Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tentang Perasaan

Kamu pernah begitu memujanya hingga lupa, bahwa cinta yang begitu besar bisa sangat menyakitkan, dan perasaan yang begitu luas bisa menenggelamkanmu tanpa belas kasihan. Kamu mungkin lupa, bagian terpenting dalam hidupmu adalah mencintai dirimu sendiri bukan selalu tentang mencintai dan memprioritaskannya.

Suara dari Mika Nakashima yang menyanyikan lagu Yuki No Hana terdengar memenuhi setiap sudut kamar Fayka. Ia kembali berkutat dengan skripsinya setelah mengisi energi selama liburan akhir minggu kemarin, sambil mendengarkan lagu-lagu galau, itu sudah menjadi kebiasaannya. Ternyata benar, liburan membuat perasaannya lebih baik, setidaknya ia bisa melupakan kesedihannya sejenak.

Mata perempuan itu fokus pada butir-butir angket yang sedang ia kerjakan, besok ia akan menghadap Pak Edo, dan harus segera menyelesaikan angket ini. Berharap, dua hari lagi bisa segera ke sekolah untuk melakukan uji validasi angket, akan tetapi sebelum itu Fayka harus lolos dari uji ahli terlebih dahulu, dan juga ia belum melakukan uji klinis terhadap angketnya. Perempuan itu menghela napas, perjalanannya masih cukup panjang ternyata, dan bulan depan sebisa mungkin ia sudah harus melakukan penelitian.

"Fay ...."

Suara seseorang bersamaan dengan suara ketukan pintu membuat Fayka segera berdiri dari duduknya. Ia berjalan ke arah pintu kamar dan membuka pintu kamarnya. Di depannya, seorang perempuan berambut sebahu tampak berdiri dengan wajah sembab dan mata yang memerah.

"Zahra? Kenapa?"

Fayka mengajak Zahra untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia lantas menutup pintu kamar itu agar Zahra lebih sedikit nyaman. Zahra masih diam, tidak mengeluarkan suara, sesekali masih terisak, jelas sekali perempuan itu habis menangis, membuat kerutan di dahi Fayka bertambah banyak. Kenapa?

"Zah, mau minum?" tawar Fayka setelah beberapa saat, tidak tega ia melihat Zahra yang menangis sesenggukkan. Teman satu kelasnya itu memang tidak begitu dekat dengan dirinya, hanya saja sesekali ia akan curhat dengan Fayka, karena dipikirnya Fayka cukup baik dalam menanggapi curhat teman-temannya.

"A—aku bingung."

"Kenapa?"

Zahra membuka jaketnya, ia mengenakan jaket berwarna merah muda dan kaus pendek berwarna putih. Perempuan yang memiliki alis tebal dan bulu mata lentik itu tampak menunjuk salah satu sisi lengannya yang membiru agak kemerahan.

"Kamu kenapa? Siapa yang ngelakuin ini?"

Bukannya menjawab, Zahra malah semakin menangis, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar seperti memikul beban berat, membuat Fayka menepuk-nepuk punggungnya, memberi ketenangan.

"Kamu kenapa, Zah?"

"Keenan, Fay. Keenan yang udah ngelakuin ini."

"Keenan pacar kamu?"

Zahra mengangguk, beberapa kali Zahra memang bercerita tentang Keenan, pacarnya yang posesif dan pemaksa. Tapi, Fayka tidak pernah menduga bahwa pacar Zahra juga main tangan seperti ini.

"Dia pukul aku karena aku enggak mau menuhin keinginan dia."

Zahra menatap Fayka dengan kalut, perempuan itu menangis tersedu-sedu, membuat Fayka tak sampai hati melihatnya.

"Dia minta apa?"

Zahra menggeleng, seperti orang ketakutan. Ia menjambaki rambutnya sendiri, Fayka hanya diam, membiarkan Zahra melampiaskan rasa sakitnya. Saat-saat seperti ini, memang harus memberi ruang seseorang untuk mengeluarkan rasa sakitnya sejenak. Asal masih dalam batas aman.

"Ka—kamu jangan ceritain ke siapa-siapa."

"Enggak, aku inget asas rahasia," kata Fayka sambil tersenyum, ia memberi keyakinan pada Zahra.

"Dia minta seks, Fay. Dia minta itu, aku enggak mau, aku takut, dia marah dan mukul aku."

Fayka diam, ia masih terkejut atas pengakuan Zahra, sebelum akhirnya memutuskan untuk memeluk Zahra, memberinya ketenangan.

"Kalian udah pernah ngelakuin itu?"

Zahra mengangguk pelan. "Beberapa kali, di kosannya. Aku kotor, Fay. Aku takut."

Fayka melepas pelukannya, mengusap air mata Zahra yang meleleh. Ia lalu tersenyum pada Zahra, sebuah senyum menenangkan.

"Kamu enggak kotor. Setiap manusia pernah melakukan kesalahan, kamu salah satunya. Enggak papa, jangan disesali ya, Ra. Kamu masih tetap cantik, masih tetap berharga."

"Enggak, aku kotor."

Fayka menggeleng. "Kamu masih pacaran sama dia?"

"Masih, aku takut kalau putus, siapa yang akan menerimaku? Aku udah kotor, masa depanku suram, aku, aku takut."

"Kamu putusin dia, ya. Enggak semua cowok berpikir sempit tentang perempuan. Pasti akan ada yang mau menerima kamu apa adanya nanti, keperawanan itu bukan tolok ukur seorang perempuan berharga atau bukan. Yang penting, kamu mau berubah jadi lebih baik."

Zahra menggeleng, ia menggigiti bibir bawahnya, menatap Fayka ragu. Air matanya masih menetes seakan menggambarkan betapa kalutnya ia saat ini.

"Aku takut, Fay. Takut enggak ada yang mau menerimaku kalau putus dari Keenan."

"Ada! Hubungan kalian udah jadi toksik. Jangan diteruskan, itu bisa menyakiti dan menghancurkanmu, Ra." Fayka mengehela napasnya. "Dia pernah bentak kamu?"

"Pernah."

"Pernah mukul, kan? Sering?"

"Iya, sering. Kalau aku nolak keinginan dia."

Fayka mengembuskan napasnya, ingin memaki saja rasanya. Pacar Zahra bukan manusia tapi setan berwujud manusia. Kurang ajar sekali laki-laki seperti itu.

"Kamu pernah diselingkuhi?"

Zahra mengangguk lagi sambil menambah volume tangisnya.

"Pacar kamu itu setan, Keenan itu setan dalam wujud manusia. Kamu jangan mau bertahan, udahan, Ra. Jangan nyiksa diri sendiri, rasanya sakit. Kamu berhak bahagia, ya. Jangan bertahan dengan orang yang hanya bisa membuat sakit tapi enggak tahu caranya sembuhin luka itu."

"Aku harus ninggalin dia?"

"Iya, harus. Ingat, akan ada cowok baik yang menerima kamu apa adanya nanti. Yang udah berkali-kali nikah aja masih ada yang mau, apalagi kamu? Harga dirimu enggak akan habis hanya karena masalah itu. Masih jadi pacar aja dia berani main tangan, berani bentak dan kasar, gimana kalau udah jadi suami? Kamu pernah mikir gitu?"

"Itu juga yang aku takutkan."

Fayka tersenyum, Zahra masih waras ternyata. "Ya, itu. Sebelum semua terlambat, udahan, ya? Hidup kamu masih panjang, enggak sepantasnya bertahan di samping cowok bajingan kayak gitu. Ganteng, sih, kaya juga, tapi berengsek, suka nyiksa. Ya, buat apa?"

"Iya, kamu bener, Fay. Bodoh aku, aku emang tolol."

"Kamu udah besar, Ra. Mahasiswi psikologi lagi, tahu mana yang benar mana yang enggak. Kamu juga pasti tahu, kalau sifat udah kayak gitu susah disembuhkan. Orang kasar dan suka main tangan itu kadang bisa jadi kebiasaan. Sebelum terlambat, mending selamatkan apa yang bisa diselamatkan. Hati kamu, kebahagiaan kamu."

"Tapi, aku cinta sama dia, Fay."

"Apa kamu bisa hidup dengan cinta saja? Kamu yakin perasaan itu bertahan sampai tua? Kamu yakin perasaan itu bisa menjamin kebahagiaan?"

Zahra menggeleng, ia juga tidak yakin. Apalagi mengingat kelakuan pacarnya yang sudah kelewatan.

"Kita harus realistis, Ra. Hidup dengan cinta aja, kadang enggak cukup. Cinta itu bisa habis, hidup harus tentang bertahan dan berpijak. Cinta memang bisa habis, tapi komitmen? Enggak bisa, mungkin bisa lepas, tapi bisa disambung lagi. Orang kayak Keenan enggak mungkin bisa jalin komitmen, belum apa-apa udah kasar, main tangan, lebih parahnya, selingkuh. Kamu tahu? Sekali selingkuh, cowok cenderung ketagihan dan bakal ngulangin lagi."

"Iya, dalam dua tahun, dia udah tiga kali selingkuh."

"Itu yang kamu tahu. Yang enggak? Ayo, Ra. Jangan jadi tolol."

"Aku emang bodoh, ya, Fay. Bisa-bisanya bertahan sama orang kayak gitu."

"Terkadang, kita terlalu mencintai orang lain sampai lupa, diri kita masih kekurangan cinta. Yang paling penting sekarang, perbaiki apa yang masih bisa diperbaiki dan diselamatkan, ya, Ra."

"Makasih, ya, kamu enggak menghakimi aku. Ini yang bikin aku seneng curhat sama kamu. Kamu enggak langsung ngata-ngatain aku."

"No need, thanks. Kamu juga jangan lupa inget sama Tuhan, ya, Ra?"

"Iya, Fay. Aku memang jarang salat, jarang inget Tuhan lebih tepatnya."

"Nanti kamu pulang, perbaiki ibadahmu. Ibadah bisa menenangkan hati meskipun enggak bisa menyelesaikan masalahmu secara langsung. Paling enggak, kamu meletakkan nama Tuhan lagi di hatimu. Kalau udah tenang, segera akhiri hubunganmu sama Keenan. Kamu berhak bahagia, dan inget, kamu masih berharga."

"Fay ... makasih, lega rasanya. Aku harus berani melangkah, kan?"

Fayka mengengguk. Berani melangkah, ya? Sampai saat ini, Fayka masih mencobanya juga. Terkadang, memang enak memberi nasihat dan solusi untuk orang lain, tapi begitu susah melakukannya. Fayka senang membantu orang lain, mendengar orang lain bercerita, tapi sayangnya, ia masih belum bisa membantu dirinya sendiri. Mungkin nanti.

***

"Gimana skripsimu?"

Lana menggeser gelas yang berisi es kopi yang baru saja ia minum. Yasa sendiri sedang sibuk dengan laptop di depannya, tampak mengetikkan sesuatu dengan raut wajah serius miliknya.

"Ya, gini. Masih matengin produknya, sih, kalau udah kelar mungkin bisa segera ke ahli buat diuji."

"Bagus, semoga aja cepet selesai. Bulan depan, aku sidang."

Yasa berhenti mengetik, menatap Lana sekilas. "Oh, ya? Bagus dong."

"Heem, tapi grogi nih. Takut kalau enggak bisa."

"Lo kudu yakin, sih, Lan. Lo pasti bisa, namanya proses, dan ini semua harus lo lewati. Enggak usah pesimis atau mikir yang aneh-aneh."

Lana tersenyum, matanya fokus memerhatikan Yasa yang nampak tenang dan serius dengan laptopnya. Lana menyukai Yasa, jelas. Yasa itu meskipun kata teman-temannya memiliki predikat suka gonta-ganti pacar, tapi orangnya baik dan asik. Perempuan itu sudah lama menyukai Yasa.

"Sa, kamu tahu perasaanku sama kamu, kan?" Lana terbiasa memanggil Yasa dengan sebutan namanya langsung, tanpa embel-embel mas atau abang, meskipun Lana lebih muda. Karena memang lebih nyaman seperti itu.

"Heeh, kenapa, Na?"

"Sejak pertama kali kenal kamu pas semester tiga dulu, aku udah naruh perhatian lebih ke kamu, sih, Sa."

Yasa mengalihkan pandangannya, menatap Lana sekilas, sebelum kembali sibuk mengetik skripsinya.

"Sori ya, Na. Gue, kan, baru tahu akhir-akhir ini, ya, setelah kita deket."

Lana menghela napasnya sambil tersenyum. Yasa memang tahu ia menyukainya, dan tidak mempermasalahkan hal itu, bahkan belakangan ini mereka dekat setelah mengobrol lewat DM instagram.

"Enggak papa. Kira-kira, kamu lagi suka sama orang lain enggak?"

Menghela napasnya, Yasa berhenti mengetik. Ia mengalihkan pandangannya pada Lana sepenuhnya. "Lo berharap jawaban apa?"

"Ya, terserah kamu. Makanya aku nanya."

"Itu urusan gue, sih, Na."

Lana tersenyum, ia tidak ingin bertanya lebih lanjut dan mencampuri hidup Yasa. Takutnya Yasa malah jadi muak dengannya. Lana tentu saja tidak mau hal itu terjadi.

"Lo orangnya asik, Na. Ngobrol sama lo nyambung, lo juga enggak nuntut apa-apa ke gue. Malah, gue takut nyakitin perasaan lo. Secara ya, lo tahu sendiri gue gimana?"

"Well, Sa. Aku tahu kok, santai aja. Fokus sama skripsi dulu aja."

Yasa tersenyum tipis, ia mengamati sosok Lana. Perempuan itu cantik, mengenakan hijab berwarna salem, sedikit bar-bar, bahkan tidak sungkan untuk membicarakan perasaannya pada Yasa.

"Gue suka sama lo, kok, Na. Cuma, ya, sebatas suka. Kayak yang tadi gue bilang, lo orangnya asik. Tapi, gue enggak bisa ngajak lo pacaran, gue mau fokus sama skripsi gue dulu. Malu sama Nyokap, enggak lulus-lulus gue."

Lana tergelak, lalu meminum minumannya lagi sebelum lanjut berbicara. Ia lega, setidaknya Yasa menyukainya. Suka itu artinya tertarik karena ia memiliki sesuatu yang membuat Yasa tertarik.

"Enggak papa, kan, kita tetep deket gini?"

"Ya, enggak masalah, Na. Selama lo enggak punya pacar, gue oke-oke aja. Tapi, gue cuma mau ingetin, gue bukan cowok baik, Na. Jadi, kalau lo ngerasa enggak sanggup, jangan nunggu gue, cari yang lain."

Lana menggeleng sambil tersenyum. "Sa, aku suka sama kamu itu udah lama, cuma baru sekarang aja berani ngomong, ya, enggak masalah. Kalau suatu saat aku ketemu sama orang yang bisa bikin aku berpaling, ya, aku bakal pergilah. Gila aja, nungguin haha ... kamu juga silakan kalau mau deket sama yang lain, enggak ngekang."

"Sebenernya, gue kalau udah pacaran enggak pernah deket sama yang lain, Na. Istilahnya gue menganut hubungan tunggal, bukan bercabang. Cuma kalau gebetan, ya, banyak cadangan, toh belum ada status. Tapi, belakangan ini, gue tobat, sih. Fokus dululah sama pendidikan."

"Tobat juga kamu, Sa. Tapi, ya, enggak papa. Pilihan hidupmu itu, dan emang harusnya begitu sih, pendidikan lebih penting dari sekadar pacaran."

"Drama lo, Na. Ngeselin," sahut Yasa setelah ia tertawa. Lana memang agak gila. Hidupnya cenderung santai, bahkan mungkin terlalu santai.

"Deket tapi enggak jadian, hilang harga diriku, Sa. Demi kamu doang, astaghfirullah haha ...."

Yasa mendengus, kumat lagi Lana dan dramanya. "Diem lo, Na. Berisik, kan, jadi lupa gue mau ngetik apaan."

Lana makin tergelak, lalu menyomot kentang goreng yang tadi ia pesan. "Alah, pikir lagi, dong. Mantan Ketua MPM, kok, lemot, malu sama mantan anak buah kayak aku haha ...."

Yasa melempar buntalan tisu pada Lana, kesal juga lama-lama dengan Lana. Dasar perempuan aneh. Ya, baru sekali ini Yasa bertemu dengan orang seaneh Lana, tidak dipacari tapi tidak menuntut. Itu yang membuat Lana berbeda dari orang lain, tidak jaim. Tapi, entah mengapa saat bersama Lana seperti ini pun, Yasa kepikiran Fayka. Perempuan itu baik-baik saja, kan?

***

Fayka menunggu dengan harapan yang digantung oleh Pak Edo. Rasanya jantungnya seperti akan lepas saja karena berdetak terlalu cepat, tangannya panas dingin, ia gelisah luar biasa menunggu Pak Edo selesai membaca butir-butir angket miliknya. Ini sudah kesekian kali Pak Edo mengoreksi angket miliknya dan belum mendapat persetujuan juga. Rasanya, Fayka ingin pasrah saja, selalu disalahkan dan belum mencapai titik yang benar. Nindy tak kalah tegang, perempuan yang memakai jilbab dan berkacamata itu sedari tadi sudah pias wajahnya. Yasa, sih, tadi sudah selesai bimbingan, ia menunggu di luar karena revisinya tidak begitu banyak.

"Kan, saya sudah bilang ganti namanya jadi inventory, bukan angket. Anda ini mendengarkan saya atau tidak?"

"Tapi, kemarin sudah kami ganti jadi inventory, terus Bapak minta diganti jadi angket lagi."

"Kapan saya bilang gitu?"

Fayka ingin berteriak saja, amnesia Pak Edo kambuh sepertinya. Nindy yang tadi menjawab seketika kicep.

"Iya, Pak. Maaf, besok kami ganti lagi."

"Ya, harus itu. Uji klinisnya jangan lupa, nanti buat tabel, isinya nomor, nama responden, masukan dan perbaikan. Tahu, kan, uji klinis?"

"Iya, Pak. Uji bahasa," jawab Fayka.

"Sama ini, yang saya coret. Silakan diganti. Uji validitas dan reliabilitasnya jangan lupa, sekalian. Harus pakai SPSS yang versi baru, yang dua puluh satu ke atas."

"Iya, Pak. Jadi, kalau ini sudah diperbaiki, bisa lanjut ke uji ahli?"

Pak Edo mengangguk sambil menyenderkan tubuhnya di badan kursi. "Cukup ke saya saja, sama nanti buat format tanda tangan ke ketua jurusan. Setelah itu, bisa uji klinis,validitas dan reliabilitas. Untuk uji klinis cukup kelompok kecil, uji validitas dan reliabilitas, pilih responden yang majemuk."

"Iya, Pak. Baik, terima kasih banyak," kata Fayka, wajahnya tampak lega dan bahagia. Karena kalau harus uji ahli ke penguji satu atau dua pasti akan dipersulit lagi, maklum antara pemikiran Pak Edo dan dua penguji itu pasti berbeda, nanti akan dirombak lagi, dan pasti tambah lebih stres.

"Ya, sudah. Kalian boleh keluar," pungkas Pak Edo—mengusir Fayka dan Nindy untuk segera keluar dari ruangannya.

Setelah keluar dari ruangan Pak Edo, Fayka tersenyum semakin lebar. Baru disetujui angket—inventory saja rasanya sudah bahagia, karena untuk mendapatkan persetujuan dari Pak Edo, sulitnya bukan main. Dosen paling sulit di jurusannya, ya, Pak Edo, semua orang di jurusan tahu itu. Sudah begitu, pembimbing satunya juga tidak kalah rewel, jadilah sangat pantas grup skripsinya dijuluki grup neraka.

"Gimana? Beres?" tanya Yasa setelah melihat wajah dua orang perempuan yang ia kenal tampak bahagia.

"Udah disetujui angketnya. Ada revisi dikit, sih," sahut Nindy sambil duduk di sebelah Yasa.

"Lega, akhirnya ada sedikit angin segar. Udah mumet juga sama angket," keluh Fayka sembari duduk di depan Yasa. Seperti biasa, mereka duduk di gazebo yang ada di dekat kantor dosen.

"Tuh, makanya kudu sabar lo pada. Enggak usah ngeluh mulu."

"Ngeluh tuh manusiawi, Bang."

Yasa mendengus mendengar jawaban Fayka. "Manusiawi, sih, tapi, ya, enggak boleh berlarut-larut."

"Eh, eh bentar ... kalian kemarin habis liburan bareng, kan?" kata Nindy tiba-tiba, matanya menyipit, menatap Fayka sambil menahan senyum.

"Apaan sih, Ndy. Kepo kamu."

"Iyalah, kenapa? Iri lo?"

"Yeee, enggak. Cuma, serius nih? Liburan? Aku lihat instastory kalian loh. Kayak double date gitu haha ...."

"Ngawur, adiknya Bang Yasa itu sama temennya. Aku nemenin adeknya kemarin, enggak double date."

"Iya juga enggak papa, ya, kan, Bang?" Nindy menaik turunkan alisnya, menggoda Yasa dan Fayka.

"Ndy, Ndy. Lo udah tahu ini anak satu enggak bisa digoda, malah lo godain. Suka enggak waras lo, Ndy."

"Halah, ngaku aja kalian. Cocok kok."

Fayka menggeleng sambil menatap Nindy dengan malas, "Bang Yasa udah ada pacar baru. Jangan sembarangan kamu, Ndy."

"Kata siapa?" sahut Yasa.

Fayka menelan ludahnya susah payah. "Tadi, enggak sengaja lihat Bang Yasa nganterin cewek ke fakultas sebelah. Si Lana, kan?" balas Fayka, memang saat berangkat tadi, ia melihat Yasa ada di depan Fakultas sebelah, bersama seorang perempuan cantik yang diduga Fayka adalah pacar baru Yasa. Jalan menuju kosan Fayka memang lewat fakultas itu, Fakultas Hukum, jadi tidak heran jika ia berpapasan dengan Yasa.

"Lo, cemburu, Fay?"

"Eh?" dahi Fayka mengerut, tidak terima dengan ucapan Yasa meski hati kecilnya membenarkan. "Ngawur weh."

"Haha ... merah wajahmu, Fay. Beneran cemburu?" goda Nindy, Fayka yang merasa sangat malu lalu mengambil tasnya dan meninggalkan dua manusia itu.

"Yeee, kabur. Tungguin woy!" kata Yasa, ia menyusul Fayka setelahnya.

Fayka terus berjalan, tidak memedulikan Yasa yang menyusul di belakang. Ia ingin segera pulang dan mengistirahatkan badannya. Untung kosannya tidak begitu jauh dari kampus, jadi ia lebih memilih jalan kaki. Namun, langkah kaki Fayka berhenti saat ia melihat sosok Zahra yang sedang berdebat dengan seorang laki-laki, di antara dua bangunan gedung yang lumayan sepi.

"Ra?" panggil Fayka, Zahra menoleh dengan air mata yang sudah membasahi pipinya.

"Fay, tolongin."

"Keenan?" tanya Fayka memastikan. Ia memang pernah melihat pacar Zahra dari instagram, itupun tidak sering, jadi, ya, takut salah. Pacar Zahra juga bukan anak Fakultas Psikologi, meskipun mereka masih satu kampus.

"Iya, ini Keenan."

Fayka mengembuskan napasnya sebelum mendekati Zahra.

"Aku udah putusin dia, tapi dia enggak mau."

"Keenan, kamu setuju buat jauhin Zahra atau kami laporkan atas tuduhan penganiayaan?"

"Kamu siapa? Enggak usah ikut campur!" Keenan membentak, ia menatap tajam ke arah Fayka, tidak suka jika seseorang mencampuri urusannya.

"Aku temannya Zahra. Aku tahu apa yang udah kamu lakuin sama Zahra. Kamu mau ninggalin Zahra atau aku beneran laporin kamu ke polisi atas tuduhan penganiayaan dan mungkin pelecehan?" ucap Fayka dengan berani, meskipun nadanya sedikit bergetar, karena ia juga takut dengan sosok Keenan ini.

"Jancok! Enggak usah ikut campur, Sialan!"

"Bung, santai. Enggak usah teriak ke cewek lo. Banci!" maki seseorang yang tiba-tiba datang. Itu Yasa, suara dan gaya bahasanya terlalu familier di telinga Fayka. Yasa tadi mengikuti Fayka karena urusannya dengan Fayka belum selesai, malah melihat pertengkaran ala sinetron.

"Enggak usah ikut campur kalian!"

"Gimana enggak ikut campur? Lo bentak-bentak ke perempuan. Kasar gini, banci lo?"

"Ini urusanku sama Zahra. Enggak usah ikut campur."

Yasa tersenyum mengejek. "Kalau lo enggak nyakitin cewek, ya, gue enggak ikut campur. Masalahnya, Bung ... gue bukan banci yang bakal diem aja ngelihat orang kasar sama cewek gini. Banci tahu lo!"

Keenan yang diliputi emosi langsung memukul Yasa, tepat mengenai pipi laki-laki itu, membuat Fayka dan Zahra terkejut. Gila! Mereka membuat keributan di kampus.

"Eh anjir, muka gue ditonjok lagi. Setan lo! Gue bisa jadiin ini sebagai bukti penganiayaan dan lo bisa dipenjara. Kagak usah macem-macem lo sama gue, dasar Banci. Ayo, maju sini lo!"

Keenan mendengus. "Sialan!" maki Keenan, ia lalu menatap tajam ke arah Yasa, lalu setelahnya memilih pergi.

"Sialan tu orang, sakit anjir pipi gue."

"Bang Yasa, m—makasih, maaf, itu Keenan udah nonjok Bang Yasa," ucap Zahra merasa tidak enak. Untung saja suasana kampus sepi, jadi tidak ada yang melihat kejadian ini.

"Udah enggak papa. Gue baik-baik aja. Yang penting kalian enggak kenapa-napa." Yasa meringis, pipinya pasti akan membiru nantinya. "Tadi, pacar lo?"

"Mantan."

Yasa mendengus. "Drama banget anjir. Banci tu orang. Bisa-bisanya lo punya pacar begitu, lain kali hati-hati, ya, lo."

"Iya, maaf, ya? Dan makasih udah dibantu ngusir Keenan."

"Hmm. Yaudah, gue cabut dulu. Fay, yok, gue ada perlu sama lo."

"Hah, apa?"

"Ada titipan dari Seina buat lo," pungkas Yasa, lalu mengajak Fayka untuk segera pergi. Masalahnya, titipan itu masih ada di kosan Yasa karena ukurannya tidak muat untuk diletakkan di dalam tas.

"Ra, pergi dulu, ya. Cepet pulang!"

"Iya, makasih, ya, Fay. Maaf buat hari ini."

Fayka mengangguk, lalu menyusul Yasa yang sudah berjalan lebih dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro