Sisi Lain
Jejak air mata tampak jelas di wajah Fayka. Perempuan itu baru saja menangis beberapa waktu lalu, menatap nanar tumpukan kertas yang telah dicoret-coret oleh Pak Edo, beberapa buku juga berserakan. Perut Fayka rasanya penuh, meski sejak siang ia belum makan, nafsu makannya mendadak hilang sewaktu ingat, teman-temannya yang lain sudah memiliki jadwal seminar proposal sedangkan dirinya masih berkutat di latar belakang.
Perasaan gelisah, takut, capek mendominasinya saat ini. Pikirannya melayang ke mana-mana, bagaimana jika ia nanti telat lulus? Bagaimana jika ia harus melakukan perpanjangan semester? Pasti ibunya akan—
Drrrttt ... drrrtttt ....
Ponsel Fayka bergetar, panjang umur! Perempuan yang melahirkannya ke dunia mengiriminya pesan melalui WhatsApp. Tangannya bergetar, Fayka membuka pesan dari ibunya. Tidak banyak, hanya dua bait kalimat yang menyakitkan.
Ibu: Sepupumu bulan depan sidang skripsi, kamu kapan? Jangan bikin malu ibu, ya.
Fayka melempar ponselnya ke atas kasur, air mata kembali mengalir. Ia menangis sesenggukkan, diiringi lagu-lagu sendu yang ia putar secara acak lewat spotify. Selalu seperti ini, ibu selalu menekan kehidupannya, menuntut Fayka untuk selalu sempurna di mata keluarga besar mereka. Fayka harus yang terdepan dan selalu paling depan dibandingkan dengan para sepupunya, tak jarang, Fayka juga dibanding-bandingkan dengan saudaranya yang lain jika ibu merasa bahwa apa yang didapatkan Fayka kurang.
Terkadang, Fayka membenci hidupnya.
"Aku capek, Tuhan."
Fayka mengerang, menjambaki rambutnya sendiri, sampai beberapa helai rambutnya berjatuhan di lantai. Sepertinya, ia mulai merasa stres dengan hidupnya belakangan ini. Oh, tentu bukan belakangan ini saja, semenjak remaja mungkin, semenjak ia tahu apa itu rasa sakit hati. Jujur, Fayka iri dengan anak-anak yang tidak pernah dituntut ini itu oleh orang tuanya.
Setelah cukup lama, Fayka lantas meraih ponselnya lagi, mencari kontak nama Mas Jefran di benda pipih berwarna hitam miliknya itu. Apalagi jika tidak meminta uang, bulan ini kakak kandungnya itu mungkin lupa mengiriminnya uang, dan Fayka tidak bisa hidup tanpa uang pemberian keluarganya. Jelas saja! Ia pengangguran, niat hati ingin kerja part time tapi apadaya tidak ada yang cocok dengannya.
Selesai mengirim pesan pada kakaknya, Fayka mendapati ponselnya kembali berbunyi, panggilan telepon dari Yasa, membuat dahinya menimbulkan kerutan. Tumben sekali Yasa menelepon.
"Assalamualikum, kenapa Bang?" tanyanya langsung, malas berbasa-basi.
"Bawa jaket, pake baju yang panjang, terus keluar. Gue di depan."
Fayka melongo, sejenak menjauhkan ponsel dari telinga. Ia menatap tidak percaya pada benda mati yang sedang dipegangnya itu.
"Hah?" katanya lagi setelah tersadar, baru saja melakukan kebodohan.
"Cepetan! Gue tunggu."
***
Fayka benar-benar dibuat kesal oleh Yasa. Pasalnya, laki-laki itu tidak memberitahu jika ia harus pakai helm, jadilah Fayka bolak-balik ke kamarnya untuk mengambil helm, dengan bodohnya ia mau saja menuruti ucapan si gila bernama Yasa itu.
"Ini kita mau ke mana?"
"Muter-muter Surabaya, gue lagi suntuk sama skripsi."
"Ya, terus kenapa ngajak aku? Kan, gebetan banyak," protes Fayka, Yasa tidak menjawab, laki-laki itu malah kembali menutup helmnya dan fokus menyetir motor matiknya.
Sebenarnya si Yasa itu tipe laki-laki yang tidak banyak omong jika bukan kepada orang-orang yang dikenal dekat, dan entah mengapa belakangan ini, Fayka merasa Yasa menjadi sosok yang cerewet saat bersamanya.
"Bang! Yaelah, mau ke mana, sih, ini?"
"Udah gue jawab."
Fayka mendengus. "Tau ah, kesel aku. Serah!"
Memilih diam, Fayka mencoba menikmati udara sore menjelang matahari terbenam. Kendaraan sangat ramai karena memang arus pulang. Ia tidak peduli Yasa akan membawanya ke mana, yang pasti, saat ini Fayka tidak munafik kalau ia juga butuh hiburan. Beban di semester akhir membuat otaknya bekerja terlalu keras belakangan ini, pun dengan hatinya.
"Kok, ke Suramadu? Bang Yasa mau culik aku?"
"Ngaco. Lo nggak laku kalau dijual, rugi!"
"Laku tau! Organku laku milyaran ini."
"Ide bagus, gue jual aja sekalian."
"Eeeee ngawur."
Yasa tertawa, angin sore yang berasal dari angin laut membawa nuansa yang berbeda, matahari mulai berwarna orange di ujung barat, memantulkan cahayanya ke langit, membuat landscape yang sangat indah jika dilihat dengan mata telanjang.
"MasyaAllah, indah sekali langitnya. Aaaaa, foto. Ponsel ... ponsel," ucap Fayka heboh sendiri, perempuan itu lantas sibuk memotret beberapa pemandangan dari atas motor Yasa yang bergerak pelan.
Suara kendaraan, embusan angin dan pemandangan yang menakjubkan seakan memberi ketenangan jiwanya yang sejak tadi gelisah. Fayka benar-benar menikmati momen yang tidak setiap hari ia lihat ini.
"Gue tadi lihat status lo galau di WA story, karena gue juga lagi suntuk sekalian aja gue ajak lo jalan, lo tentu masih inget, salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menguraikan pikiran yang kusut, ya, dengan rekreasi, nggak perlu keluar banyak biaya, rekreasi bisa dilakukan dengan cara sederhana kayak gini."
Fayka membuka matanya, menatap punggung Yasa dengan tidak percaya. Ia diam sejenak, hatinya kembali berdenyut sakit saat mengingat ucapan ibunya beberapa waktu tadi. Kelihatannya sepele, tapi abuse psikis melalui ucapan sejatinya menimbulkan luka yang tidak akan bisa disembuhkan. Dari kecil, Fayka mendengar ucapan-ucapan tidak mengenakkan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga ketika besar, ia tumbuh dengan rasa ketidakpercayaan diri yang besar dan perasaan gelisah yang tidak dapat dibendung.
***
"Minggu depan, gue mau balik ke Jakarta."
Fayka menghentikan kunyahan ayam penyet kesukaannya, melihat ke arah Yasa yang sibuk dengan piring berisi pecel lele milik laki-laki itu.
"Ada masalah di rumah?"
Yasa mengangguk, lalu meminum es tehnya sebelum kembali bersuara. "Nyokap sakit, gue, kan, anak paling tua, Bokap udah nggak ada. Ya, terpaksa harus pulang."
"Sakit apa?"
"Gue belum tahu, Nyokap nggak mau bilang."
Fayka manggut-manggut, menatap penuh prihatin pada Yasa. Ternyata, laki-laki ini cukup perhatian dengan keluarga, ya, meski tampangnya slengekan.
"Semoga ibunya cepat sembuh, ya, Bang."
"Nanti izinin Pak Edo, ya, gue bakal WA juga, sih, nanti. Cuma, kan, lo tahu sendiri, Pak Edo orangnya gampang lupa alias pikun."
Fayka tergelak, fakta baru yang mungkin orang lain tidak tahu kecuali mahasiswa yang bimbingan dengan Pak Edo—bahwa pria tua itu suka lupa, entah itu lupa nama mahasiswa, lupa menaruh kunci, sampai lupa memasukan nilai ke sistem akademi kampus.
"Bener tahu, Bang. Waktu itu, pernah tuh pas aku bimbingan sama si Nindy, orangnya lupa naruh perekat tisu basahnya di mana, ya, aku sama Nindy disuruh nyariin sampai kami mumet, bayangin dong, perekat bungkus tisu basah, nggak penting banget, kan?"
"Emang, tuh orang satu suka gaje kadang. Mungkin niat ngerjain mahasiswanya."
"Bisa jadi, sih."
Dua anak manusia itu lalu melanjutkan acara makan malam mereka, di kedai penyet ayam yang berada di sekitaran kos mahasiswa.
"Fa. Gue mau minta pendapat lo."
"Apaan?" alis Fayka terangkat, ia menunggu pertanyaan Yasa.
Laki-laki itu lalu merogoh ponsel dari saku celananya lalu membuka galeri ponsel dan menyodorkan foto seorang perempuan pada Fayka.
"Lo kenal Helda, kan?"
"Kenal, kan, seangkatanku, cuma beda kelas aja sih, dia anak kelas C. Kenapa, deh? Gebetan baru?" tembak Fayka langsung, tidak perlu basa-basi, Fayka bisa menebak arah pembicaraan Yasa, melihat—reputasi Yasa selama ini, teman-temannya, sih, bilang, Yasa itu bajoel-nya psikologi.
"Nah, itu lo tahu. Gimana menurut lo anaknya?"
"Oooo, jadi ngajak aku jalan sama makan cuma mau tanya Helda?"
"Nethink mulu lo."
Perempuan itu terlebih dahulu mencuci tangannya dengan air kobokan sebelum menjawab pertanyaan Yasa.
"Baik, kok. Pendiem, sih, anaknya, terus? Ya emang cantik, selera kamu banget, deh, Bang. Cantik, tinggi, putih, mancung, mulus, ya, gitulah."
"Tahu dari mana lo dia selera gue?"
Fayka hampir tersedak, Yasa bertanya saat ia menghabiskan sisa es di dalam gelas. "Ya, kan, biasanya cowok suka modelan cewek kayak gitu. Nggak usah munafik deh."
"Yeee, Tuyul! Sok tahu lo, nggak semuanya suka yang begitu."
Fayka tersenyum malas. "Buktinya?" katanya lalu menghela napas sebelum melanjutkan pembicaraan. "Coba deh, kalau ada aku si cewek pendek, nggak gemuk nggak kurus, muka ada bekas jerawatnya, kulit enggak putih gini, agak bar-bar, dibanding si cewek macem Helda, aku yakin cowok-cowok pasti banyak yang ngelirik Helda."
"Mungkin banyak, tapi, kan, nggak semua. Lo nggak usah menggeneralisasi deh, Fay."
"Nggak gitu, Bang. Aku realistis tahu, sadar dirilah. Makanya, sampe sekarang masih aja jomlo."
Yasa mendengkus. "Nggak ada korelasinya. Lo jomlo karena pikiran lo sendiri yang nggak mau menerima diri lo apa adanya, yang selalu mandang orang lain lebih tanpa tahu bahwa diri lo sendiri berharga, lo yang enggak pernah mau bangga sama diri sendiri dan selalu menutup akses cowok lain buat ngedeket."
"Tahu dari mana aku nutup akses?"
"Temen gue pernah ngedeketin lo, lonya aja yang nggak peka."
Fayka berdecak, memandang malas pada Yasa. "Jadi, sejak kapan deket sama Helda?"
"Kepo!" pungkas Yasa sambil terkekeh, membuat Fayka kesal.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro