Sesi Konseling
Kamu tidak sendiri, saya bersamamu. Seberat apa pun pelik yang sedang memelukmu kini, saya bersamamu, selalu. Mari kita saling menggenggam, dan menghadapinya bersama.
"Jadi, penelitiannya buat dua orang?" Rommy—Guru BK di sekolah itu menatap surat yang dibawa Fayka.
"Iya, Pak. Saya sama teman saya, itu di situ ada dua surat. Kalau Bapak butuh proposal penelitian saya dan teman saya, nanti bisa saya antar," kata Fayka menjelaskan, ia tadi sempat membuatkan surat izin Nindy juga. Beruntung, ia melakukan penelitian di sekolah menengah pertama, proses perizinannya tidak begitu sulit, tidak harus melalui Bakesbangpol dulu, melainkan langsung ke sekolah, coba saja ia melakukan penelitian di sekolah menengah atas, pasti ribet sekali. Harus mendapatkan izin dari Bakesbangpol baru bisa lanjut ke sekolah yang dituju.
"Oke, nanti saya kabari. Tapi, sepertinya bisa, kok, ini, cuma suratnya harus masuk ke humas dan wakasek dulu. Enggak masalah, kan, ya?"
Fayka mengangguk dengan wajah yang berbinar—ia hampir frustrasi mencari tempat penelitian dan akhirnya ia memiliki kejelasan, ya, meski harus tetap menunggu.
"Boleh, Pak. Nanti saya tinggal nomor saya di amplop suratnya, biar gampang dihubungi."
"Paling besok sudah bisa, Mbak. Ini untuk bulan depan, kan?"
"Iya, Pak kalau tidak ada halangan. Saya juga butuh uji buat angket saya dulu soalnya. Kalau misalnya jadwalnya agak geser sedikit gitu, apa enggak masalah?"
"Bisa-bisa saja, tapi saran saya jangan dekat sama waktu ujian, berhubungan kita juga lagi nyiapin buat UN, jadi memang nanti sekolah juga banyak liburnya."
"Iya, saya usahakan, Pak. Terima kasih."
Rommy tertawa kecil sambil menoleh pada Yasa yang daritadi sibuk dengan ponselnya, laki-laki itu beberapa kali mengerutkan dahinya saat melihat ponselnya.
"Sibuk opo, Sa?"
Yasa nyengir, buru-buru menutup ponselnya, lalu tersenyum tidak enak pada seniornya itu. Rommy dua tahun di atasnya, dulu mereka lumayan dekat karena satu organisasi, tapi setelah Rommy lulus, mereka memang jarang bertemu lagi.
"Eh, Mas. Enggak, kok, gue cuma ngecek WA dari Nyokap."
Rommy tergelak. "Iki pacarmu ta, Sa?" kata Rommy sambil menunjuk ke arah Fayka. Yasa sendiri memang sedikit banyak mengerti Bahasa Jawa, sekadar mengerti, jadi ia paham apa yang dimasud oleh Rommy.
"Eh, enggak, Pak. Bukan pacar saya, kami satu bimbingan," balas Fayka tidak enak. Pacar Yasa? Hah, never. Bisa mati muda dia memiliki pacar yang punya gebetan di mana-mana seperti Yasa.
"Haha ... malu, Mas anaknya. Lo ada-ada aja elah."
"Loh, enggak pacaran? Cocok loh, Sa. Biasanya, ada yang bening dikit kamu gebet." Rommy masih ngotot menggoda dua anak manusia itu—tidak mau mengalah.
"Orangnya enggak mau, Mas. Ya, masa gue akuin jadi pacar?"
"Jadi, ditolak?"
Yasa tertawa, melihat ke arah Fayka yang mukanya sudah memerah—Fayka malu. Yasa malah ikutan menggodanya, sialan jantan satu ini.
"Lebih cocok jadi adek, Mas. Dia kayak adek gue sendiri."
Fayka bernapas lega, kewarasan Yasa sudah kembali, akhirnya.
"Adek ketemu gede? Adek rasa pacar? Basi, Sa."
Yasa nyengir lagi, Fayka jadi menghela napasnya malas. Ingin marah pada dua orang itu, tapi nanti tidak sopan. Lagi pula, ia sangat butuh bantuan Rommy untuk penelitiannya ini. Jangan sampai, Rommy memberinya cap mahasiswi tidak sopan dan tidak jadi membantunya, itu buruk sekali..
"Ya, lihat ntar aja, Mas. Jodoh enggak ada yang tahu, siapa tahu ini anak jodoh gue. Saat ini, kita beneran cuma temen, Mas, enggak usah aneh-aneh lo. Apalagi sampe lo sebarin di grup ntar," kata Yasa sambil mengancam, Rommy sebenarnya agak rese, suka mengolok-olok Yasa kalau punya gebetan baru. Di grup mereka—grup anak-anak kampus yang dulu tergabung di sebuah partai kampus, banyak juga yang seperti Yasa. Sayangnya, Yasa-lah yang paling sering kena sasaran.
"Wah ide bagus, nanti judulnya gini. Yasa nganterin adek jadi-jadiannya buat nyari tempat penelitian. Kapok," ujar Rommy sembari tertawa, Yasa mendengus.
"Ember bocor lo, udah gue mau cabut dulu. Lama-lama di sini bisa darah tinggi gue." Yasa melirik ke arah Fayka yang wajahnya sudah pias. "Ayo, pulang!"
Fayka menatap tidak enak pada Rommy yang masih saja tertawa karena berhasil membuat Yasa kesal. Perempuan itu lalu berdiri dari duduknya, mengambil tas ransel yang tadi ia letakkan di atas lantai, sambil mengusap tangan kanannya ke pakaian yang ia gunakan, ia menunggu Rommy berhenti tertawa.
"Pak Rommy, saya tunggu kabar baiknya, ya. Saya pamit dulu," ucapnya setelah Rommy berhenti tertawa.
"Eh, iya. Besok saya kabari," pungkas Rommy—ia mendapatkan jari tengah dari Yasa. Untung di ruang BK hanya ada mereka bertiga, kalau saja ada murid Rommy, sudah pasti tamat mereka.
***
"Ibu kemarin marahin kamu?"
Jefran membuka obrolan—kakak laki-lakinya itu memang lumayan sering mengunjunginya saat ia berada di Surabaya. Fayka beruntung, setidaknya Jefran masih memedulikannya.
"Tahu dari mana?"
"Ibu kemarin sampai rumah marah-marah, ngadu sama Ayah."
Fayka tersenyum masam, selalu seperti ini. Ibunya selalu mengadu yang aneh-aneh pada ayahnya, ya, walau ayahnya tidak akan terlalu peduli, tapi Fayka merasa tidak nyaman. Berselisih dengan ibu sendiri memang situasi yang sangat tidak enak.
"Aku enggak papa."
Jefran menghela napas, adiknya memang tertutup. Kalau tidak didesak, Fayka tidak akan menceritakan semua masalahnya, atau apa yang perempuan itu rasakan. Memilih untuk memendamnya sendiri di dimensi sakitnya.
"Udah ke psikolog?"
Fayka menggeleng. "Belum sempet, kemarin sibuk nyari tempat buat penelitian sama bikin angket."
"Fay, kamu itu mahasiswi psikologi, kamu pasti tahu pentingnya kesehatan buat mentalmu sendiri. Kenapa masih ditunda? Uang yang Mas transfer kurang? Kalau iya, nanti Mas tambahin lagi."
Fayka menggeleng, sangat cukup. Jefran mengirimkan dua juta ke rekeningnya untuk pergi ke psikolog. Tarif psikolog di sini juga tidak semahal itu sampai-sampai uang dua juta tidak cukup.
"Iya, Mas. Habis ini, aku udah janjian, kok, sama psikolognya."
"Kapan? Emang orangnya enggak buka praktek?"
"Buka, Mas. Orangnya praktek di biro psikolog, deket-deket sini kok."
"Sekarang buka? Kalau iya, Mas anterin sekarang. Mumpung lagi enggak ada kegiatan. Kamu selesein dulu makanmu."
"Tapi harus janjian dulu, Mas."
Jefran menggeleng. "Enggak, langsung saja. Nanti kalau janjian, ya, udah. Setidaknya ke sana dulu, biar Mas tahu kamu beneran ada niat buat ke sana."
Fayka menghela napasnya, ia pasrah. Jefran memang sedikit keras kalau ia mulai melenceng atau mulai hilang kendali. Seperti hari ini, Jefran pasti tidak akan berhenti sebelum ia menyetujui.
"Iya, iya."
"Bagus. Habiskan makanmu, Mas mau bayar dulu."
Fayka mengangguk, lalu menghabiskan sisa makanannya.
***
Fayka tadi sempat mengirim pesan pada psikolognya untuk mengganti jadwal konseling. Kebetulan, hari ini psikolognya praktek dan punya tidak terlalu sibuk, jadi bisa untuk memulai sesi asesmen hari ini. Namun, sebelum itu Fayka harus mengisi formulir data diri terlebih dahulu, berupa nama, usia, hal yang dikeluhkan dan beberapa gejala yang dia alami, mungkin untuk asesmen singkat sebelum dimulai sesi konseling. Seorang psikolog memang harus benar-benar paham masalah yang dialami oleh kliennya, tidak bisa sembarangan, atau nanti akan fatal akibatnya.
Fayka duduk di depan resepsionis bersama Jefran, laki-laki itu tentu saja sibuk dengan ponselnya. Jefran memang tidak bisa lepas dari ponsel itu, entah itu berurusan dengan pekerjaan atau mungkin sibuk menghubungi calon istrinya, Mbak Vinna.
"Fay, kamu enggak usah peduliin omongan Ibu. Fokus sama hidup kamu sendiri, jangan anggap ancaman Ibu itu serius. Kamu sendiri tahu gimana Ibu, kan?"
"Mas, dulu juga gitu?"
Jefran mengangkat kedua bahunya. "Ibu memang cerewet."
"Mentalku kayaknya belum sekuat itu buat menganggap omongan Ibu angin lalu."
"Mas tahu, Fay. Enggak papa, jangan khawatir. Inget loh, kamu punya Mas sebagai saudara."
Fayka tersenyum haru menatap Jefran. Mungkin Jefran memang bukan kakak yang sempurna, tapi Jefran tidak pernah lelah untuk merangkul Fayka saat Fayka merasa sendiri. Karena Jefran, Fayka masih bisa membawa kewarasannya hingga saat ini.
"Mbak Fayka? Ayo, bisa masuk sekarang," seorang pegawai memanggil Fayka, mempersilakan untuk masuk.
"Mas enggak usah ikut, ya? Biar aku sendiri."
"Loh, kenapa?"
"Enggak papa, aku malu nanti malah enggak keluar curhatnya. Ya, please."
Jefran menarik napas, lalu mengangguk. Membiarkan Fayka mengekori pegawai biro yang tadi memanggilnya. Laki-laki itu hanya berharap, adiknya segera membaik.
Psikolog yang dimaksud oleh Dicky adalah seorang perempuan muda berwajah lembut. Cantik, kesan pertama yang diterima oleh Fayka sewaktu melihat perempuan itu. Lalu, perempuan itu mengenalkan dirinya sebagai Disi.
"Saya, Fayka, Bu," kata Fayka sambil menjabat tangan Disi.
"Panggil Mbak aja, Fay. Biar lebih nyaman."
Fayka mengangguk menyetujui, memanggil Ibu rasanya memang tidak terlalu nyaman, terasa ada jarak. Lagi pula, Disi juga masih muda dan tampak sangat ramah. Fayka lalu duduk di depan Disi, perempuan itu mengamati formulir yang tadi ia isi sebelum beralih pada Fayka.
"Kamu mahasiswi psikologi, Fay?"
"Iya, Mbak. Semester delapan."
Disi mengerutkan dahinya. "Di kampusmu bukannya ada biro psikologi juga?"
Fayka menghela napasnya, pandangan matanya tampak redup. "Kalau sama dosen sendiri enggak nyaman, Mbak. Karena sebagian masalah saya datangnya juga dari dosen."
"Oh, begitu. Iya, memang sih, kalau konseling sama orang yang dikenal agak enggak nyaman, ya, Fay? Kurang bebas rasanya."
"Iya, makanya saya ke sini."
Disi menganggukkan kepalanya, tampak mencoret kertas formulir milik Fayka. Mungkin menandai beberapa hal yang hendak ditanyakan.
"Coba kamu ceritakan masalahmu, Fay," Disi bertanya dengan suara lembut, kedua tangan bertumpu di atas meja, matanya fokus menatap Fayka, seolah memberi kekuatan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Ini tentang saya dan Ibu. Hubungan kamu buruk sejak dulu, Ibu selalu memaksa saya untuk memenuhi semua ekspektasinya, Ibu sering berkata kasar dan melukai hati saya. Bahkan, beberapa kali, Ibu menyuruh saya untuk mati saja, daripada hidup tapi tidak berguna. Saya merasa hancur, enggak percaya diri, dan kecewa. Itu sangat melukai saya. Keluarga saya juga tidak begitu baik, mereka seringkali tidak menganggap saya ada atau, hanya kakak saya dan Tante Mel yang baik pada saya."
"Ekspektasi yang seperti apa itu, Fay?"
"Seperti, saya harus sekolah di tempat yang bagus, semua nilai harus bagus, harus bisa mengungguli semua sepupu-sepupu saya, saya harus segera lulus kuliah. Terkadang, saya sudah berusaha tapi itu sulit, apalagi proses skripsi ini, saya benar-benar capek."
"Kenapa dengan skripsimu?"
Fayka menghela napasnya berat. "Saya bertemu dosen yang sulit. Saya sudah menuruti semua kemauannya tapi tetap saja terasa salah, teman-teman saya sudah banyak yang selesai penelitian, mereka akan segera sidang dan lulus. Saya? Penelitian saja belum, dosen saya sulit ditemui, beberapa kali perundingan kami alot dan beliau banyak lupa, sehingga saya harus mengulang beberapa hal dari awal. Orang-orang termasuk Ibu saya akan sulit percaya tentang proses skripsi yang sedang saya jalani, kalau mereka tidak mengalaminya sendiri. Bahkan, di saat kemarin libur semester, saya memilih tidak pulang, selain menghindari Ibu, saya juga menghabiskan waktu untuk skripsi saya."
Disi memberi senyum hangat yang menenangkan. Perempuan itu lantas melanjutkan beberapa proses asesmen terhadap Fayka, juga mengajukan beberapa pertanyaan yang mungkin dirasa perlu penjelasan lanjutan. Mereka terlibat obrolan panjang yang cukup lama.
"Kamu suka menyendiri?"
"Iya."
"Di dalam gelap?"
"Iya, di dalam gelap, tidak ada siapa pun, hanya saya dan pikiran saya sendiri."
"Tidak suka keramaian?"
"Iya, saya sangat benci keramaian. Menyendiri di dalam gelap adalah hal yang terbaik."
"Kamu bilang pernah melukai dirimu sendiri? Sejak kapan? Dan bagaimana itu?"
"Iya, saya senang dan lega saat membenturkan kepala saya ke tembok, menyilet tangan saya atau paha. Itu terjadi sejak kecil, saat masih kecil, setiap kali Ibu marah dan mengatai saya, saya selalu berpikir untuk mati. Buruk sekali, Mbak. Menginjak SMA saya mulai menyileti badan saya, dan agak berhenti di perkuliahan, tetapi belakangan ini, saya lebih sering relaps."
"Sebagai mahasiswi psikologi? Kamu tahu, kan, itu enggak baik dan bisa jadi candu?"
"Iya, saya tahu. Dan karenanya saya memutuskan untuk menemui Mbak Disi."
Disi lalu mencatat lagi beberapa hal dan mengajukan pertanyaan lagi terhadap Fayka. Sebelum menentukan diagosisnya terhadap Fayka, memang tidak bisa sembarangan dan perlu menggali masalah lebih dalam.
"Saya pikir kamu terkena depresi, Fay. Berhubung masalahmu sudah lama. Kamu juga sering cemas tanpa alasan, ya, bahkan saat melakukan hal-hal kecil?"
"Iya, saya selalu gelisah dan cemas, bahkan tanpa alasan."
"Anxiety disorder juga. Depresi sedang dan anxiety disorder. Tapi, diagnosis ini hanya awal, saya masih harus melakukan konseling lagi lebih dalam, bisa saja ini berubah. Oh iya, mood kamu apa sering berubah tanpa sebab?"
Fayka menggeleng. "Enggak sepertinya, Mbak. Saya lebih sering sedih daripada bahagia."
"Okey. Dua minggu lagi bisa kamu kembali? Selama itu, coba catat saat-saat kamu relaps, perasaan kamu dan tindakan yang kamu lakukan. Nanti kita bertemu dua minggu lagi. Untuk sementara ini karena kamu juga sudah paham, setiap kali relaps, usahakan terapin reframing, dan sering-sering dengerin musik instrumen ya, Fay? Sebelum saya memulai terapi nanti."
"Iya, Mbak. Saya akan ingat itu dengan baik."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro