Semua Tidak Lagi Berada di Tempat Semula
Cinta yang kamu agungkan telah menyumbang luka paling besar dalam hidupku, cinta yang kamu yakini telah membuatku terhempas ke dalam palung sakit dan tak tahu caranya menyembuhkan. Cinta yang kamu biarkan hidup, nyatanya membuatmu memilih meninggalkan dan melepas. Sebenarnya, cinta macam apa yang kamu miliki?
Yasa menatap punggung Fayka yang menghilang di balik pagar kosannya. Laki-laki itu masih diam di depan kosan Fayka, memastikan bahwa Fayka benar-benar masuk ke dalam kosannya. Menghela napas, ia masih tak habis pikir dengan keluarga Fayka yang begitu rumit. Mata laki-laki itu lalu berserobok dengan Lea dan Nida yang akan masuk ke dalam kosan. Dua perempuan—adik tingkat Yasa yang juga teman Fayka, Yasa jelas tahu, karena dulu pernah satu kelas dengan mereka, dan biasanya dua orang itu adalah dua di antara tiga orang yang sering ngobrol dengan Fayka.
"Woiii, Nid, Re!"
Nida dan Rea yang hendak memasukan motor tidak melanjutkan kegiatannya, dua perempuan itu memandang sosok Yasa sedikit terkejut. Berbagai pertanyaan berseliweran di kepala mereka, tentang, mengapa Yasa berdiri di depan kosan mereka dengan mukanya yang sedikit berantakan.
"Eh, ngapain di sini, Bang?" Rea yang memang sedikit nyablak langsung mendekat pada Yasa.
"Gue habis nganter Fayka, dia lagi kacau, ada masalah besar di keluarganya. Lo berdua, temenin, ya. Gue titip dia."
"Hah, kenapa? Fayka kenapa?" sahut Nida yang mulai panik.
"Ntar kalian tanya sendiri, gue enggak punya kapasitas buat jawab. Gue tinggal ya, jagain temen lo, jangan ditinggal."
"Eh, bentarrrr...emang habis dari mana kalian?" tanya Rea sambil memicingkan matanya, Yasa mendengkus menatap malas pada Rea.
"Rumahnya Fayka. Kenapa lo? Kepo!"
"Yeeeee ... ya kepolah, ngapain nganter Fayka ke sana? Jadian, ya?" Rea tersenyum menyebalkan, membuat Yasa semakin kesal.
"Menurut lo?"
"Jadian juga enggak papa. Jomlo, kan, kalian? Cocok kok, cocok."
"Buset dah. Malesin lo, Re. Udah sana!"
"Yailah, tapi serius ... jadian, kan?"
"Ya, lo mikirnya gimana?"
"Jadian," jawab Rea sambil tersenyum lebar. Yasa menatapnya datar.
"Terserah lo deh, silakan yakini pikiran lo. Kepo dasar."
"Hahaha ... loh, Nida mana?" Rea celingkukan mencari keberadaan Nida yang sudah menghilang, beserta sepeda motor matic yang tadi dibawanya.
"Udah masuk, makanya jangan ngepoin orang terus. Udah sana lo, gue mau balik."
"Yeeee, sialan, ditinggal lagi."
Yasa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu masuk ke dalam mobil dan kembali ke kosannya. Ia butuh mandi—karena seharian belum mandi, ia butuh makan dan istirahat juga. Besok, ia akan menemui Fayka lagi, semoga keadaannya sudah membaik.
***
"Kamu udah makan belum?"
Fayka hanya menggeleng, perempuan itu duduk di atas kasur sambil menatap kosong tembok yang berada di depannya, membuat dua temannya—Nida dan Rea khawatir, karena sejak tadi Fayka tidak juga bicara. Setiap kali ditanya, Fayka hanya mengangguk dan menggeleng, tanpa mau mengeluarkan suara.
"Makan, ya? Mau makan apa? Nanti aku pesenin, lagi ada banyak diskon ojol loh," Nida masih berusaha membujuk. Lagi-lagi Fayka hanya diam, masih tidak ingin berbicara, sesekali, ia akan menangis tanpa suara.
"Fay, kamu enggak sendiri. Ada aku, Rea, Mariam dan temen-temen kamu yang lain. Kita semua peduli sama kamu, Fay. Sekalipun kamu ngerasa dunia ini enggak adil, inget, kamu enggak akan pernah bener-bener sendiri, kok."
Fayka menoleh pada Nida, air mata berjatuhan dari pelupuk matanya. Perempuan itu lalu memeluk Nida, terisak-isak di pelukan Nida. Rasanya, seperti ingin menyerah, tapi di kepalanya terdoktrin keyakinan untuk selalu kuat.
"Capek, Nid. Capek, kenapa mereka tega sama aku, Nid? Salahku apa? Aku enggak minta dilahirkan ke dunia, Nid ... kalau akhirnya, kehadiranku dibenci sama semua orang."
"Enggak Fay, aku, Rea, Mariam sayang sama kamu, kami enggak benci kamu. Nangis saja, enggak papa."
Nida menepuk-nepuk punggung Fayka, memberinya ketenangan. Sementara Rea sedang sibuk membalas pesan Yasa yang menanyakan keadaan Fayka. Sesekali perempuan itu menatap Fayka yang tampak sangat rapuh.
Yasa: Gue di depan. Keluar bentar, ini gue bawain makanan.
Rea: Serius, Bang?
Yasa: Serius udah bubar. Buruan lo, gue masih ada urusan.
Rea mematikan ponselnya dan segera keluar dari kamar Fayka, ia bergumam kecil pada Nida sebelum pergi. Sementara itu, Yasa ternyata sudah menunggu di atas motor matiknya, laki-laki itu membawa satu kantung plastik berukuran sedang berwarna putih.
"Fayka gimana?"
"Masih enggak mau ngomong dari tadi, udah bingung gimana cara ngajak dia ngomong. Tapi, tadi udah mau dipeluk sama Nida."
"Temenin terus, jangan lo tinggal. Jangan biarin sendiri. Kemarin dia mau bunuh diri, untung ditolong sama satpam rumah sakit. Dia juga lagi sakit, lambungnya kumat."
"Hah, serius?"
Yasa mengangguk sambil tersenyum masam. Ingat kejadian itu selalu membuatnya khawatir, ia takut Fayka seperti Yaya yang tidak bisa diselamatkan. Yasa lalu menyerahkan kantung plastik itu pada Rea.
"Itu gue beliin bubur ayam, lo sama Nida gue beliin nasi goreng. Paksa dia makan, ya."
Rea mengangguk. "Sayang banget sama Fayka, ya?"
Yasa mengedikkan kedua bahunya. "Udah malem, gue balik dulu."
Yasa memasang kembali helmnya lalu menyalakan motor matik miliknya. Ia menatap sekilas pada Rea sebelum pergi. Tadinya, Yasa ingin istirahat setelah makan, tapi pikirannya terus dipenuhi oleh Fayka, sehingga membuatnya mencari pedagang bubur ayam yang buka di hari yang hampir tengah malam ini, untung ia menemukan pedagang bubur itu di daerah Wiyung. Yasa menghela napasnya, berharap besok Fayka segera membaik, karena besok ia, Fayka dan Nindy ada jadwal untuk bertemu Pak Edo.
***
Fayka belum juga terlelap, sedangkan dua temannya, Rea dan Nida sudah pulas di atas kasurnya. Pukul dua, ia membuka laptop dan mengerjakan hasil uji validasi dan reliabilitas, meski hatinya tengah hancur dan pikirannya sedang kacau, perempuan itu tidak bisa meninggalkan skripsinya begitu saja. Untung setelah dari sekolah mengambil data uji validasi dan reliabilitas kemarin, ia sudah memasukan butir jawabannya ke dalam microsoft excel, jadi data tersebut tinggal ia olah.
Fayka duduk dengan gelisah, ada lima dari lima puluh lima butir angket yang tidak valid. Ia harus kembali memutar otak, mengakali, bagaimana data itu bisa valid minimal sampai lima puluh atau kalau bisa, ya, valid semua. Ia sedikit mengganti data jawaban dengan memanipulasi data sebenarnya, karena terkadang untuk mendapatkan data yang valid, ia harus bisa mengakali, kalau tidak begitu, skripsinya akan jalan di tempat.
Setelah berutat dengan data itu sampai pukul empat, Fayka akhirnya menyudahi kegiatannya. Untung saja, data tersebut akhirnya valid sampai lima puluh tiga, tersisa dua butir soal yang tidak valid. Ia biarkan saja, agar Pak Edo tidak curiga, sebagian data itu telah dimanipulasi.
"Belum tidur?"
Rea membuka matanya, dan cukup terkejut mengetahui Fayka masih terjaga. Sudah azan subuh dan perempuan itu masih sibuk dengan laptopnya. Fayka menggeleng, lalu menunjukkan isi layar laptopnya. Rea tersenyum kecil sambil mengucek matanya, perempuan itu baru tertidur tiga jam dan rasa kantuk masih menyerang.
"Buburnya udah dimakan?"
"Udah," kata Fayka dengan suara pelan, nyaris tidak terdengar.
"Dari Bang Yasa, dia khawatir sama kamu."
Fayka mengangguk lagi, Yasa? Laki-laki itu sudah terlalu baik padanya beberapa waktu belakangan ini, Yasa yang selalu menjadi saksi saat-saat ia tengah hancur karena masalah yang tidak memiliki jeda.
"Enggak papa kalau mau sedih, sedih aja, Fay. Kalau kamu mau cerita, aku di sini."
Fayka tersenyum singkat, lalu mematikan laptopnya yang tadi masih menyala. Perempuan itu mengambil selimut tipis di atas kasurnya, lalu menggunakannya untuk menutupi kaki.
"Capek," katanya pelan. Rea menggenggam kedua tangan Fayka.
"Enggak papa, istirahat. Enggak ada yang marah."
"Sakit. Rasanya enggak sanggup, mereka bukan orang tua kandungku."
Rea terdiam sejenak, mencerna kalimat Fayka baik-baik. Ia lalu membuka suara, "maksudmu?"
"Aku bukan anak kandung orang yang selama ini aku anggap orang tua."
Rea mengusap air mata Fayka, membiarkan Fayka meneruskan pembicaraannya. Ia tidak ingin mengeinterupsi, hanya sesekali meremas tangan Fayka, memberi kekuatan.
"Kamu pasti bakal jauhin aku kalau tahu aku ini ternyata, anak haram."
Fayka menunduk, ia kembali menangis membuat Nida bangun dengan wajah bingung, namun tetap memilih diam, memerhatikan Fayka dan Rea yang tampak sedikit terkejut, masih berusaha mencerna ucapan Fayka.
"Enggak, enggak, kamu bukan anak haram, dengan cara apa pun kamu dilahirkan, kamu tetap Fayka, bayi yang terlahir suci ke dunia. Bukan anak haram, udah, jangan hakimi diri kamu sendiri. Apa pun statusmu, enggak akan mengubah persahabatan kita."
"Tante Mel, ternyata ibu kandungku. Aku lahir dari hasil hubungan yang enggak sah. Aku bahkan enggak tahu siapa ayah kandungku. Ak—aku, kehadiranku enggak diinginkan di dunia ini."
Rea menggeleng, ia lalu memeluk Fayka, disusul oleh Nida yang diam-diam mendengar ucapan Fayka, mereka tahu betapa sakit dan hancurnya Fayka saat ini. Kenyataan besar yang baru diketahui saat usianya sudah beranjak dewasa dan saat ia telah paham segalanya akan jauh lebih menyakitkan daripada jika diketahui sejak lama.
"Kamu harus jadi Fayka yang kuat, jangan lemah. Buktikan sama orang-orang yang nyakitin kamu bahwa kamu bisa bangkit. Jangan nyerah kayak gini, kamu kuat, Fay," kata Nida sambil melepas pelukannya, ia memerhatikan wajah Fayka yang kuyu.
"Sulit."
"Habiskan sedihmu, ada kami. Kamu harus kuat, harus jadi Fayka yang baru, tinggalkan Fayka yang lama. Kamu harus menampilkan sisi beranimu, bukan sisi yang lemah. Kamu enggak boleh membiarkan orang yang membencimu bahagia karena kamu kalah. Kamu paham?" ujar Rea sembari menatap Fayka dalam, memberi semangat pada perempuan itu.
"Aku kuat, aku kuat."
"Bagus, kamu memang kuat. Besok habis ke kampus, kita jalan, ya? Ayo main ke Surabaya carnival"
"Iya, main ke Surabaya carnival, masa empat tahun belum pernah ke sana?" Rea menimpali ucapan Nida.
"Udah, sekarang senyum dulu. Inget, wajib senyum, habis itu kita salat ya, si Rea biar di kamar sendirian, kita salat di musala bawah aja," pungkas Nida, sambil melirik Rea yang mendengus sebal. Mereka berbeda agama, Rea seorang pemeluk kristen protestan yang taat.
"Rese Nidahhhh, udah sana. Mau lanjut tidur."
***
"Loh, mukamu kenapa?"
Nindy memerhatikan wajah Fayka yang tampak pucat, kantung matanya juga menghitam. Gurat-gurat lelah menghiasi wajah Fayka yang tampak tidak bersemangat hari ini.
"Enggak, semalem enggak tidur gara-gara ini, validasinya banyak yang enggak valid, musti diakali."
"Haha ... sama, aku akali juga kemarin," kata Nindy sambil mengeluarkan kertas yang akan dibawa ke Pak Edo. "Oh, ya. Udah nemu tempat buat les SPSS? Aku enggak yakin kalau manual ngerjain sendiri, butuh bimbingan. Kemarin diajar Bu Dita aja masih pusing, enggak paham cara kerjanya. Mana ini ujinya ada buanyak banget lagi."
"Udah. Ada, lima ratus ribu biayanya. Gimana? Atau nyari anak psikologi, ya, bisa?"
Nindy menggeleng. "Enggak yakin. Masalahnya, data kita banyak loh, hampir empat ratus, takutnya enggak sesuai. Keep dulu, deh. Besok nyari lagi."
Fayka mengangguk, ia tak banyak bicara hari ini. Hanya sekadarnya saja, membalas ucapan Nindy, kalau bukan sudah janjian dengan Pak Edo, Fayka akan memilih mengurung diri, menenggelamkan dirinya di antara kegelapan dan rasa sedihnya.
"Datamu yang valid berapa, Fay?"
"Lima tiga. Udah mentok."
"Aku lima sembilan. Udah mentok juga. Enggak papa, deh, berdoa aja, Pak Edo enggak suruh kita ngulang lagi. Uji bahasa gimana? Aman?"
"Kan, kita karang kemarin."
Nindy terbahak, mengingat kecurangan itu, mengarang uji bahasa, pasalnya mereka hanya mengujikan kepada dua orang siswa yang sama dan hasil akhirnya dimanipulasi agar lebih cepat untuk mendapatkan hasilnya.
"Enggak baik harusnya, ya. Tapi, mau gimana lagi? Kalau enggak gini, ya, alamat tahun depan kita lulus. Tahu sendiri punya dosen rewelnya subhanallah."
Fayka tersenyum singkat, membenarkan ucapan Nindy. Realita, bahkan beberapa teman juga banyak yang memanipulasi data saat penelitian agar mendapatkan data yang diinginkan, ada juga yang tidak terjun ke lapangan dan langsung memanipulasi data tersebut, atau ada juga yang melakukan penelitian dengan membayar orang untuk mengambil data.
"Woi. Ayo! Ditunggu Pak Edo di gedung S2."
"Hah? Bukannya di jurusan?" kata Nindy terkejut, Yasa datang-datang mengabari jika Pak Edo menunggu mereka di gedung S2.
"Kagak. Gedung S2 yang baru, tuh, sebelah masjid kampus. Ayo dah, keburu orangnya ngajar."
"Ayo, Fay! Bener-bener, ya, Pak Edo ini, suka bercanda. Janjian di mana, ketemu di mana. Kalau gebetan, udah masuk kategori playboy akut ini sih, suka PHP," dumel Nindy sambil berjalan menuju gedung S2 yang tak jauh dari kantor jurusan S1 Psikologi. Sebelumnya, gedung itu memang terletak di tempat berbeda, tidak satu tempat dengan gedung S1, dan baru dipindahkan setelah gedungnya selesai dibangun.
"Lo udah baikan?" tanya Yasa pelan, ia memerhatikan Fayka sejak tadi yang hanya diam.
Fayka hanya tersenyum sebagai balasan, ia tidak mengatakan apa pun dan tetap berjalan di belakang Nindy, bersama Yasa.
"Kata Rea kalian mau jalan ntar malem. Gue temenin, ya? Gue ajakin Arki sekalian biar ramai, lo butuh melepas penat."
"Ngerepotin."
Yasa menggeleng, "Enggak, kok. Santai aja."
"Jangan terlalu perhatian. Aku enggak akan sanggup kalau tiba-tiba semua ini harus berakhir. Aku takut bergantung sama orang."
"Selama gue bisa selalu ada buat lo, gue bakal usahain."
"Heiii, kalian. Buruan, keburu lift-nya penuh, pacaran terus," teriak Nindy membuat Fayka berdecak sebal, lalu mempercepat langkahnya.
"Bacot lo, Ndy."
Yasa memerhatikan Fayka dari belakang, mereka bersiap masuk ke dalam lift. Ucapan Fayka terekam di ingatan, jangan terlalu perhatian, takut bergantung. Ini yang membuat Yasa meletakkan Fayka berada di list paling akhir dari perempuan yang berpotensi untuk ia dekati saat ini. Fayka terlalu rapuh, ia butuh untuk menata hidupnya, masuk ke dalam hati Fayka hanya akan membawa beban baru dalam hidup perempuan itu, meski ia tak memungkiri bahwa belakangan ini Fayka memiliki tempat khusus di hatinya.
***
Dua orang yang paling tidak ingin ditemui Fayka saat ini, nyatanya berada di depannya sejak lima menit yang lalu. Mel dan suaminya—Nicko datang ke kosannya hari ini. Mungkin dua orang itu sudah menunggu lama, karena Fayka baru tiba pukul dua siang setelah menemui Pak Edo di kampus. Fayka menatap malas dua Mel dan Nicko yang saat ini sedang duduk di depannya, mereka berada di ruang tamu kosan Fayka. Memang,di kosan itu disediakan ruang tamu, kalau-kalau ada keluarga yang ingin berkunjung.
"Mau apa? Bukannya semuanya sudah jelas?"
Fayka memasang wajah datar, berusaha menutupi perasaannya yang sedang campur aduk. Ia masih sulit percaya, Mel adalah ibu kandungnya.
"Maafkan Mama, Fay. Semua memang salah Mama, terlalu egois memikirkan diri sendiri sampai kamu jadi korban, dan Mama terlalu pengecut untuk mengaku kalau kamu anak kandung Mama."
"Saya enggak pernah minta buat dilahirkan ke dunia ini, saya lahir karena kesalahan Anda sendiri, dan akhirnya hidup seperti ini. Jujur, saya capek, seakan-akan kehadiran saya enggak berguna, seakan-akan saya bukan manusia yang layak buat diterima."
Mel merasakan nyeri di hatinya saat mendengar Fayka menyebut anda dan saya, seakan mereka telah berjarak terlalu jauh. Kedekatan mereka selama ini benar-benar lenyap setelah kenyataan itu terbongkar. Ini yang ditakutkan oleh Mel, hubungannya dan Fayka akan rusak, dan tak lagi sama. Sementara Nicko memilih diam, merasa tak punya kapasitas untuk berbicara, pria itu hanya menemani istrinya—Mel untuk menyelesaikan masalahnya.
"Mama sayang kamu, maaf."
Fayka menutup matanya sejenak, menghalau segala emosi yang hendak meluap-lupa minta dimuntahkan. Perempuan itu lalu menatap Mel dan suaminya dengan saksama.
"Anda hidup bahagia bersama keluarga baru Anda, melupakan saya dan membiarkan saya tinggal bersama orang yang membenci saya. Itu yang Anda sebut rasa sayang? Bilang pada saya, rasa sayang macam apa yang tega membiarkan orang yang disayangi menderita?" Fayka mengepalkan kedua tangannya.
"Mama salah Fay, Mama begitu naif dan egois, kalau waktu bisa diputar, Mama enggak akan memilih tindakan itu. Penyesalan Mama memang enggak berguna, kan?"
Fayka tersenyum miring. "Itu Anda tahu. Saya butuh waktu buat memaafkan. Semua ini enggak mudah."
"Mama akan menunggu, sebanyak apa pun waktu yang kamu butuhkan."
"Baguslah."
"The thing that you have to know is, she loves you so much, Fayka."
Fayka melirik ke arah Nicko yang baru saja berbicara kepadanya. Mel hidup dengan baik selama ini, Nicko tampak begitu menyayanginya. Hidup Mel sempurna saat ini, suami yang menyayanginya, anak laki-laki yang bisa dibanggakan, dan sepertinya tidak lagi membutuhkan dirinya sebagai anak.
"Love will never hurt and love doesn't leave, Nicko. You have to understand that!"
"Fay—"
"Biayai sisa kuliah saya, saya tidak ingin merepotkan mereka lagi. Itu kalau Anda peduli dengan saya. Dan, tolong, beri tahu saya di mana Ibra saat ini. Saya ingin bertemu dengan pria pengecut yang membiarkan semua ini terjadi."
Fayka menatap kedua orang di hadapannya sebelum memutuskan untuk pergi, ia butuh waktu untuk menerima semua, ia butuh waktu untuk berdamai dan memaafkan. Bagian paling penting, Fayka ingin memastikan siapa Ibra, orang yang telah membuat hidupnya bagai dalam neraka selama bertahun-tahun. Mel dan Ibra adalah dua orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya yang berantakan. Fayka memejamkan matanya sejenak, menggumamkan matra bahwa ia kuat, semua ini pasti berlalu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro