Tiga Belas - Pergi ke Lokasi
Tiga Belas - Pergi ke Lokasi
"Neng, bikin apa?"
Kejora menoleh sebentar menyambut ibunya. Tangannya masih sibuk memindahkan bulatan-bulatan putih ke dalam tupperware.
"Bikin cilok."
"Tumben, Neng. Bikin buat siapa?"
"Buat Kak Pasha," jawab Kejora sembari memasukkan tupperware berisi cilok serta sambal kacang ke tas jinjing. Benar, Kejora memang sengaja membuatkan makanan itu untuk sang idola. Rencananya pagi ini juga ia akan pergi ke home stay dan memberikannya langsung.
"Ambu sama Abah kalau mau makan masih ada sisanya di panci. Aku mau langsung pergi."
Kejora meraih tangan ibunya, membungkuk, kemudian tangan itu diletakkan di kening sebentar. "Kalau Langit nyariin, bilang aja ke home stay gitu, ya."
"Iya, Neng."
Tiba di home stay, Kejora memasang penyangga sepeda ke tanah. Kemudian berjalan menuju teras sembari menenteng tas jinjingnya.
"Mau ketemu artis, ya?"
Suara perempuan di belakang menghentikan langkah Kejora. Gadis itu memutar tubuhnya. Memasang senyum semanis mungkin.
"Iya, Bu."
"Oh, mereka udah pergi pas matahari belum muncul, Neng."
"Yaaa." Kejora mendesah kecewa. "Ibu tahu nggak perginya ke mana?"
"Ya, paling syuting, Neng. Kan, ke sini karena mau syuting."
Kejora menggaruk kepalanya. Seluruh dunia juga tahu kalau Pasha ke sini mau syuting, tapi si ibu nggak kasih tahu tempatnya yang spesifik.
Setelah mengucapkan terima kasih, Kejora mendorong sepedanya menjauh dari home stay. Satu-satunya cara agar tahu keberadaan laki-laki itu adalah dengan menghubungi lewat Instagram. Namun, mana mungkin Pasha akan cepat membalas?
Karena kejutannya gagal, Kejora memutuskan untuk pulang saja. Namun, lagi-lagi, seseorang menghentikan langkahnya.
"Neng Kejora?"
Wajah Kejora langsung semringah. Ternyata yang menyapa adalah ayahnya Naya. "Iya, Pak."
"Kamu, teh, mau ketemu Pasha lagi?"
Kejora mengangguk mantap.
"Mereka udah pergi. Bapak tadi ikut antar."
Mata gadis itu melebar. "Ke mana, Pak?"
"Ke TAHURA."
Mendengar nama lokasi itu, nyali Kejora menciut. Bukan, ia tidak takut dengan hutan, tapi untuk pergi ke sana dengan mengayuh sepeda akan menguras tenaga. Sekejap ia menyayangkan dirinya yang tak bisa menggunakan sepeda motor.
"Mau ikut nggak, Neng? Bapak mau ke sana lagi, nih."
Lagi, mata Kejora membeliak. "Boleh bonceng, Pak?"
"Ya, boleh, atuh. Ayo!"
"Makasih, Pak!" Saking senangnya, Kejora sampai mencium tangan ayahnya Naya berkali-kali. Memang benar, jodoh itu tak akan lari ke mana.
"Tunggu sini, ya, Neng. Orang asing katanya nggak boleh masuk. Nanti kalau udah selesai, Bapak antar kamu ketemu sama Pasha."
"Iya, Pak."
Ayahnya Naya masuk ke set, Kejora menunggu di luar. Tidak masalah mau menunggu sampai jam berapa pun, asal nanti bisa bertemu dengan Pasha.
Dari tempatnya berdiri sekarang, Kejora bisa melihat beberapa orang berlalu-lalang. Sayup-sayup terdengar suara 'camera, roll, action'. Kepalanya celangak-celinguk mencari wajah Pasha, tapi yang terlihat justru wajah Kevin dan Rosa. Kejora tahu dua nama artis itu. Lagu Kevin pernah nangkring di playlist Kejora, sedangkan Rosa, Kejora tahu dari akun gosip yang sering menjodohkannya dengan Pasha.
Lelah berdiri, Kejora memilih berjongkok, kemudian menghela napas. Kedua tangannya memeluk lutut. Perutnya mulai berdendang karena sejak tadi belum ada makanan yang masuk. Sengaja tidak makan karena niatnya tadi sarapan bersama Pasha.
Berjongkok juga membuat kakinya kesemutan, Kejora berdiri lagi. Pada saat itulah ayahnya Naya datang bersama Pasha.
"Kejora? Kenapa nggak masuk?"
"Kan, kata Pak Ario orang asing nggak boleh masuk." Begitu kata ayahnya Naya.
"Kejora bukan orang asing, Pak. Aku kenal sama dia. Lain kali nggak papa kalo dia mau masuk."
Kejora tersenyum kikuk. Hatinya bergemuruh setelah mendengar kata bukan orang asing. Apalagi saat tiba-tiba Pasha menggenggam tangannya, menariknya memasuki lokasi. Kejora jadi lupa caranya bernapas.
Pasha berhenti di sebuah tenda yang di dalamnya sudah ada kursi lipat beserta meja. Ia menyuruh Kejora duduk.
"Kamu bawa apa?" tanya Pasha.
"Oh!" Kejora meletakkan tas jinjingnya di meja. Perlahan tas itu diturunkan hingga dua tupperware terlihat. "Aku bikin cilok buat Kak Pasha. Itung-itung ini ucapan terima kasih karena semalam udah mau live bareng."
"Cilok? Bikin sendiri?"
"Iya."
"Boleh aku coba?"
Kejora mengangguk. Ia lantas membuka tutup dua tupperware itu dan mengeluarkan garpu. Pasha mengambil garpu, menusuknya di salah satu bola-bola putih itu. Mata Kejora tak berkedip sama sekali saat Pasha memasukkan ciloknya ke mulut.
"Enak," ucap Pasha setelah menelan kunyahan cilok itu.
"Beneran, Kak?" Kejora belum percaya.
"Nih, kalo nggak percaya." Pasha mengambil butiran cilok lagi. Kali ini dicelup ke dalam sambal kacang. Begitu masuk ke mulut, Kejora kembali tak berkedip.
"Kamu udah sarapan?"
Melihat Pasha tak berhenti memakan cilok buatannya hingga tersisa sedikit, membuat lapar yang Kejora rasakan tadi menguap entah ke mana.
"Kalau belum, sini aku suapin."
"Eh, nggak usah!" Kejora menjawab cepat. Ia tidak mau terlihat mencolok di sini. "Aku udah sarapan, kok."
"Jadi, boleh ciloknya aku habisin?"
"Boleh, boleh banget. Kan, itu emang buat Kak Pasha."
"Kenapa kamu panggil aku 'kak'?"
Kejora menelan ludah. "Kan, Kak Pasha lebih tua dari aku."
"Kenapa nggak panggil Aa' aja? Bukannya orang sini manggilnya begitu?"
"Emang boleh?" Kejora tergagap. Mungkin sekarang si jantung sudah turun ke perut saking gugupnya.
"Boleh. Aku nggak keberatan."
Selanjutnya, Kejora menahan diri agar tidak berteriak dengan mengulum bibirnya kuat-kuat. Mana mungkin bisa bertingkah aneh di sini, Kejora tak mau terusir secara tidak hormat.
Gercep ya mereka :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro