Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Semi-Colon

Lo harus bisa kayak semi colon, yang bisa terus hidup meskipun ada kesempatan buat berhenti dan mengakhiri semuanya. Yang paling berharga dari segalanya adalah saat lo masih mampu bertahan meskipun kesempatan menyerah selalu ada.

Masa Ospek

Yasa sedang duduk di belakang barisan mahasiswa baru sambil sesekali mengecek ponselnya untuk memberi kabar kepada Ketua MPM tentang kegiatan Ospek di fakultas psikologi.

"Bengong aja, Sa."

Rommy menepuk kepala Yasa menggunakan gulungan kertas. Laki-laki itu lalu tergelak menatap wajah Yasa yang kusut.

"Bosen gue. Elah, lama amat."

"Ya, lamalah, namanya Ospek. Ngalawak."

"Lo ngapain?"

Rommy menunjukan sebuah proposal yang tidak dijilid, di sana sudah ada beberapa coretan yang mungkin berasal dari dosennya. Yasa tertawa melihat wajah Rommy yang tiba-tiba kecut.

"Ealah, lo abis bimbingan?"

Rommy menggeleng, lalu menatap malas proposal yang ia bawa. "Belum ketemu malah, ini satunya coretan si Bapak Muhib minggu kemarin. Mau ke BK nyari itu dosen, gila, sih, sibuk bener."

"Pak Muhib ke BK? Ngapain?"

"Ngajar dia."

Yasa mengangguk-anggukkan kepalanya paham, memang beberapa dosen juga mengajar di jurusan lain saat dibutuhkan, apalagi jurusan BK dan psikologi hampir sama, jadi terkadang dosennya juga mengajar di sana untuk mata kuliah tertentu, seperti statistika misalnya.

"Yodah, cabut dulu, deh. Ntar malem ke kontrakanku, ngopi kita."

"Lah ini gue musti evaluasi entar malem, kagak bisa Rom."

"Si Mada udah WA, evaluasi di kontrakanku. Udah ke sana aja, entar."

"Lo kasih apaan kalau gue ke sana?"

"Cewek mau? Ngamar deh." Rommy tergelak, sementara Yasa mendelik.

"Eh, sialan lo, Rom. Udah pergi sana lo!" usir Yasa pada Rommy—kakak tingkatnya yang sedang sibuk skripsian.

"Haha, bening-bening mabanya tuh, gebet aja, Sa."

"Bacot."

Rommy tertawa lalu meninggalkan Yasa yang sudah tampak akan memakannya hidup-hidup. Sementara Yasa sendiri hanya menghela napas, sambil kembali mengawasi kinerja panitia dan maba yang sedang Ospek. Ia salah satu anggota MPM fakultas, dan sudah menjadi tugasnya untuk mengawasi kinerja panitia Ospek tahun ini.

"Na, Rina," panggil Yasa pada salah satu panitia yang berada tak jauh dari tempatnya. Laki-laki itu menatap lurus pada Rina sambil menghela napas.

"Kerja lo ngapain?"

"Ya mandu kelompok Bandura ini, Sa," kata Rina sambil menunjuk sederet maba yang berada di kelompok Bandura. Rina bertugas sebagai pemandu kelompok, atau LO.

Yasa menatap malas pada Rena, lalu melipat tangannya di depan dada. "Kerja yang bener, Na. Lo liat enggak? Ada maba lo yang tidur di sana."

Yasa menunjuk seorang maba perempuan yang sedang menundukan kepala sambil disangga menggunakan tangan kanan, kegiatan Ospek saat ini sedang mendengarkan seminar tentang generasi muda dari seorang aktivis HAM.

Rina meringis, Yasa itu meski satu angkatan dengannya, tapi tidak segan-segan akan marah jika orang-orang bekerja tidak sesuai tupoksinya. Yasa lalu berdiri dari duduknya, sambil memegang ponsel dan memotret mahasiswa tersebut.

"Buat bukti evaluasi panitia. Lo urus deh, Na."

Rina lalu menghampiri si maba yang tidur itu diikuti Yasa di belakangnya. Yasa mengamati wajah si maba yang perawakannya sedikit mirip dengan adiknya Seina dan almarhumah adiknya Yaya. Wajah maba itu tampak lelah dan kuyu, mungkin kelelahan karena kegiatan Ospek yang memang cukup banyak.

"Dek, jangan tidur, ya, didengerin pematerinya, nanti kamu kena hukuman."

"Eh, iya, Kak. Maaf, agak ngantuk soalnya."

"Ke kamar mandi aja, cuci muka lo," sahut Yasa, maba itu tampak mengerjapkan matanya, menatap Yasa dengan wajah bingung.

"Eh, iya," katanya sedikit gelagapan, agak takut juga melihat wajah Yasa yang serius.

"Lain kali jangan tidur ya, Fayka. Gue tinggal dulu, Na," ujar Yasa setelah membaca nama Fayka di tanda pengenalnya.

Yasa lalu meninggalkan Rina dan si maba bernama Fayka tersebut, ia berkeliling mengecek kelompok lain. Wajah Fayka lalu membayangi pikirannya, entah mengapa wajah melas perempuan itu membuatnya mengingat sosok Yaya, adiknya yang meninggal karena bunuh diri. Memang tidak mirip, hanya bentuk wajahnya saja yang lumayan mirip.

***

Yasa kembali bertemu dengan perempuan bernama Fayka Ailia itu saat harus mengulang satu mata kuliah di semester satu. Ia tidak lulus mata kuliah ini karena absensinya dibawah tujuh puluh persen. Mata kuliah ini dulu memiliki jadwal di jam tujuh pagi, dan jadwal tidurnya yang berantakan karena masih menyesuaikan diri sebagai anak kos membuat Yasa sering telat bangun dan berakhir dengan melewatkan kelas pengantar psikologi.

"Eh, kita sekelompok buat presentasi, Mas," kata Fayka saat Yasa duduk di sampingnya. Mata kuliah baru saja berakhir dengan pembagian kelompok untuk membuat makalah dan presentasi.

"Gue bukan orang Jawa, jangan panggil Mas."

Fayka tampak mengerutkan dahinya. Ia terlihat berpikir, gaya bicara Yasa seperti orang ibu kota, dan tidak ingin dipanggil Mas. Fayka tersenyum tidak enak.

"Maaf, Bang."

"Hm."

Yasa lalu mengambil ponselnya dan menyodorkan pada Fayka. "Tulis nomor WA lo, entar biar gampang bahas tugasnya."

Fayka mengangguk lalu mengambil ponsel Yasa dan menuliskan nomornya di sana, setelah selesai, ia mengembalikan ponsel tersebut pada Yasa.

"Nama lo Fayka, kan?"

"Eh iya."

"Oke, gue Renardo Yasa Admoko, lo bisa panggil gue Yasa."

"Emh, okey," kata Fayka, ia tahu laki-laki—si kakak senior itu bernama Yasa, teman-temannya beberapa kali membicarakan sosok Yasa tadi, maklum, Yasa sosok senior yang lumayan tampan, kulitnya bersih, hidungnya mancung, matanya sedikit sipit dan perawakannya tinggi, ditambah rambutnya yang sedikit panjang. Bagi teman-temannya, Yasa sudah memenuhi standar cowok keren yang patut dijadikan pacar dan dijadikan bahan halusinasi. Apalagi Yasa itu berasal dari ibu kota, dari segi apa pun, ekspektasi teman-teman Fayka akan terpenuhi, tidak terkecuali Fayka—ia tidak munafik, Yasa memang tampak menonjol daripada teman-teman satu kelasnya yang lain.

Fayka mengembuskan napasnya, lalu menatap ke arah Yasa lagi setelah mengecek notifikasi ponselnya. "Ini nomornya, ya?"

"Hm."

Yasa masih tidak terlalu banyak berbicara, mungkin karena baru mengenal, teman-teman Fayka di kelas ini juga sudah memberitahu, jika Yasa itu tidak suka berbicara banyak, kecuali ada perlu atau pada teman yang akrab padanya, kadang-kadang jika mood akan banyak berbicara dan kata-kata yang keluar lumayan nyelekit. Fayka jadi sedikit ngeri, terasa awkward sekali.

"Entar lo kasih tau, apa yang musti gue bantu."

"Eh iya, Mas."

Yasa menatap Fayka lurus, sadar akan kekeliruannya Fayka meringis dan buru-buru meralat ucapannya. "Sori, maksudku, Bang Yasa."

"Lo mau ngerjain di mana? Perpus, kafetaria atau di mana?"

"Perpus aja deh."

"Oke, kafetaria."

"Hah?" dahi Fayka mengerut, membuat Yasa terkekeh.

"Besok, ya, di kafetaria. Kita kelompok satu, kan?"

Fayka mengangguk, mengiyakan pernyataan Yasa. "Kafetaria?"

"Iya, jam satu siang, lo ada kelas?"

"Enggak, kok."

"Bagus. Besok, jam satu siang di kafetaria."

"Perasaan tadi aku bilang di perpus?"

Yasa mengangkat kedua bahunya, lalu memberesi buku catatan miliknya dan memasukan buku itu di dalam tas ransel. Laki-laki itu lalu berdiri dari duduknya, menatap Fayka sekilas.

"Kafetaria jam satu siang, besok hari Kamis tanggal dua puluh lima. Inget ya, Fayka."

"Lah? Tau gitu ngapain nawarin di perpus."

"Senior bebas," balas Yasa lalu melangkah pergi meninggalkan Fayka.

"Idih songong, najis ah. Senior apaan? Belagu." Fayka mendumel atas sikap Yasa yang ia nilai songong. Senior katanya? Dasar manusia penganut senioritas.

***

Yasa tergelak saat mengingat kembali pertemuan pertama dan interaksi pertama dengan Fayka, hampir empat tahun yang lalu. Ia lantas menatap Fayka yang sibuk meminum teh poci sambil sesekali menatap bianglala yang sedang memutar, teman-temannya masih menaiki bianglala tersebut, sementara Yasa dan dirinya menunggu mereka sambil memakan kentang goreng di food court Surabaya Carnival.

"Kenapa ketawa? Waras?" kata Fayka sambil menatap Yasa ngeri.

"Ngawur lo. Gue keinget pas dulu kenal lo pertama kali, muka lo lucu."

"Emang aku badut?"

Yasa tertawa lagi sambil menggeleng. "Enggak, lo, kan, cantik, masa badut?"

"Aku enggak punya uang receh, enggak usah muji."

"Haha ... garing, ya?"

"Udah tahu nanya," kata Fayka sambil kembali menyomot kentang goreng.

Yasa menghela napas, ia senang melihat Fayka sudah bisa mengeluarkan ekspresi lain, selain sedih. Mengingat, masalah yang menimpa Fayka cukup banyak, dan kejadian nyaris bunuh diri kemarin.

"Gue seneng lo udah agak baikan."

"Aku masih berusaha," kata Fayka, ia tersenyum kecut.

"Jangan kayak kemarin lagi."

Fayka mengedikkan bahunya. "Aku baru sadar, aku punya temen yang selalu dukung. Disaat keluargaku enggak menerima kehadiranku, mereka masih mau menerimaku. Aku sedang mencoba memperbaiki hidupku."

"Apa yang bikin lo yakin buat bertahan?"

Fayka berhenti mengunyah dan menelan sisa makanannya. Ia lalu melihat ke arah bianglala yang memutar, dengan lampu warna-warni yang membuatnya tampak hidup dan cantik.

"Bianglala itu kayak roda kehidupan, kadang kita di atas, di tengah dan di bawah. Kalau saat ini aku di bawah, nanti pasti ada fase aku bakal di tengah dan di atas. Katamu, aku harus tetap hidup, meski cuma berpegang sama harapan yang enggak berdasar?"

Yasa mengangguk, membenarkan ucapan Fayka.

"Aku sedang mencobanya. Meskipun nyaris enggak ada harapan, tapi setidaknya, aku punya teman, aku punya diriku sendiri dan Tuhan. Aku sudah memikirkan semuanya, dan aku percaya masih ada kebahagiaan."

Fayka menghela napasnya, lalu menatap ke arah Yasa. "Makasih, udah selalu ada. Aku pengin lanjutin hidupku, aku pengin merealisasikan semua rencana yang sempat berantakan. Aku enggak pengin mati sia-sia, bukankah semua kehadiran manusia di dunia ini punya alasan?"

"Fay, semua manusia di dunia ini pasti berharga, Tuhan enggak akan menciptakan manusia tanpa peran apa pun di dunia. Begitu pun lo."

"Ya, saat-saat relapse kemarin sempat bikin hidupku ada di fase paling rendah. Di pikiranku isinya cuma ayo mati, mati, dan mati. Tapi setelah berpikir, aku sadar, mati enggak membuat semuanya selesai. Ada kehidupan setelah mati dan itu panjang, aku enggak pengin menyesal di kehidupan setelah itu. Mungkin kedengerannya terlalu agamis, tapi aku sadar, aku masih takut sama Tuhan, dan enggak benar-benar berani buat mati."

"Berarti iman lo masih kuat. Bukan berarti yang memilih bunuh diri imannya lemah, cuma kadang enggak bisa mengendalikan nafsu sesaat aja, pikiran pas lagi kacau emang butuh orang buat mendampingi, kebetulan orang-orang yang berhasil bunuh diri enggak punya itu. Gue bersyukur lo masih hidup sampai hari ini, Tuhan sayang lo, Fay."

Fayka menatap Yasa lalu tersenyum. Ia tidak mengatakan apa pun, hanya menikmati suasana ramai di sekitar, saat isi kepala sedang penuh, sepi mungkin menjadi tempat yang menyenangkan sekaligus berbahaya, dan keramaian menjadi tempat memuakkan sekaligus tempat yang aman. Fayka bersyukur, masih banyak yang peduli padanya.

"Ayo naik bianglala!" ajak Yasa, saat ia melihat makanan Fayka sudah habis.

"Emh, ngeri."

"Enggak papa. Lo harus lihat pemandangan Surabaya dari atas."

"Takut."

"Ada gue. Ayo!"

Fayka menelan ludahnya susah payah, namun akhirnya berdiri juga mengikuti Yasa menuju bianglala, kebetulan teman-temannya baru turun, mereka menatap Fayka dan Yasa sambil menahan tawa.

"Cieee, kencan uhuy," kata Rea menggoda.

"Enggak usah mulai lo, Re," balas Yasa, menatap malas pada Rea.

"Haha, ya, udah, selamat kencan, kita tunggu di sana, ya," kali ini, Mariam yang membalas. Mereka lalu pergi menuju food court, membiarkan Fayka dan Yasa naik ke bianglala.

"Enggak usah takut," ucap Yasa saat mereka sudah naik, kebetulan tidak ada antrean, karena bukan malam minggu, suasana tidak seramai weekend, dan itu sedikit menguntungkan.

"Loh loh, kok goyang goyang? Pak jangan digoyangin dong, saya takut," kata Fayka sambil menatap petugas bianglala yang malah tertawa.

"Biar seru, Mbak. Langgeng, ya, pacarannya."

"Eh, enggak—"

"Amin, makasih, Pak," sahut Yasa membuat Fayka menatapnya penuh tanya dan petugas itu mengacungkan jempol.

Bianglala lalu mulai naik ke atas, membuat Fayka tiba-tiba merasa awakward setelah Yasa menyela ucapan petugas tadi.

"Apaan?"

"Tadi maksudnya apa?"

Yas tersenyum singkat, lalu mengambil sesuatu dari saku celananya dan meraih tangan Fayka.

"Lo tahu ini apa?"

"Stiker? Semi colon, hah?"

Yasa memasang stiker itu di pergelangan tangan kiri Fayka. "Semicolon. Lo tahu artinya?"

"Emh ...."

"Semicolon digunakan buat orang-orang yang berkomitmen untuk menyambung, mempertahan dan mau berjuang atas hidup mereka lagi setelah mengalami fase hampir menyerah dan hampir mengakhiri hidupnya. Semicolon biasanya digunakan penulis jika ingin melanjutkan kalimat padahal harusnya bisa dikasih titik buat berhenti, penulis itu kayak lo dan kalimat itu adalah hidup lo. Paham, kan?"

"Iya. Makasih."

"Ini cuma sebagai simbol, gue baca di internet, dan langsung keinget lo. Stiker ini emang bakal ilang, tapi gue harap, maknanya membekas di hati lo, Fay."

Mata Fayka berkaca-kaca, ia terharu, Yasa seperhatian ini dengannya. Bianglala lalu berhenti di puncak tertinggi, menampilkan pemandangan Kota Surabaya yang dipenuhi lampu di malam hari. Indah dan menenangkan.

"Bagus, kan?"

"Bikin tenang," balas Fayka.

"Fay?"

Fayka menoleh kepada Yasa, laki-laki itu menatapnya serius. "Lo percaya, kalau gue sayang sama lo?"

"Hah?"

"Gue sayang sama lo, percaya?"

"Bercanda?"

Fayka memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Yasa yang menatapnya dalam. "Gue enggak mau menjanjikan apa pun buat lo. Gue tahu hidup lo udah berat. Gue cuma pengin lo tahu, gue sayang sama lo."

"Karena aku mirip Yaya?"

Yasa menggeleng. "Lo paham maksud gue? Bukan karena lo mirip Yaya. Karena lo, ya, lo, karena gue nyaman dan ngerasain hal yang enggak bisa gue jelasin. Gue tahu ini perasaan sayang antara lawan jenis, bukan dalam bentuk sayang sebagai saudara."

Fayka menundukan kepalanya, ia bingung harus berkata apa. Perempuan itu meremas jemarinya, ia gelisah. Yasa sayang padanya sebagai lawan jenis? Terlihat mustahil.

"Gue enggak mau ngebebani lo dengan hubungan. Lo enggak harus mikirin hal ini, jalani apa yang ada, enggak usah ngehindari gue nanti."

"Aku, cuma enggak nyangka. Kelihatannya terlalu mustahil."

"Apanya?"

"Perasaan Bang Yasa."

"Di dunia ini enggak ada yang mustahil. Sejak pertama lihat lo, emang udah beda. Belakangan pas kita deket, perasaan gue makin berkembang, cuma gue belum berani janjiin lo sebuah hubungan yang serius, kita masih harus berjuang buat hidup kita masing-masing."

"Makasih." Fayka menggigit bibir bawahnya, ada perasaan haru yang menyeruak. Yasa memiliki perasaan yang sama dengannya, tampaknya mustahil.

"Udah, enggak usah lo pikirin."

"Aku pengin menyelesaikan semuanya, biar aku lebih ikhlas dan bisa berjuang kembali atas hidupku. Aku pengin ketemu ayah kandungku."

"Ayah kandungmu?"

"Iya, namanya Ibra, kata orang itu, dia tinggal di Jakarta."

"Setelah skripsi selesai, lo bisa cari bokap kandung lo. Gue bantuin."

"Enggak segampang itu, kan?"

"Iya, memang. Tapi, harus dicoba. Apa yang mau lo lakuin pas ketemu Ibra?"

Fayka menghela napasnya, bianglala yang mereka naiki lalu berhenti dan petugas mempersilakan mereka untuk keluar. Yasa mengucapkan terima kasih lalu meraih tangan Fayka untuk pergi.

"Cuma pengin lihat sosok laki-laki yang meninggalkan ibu kandungku dan aku sampai hidupku seberantakan ini. Apa dia hidup bahagia sama keluarganya yang sekarang? Rasa-rasanya, enggak adil."

Fayka tersenyum kecut, membayangkan jika laki-laki itu hidup bahagia bersama keluarganya, sedangkan hidupnya seberantakan ini. Ia ingin marah pada Ibra, ingin memaki-maki pria itu.

"Sekarang fokus skripsian dulu, nanti bisa cari ayah kandung lo."

Fayka menatap ke arah Yasa. "Makasih, Bang. Buat semuanya, buat perasaannya, buat selalu ada."

"No need, thanks."

"Kamu tahu perasaanku gimana, enggak usah kujawab, ya?"

Yasa tergelak, lalu mengangguk. Ia akan memastikan, Fayka akan bahagia suatu hari ini. Perempuan itu layak bahagia setelah semua yang ia alami. Yasa yakin, suatu saat, semuanya akan membaik, dan menemukan tempatnya masing-masing.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro