Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Seminar Proposal

Risiko menyukai fakboi, harus siap dipatahkan sebelum mengutarakan.

"Jadinya kapan sempronya?"

Bu Anna bertanya sambil meraih proposal yang diserahkan oleh Fayka, Yasa serta Nindy. Wanita itu mungkin lupa dengan jadwal yang sudah disepakati beberapa waktu yang lalu.

"Hari Jumat besok ini, Bu," jawab Yasa yang berdiri di samping Fayka, sementara Fayka dan Nindy duduk di atas kursi yang tersedia di depan Bu Anna, laki-laki, kan, harus mengalah.

Bu Anna mengerutkan keningnya, lalu mengecek tanggalan serta membuka ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja. Perempuan itu lantas menoleh ke arah Bu Della yang sedang sibuk dengan laptopnya, mengoreksi tugas mahasiswa.

"Bu Della, hari Jumat bukannya Pak Edo ada acara?"

Bu Della berhenti dari aktivitasnya, terdiam sejenak sembari mengingat-ingat sesuatu, barangkali memang ada yang terlewatkan di antara mereka.

"Loh, acaranya itu Jumat besok toh, Bu?"

"Iya, kan, mau ganti status Pak Edo hari Jumat besok. Mosok lupa, sih, Bu?"

Dua wanita itu tampak tergelak, membuat ketiga orang mahasiswa yang berada di depan mereka menatap dengan harap-harap cemas.

"Nggak bisa, Mbak hari Jumat besok. Dospem kalian Pak Edo, kan?"

"Iya, Bu," balas Nindy.

"Pak Edonya yang tidak bisa, kalian tidak mungkin seminar proposal tanpa dosen Pembimbing, kan? Minimal harus ada dosen pembimbing dan satu dosen penguji yang datang. Jadi, kalian nanti cari jadwal lagi, ya, ke Pak Edo."

"Oh, iya, Bu. Tapi, Bu Anna sama Bu Della minggu depan bisanya hari apa?"

"Saya bisa hari Senin, Selasa atau Jumat. Kalau Bu Della hari apa, Bu?"

"Saya selain hari Selasa bisa."

"Iya, Bu. Nanti saya segera konfirmasi lagi kalau sudah dapat harinya. Kami permisi, Bu," kata Yasa dengan cepat, laki-laki itu menatap dua temannya untuk segera pergi, jelas tampak kekesalan di raut wajah pemuda itu . Ya, bagaimana tidak? Lagi-lagi efek ingatan Pak Edo menjadi masalah untuk mereka, jadwal yang sudah ditetapkan dan diurus undangannya tiba-tiba saja dibatalkan karena Pak Edo ada acara.

"Sebenarnya, ada acara apa, sih, Pak Edo? Kalian tahu?" tanya Yasa setelah mereka keluar dari ruangan Bu Anna dan Bu Della.

Nindy menghela napasnya, lalu memilih duduk di gazebo yang berada di depan ruangan dosen, agak sepi jadi mereka bisa menggosip. Fayka sendiri sudah tampak malas, jelas ia kecewa. Perempuan itu lalu membuka ponselnya.

"Katanya, sih, Pak Edo mau nikah, itu sama Bu Rini."

"Bu Rini Kaprodi itu?" tanya Fayka penasaran, memang, sih, kabar itu sudah lama beredar bahkan sejak tahun lalu, namun sepertinya belakangan ini kembali memanas.

"Nih, undangannya cuy," ujar Nindy, ia menyodorkan undangan itu kepada Fayka dan Yasa.

"Setdah. Ya, pantes aja kagak bisa, orang mau kawin."

"Mulutnya, Bang, nikah woy bukan kawin," balas Nindy dengan tampang kesal.

"Sama aja."

"Bedalah, kawin itu nggak resmi nah nikah resmi."

"Yaelah, ujung-ujungnya juga gituan."

Fayka dan Nindy melotot lalu kompak memukul kepala Yasa menggunakan proposal penelitian yang cukup tebal hingga membuat laki-laki itu meringis sambil mengusap kepalanya yang berdenyut-denyut.

"Gila lo pada, sakit, njir."

"Makanya punya mulut dijaga, nggak sopan banget ngomong asal ngejeplak aja." Kali ini Fayka yang membalas ucapan Yasa, makin lama mengenal Yasa makin keluar sifat aslinya. Mulai sekarang, ia tak akan bicara Yasa yang katanya cool.

"Iya nih, udah tahu lagi mumet malah dia ngejeplak seenaknya."

"Iye-iye, maap. Sewot aja lo pada, lagi pada PMS, hah?"

"Bang Yasaaaa ...."

"Iyeeee, ampun udah. Jadi gimana, nih? Nunggu Pak Edo? Kita juga harus konfirmasi tempat buat seminar, mau pake ruang sidang apa lab konseling?"

"Lab konseling aja lebih gede, kan, harus bawa audiens buat syarat juga," kata Nindy.

"Heeh pake Lab konseling aja, sih."

"Ya udah, ntar abis ketemu Pak Edo langsung ke staf TU buat ngurus ruangannya."

"Iye."

"Bang!"

Seseorang memanggil Yasa, laki-laki itu menemukan seorang perempuan berambut panjang bergelombang berjalan ke arahnya, dia Sarah mahasiswi psikologi tahun pertama, adik tingkatnya.

"Kenapa, Sar?"

"Em, aku bawain ini. Dimakan, ya?"

Sarah menyerahkan sebuah kotak berisi salad buah untuk Yasa, membuat laki-laki itu memberikan senyum manis pada perempuan bermata cokelat itu. Gebetan baru Yasa, tolong jangan lupakan predikat fakboi kampus yang disandang Yasa.

"Thanks, ya, Sar."

"Iya, aku masuk ke kelas dulu, ya, Bang? Mari, Mbak."

Sepeninggal Sarah, Nindy segera merebut kotak makanan yang diberikan perempuan itu dari tangan Yasa.

"Widihhh gebetan baru lagi, fakboi bener, Bang?"

Nindy melirik ke arah Fayka yang hanya diam, sibuk dengan ponselnya, entah apa yang dilakukan oleh perempuan itu.

"Yaelah, lo suka banget ngatain gue fakboi?"

"Tampang, kelakuan mendukung, sih, Bang. Ya, terima aja predikat itu."

"Emang dia suka enggak nyadar diri, Ndy. Awas aja nanti ada yang ngelabrak aku lagi, minta ganti rugi aku," ujar Fayka sambil tersenyum lagi, rasanya kesal melihat Yasa punya gebetan baru.

"Bacot lo pada. Udah, gue mau ke kantin dulu, 'tu salad makan aja, kagak doyan gue, dikira gue diet apa dikasih salad, kalau mau ngasih kopi atau daging ayam, ya, gue makan, gituan mah mana mau gue. Dah, ya, ntar gue balik ke sini lagi."

Fayka dan Nindy hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakukan Yasa yang tidak ada bagus-bagusnya.

***

"Diem aja, kenapa? Mau pesen yang lain?"

Jefran—kakak Fayka melihat adiknya yang tampak tidak bersemangat saat menyantap makananya. Kebetulan laki-laki itu sedang dinas di Surabaya dan menyempatkan diri menemui adik semata wayangnya.

"Nggak, cuma kepikiran sesuatu."

"Kenapa, hm? Kepikiran Ibu?"

Fayka menghela napasnya berat. "Iya, Ibu bilang enggak mau bayarin UKT-ku kalau aku sampe nggak lulus kuliah semester depan."

"Kan, ada Mas, jangan khawatir. Fokus aja sama skripsimu."

"Kan, mahal, Mas UKT-ku. Nggak enak kalau minta dibayarin semuanya sama Mas Jefran. Lagian, tahun depan Mas mau nikah."

"Loh, ya, nggak papa, toh? Kamu, loh, adikku, memang kenapa kalau aku yang bayar? Mas masih mampu, kok."

Jefran menatap lembut adiknya, ibu mereka memang cukup keras pada Fayka sejak Fayka masih kecil.

"Kan, Mas juga butuh biaya buat nikah."

"Itu nggak usah kamu pikirin, kamu adik, Mas. Udah nikah pun, Mas masih punya tanggungan sama kamu selama kamu belum menikah."

Fayka semakin tak berselera makan, Jefran memang baik padanya, tapi ia merasa sungkan, biar bagaimanapun sebentar lagi Jefran memiliki hidupnya sendiri, tidak bisa terus menerus harus memerhatikannya.

"Maaf, ya. Aku ngerepotin terus."

Jefran menggeleng, lalu tersenyum kecil. "Kamu adikku, nggak pernah ngerepotin siapa pun. Udah, ya, dimakan lagi, kamu kurusan."

"Iya, kepikiran skripsi, agak stres, sih."

Jefran meminum soda yang ia pesan, mereka memang sedang makan di sebuah restoran cepat saji dekat indekos Fayka.

"Kamu nggak stres kayaknya, Dek. Lebih dari itu, mau Mas anter ke psikolog?"

Fayka buru-buru menggeleng. "Mas jangan ngaco deh, aku ini mahasiswa psikologi, ya, masa harus ke psikolog, sih?"

Jefran tergelak. "Lah, memang kenapa? Nggak ada yang salah, dokter aja kalau sakit juga diobatin sama dokter lain. Atau coba kamu ke biro psikologi di kampusmu, deh, ada, kan?"

"Ya, ada. Tapi, kan, enggak nyaman, psikolognya dosen sendiri."

Jefran mengangguk-anggukkan kepala, konseling dengan seseorang yang dikenal memang akan terasa tidak nyaman, cenderung tidak bisa lepas.

"Nanti Mas transfer uang, ya. Kamu ke psikolog lain, Mas nggak mau kamu kenapa-napa, Fay."

Fayka mencoba tersenyum, pikirannya memang sedang kacau, dua hari lagi ia harus seminar proposal dan ia mengalami gelisah serta takut. Rasanya, ia ingin mengadu pada Jefran tapi takut membuat Jefran kepikiran. Serba susah. Di rumah, hanya Jefran yang memahami dirinya, ibu dan ayahnya seperti memiliki jarak dan membuat Fayka tidak nyaman dengan orang tuanya sendiri, lumrah, sih, karena dari SMP Fayka memang sudah sekolah di luar kota, tidak lagi tinggal dengan kedua orang tuanya, sehingga jarak itu tercipta.

***

Tangan Fayka gemetaran, badannya panas dingin saat melihat Yasa yang sedang presentasi, laki-laki itu tampak lancar menjawab semua pertanyaan yang diajukan dosen, kemampuan diplomatis sebagai mantan ketua dewan mahasiswa memang diperlihatkan Yasa saat ini, tidak diragukan lagi, sosok Yasa yang keliatannya biasa saja ketika mengikuti mata kuliah memang memiliki kelebihan ketika sudah berbicara di muka umum.

"Saya yakin bisa mempertanggung jawabkan proposal ini, Pak, Bu," pungkas Yasa setelah menjawab pertanyaan terakhir dari Pak Edo. Dosen pembimbingnya itu memang menguji mental, bagaimana tidak? Dua dosen pengujinya hanya bertanya beberapa pertanyaan saja, tapi Pak Edo bertanya hampir tujuh kali dengan coret-coretannya yang menghiasi proposal milik Yasa.

"Giliranmu," kata Nindy yang duduk di sebelahnya, Fayka mendapat giliran terakhir. Nyalinya nyaris habis, melihat wajah Pak Edo yang tidak bersahabat membuat Fayka mau muntah saat ini juga.

"Oke, yang terakhir adalah Fayka Ailia, silakan," kata Rea—teman Fayka yang bertugas menjadi moderator untuk hari ini.

Fayka menghela napas dan mulai mempresentasikan proposal penelitiannya. Jantungnya nyaris copot rasanya, tapi perempuan itu mencoba untuk tenang dan menguasai keadaan, atau semua yang dipersiapkannya akan buyar jika ia tidak mencoba untuk tenang. Sepanjang presentasi berjalan dengan lancar, hanya tadi di tengah presentasi suaranya sempat hilang sejenak karena rasa gugup yang melanda.

"Baik, karena sudah selesai presentasinya, untuk tanggapan dan pertanyaan yang pertama akan disampaikan oleh Bu Della, silakan, Bu."

"Oke, Mbak Fayka. Proposalnya sudah runtut ya, hanya tolong diperbaiki tata bahasanya, mana anak kalimat, mana induk kalimat masih belum jelas. Lalu, yang ingin saya tanyakan, apakah Mbak Fayka sudah melakukan studi pendahuluan?"

"Sudah, Bu, kemarin ke SMP 20 untuk studi pendahuluan."

"Studi pendahuluanya ke siswa apa gurunya?"

"Siswa sama guru, Bu."

"Tapi, di sini tidak dimasukan hasil wawancara dari gurunya, tolong nanti ditambahi lagi ya, Mbak Fayka. Lalu, ini kaitannya dengan psikologi apa?"

"Itu saya mengambil minat belajar anak, Bu. Lebih ke psikologi dalam pendidikan."

"Yakin? Bukannya itu lebih ke BK?"

"BK dan Psikologi, kan, memang sejalur, Bu. Psikologi pendidikan juga masih dalam ranah psikologi. Sepertinya tidak masalah kalau itu masuk ke psikologi pendidikan, dan saya yakin itu masih sesuai, lagi pula saya memang fokusnya di psikologi pendidikan bukan industri atau klinis."

"Baik, Mbak. Saya rasa itu saja, nanti lengkapnya bisa dilihat di proposal yang sudah saya koreksi."

Fayka mengangguk lalu mengucapkan rasa terima kasihnya, giliran Bu Anna, ia rasanya bertambah gugup, pasalnya dari tiga dosen itu yang terkenal cukup mudah hanya Bu Della, sedangkan Bu Anna dan Pak Edo terkenal sosok dosen yang ruwet dan alot dalam hal skripsi maupun mata kuliah.

"Sebelumnya selamat, satu langkah lebih dekat dengan gelar S.Psi Anda. Mbak Fayka ini pakai uji asumsi klasik linearitas, hetero, normalitas sama multikolinearitas, ya?"

"Iya, Bu."

"Yang mau saya tanyakan, uji heteroskedasdisitas itu apa? Kenapa dimasukkan?"

"Uji itu untuk menghitung nilai F dan membandingkannya dengan nilai F tabel, Bu, digunakan untuk melihat apakah ada gejala hetero atau tidak."

"Yakin?"

"Iya."

"Terus kenapa ini ada bawa-bawa galat, memang galat itu apa?"

Fayka diam, otaknya buyar seketika. Galat, galat? Sialan dia lupa, Fayka lupa untuk mencari istilah-istilah itu, matanya menatap tidak tenang ke arah Nindy yang juga sama keruhnya dengannya, Nindy tadi sudah dibantai di uji multikolinearitas dan sama seperti Fayka, tidak bisa menjawab.

"Mbak Fayka, galat itu apa?"

"Eh, emhhh?"

Bu Anna tampak tersenyum tipis—Fayka membecinya, senyum tipis Bu Anna itu mengerikan, ia seperti sedang menghadapi dakwaan saja. Sudah ingin menyerah saja rasanya.

"Nanti cari lagi, ya, pengertiannya. Yang sekiranya Anda tahu dan paham, jangan dimasukkan semua, tidak harus memasukkan semua uji asumsi klasik, masukan yang sekiranya Anda paham. Terus tolong nanti teori dasarnya diganti, saya merasa Anda kurang memperhatikan sehingga dari teori dan kasus yang Anda ambil tidak ada keterkaitan."

"Iya, Bu."

Fayka masih harus mendengar beberapa revisi dan menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Bu Anna, sampai akhirnya pembantaian sesungguhnya dengan Pak Edo membuat kepala Fayka bertambah pusing saja. Tampangnya Pak Edo saja sudah seram rasanya, apalagi mendengar kalimat-kalimat dari mulut Pak Edo.

"Anda ini tidak mendengarkan saya, ya? Kenapa pakai judul ini? Ganti nanti!"

Fayka hanya mengiyakan, mau menjawab kalau judul itu Pak Edo sendiri yang memilihkan? Itu namanya ia akan membunuh dirinya sendiri.

"Benar kata Bu Anna, grand theory Anda ini salah. Kenapa Anda pakai ini?"

"Itu berkaitan dengan minat, Pak."

Pak Edo menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan teori seperti ini yang saya maksud, teori tentang minat. Ini Anda pakai teori tentang psikologi pendidikan bukan teori minat."

"Iya, Pak."

"Terus Anda juga melakukan kesalahan fatal di kerangka konseptual, variabel Anda ada empat kenapa Anda masukan tiga?"

"Saya—saya ...," Fayka benar-benar kehilangan suaranya, ia ingin menangis sekarang. Badannya gemetaran, semua orang diam menatap Pak Edo dan Fayka. Definisi neraka saat seminar proposal adalah saat dosen pembimbing yang seharusnya bisa membantu malah membantai.

"Anda ini benar-benar, ya?"

"Pak sudah, Pak," kata Bu Della dan Bu Anna yang iba melihat Fayka sudah hampir limbung mendengar serentetan kalimat pedas dari Pak Edo. Nindy yang tadi mengalaminya juga hanya bisa menatap Fayka iba.

"Ya sudah, nanti Anda revisi lagi. PR Anda dan saudara Nindy banyak," pungkas Pak Edo sebelum menyudahi sesi tanya jawab dan tanggapan.

***

"Udah lo berdua nggak usah sedih, itu lumrah. Yang penting, kan, lolos? Proposal kalian di-acc buat penelitian," hibur Yasa pada dua temannya yang sedang kalut.

"Takut, Bang," kata Nindy, Fayka tidak bersuara, ia diam saja. Pikirannya penuh sekali rasanya.

"Fay, muka lo pucet. Minum dulu?"

Yasa menyodorkan satu botol air mineral yang diterima Fayka dengan tangan bergetar. Nindy juga telah meminum minumannya tadi, sedangkan Fayka tidak berminat terhadap apa pun, ia masih shock.

"Fay, udah nggak usah sedih. Yuk foto yuk biar seneng."

Fayka mendongakkan wajahnya, melihat ke arah Rea, Nida dan Mariam—sohibnya yang menyempatkan diri hadir di seminar proposalnya, mereka memberikan sebuket bunga dan buket snack untuk Fayka.

"Makasih, ya, udah dateng," kata Fayka sambil memeluk ketiganya bergantian. Kedatangan mereka membuat Fayka merasa tidak sendiri dan sedikit terhibur.

"Aku foto dulu, ya," kata Fayka pada Nindy dan Yasa.

Fayka berlalu, mengajak ketiganya untuk mencari spot foto yang bagus, dari jauh ia melihat Nindy juga sedang sibuk dengan teman-temannya untuk berfoto sementara Yasa diajak Sarah untuk berfoto juga beberapa teman-temannya yang datang. Fayka tersenyum kecut, ia menyadari perasaannya, dan menyadari ketidakmungkinan itu.

"Eh, aku cari orang buat minta fotoin kita dulu, ya. Bentar," teriak Mariam yang berlalu dan segera mencari bantuan untuk mengambil gambar mereka.

Fayka masih melihat ke arah Yasa yang menerima buket bunga dari Sarah, wajah Sarah yang dewasa tampak mengimbangi Yasa meski usia Sarah masih di bawah dua puluh tahun, maklum baru semester awal. Menghela napasnya, Fayka mencoba mengenyampingkan perasaannya, risiko menyukai fakboi harus siap dipatahkan sebelum diutarakan. Fayka mencoba menikmati kebersamannya dengan sahabatnya, enggan memikirkan Yasa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro