, tapi, Langit mandi dulu, ya. Sebentar, kok."
"Iya. Nggak papa."
Langit bergegas masuk untuk mandi. Niatnya ingin berlama-lama menyiram badannya dengan air jadi urung. Sepuluh menit kemudian, tubuh Langit sudah terbungkus jaket boomber berwarna abu-abu, bawahannya mengenakan celana denim.
"Langit, mau ke mana?" tanya Mamah ketika Langit melintasi ruang tamu.
"Jemput Kejora, Mah. Disuruh Ambu."
Mamah mengangguk. "Ya udah, hati-hati."
"Langit pergi, ya, Mah."
Mamah sempat terpaku mendengar ucapan anaknya sebelum menghilang di balik pintu. Rasanya ingin mencegah, tetapi Langit sudah keburu menghilang.
Langit sudah tiba di home stay. Suasana tampak ramai. Di antara kerumunan itu ada Dara dan Naya yang tampak kebingungan. Langit segera menghampiri mereka.
"Kejora mana?" Langit menatap Dara dan Naya bergantian.
Dara menunduk. "Itu dia. Tadi kita bertiga ke sini. Kejora nunggu di sini, aku pergi ke rumah Naya ambil buku. Pas balik Kejora udah nggak ada. Ditelepon nggak aktif."
"Yakin kalian ninggalin Kejora di sini?" tanya Langit memastikan.
"Iya, A'. Kejora sendiri yang bilang mau nunggu di sini." Giliran Naya yang menjawab.
Masih tidak percaya, Langit menelepon Kejora, tapi tidak ada jawaban. Langit mencobanya berkali-kali. Namun, tak ada satu pun yang berhasil. Laki-laki itu mulai panik. Kenapa Kejora susah sekali dihubungi?
"Sejak kapan kalian ada di sini?"
Langit, Dara, dan Naya serempak menoleh ke sumber suara. Melihat Pasha sendirian, kekhawatiran Langit makin memuncak.
"Kejora nggak sama kamu?"
Pasha mengerjap. "Gue baru selesai take."
"Serius, Kak?" seru Dara. "Terus Kejora ke mana, dong? Kalo pulang nggak mungkin, ini Langit aja malah ke sini."
Pasha yang ikutan panik menanyakan keberadaan Kejora pada semua kru di lokasi. Namun, tak satu pun yang melihat Kejora. Mulai putus asa, Pasha kembali bergabung dengan Langit dan kedua teman Kejora.
"Kejora nggak mungkin jauh dari sini," kata Langit. "Kita bagi dua tim. Dara sama Naya, cari di sekitar sungai. Terus aku sama Pasha coba cari di dekat sini."
Pasha, Dara, dan Naya setuju dengan ide Langit. Pasha pun meminta bantuan kru di sana. Mereka berempat berpencar. Sebelum itu, Langit menanyakan pakaian yang dikenakan Kejora.
Langit dan Pasha berjalan tanpa ada yang mengeluarkan suara. Sesekali kedua lelaki itu berhenti untuk bertanya kepada orang. Sudah puluhan meter, tetapi mereka belum juga menemukan titik terang.
Langit menghadang jalan seorang ibu-ibu yang menggendong beberapa balok kayu. "Bu, boleh tanya, Ibu lihat ada perempuan rambut panjang, pakai kemeja kotak-kotak terus celana panjang warna hitam, tingginya sedagu saya, terus badannya agak besar, jalan di sekitar sini nggak?"
Ibu itu tak langsung menjawab meski mulutnya terbuka. Sepertinya sedang mencoba mengingat ciri-ciri perempuan seperti yang Langit jabarkan. "Oh, kayaknya, teh, saya lihat. Dia masuk ke hutan sama temannya."
"Temannya cewek apa cowok, Bu?" Langit bertanya lagi.
"Perempuan juga."
Jawaban itu menarik atensi Pasha. "Selain Dara sama Naya, Kejora punya temen siapa lagi?"
"Setahuku nggak ada. Yang dekat sama Kejora cuma mereka berdua."
Mendengar jawaban Langit, Pasha beralih menatap ibu pembawa kayu itu. "Ibu ingat ciri-ciri perempuan yang satu lagi?"
Agak lama ibu itu menerka-nerka. "Kulitnya putih, rambutnya panjang juga tapi warna cokelat, terus langsing, kayak artis."
"Fix, itu Rosa!" seru Pasha, raut wajahnya berubah. "Ayo, lo tunjukin di mana hutannya!"
"Siapa Rosa?"
"Orang yang mungkin lo denger omongannya waktu itu."
Saat Langit hendak bertanya lagi, Pasha sudah menariknya lebih dulu. Sedikit kesulitan mengimbangi kecepatan kaki sang aktor yang tiba-tiba meningkat. Napasnya terengah-engah. Padahal Langit belum menunjukkan letak hutan itu, tetapi Pasha sudah berlari seperti dikejar setan.
Sesampainya di hutan, cahaya perlahan meredup kemudian berubah menjadi gelap. Saat itu juga Pasha menghentikan langkahnya. Langit merasakan perubahan drastis laki-laki itu.
"Ini kita beneran masuk ke sana?" Pasha menunjuk ke arah hutan yang gelap.
"Iya. Siapa tau Kejora beneran di sana."
"Tapi, gue nggak bisa."
"Kenapa nggak bisa? Kejora ada di sana! Kamu nggak mau nolongin dia?" Langit tersulut. Bisa-bisanya di saat genting seperti ini Pasha menguji kesabarannya.
"Gue mau, tapi beneran nggak bisa." Pasha berjongkok, kemudian memeluk kedua lututnya. Melihat itu, Langit mengembuskan napas. Sepertinya Pasha benar-benar takut dengan gelap.
"Kamu tunggu sini. Aku yang ke sana. Kalau lebih dari satu jam aku belum balik, telepon orang yang kamu kenal di sini."
Pasha setuju. Kemudian Langit mengeluarkan ponsel, menghidupkan senter. Ia berjalan sembari menyorotkan cahaya ke segala penjuru. Ketika sampai di tengah, Langit menemukan sosok perempuan yang sangat dikenali tapi seluruh tubuhnya terikat.
"Kejora!"
Secepat kilat Langit menghampiri Kejora. Kemudian melepaskan tali yang mengikat tubuh gadis itu. Bahunya basah akibat tetesan hujan yang mulai turun. Mengandalkan cahaya senter ponselnya, Langit meraba tangan serta kaki gadis itu untuk memastikan tidak ada luka yang serius.
"Langit! Aku takut!" Suara Kejora bergetar, air matanya lolos. Tangannya mencengkeram erat jaket Langit.
"Aku bantu kamu berdiri."
Langit menggunakan batu sebagai pijakan. Akan tetapi, batu yang licin karena hujan mengakibatkan kakinya terpeleset, tubuhnya terguling-guling dan baru berhenti setelah kepalanya terbentur sesuatu. Hanya teriakan Kejora yang terakhir kali ia dengar sebelum dunianya perlahan menghitam.
Langit 😭😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro