Dua Puluh Lima - Boleh Kita Kenal Lebih Dekat?
Dua Puluh Lima - Boleh Kita Kenal Lebih Dekat?
Semesta seperti sedang mendukung Kejora. Bagaimana tidak, acara organisasi ternyata selesai lebih awal, lalu Langit tidak bisa membantu merekam video karena ada pemotretan sampai sore. Pukul dua siang, gadis itu sudah tiba di rumah dan langsung mengganti pakaiannya.
[Aku jemput kamu, ya. Kamu tunggu di sana, nggak usah ke home stay.]
Begitu kata Pasha di chat WhatsApp. Kejora pun mengirimkan lokasi agar tidak tersesat. Ia sendiri sudah siap dengan balutan kemeja lengan panjang yang kancing depannya dibiarkan terbuka hingga kaus polos berwarna putih terlihat, untuk bawahannya mengenakan celana denim, alas kakinya dibungkus sepatu sebab medan yang akan dilalui cukup berat. Wajahnya dipoles mekap tipis, sementara rambutnya diikat ke belakang.
"Neng mau ke mana?" Ambu yang baru saja keluar dari dapur heran melihat putrinya begitu rapi.
"Mau pergi, Ambu."
"Ke tempat artis lagi?"
"Nggak. Artisnya malah yang mau ke sini."
Saat Ambu hendak bertanya lagi, terdengar suara bunyi pintu diketuk dari luar. Setengah berlari, Kejora menghampiri pintu itu, lalu mendorongnya ke dalam. Sosok laki-laki berkacamata hitam dengan kepala tertutup tudung jaket parasut berdiri di depan.
"Siapa, Neng?" Ambu sudah berdiri di belakang Kejora.
Laki-laki itu melepaskan kacamatanya. "Halo, Tante. Saya Pasha, temannya Kejora."
Ambu melirik anaknya, meminta penjelasan.
"Itu artis yang barusan aku bilang, Ambu."
"Oooh. Ayo, masuk dulu! Saya buatkan minum."
"Nggak usah, Tante. Kita mau langsung aja. Iya, kan, Kejora?"
"Iya, Ambu. Aku sama dia mau langsung pergi. Tenang, nggak sampai sore, kok. Sebelum Abah pulang. Nanti kalo Abah pulang sebelum Neng bilang aja Neng lagi pergi gitu."
Ambu mengizinkan Kejora dan Pasha pergi meski hatinya dilanda keraguan. Kejora nyaris tidak pernah membawa laki-laki ke rumah. Lelaki yang menempel di sisi anaknya hanya Langit. Kini Ambu hanya bisa menyaksikan Kejora dan Pasha sedang mengobrol sebelum menaiki sepeda motor.
"Aa' pakai motor siapa?"
"Dipinjami sama tetangga. Katanya kalo pake mobil parkirnya di bawah terus jalan kaki buat sampai ke atas."
"Emang iya, tapi ada ojek yang mau nganterin ke sana, kok."
"Oh, gitu. Ya udah daripada naik ojek mending boncengan sama aku aja."
Setelah naik di belakang Pasha, Kejora dadah ke Ambu. Kemudian motor melaju meninggalkan rumah.
"Dari TAHURA masih jauh, ya?" tanya Pasha, melirik wajah Kejora dari pantulan kaca spion.
"Masih. Ke atas lagi, tapi udah masuk kawasan TAHURA, kok."
Lima belas menit perjalanan, Pasha menghentikan motornya di dekat sebuah rumah kecil yang terdapat plang bertuliskan "bensin eceran". Laki-laki itu meminta Kejora turun sebentar. Masih dengan kepala tertutup tudung jaket--bahkan kini talinya terikat di bawah leher--wajahnya mengenakan masker serta kacamata hitam, Pasha membeli satu botol bensin. Baik penjual bensin maupun orang di sekitar selain Kejora tidak ada yang tahu kalau yang barusan beli bensin adalah seorang artis.
"Belum ada kembalian, Kang," kata si penjual usai menerima uang pecahan lima puluh ribuan dari Pasha.
"Ya udah ambil aja semuanya, Pak," balas Pasha enteng. Kemudian melanjutkan perjalanan.
Usai melewati jalan besar, motor itu belok kiri, mengikuti jalan aspal yang menanjak. Pada sisi kiri dan kanan jalan terdapat hamparan hijau, pohon-pohon menjulang tinggi, sempat juga ada beberapa rumah warga dan warung kecil yang menjadi tempat singgah bagi pejalan kaki. Sepanjang perjalanan tidak ada komunikasi. Sesekali Kejora hanya menunjukkan arah.
Akhirnya mereka tiba di pintu masuk Tebing Keraton. Pasha menyimpan motornya di tempat parkir. Kemudian berjalan beriringan dengan Kejora menuju loket tiket. Untuk mendapatkan tiketnya, pengunjung melakukan scan barcode, mengisi data diri, mengisi berapa banyak tiket yang ingin dibeli, kemudian membayar di kasir.
"Biar aku aja, A'." Kejora mencegah Pasha yang hendak mengeluarkan ponselnya untuk scan. Kalau Pasha yang melakukan itu, apalagi saat mengisi data, orang sini akan menyadari keberadaannya.
Setelah membeli tiket, mereka menyusuri jalan setapak. Biasanya Kejora merekamnya lalu dimasukkan ke instastory, tapi kini ia tidak melakukan itu. Ia ingin menikmati berdua dengan Pasha.
Mengikuti arah panah berwarna merah, mereka belok kiri. Hanya beberapa langkah menuruni tangga paving, mereka sudah tiba di ujung tebing. Mata mereka dimanjakan dengan bukit-bukit, hutan, dan langit yang cerah. Kejora duduk di batuan, sedangkan Pasha berdiri, tangannya bertumpu pada pagar pembatas yang terbuat dari kayu.
"Kamu pasti sering ke sini, ya?" Pasha membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya.
"Sering, sih, nggak. Cuma beberapa kali. Waktu SMA pertama kali datang ke sini sama temen-temen. Dulu tuh belum sebagus sekarang."
"Kamu ke sininya sama cowok kamu itu?"
Kening Kejora berkerut setelah itu. "Cowok yang mana, A'?"
"Itu Langit."
"Bukan! Dia bukan cowok aku. Bukannya aku udah pernah bilang, ya, kalo Langit itu sahabat sekaligus tetangga aku?"
"Berarti sekarang kamu nggak punya pacar?"
Sebagai jawaban, Kejora menggeleng. Kemudian Pasha duduk di batuan kecil hingga posisinya berada di bawah Kejora. Kacamatanya dilepaskan.
"Kalau begitu ... boleh nggak kita kenal lebih jauh?"
Mata gadis itu mengerjap beberapa kali. "Maksudnya?"
"Dari awal aku liat kamu di instagram, aku langsung suka sama kamu. Kupikir ketemu sama kamu cuma khayalan belaka, ternyata sekarang kita ada di sini. Apa kamu punya perasaan yang sama?"
Butuh waktu bagi Kejora untuk mencerna semua perkataan Pasha. Apa yang dikatakan laki-laki itu sama seperti yang ia rasakan selama ini. Ingin menjawab 'iya', tetapi hatinya mendadak ragu.
"Bentar." Kejora berdiri. "A' Pasha, kan, artis. Jangan-jangan ini, teh, cuma akting aja atau A' Pasha lagi hafalin dialog buat syuting besok."
Bukannya marah, Pasha justru terkekeh pelan. Ia ikut berdiri, lalu tanpa ragu ia meraih tangan Kejora. Mendapat perlakuan seperti itu, jantungnya mulai bekerja ekstra.
"Kalau kamu masih ragu, coba lihat mataku."
Meski keringat dingin perlahan timbul di permukaan kulitnya, Kejora tetap mengikuti ucapan laki-laki itu, lekas menelusuri tanda-tanda kebohongan dari balik mata besarnya. Kata orang mata adalah cerminan hati. Mulut bisa berdusta, tetapi tidak dengan mata. Kejora tidak menemukan itu di mata Pasha. Sekarang terjawab sudah, perasaannya pada laki-laki itu terbalaskan.
"Jadi, gimana? Boleh kita lebih dari sekadar teman?"
Tanpa ragu lagi, Kejora mengangguk.
Yuk, demo virtual. Aku nanti off cam 🤣✌️
Atau ada yang mau oleng ke kapal ini? Ada baiknya tes dulu deh.
#timlangit
#timpasha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro