Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Terbukanya Luka Lama


Luka yang kita pendam selama bertahun-tahun hanyalah sebuah bom yang akan meledak, meluluhlantakan segala harapan yang pernah kita genggam bersama. Menghancurkan yang telah retak menjadi kepingan yang tak akan lagi bisa merekat erat.

Fayka terlalu banyak pikiran dan menerima tekanan yang besar, sehingga membuat perempuan itu kehilangan kesadaran. Tidak ada siapa pun, hanya ada Yasa yang menunggui Fayka di kamar inap, dokter bilang Fayka harus dirawat selama satu atau dua hari. Karena selain lelah fisik, dan psikisnya yang sedang tidak baik, lambung Fayka juga bermasalah, mungkin karena tidak begitu memerhatikan asupan makanan. Pola makannya berantakan.

"Nak Yasa?"

Seorang pria paruh baya yang dikenal Yasa sebagai ayah Fayka memanggilnya. Yasa sempat berkenalan dengan Brata sesaat setelah menyerahkan Fayka pada dokter dan suster jaga yang menangani Fayka.

"Iya, Om?"

"Kamu sudah makan? Ini saya bawakan nasi goreng." Brata menaruh nasi goreng itu di atas meja kecil di sisi ranjang pasien.

"Saya jadi merepotkan, terima kasih, Om."

"Saya yang seharusnya terima kasih, dan maaf, kamu harus melihat pertengkaran keluarga saya."

Yasa terdiam sejenak, ia tidak pernah melihat konflik keluarga sebelum ini, maksudnya yang separah keluarga Fayka. Biasanya konflik keluarganya tidak besar, kecuali saat kematian Yaya. Keluarganya bisa dibilang jarang membuat konflik.

"Enggak papa, Om."

Brata menghela napasnya, tampak memikirkan sesuatu. Pria itu jelas sekali sedang banyak pikiran, beberapa kali hendak mengeluarkan kalimat namun lagi-lagi ditelan kembali. Yasa jelas tahu, gelagat Brata sangat kentara.

"Saya keluar dulu, ya, Nak Yasa. Saya titip Fayka."

"Iya, Om."

Yasa memerhatikan Brata hingga pria itu menghilang di balik pintu, matanya lalu beralih pada wajah pucat Fayka. Kasihan sekali perempuan ini, bebannya malah berkali-kali lipat di saat ia seharusnya mendapatkan dukungan, masa-masa menulis skripsi adalah masa-masa struggling yang membutuhkan banyak dukungan. Teman saja bisa tiba-tiba menghilang di masa ini, seharusnya keluarga yang tetap setia untuk mendukung, bukan malah menghancurkan.

Ketika mata Fayka terbuka, masih pukul empat pagi. Yasa sudah tidur pulas di atas sofa yang ada di dalam ruangan itu. Laki-laki itu baru tertidur pukul dua pagi, dan saat kantuk tidak lagi bisa ditahan, Yasa memutuskan untuk tidur.

Tatapan mata Fayka kosong, air matanya meleleh begitu saja melewati pipi. Perempuan itu hanya diam, tidak melakukan gerakan kecuali matanya yang berkedip. Setengah jam sejak ia sadar, Fayka hanya menangis sambil menatap langit-langit kamar berwarna putih yang diterangi oleh lampu. Ia lalu terduduk, melihat sosok Yasa yang masih tertidur pulas, pandangannya lantas terfokus pada tangannya yang dipasangi selang infus. Ia memutuskan untuk melepas selang infus, membuat darah di pergelangan tangan mengalir mengotori tangannya.

Fayka merasa tidak perlu menghadapi dunia lagi, setengah jam ia habiskan untuk memikirkan tentang dirinya dan segala kelam yang ada di dalam hidupnya. Keputusannya bulat, mungkin mengakhiri hidupnya adalah yang terbaik. Ia hanya terlampau lelah dan putus asa. Seolah melupakan Tuhan, perempuan itu berjalan dengan mata kosong dan langkah pelan, membuka pintu kamar, keluar dari kamar inapnya dan menghadapi udara dingin di pagi buta.

Mendengar suara pintu terbuka membuat Yasa bangun dari tidurnya, laki-laki itu mengusap wajahnya dengan tangan kanan. Matanya lalu memindai seisi ruangan dan tidak menemukan Fayka di mana pun.

"Fay? Lo di mana?" ia berteriak dengan khawatir, sedikit noda darah yang tercecer di seprai membuat pikirannya bertambah buruk. Segera, Yasa keluar dari ruangan itu dan mencari keberadaan Fayka.

***

Fayka benar-benar kehilangan gairah hidupnya. Perempuan itu pergi menyusuri lorong rumah sakit yang masih sepi, masih sangat pagi, walau di beberapa sisi sudah ramai karena aktivitas beberapa keluarga pasien dan pegawai rumah sakit yang sedang salat subuh di masjid rumah sakit.

Fayka sudah tiba di depan rumah sakit, ia sedang berjalan tak tentu arah untuk mencari kendaraan besar yang bisa membuat tubuhnya kehilangan nyawa. Pikirannya sedang kacau, ia bahkan kehilangan makna tentang bertahan hidup yang selama ini ia pertahankan. Tak lama, dari kejauhan tampak sebuah truk akan lewat. Tubuh Fayka mendingin, ia memejamkan mata, bersiap untuk menyebrang saat truk itu mendekat, kakinya melangkah gemetaran. Kondisi sekitar yang masih sepi dan orang-orang juga tidak akan seperhatian itu untuk menahannya agar tetap hidup membuat langkah Fayka semakin mudah. Ia mendengar suara truk mendekat, kakinya semakin cepat melangkah, napasnya nyaris tertahan saat suara klakson panjang dan kencang memekakkan telinga.

Tubuhnya ditarik, tidak ada rasa sakit. Apakah ia sudah mati? Ada sebuah tangan yang memeluknya dari belakang, pikiran Fayka sangat kacau, masih ada orang yang menyelamatkannya?

"WOY! MAU MATI?" teriak si supir truk yang nyaris saja menghilangkan nyawa manusia.

"Maaf, Mas. Mohon maaf," balas seseorang yang tadi menyelamatkan Fayka. Supir truk itu lalu mengumpat dan tak lama setelahnya kembali mengemudikan truknya.

"Astaghfirullah, Mbak! Nyebut!"

Pria itu berteriak di depan wajah Fayka, rasanya begitu dekat. Fayka mengerjapkan matanya, sosok pria itu berseragam putih dengan kopyah hitam yang melekat di kepala, wajahnya ketakutan dan terkejut, matanya memandang Fayka dengan tajam.

"Nyebut, Mbak. Nyebut ... untung saya ikutin Mbak, karena gelagat Mbak yang aneh, kalau tidak jadi apa, Mbak?"

"Fay?"

Seseorang lainnya berteriak. Seorang laki-laki dengan wajah panik yang berlari menghampiri Fayka yang tengah terduduk di atas aspal dan seorang satpam yang menyelematkan Fayka. Napas Yasa hampir terputus, ia bisa menduga apa yang baru saja dilakukan Fayka, pikirannya seketika kacau. Bayangan sosok Yaya berputar-putar memenuhi kepala Yasa, luka karena kehilangan itu belumlah kering, masih sangat membekas.

"Lo gila? Lo mau mati? Lo goblok apa gimana?" teriak Yasa, ia benar-benar kehilangan kendali atas dirinya, nyaris kehilangan Fayka membuat emosinya meluap-luap. Ia bahkan lupa, tidak seharusnya memarahi Fayka disaat jiwa Fayka sedang terguncang. Rasa takut kehilangan membuat laki-laki itu kalap.

"Mas, sabar, Mas. Mbaknya lagi terguncang," kata satpam itu sembari melihat ke arah Yasa, beberapa orang yang sedang berkendara ataupun jalan kaki di sekitar tempat itu tampak memerhatikan mereka.

"Maaf, Pak. Terima kasih sudah nolongin teman saya."

"Sama-sama, Mas. Mbaknya lagi banyak pikiran kayaknya, Mas. Tolong dijaga."

Yasa mengangguk, lalu berjongkok menyamakan kedudukannya dengan Fayka. Jelas sekali perempuan itu masih menangis, Yasa lalu mengusap air mata yang membasahi wajah Fayka.

"Jangan gini lagi. Lo harus hidup, lo kuat, Fay."

Fayka hanya menangis, ia tidak menjawab.

"Balik ke kamar, ya?" bisiknya pelan. Fayka tak memberi respons, membuat Yasa akhirnya menghela napas.

"Fay?"

Fayka masih tak memberi respons, ia mungkin juga sedang terguncang, tak lama Fayka kembali tak sadarkan diri, perempuan itu tergeletak di atas aspal jalanan di pagi hari.

"Fay? Fayka? Sial!"

"Mbaknya pingsan, Mas."

"Iya, Pak. Tolong bantu saya bawa ke ruang inapnya, Pak," pungkas Yasa, karena tidak mungkin ia menggendong Fayka seorang diri, jaraknya terlalu jauh. Yasa butuh bantuan.

***

Hari ketiga pasca kecelakaan yang menimpa Jefran, Mel tiba di Indonesia. Ia datang bersama Nicko suaminya, sementara anak laki-lakinya, Giovan masih berada di Irlandia karena sekolahnya yang tidak libur. Mel sudah mendapatkan cerita dari kakaknya Brata tentang Fayka dan istrinya—Jannah.

Tangis wanita itu pecah saat melihat kondisi Fayka dengan wajah pucatnya di atas ranjang rumah sakit. Mel menghampiri Fayka yang sedang ditunggui oleh Yasa, ia membekap mulutnya, merasakan perasaan sakit yang luar biasa. Mel tidak mengatakan apa pun, ia hanya menggenggam tangan Fayka dan menangis.

"Tante?"

Fayka sadar setelah setengah jam Mel menungguinya. Kata pertama yang Fayka keluarkan sejak kemarin. Mel tersenyum getir, ia lalu memeluk Fayka, menangis tersedu-sedu.

Yasa yang duduk di atas sofa bersama Nicko suami Fayka lalu memutuskan untuk keluar, ia merasa tidak ingin mencampuri urusan keluarga Fayka, kebetulan perutnya juga sudah lapar, ini hampir pukul sebelas dan ia bahkan belum mengisi perutnya sama sekali.

"Maaf, Fay. Tante baru bisa temuin kamu, maafkan Tante, ya, Sayang?"

Fayka menggeleng, ia memandang penuh rindu pada Mel. "Tante enggak salah, kok."

"Fay, Tante ...."

Mel tidak melanjutkan ucapannya dan kembali menangis, membuat Nicko akhirnya menghampiri istrinya, mengelus pundak Mel, memberi kekuatan pada Melati.

"Kamu makan, ya?"

"Enggak pengin makan, mual."

"Makan dulu, satu dua sendok, yang penting perut kamu ada isinya."

"Mual."

"Enggak papa, sedikit aja, ya? Atau kamu mau sesuatu?"

Fayka menggeleng, tapi Mel tetap memaksa. Wanita itu lalu meraih semangkuk bubur yang tadi diantarkan oleh perawat, lalu menyuapkannya pada Fayka. Mau tak mau, Fayka menerimanya walau hanya bisa masuk lima sendok ke dalam lambungnya.

"Tante tahu kalau aku bukan anak kandung Ibu?"

Mel memejamkan matanya, tangannya mendingin. Pandangannya mengarah pada Fayka dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

"Ya."

"Apa aku juga bukan anak kandung Ayah?"

Mel menarik napasnya lagi, mulutnya berat untuk berbicara. Wanita itu seakan membawa beban berat di pundak, sejenak, ia melirik ke arah Nicko yang tampak menganggukkan kepala.

"Tell her the truth, it's the right time, she will understand. Don't worry, Honey, everything's gonna be fine." Nicko menatapnya, memberi dukungan.

"Tante akan menceritakan suatu hal padamu, Tante mohon kamu jangan memotong pembicaraan Tante dan jangan benci siapa pun setelah ini, ya, Fay?"

Fayka mengangguk, jantungnya berpacu dengan cepat. Mel menarik napasnya lagi, mencari ketenangan.

"Kamu memang bukan anak kandung mereka, Fay. Dulu keluarga kita pernah tinggal di Bandung, saat kamu belum ada. Kehidupan kami baik-baik saja, sampai akhirnya Tante yang bodoh ini terjebak pergaulan masa muda yang salah. Tante hamil di luar nikah saat kelas tiga SMU, saat itu baru saja selesai ujian nasional. Tante bingung, enggak tahu harus apa, orang yang menghamili Tante adalah pacar Tante, semasa SMU. Dia anak orang berada, namanya Ibra. Laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab dan memilih mengejar masa depannya. Ibra lalu kuliah di luar negeri, meninggalkan Tante dan dosa yang kami buat bersama."

Mel menyeka air matanya, suaranya tiba-tiba tersendat, ia menatap Fayka yang sedang menunggu kelanjutan ceritanya, tapi sorot mata Fayka membuat Mel tahu kalau mungkin saja Fayka sudah tahu arah pembicaraannya.

"Tante mengandung dan melahirkan tanpa suami, masa-masa yang sulit, Tante pernah ingin bunuh diri dan mengugurkan kandungan, tapi Mas Brata selalu meyakinkan Tante, semuanya akan baik-baik saja. Saat itu kakak Tante memutuskan untuk mengadopsi bayi yang tak berdosa itu. Mas Brata memilih merawat anak itu dengan istri barunya, Mbak Jannah. Mas Brata menganggap anak itu seperti anak kandungnya sendiri, Jefran. Mbak Jannah adalah istri kedua Mas Brata. Mereka dijodohkan setelah istri pertama Mas Brata meninggal gara-gara melahirkan anak pertama mereka. Mbak Jannah yang saat itu masih muda dan merasa masih belum bisa menerima pernikahannya menentang keras keinginan Mas Brata.

'"Tapi, tekad Mas Brata tetap kuat. Bayi itu tetap diangkat menjadi anak, Mbak Jannah akhirnya mengalah, walau tetap membenci bayi itu karena dianggap aib dan anak haram. Mbak Jannah enggak pernah menyukai bayi itu, walau ia bisa menerima Jefran—anak tirinya, tapi tetap saja, baginya bayi perempuan itu adalah aib yang mengotori keluarga, terlahir tanpa ayah dan diluar pernikahan yang sah, memang saat itu keluarga kita menjadi bahan gunjingan sehingga harus pindah ke sini, itu juga yang membuat Mbak Jannah semakin membenci Tante dan bayi perempuan itu. Mbak Jannah yang masih muda dan menolak memiliki anak selain Jefran membuat Mbak Jannah selalu bersikap kurang baik."

Fayka melepaskan genggaman tangannya dari Mel. Ada sakit yang menusuk hatinya hingga ia tak sanggup lagi menatap Mel.

"Sementara Tante melanjutkan kuliah di Singapura yang dibiayai dari uang pensiunan almarhum Ayah Tante dan juga Mas Brata, meninggalkan semua kenangan buruk di Indonesia, membuka lembar hidup yang baru. Dan, bayi perempuan itu adalah kamu, Fayka Ailia."

"Anda hidup bahagia dan membiarkan saya dirawat oleh orang yang membenci saya?"

Tubuh Mel kaku saat mendengar bahasa formal yang keluar dari mulut Fayka. "Maaf. Mama menyesal untuk itu, Fay," katanya, untuk pertama kalinya menyebut dirinya sendiri Mama di depan Fayka.

Fayka menggeleng, ia tersenyum pahit. "Anda enggak pantes saya panggil Mama."

"Fay—"

"Tolong tinggalkan saya. Saya enggak ingin bertemu Anda, saya ingin sendiri."

"Fay, jangan begini, Sayang."

"Sekarang, pergiiiiiiii. Saya enggak mau lihat Anda, pergiiiiii ...."

Fayka berteriak dengan kencang, tidak peduli jika ada yang mendengar. Ia menangis, meraung-raung, hatinya sedang terluka parah. Dalam sekejap orang-orang berhasil menjungkir balikannya, menghancurkan hatinya tanpa sisa.

"We have to go, now. Leave her alone, she needs a space," kata Nicko sambil meraih tangan Mel, mengajak Mel keluar dari ruangan Fayka.

Fayka menangis tergugu di atas ranjang, ia menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut. Ia sedang tidak baik-baik saja. Mengapa takdirnya buruk sekali? Tidak mudah menerima segalanya, orang yang ia anggap malaikat ternyata yang berperan besar dalam menghancurkan hidupnya. Kalau boleh memilih, Fayka tidak pernah ingin terlahir ke dunia. Kehadirannya benar-benar tidak diinginkan.

Yasa masuk ke dalam ruangan begitu melihat Mel keluar, tadi ia mendengar suara teriakan Fayka. Laki-laki itu memegang pundak Fayka yang bergetar karena tangis. Fayka mendongakkan kepalanya, mendapati Yasa yang tengah melihatnya dengan dalam.

"Bawa aku kembali ke Surabaya, aku mohon."

"Lo belum sembuh, besok aja, ya, baliknya? Besok, kan, Sabtu."

"Bang Yasa enggak mau bawa aku balik? Aku tertekan di sini, aku capek."

"Tapi, lo masih sakit, Fay. Besok, ya?"

Fayka menggeleng, ia mencengkram lengan kanan Yasa kuat. "Enggak mau bantu aku? Capek, ya, bantu aku? Enggak mau lagi?" kata Fayka menaikkan nada bicaranya.

"Enggak gitu, Fay—"

"Enggak mau lagi jadi temenku, kan? Mau pergi?"

"Lo ngomong apa? Enggak usah ngaco! Lo masih sakit, butuh istirahat."

"Enggak, kalau tetap di sini aku mungkin besok bisa masuk ke RSJ. Tolong, aku pengin kembali ke Surabaya."

Yasa menarik napasnya, menatap Fayka iba. Tampak jelas betapa kacaunya Fayka saat ini, sinar di matanya redup, Fayka benar-benar dalam kondisi yang hancur.

"Ya udah, kita balik sekarang. Lo bersihin muka dulu gih, masa lo mau balik dengan wajah ngeri kayak gitu? Entar dikira gue ngapa-ngapain lo lagi," gurau Yasa berharap bisa mengurangi ketegangan.

"Makasih, maaf aku ngerepotin."

"Nggak papa. Lo hanya harus bangkit. Inget, lo harus berjuang buat hidup lo. Tugas lo di dunia ini belum selesai, masih banyak hal yang harus lo lakuin, masih banyak yang sayang sama lo, jangan mikir buat mati," ujar Yasa. Ia tersenyum kepada Fayka.

"Aku enggak yakin."

"Lo harus yakin, lo bisa, Fay."

Fayka tersenyum singkat, ia beruntung Yasa bersamanya saat ini, setidaknya ia tidak sendiri, untuk saat ini.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro