Empat Belas - Akankah Seperti Ini Selamanya?
Empat Belas - Akankah Seperti Ini Selamanya?
Minggu pagi ini tidak biasa. Langit tidak menemukan smoothie dari Kejora. Ia tidak salah lihat jam, kok. Harusnya sudah ada di meja. Apa mungkin Kejora lupa? Sepertinya tidak. Langit tahu Kejora bukan orang ceroboh.
Kini tubuhnya terbalut kaus putih dipadu dengan celana training abu-abu. Kedua telapak kakinya terbungkus sneaker. Langit sudah siap mengajak Kejora jalan pagi seperti biasa. Ia kemudian beranjak keluar. Memanggil gadis itu dari teras.
"Jora, udah siap belum?"
Hening. Langit mengerutkan kening. Biasanya Kejora dulu yang paling siap, tapi sekarang rumahnya tampak sepi. Apa Kejora sudah berangkat lebih dulu?
"Kejora!" Langit memanggil sekali lagi. Akan tetapi, Ambu yang muncul.
"Neng udah pergi dari tadi," kata Ambu.
"Ke mana, Ambu?"
"Katanya ke home stay. Ketemu sama Pasha gitu."
Langit mendengkus pelan. Belum ada seminggu artis itu ada di sini, tapi berhasil merebut perhatian Kejora.
"Ya udah kalau gitu aku susul dia ke sana. Kejora jalan kaki atau naik sepeda?"
"Naik sepeda."
Baiklah, Langit akan menyusul Kejora menaiki sepeda juga.
Tiba di home stay, Langit tidak menemukan Kejora. Hanya sepedanya yang terparkir di teras. Tangannya merogoh saku celana. Sial, ternyata Langit lupa memasukkan ponsel. Bagaimana caranya tahu keberadaan Kejora tanpa ponsel?
"A' Langit? Ngapain ke sini?"
Langit memutar tubuhnya. Melihat Naya seperti menemukan dewa penolong.
"Naya, kamu lihat Kejora nggak? Sepedanya di sini, tapi orangnya nggak ada."
"Nggak, tuh, A'. Dari tadi aku di dalam rumah."
"Kamu bawa HP nggak?"
"Nggak, lagi diisi daya soalnya."
Langit mengacak rambutnya. Seisi kepalanya dipenuhi rasa kekhawatiran dan pikiran-pikiran negatif tentang Pasha. Namanya juga artis, 'kan? Pasha pasti punya segala cara untuk memperdaya Kejora.
"Aa' mendingan mampir dulu ke rumah Naya. Naya buatin minum," kata Naya setelah sekian menit terdiam.
"Nggak usah, Nay. Aku mau langsung cari Kejora aja."
"Tapi, mau cari ke mana?"
"Ke mana aja. Lagian Kejora nggak mungkin jauh dari sini." Sebenarnya Langit juga tidak yakin. Pasalnya Kejora sedang bersama dengan Pasha.
Langit sudah siap mengayuh sepedanya. Namun, kehadiran Dara membuat Langit urung meninggalkan tempat ini.
"Dara, kamu bawa HP nggak?" todong Langit.
Dara memutar bola matanya. "Aku baru datang, Ngit. Aku udah kayak punya utang segunung sama kamu."
"Bawa nggak?"
"Bawa, Sayang. Mau telepon siapa, sih, Ganteng?"
"Kejora. Aku lupa nggak bawa HP."
Dara berdecak. "Yaaa, yang dicari Kejora terus. Tuh, di samping aku ada cewek yang lebih cantik malah dianggurin."
Langit memejamkan mata. Dara benar-benar menguji emosinya. "Kalian kalo nggak mau bantuin aku nggak papa. Aku bakal cari Kejora sendiri."
Sontak Dara mencegah Langit yang ingin mengayuh. Lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana. "Ini aku pinjemin, Sayang. Sabar, dong."
"Buruan telepon Kejora!"
"Iya, Langit. Sabar. Lagi nyari nomornya."
Dara menghidupkan pengeras suara agar Langit dan Naya mendengar percakapan Kejora. Begitu telepon tersambung, Langit langsung merebut ponsel Dara dari pemiliknya.
"Jora, kamu di mana?"
"Aku lagi di lokasi syuting sama A' Pasha."
"Hei, kamu diam-diam nyolong start, ya!" sahut Dara.
Sementara Langit masih mencerna kalimat Kejora barusan. Sejak kapan Kejora mengubah panggilan untuk artis itu?
"Langit kenapa telepon pakai HP kamu, Dar?"
Dara berhasil merebut kembali ponselnya. "Katanya nggak bawa HP. Kamu di mana, Jor? Aku nyusul, nih!"
"Di TAHURA."
"Oke, bentar lagi kita OTW. Jangan biarin Pasha pergi dulu."
Kejora yang memutuskan panggilan terlebih dahulu. Dara memasukkan ponselnya ke tempat semula. "Ayo, Ngit! Kita ke sana!"
Suara cempreng itu mengembalikan Langit ke kenyataan. Langit bahkan sampai tidak sadar kalau telepon sudah berakhir. "Kalau kamu boncengan sama aku, nanti Kejora gimana?"
"Oh, bener juga." Dara menatap Naya. "Sama kamu, ya, Nay?"
"Maaf, Dar, aku masih ada kerjaan di dalam. Kamu naik motor sendiri bisa, 'kan?"
"Bener juga. Ayo, Ngit, gass!"
Sayangnya saat Langit dan Dara tiba, Pasha sudah kembali ke lokasi karena waktu jeda sudah habis. Tentu saja Dara kesal bukan main. Kesempatan untuk bertemu dengan Pasha benar-benar tipis walau jarak rumahnya dengan home stay tidak terlalu jauh. Setiap hari home stay selalu dijaga ketat oleh pengawal. Hanya orang-orang tertentu yang boleh berlalu-lalang di sana.
Langit, Kejora, dan Dara akhirnya memutuskan untuk pulang. Kejora memilih bonceng sepeda ketimbang motor bersama Dara. Hari Minggu, waktunya menguras kalori agar bentuk tubuhnya ideal.
Jangan ditanya berapa tenaga yang harus dikeluarkan Langit saat beban sepedanya bertambah dengan medan yang berat. Yang pasti sudah berkali-kali ia menyeka keringat yang mengucur deras. Olahraga yang sesungguhnya.
"Kalo berat, gantian aja." Suara Kejora terdengar di belakang.
"Nggak berat, kok." Saat mengucapkan itu, napas Langit terengah. Mana mungkin bisa berbohong.
Kejora meminta berhenti. Langit yang semula pura-pura tidak mendengar akhirnya berhenti juga setelah Kejora memukul punggungnya hingga nyaris kehilangan keseimbangan.
"Gantian!"
Mereka bertukar posisi, Kejora mengayuh dan Langit yang membonceng. Jika dibandingkan dengan Langit tadi, tentu saja beban Kejora sedikit ringan. Ia bisa memacu sepeda dengan cepat.
Tiba di home stay, Kejora mengambil sepedanya. Mereka berdua kemudian pulang dengan mengayuh sepeda masing-masing.
Tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di rumah. Langit meletakkan sepedanya sembarangan. Terkulai lemas di kursi panjang berbahan rotan. Sungguh sekarang dirinya butuh minum, tapi untuk menjangkau dapur rasanya sulit. Beruntungnya Kejora peka, gadis itu masuk ke rumah Langit dan tak lama keluar dengan membawa sebotol air putih. Langit meneguknya sampai tak ada sisa.
"Kamu tadi ngapain ke sana?" tanya Langit sembari memutar tutup botol.
"Ngasih cilok ke A' Pasha."
"A' Pasha?" Langit mengulang kata itu dengan perasaan sulit dijelaskan.
"Iya, dia yang minta dipanggil begitu."
Langit membulatkan bibirnya. "Terus dimakan sama dia?"
"Sampai habis, dong!" Gadis itu berlari menuju sepedanya mengambil tas jinjing. Lalu kembali duduk di samping Langit. "Nih, buktinya." Kejora menunjuk tupperware yang kosong.
Tanpa diperintah, garis tipis di wajah Langit tercipta. "Syukur, deh, kalo habis. Masakan kamu, kan, emang enak."
Kejora menahan senyumnya. Hal itu membuat Langit tak sanggup menahan diri untuk tidak mengacak rambut sahabatnya.
"Jora, kita bakal seperti ini terus sampai tua nggak, ya?" tanya Langit tiba-tiba.
"Iya, dong. Nanti kita bareng sama pasangan kita, terus sama anak-anak kita. Makanya kamu cari cewek yang mau terima aku biar kita bisa barengan terus."
Jantung Langit berhenti beberapa detik. Matanya menatap lantai ubin dengan hati berkecamuk. Sekelebat ucapan temannya muncul di kepala. Jadi, sudah jelas, kan, Kejora memikirkan hal yang berbeda.
Namun, bolehkah Langit meminta Kejora untuk mengubah perasaannya?
Langit, yuk kita melipir ke pojokan aja 😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro