Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Selangkah Lebih Dekat dengan Sidang

Jangan selalu memandang yang telah berlari lebih jauh, teruslah berjalan, jangan berhenti, pelan tapi pasti, Tuhan akan merestui segala harap yang kamu rapalkan setiap sepenuh hati.

"Jadi, bagaimana, Pak?"

Pak Edo tampak membolak balikan halaman bab empat milik Nindy. Pria itu duduk bersandar pada bahu kursinya dengan mata yang fokus pada angka berderet berisi interpretasi data milik Nindy. Pria itu lalu membuka kacamata miliknya, meletakkan benda itu di atas meja dan menatap lurus ke arah Nindy juga Fayka.

"Poin A, hasil penelitian yang kalian tulis ini salah. Kalian ini bagaimana? Tidak menjawab rumusan masalah, malah melenceng ke mana-mana, tidak sesuai yang saya minta."

Fayka menelan ludahnya kasar, ia menatap Pak Ego dengan wajah pias. Kumat lagi. Perempuan itu lalu mengumpulkan niat untuk menjawab pertanyaan Pak Edo. Ia hanya berdua dengan Nindy karena Yasa sudah lebih dulu bimbingan.

"Mohon maaf, Pak. Sebelumnya Bapak belum meminta kami menulis sesuai dengan instruksi, jadi kami menulis apa adanya."

Pak Edo mengangkat sebelah alisnya, menatap ragu pada Fayka. "Memang iya? Bukannya saya nyuruh?"

Fayka menggeleng, diikuti oleh Nindy. Jantung mereka berdetak lebih cepat, berhadapan dengan Pak Edo selalu memberikan sensasi panas dingin yang tidak mengenakkan badan.

"Ya sudah, nanti kalian masukkan deksripsi di poin ini; merumuskan masalah dan menentukan tujuan, merumuskan konsep hipotesis dan menggali studi kepustakaan, pengambilan sampel, pembuatan kuisioner, baru masuk ke poin pengolahan data. Itu harus runtut dan lengkap."

"Baik, Pak," jawab Fayka dan Nindy bersamaan, sedikit lega. Walaupun Pak Edo galak, tapi pria itu dosen yang cukup to the point, tidak meminta mahasiswanya memikirkan solusinya sendiri sampai pusing.

"Terus ini koefisien determinasi cari per variabel, variabel satu dan dua, variabel satu dan tiga, variabel dua dan tiga, variabel satu dua tiga, itu semuanya cari R square-nya, ini punya Anda berdua belum seperti itu. Terus nanti jangan lupa kelas interval per variabel di masukkan di poin pengolahan data, semuanya per variabel."

"Iya, Pak. Untuk yang lainnya bagaimana? Sudah benar?" Nindy kembali bertanya, sementara Fayka yang bertugas untuk mencatat yang diperintahkan oleh Pak Edo.

"Sementara itu dulu, nanti kalau ada kurangnya kalian harus perbaiki lagi."

"Baik, Pak. Emh, kira-kira kami bisa sidang kapan, Pak?" tanya Fayka, ia memberanikan diri untuk bertanya pada Pak Edo, mengingat saat ini sudah akhir mei, dan banyak teman-temannya yang bahkan sudah mendapatkan antrean untuk yudisium.

"Memangnya Anda cepat-cepat pengin lulus mau apa? Mau nikah?"

Nindy meringis, sementara Fayka tersenyum canggung.

"Ya, bukan begitu, Pak. Tapi, kan, harus segera lulus biar enggak bayar UKT lagi, terus juga biar enggak ada beban hehe ...." ujar Fayka, ia menatap Pak Edo tidak enak.

"Jangan buru-buru lulus, skripsi Anda diperbaiki yang bagus biar ada manfaatnya. Setidaknya, seumur hidup kalian melakukan satu kali penelitian dan ada manfaatnya, jangan cuma menjadikan skripsi sebagai syarat lulus dan tidak serius mengerjakan."

"Eh, iya, Pak. Tapi, bisa segera, kan?"

Pak Edo menghela napasnya, lalu memandang Nindy dan Fayka yang menunggu jawabannya. Pria itu lalu terkekeh membuat dua mahasiswa di depannya mengernyitkan dahi heran.

"Ya, bisa saja secepatnya. Asal, yang saya minta perbaiki sudah bagus."

"Baik, Pak. Kami akan perbaiki segera," kata Nindy kemudian. Fayka mengangguk setuju.

"Bagus, kalau tidak ada kepentingan, Anda boleh keluar."

"Terima kasih, kalau begitu kami permisi."

***

Fayka memijit kepalanya yang terasa berat. Ia baru saja mengirim revisinya pada Dicky, meminta bantuan laki-laki itu untuk menambah interpretasi data yang diminta Pak Edo. Kepalanya terasa sangat berat, ia bahkan malas untuk berpikir lebih berat lagi. Keinginannya hanya tidur dan tidak melakukan apa pun, namun mata dan otaknya menolak untuk berkompromi. Jam digital di atas meja di kamar kosannya masih menunjukkan pukul empat sore, karena perutnya yang terasa lapar sedangkan ia belum ingin memakan nasi, Fayka memutuskan mengambil kardigan berwarna biru miliknya juga rok panjang dan dompet untuk membeli camilan di minimarket depan.

Keberadaan dua orang yang dikenal oleh Fayka membuat langkah perempuan itu berhenti. ia memandang sosok yang sudah lama tidak ia temui dengan mata perasaan terkejut, matanya tiba-tiba terasa panas saat melihat bagaimana kondisi satu-satunya orang yang sangat menghargainya selama ini.

Jefran. Tubuh laki-laki itu tampak lebih kurus dari terakhir kali Fayka lihat, Jefran duduk di atas kursi roda menatapnya dengan dalam. Sementara tunangannya—Vinna berada di belakang Jefran untuk mendorong kursi roda laki-laki itu agar lebih dekat dengan Fayka.

"Fay," kata Jefran pelan, tubuh Fayka kaku. Ia tiba-tiba saja menangis, Fayka berjalan kaku mendekat pada Jefran dan menundukkan tubuhnya menyamai tinggi Jefran.

"Mas ...."

Lidah Fayka rasanya kelu, ia mengusap air matanya, lalu mendongak ke arah Vinna yang hanya diam. Menghela napas, Fayka berusaha untuk berbicara dengan Vinna.

"Bawa Mas Jefran masuk aja, Mbak."

Vinna mengangguk, lalu mengikuti langkah Fayka yang masuk ke dalam kosannya. Fayka membawa Jefran dan Vinna untuk duduk di ruang tamu yang memang tersedia untuk kunjungan keluarga.

"Maafkan Mas, ya, Fay?" Jefran membuka suaranya.

"Aku yang minta maaf karena enggak jenguk Mas Jefran, maaf." Fayka meremas kedua tangannya yang mendingin, ingatannya terkunci pada peristiwa saat ia di rumah sakit untuk menjenguk Jefran, tentang kenyataan pahit mengenai jati dirinya dan sikap Jannah padanya.

"Jangan benci sama mamamu, Fay. Mas tahu benar Tante Mel sangat sayang padamu, walau caranya memang keterlaluan."

Fayka menatap Jefran dengan mata yang memerah, ia memejamkan matanya sejenak untuk meredakan emosi.

"Aku nggak benci, hanya kecewa, oh ternyata memang aku enggak diharapkan." Fayka berucap dengan pahit.

"Enggak, bukan begitu. Selama ini, sebagian besar uang yang Mas berikan padamu adalah uang Tante Mel. Tante Mel selalu memantaumu melalui Mas Jefran. Sebenarnya, saat kamu SMP Tante mau mengambilmu dan membawamu bersamanya, tapi Mas yang enggak mau kehilangan adik Mas, maafkan Mas Fay, ini semua karena keegoisan Mas Jefran."

Fayka memalingkan wajahnya. Apa lagi ini?

"Mas berharap Ibu mau berubah seiring berjalannya waktu, tapi hal itu enggak pernah terjadi, dan setelah kamu masuk SMA, lalu jauh dari Ibu, Mas sedikit lega, setidaknya perasaanmu enggak dilukai Ibu setiap hari, tapi Mas salah, keegoisan Mas yang menahanmu untuk tetap bersama keluarga kita malah jadi petaka buat kamu, Fay."

"Orang-orang begitu mudah mempermainkan hidup orang lain, ya, Mas?"

"Maaf, Mas benar-benar menyesal."

Fayka menggeleng, ia mendekat pada Jefran, lalu meraih tangan laki-laki itu, Fayka tersenyum penuh luka. "Enggak usah minta maaf, semua udah terjadi. Garis hidupku memang kayak gini, aku sedang berusaha berdamai dengan semuanya Mas, dan makasih, Mas mau peduli sama aku, padahal aku bukan adik kandung, Mas Jefran. Tapi, semua ini berat buatku, Mas."

"Kamu adik Mas, selamanya akan jadi adik Mas. Maaf."

Fayka kembali menangis, ia lalu memeluk Jefran sembari menangis membuat Vinna yang berada di dekat Jefran ikut menangis. Mungkin Vinna juga menyesal karena pernah bersikap buruk pada Fayka.

"Tante Mel sedang berusaha mencari alamat Ibra, minggu depan mungkin akan ke sini dan menetap di sini sementara, kebetulan sekolah Gio sedang libur."

Fayka melepas pelukannya pada Jefran, lalu tersenyum sekadarnya. "Aku enggak tahu harus bersikap gimana sama ...."

Ibra tersenyum lembut, lalu menghapus air mata Fayka. "Enggak usah dipaksa, pelan-pelan aja. Kecewa memang sulit diobati, Fay. Mas tahu itu."

"Aku masih enggak menyangka, punya hidup sekacau ini, Mas."

"Kita perbaiki sama-sama, ya, Fay. Mas yakin, di masa depan kamu akan bahagia."

Fayka tersenyum kaku. "Mas tahu bagaimana pria bernama Ibra itu?"

"Vin, hpku?"

Vinna menyerahkan ponsel pada Jefran, laki-laki itu lalu membuka galeri di ponselnya dan menyerahkannya pada Fayka.

"Itu Ibra. Info terakhir yang didapatkan Tante Mel, Ibra sekarang ada di Jakarta, pria brengsek itu jadi anggota DPR."

Fayka tersenyum miris menatap sosok yang menyumbangkan DNA padanya itu. Ibra, laki-laki berambut hitam dengan sorot mata yang tajam. "Seru ya, Mas kalau aku hancurkan dia?"

"Maksud kamu?"

Fayka tersenyum miring. "Bagaimana kalau aku mengaku di depan publik sebagai anaknya? Wow, kariernya akan hancur, bukankah itu setimpal?"

Jefran menggeleng, "Mas enggak setuju. Mas takut terjadi apa-apa denganmu. Ibra orang yang punya kekuasaan, Fay."

Fayka tergelak, ia lalu kembali duduk di atas kursi, memerhatikan Jefran yang menatapnya dengan khawatir.

"Mas Mas ... aku enggak segila itu, mempermalukan diriku sendiri? Ayolah, menghadapi dosenku saja aku takut." Fayka memaksa untuk tertawa, walaupun kebencian di hatinya pada Ibra kembali meluap-lupa, Ibra hidup dengan sukses dan bahagia. Sedangkan dirinya? Menjadi korban keegoisan mereka.

"Mas akan temui kamu ketemu Ibra bersama Tante Mel segera setelah kamu sidang."

"Aku bahkan belum tahu kapan sidang." Fayka menatap nanar dinding di depannya, lagi-lagi ia dipenuhi kekhawatiran tentang sidang skripsi.

"Skripsimu sampai mana?"

"Masih perbaikan bab empat, doakan saja bulan depan bisa sidang."

"Ya, pasti Mas doakan."

Fayka menghela napasnya. Ia tidak bisa membenci Jefran yang selalu baik dan membelanya di depan Jannah saat wanita itu memperlakukannya dengan buruk. Meskipun Jefran turut andil dalam mengacaukan hidupnya, tapi Fayka juga sangat menyayangi laki-laki itu.

"Fay, ibu menitipkan sesuatu untukmu."

Dahi Fayka mengerut, "Ibu? Ibu siapa?" tanya Fayka memastikan. Takut salah dengar.

"Ibu Jannah, itu dibawa Vinna. Donat gula kesukaanmu."

Fayka tersentak, ia menatap sekotak donat gula yang diberikan oleh Vinna, memandangnya dengan perasaan yang campur aduk, tangannya bergetar saat menyentuh kotak itu.

"Mas bohong?"

Jefran menggeleng. "Mas serius. Sepertinya Ibu mulai menyesal setelah tahu kamu nyaris bunuh diri hari itu. Belakangan ini Ibu selalu murung, dan saat Mas bilang akan menemuimu, Ibu langsung membuat donat itu dan meminta Mas memberikan padamu tapi Ibu bilang Mas enggak boleh bilang kalau donat itu darinya. Sepertinya Ibu masih gengsi."

Mata Fayka berkaca-kaca, ia mengambil satu donat dari kotak berwarna pink itu lalu memerhatikannya lamat-lamat. Benar, makanan ini kesukaannya, dulu sewaktu kecil, ia sangat girang saat Jannah membuat makanan ini. Fayka bahkan tidak memakan nasi seharian dan hanya memakan donat gula. Tapi, sudah lama rasanya, ia tidak memakan donat gula buatan Jannah.

"Mas mewakili Ibu minta maaf padamu, ya, Fay."

Fayka hanya diam, ia lalu memakan donatnya sembari menangis. Rasanya sesak sekali. Jannah? Wanita itu, Fayka tidak benar-benar membencinya, omongan dan sikapnya memang buruk tapi Jannahlah yang selama ini memrawat Fayka. Jannah hanya wanita keras kepala yang tidak benar-benar tahu cara mendidik seorang anak, Jannah berpikir Fayka adalah boneka yang bisa dikendalikan, tapi jauh di lubuk hatinya, Fayka menyayangi wanita itu.

***

Setelah pertemuannya dengan Jefran dan Vinna kemarin, Fayka tidak beranjak dari kamarnya. Ia hanya meninggalkan kamarnya saat mengambil pesanan makanan, setelah itu, ia lebih memilih untuk bersembunyi di balik gelap, sembari menatap donat yang dibawakan oleh Jefran. Sampai akhirnya Yasa memaksanya untuk bertemu, laki-laki itu berulang kali meneleponnya hingga membuat jengah.

"Kamu mau ngomong apa, sih? Kenapa harus jauh banget sampai sini? Kan, bisa besok di kampus," kata Fayka, Yasa mengajaknya ke sebuah kedai kopi terkenal di Surabaya Pusat.

"Lo yang kenapa? WA gue cuma di-read doang, lo jadi cuek gini, kenapa?"

"Kenapa emang? Aku cuma membatasi diri." Fayka berusaha menanggapi ucapan Yasa dengan santai, perempuan itu lalu menyesap caramel machhiatto miliknya.

"Hah, batasin diri? Dari apaan?"

Yasa bersedekap, ia melihat Fayka dengan tajam. Sedangkan Fayka sendiri hanya duduk santai menanggapi ucapannya.

"Wah lucu, nggak sadar diri? Bang Yasa masih dekat, kan, sama banyak perempuan? Aku cuma membatasi diriku, kok, siapa tahu salah satu dari mereka pacarmu, salah-salah aku dituduh rebut pacar orang nanti."

"Ngaco." Yasa mendengkus. "Soal yang lo lihat sama Nindy kemarin, gue cuma nganterin Lana ke dokter, dia sakit dan temennye nggak ada yang bisa nganter."

"Oh, kenapa harus dijelasin? Memangnya kita ada hubungan?"

Yasa berdecak, ia meremas rambutnya kasar. Ucapan Fayka menohoknya. "Lo mau kita pacaran? Lo siap jalanin hubungan sama gue?"

"Bang Yasa tahu jawabannya. Lagi pula, Bang Yasa masih enggak tegaan, kan, sama perempuan lain? Maksudku, masih enggak bisa fokus buat perhatian ke satu perempuan." Fayka menyandarkan tubuhnya pada bahu kursi, lalu menatap Yasa dengan senyum tipis.

"Kamu tahu, kan, bagaimana masa laluku? Saat ini, aku berat mempercayai sebuah hubungan, kesetian seorang laki-laki, apalagi dengan fakta bahwa, kamu nggak tegaan sama perempuan, nggak bisa tegas buat menolak jika mereka—gebetanmu minta bantuan. Bayangin kalau kamu punya pacar, aku yakin kamu enggak akan pernah mempertimbangkan hal yang keliatannya simpel tapi berpengaruh besar pada hubungan."

"Maksud lo? Sori, gue nggak paham."

"Dalam sebuah hubungan itu harus saling menghargai, harus bisa sama-sama menutup peluang pihak lain yang mau masuk dan merusak. Kulihat, Bang Yasa belum bisa sampai ke titik itu, perasaan enggak tega dan rasa kasihan pada perempuan malah bikin Bang Yasa bisa melukai perasaan orang yang Bang Yasa sayang."

"Jadi, gue harus jauhin mereka semua?"

Fayka menggeleng. "Aku nggak nyuruh. Kita enggak ada hubungan apa-apa, Bang Yasa bebas mau sama siapa aja."

Yasa menghela napasnya, apakah pemikirannya yang belum bisa mengajak Fayka pacaran itu salah? Ia hanya merasa tidak ingin membebani Fayka dengan embel-embel pacar. Bagaimanapun masalah Fayka sudah banyak.

"Lo jelas tahu, Fay. Perasaan gue kayak gimana, alasan gue enggak ngajak lo pacaran. Kalau sekarang gue ngajak lo jadi pacar gue, lo mau nerima gue?"

Lidah Fayka kaku, bukan ini maksudnya. Ia tidak menuntut Yasa untuk menjaga hatinya, Fayka hanya ingin membatasi diri, tidak ingin terlalu dekat karena ia takut akan jatuh terlalu dalam nantinya.

"Bukan gitu maksudku, Bang."

Yasa tersenyum miris. "Jadi, lo nolak gue, kan?"

Fayka menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia lalu menatap ke arah lain, menghindari tatapan Yasa. "Aku cuma pengin kita enggak terlalu dekat, aku takut semua ini hanya akan berakhir dengan kita yang saling melukai. Kamu paham, kan, bagaimana kondisiku saat ini?"

"Mana bisa enggak terlalu dekat? Lo bertanggung jawab atas perasaan gue, Fay. Gue enggak bisa kalau lo minta gue buat ngejauh, enggak segampang itu."

"Kenapa?"

"Gue enggak pernah ngerasain perasaan sebesar ini sama orang lain, dan setelah semuanya, lo minta gue buat enggak terlalu dekat sama lo? Lo pernah mikir kalau lo egois enggak?"

"Maaf." Fayka menundukkan wajahnya, sedari tadi ia menghindari tatapan Yasa.

"Gue bisa terima kalau lo enggak mau pacaran, tapi untuk jauh dan biarin lo berjuang atas hidup lo sendiri, gue jelas enggak bisa." Yasa meraih tangan Fayka, menggenggam tangan perempuan itu dengan erat, Yasa ingin Fayka sadar sedalam apa perasaannya pada Fayka.

"Pada akhirnya aku akan tetap berjuang sendirian, setelah lulus, Bang Yasa jelas akan kembali ke Jakarta dan aku masih enggak tahu mau ke mana."

Yasa menggeleng. "Gue siap kalau kita LDR, hubungan di usia sekarang bukan hal yang main-main Fay. Gue enggak pengin nyari orang lain kalau udah ada yang bisa gue jaga dan gue perjuangkan, gue enggak ada waktu buat itu."

"Yakin mau LDR? Secara Bang Yasa enggak bisa jauh dari perempuan."

Yasa mendengkus. "Lo ngeraguin gue sih. Kan, ada Seina, dia bisa laporan ke lo kalau gue nakal sama cewek lain. Atau, lo mau ikut gue ke Jakarta? Sekalian nyari Bokap lo?"

"Jakarta? Tinggal sama siapa? Memang gampang nyari tempat tinggal sama kerjaan?"

"Ya, tinggal sama guelah. Ini zaman modern, gue enggak akan ngapa-ngapain lo juga. Atau mau kita langsung nikah?"

Fayka menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ngaco aja kalau ngomong. Sekalipun modern, aku tetap menganut budaya kita, ya, Bang. Mana bisa kayak gitu? Terus nikah? Eh dikira enak apa? Secara finansial yakin? Secara psikis gimana? Paham enggak, sih, kalau nikah enggak siap segalanya itu malah jadi toksik."

Yasa tergelak, ia memandang Fayka yangs sedang cemberut. Lucu. Fayka selalu bisa memperbaiki mood-nya dan juga penghancur mood-nya.

"Ya udah, jadi mau lo gimana?"

"Ya enggak gimana-gimana, aku mau fokus sama skripsi dulu, pengin cepet lulus."

"Tenang, nanti gue bujuk Pak Edo biar kita segera sidang, bab empat gue juga masih revisi dikit."

"Moga aja bulan depan udah bisa sidang yang lain udah pada sidang bahkan mau yudisium."

"Nanti kita juga dapat giliran."

Fayka tersenyum, merapalkan amin dalam hatinya. Ia berharap untuk segera sidang dan menyelesaikan kuliahnya, agar satu bebannya sedikit terangkat. Fayka ingin segalanya cepat selesai dan ia bisa memulai lembaran baru dalam hidupnya.

"Rasanya iri ngelihat yang lain udah pada mau yudisium, dan beberapa lagi nunggu kuota yudisium selanjutnya, aku masih gini-gini aja."

"Bentar lagi Fay, tinggal selangkah lagi. Lo tetap semangat, kan, enggak sendirian, ada gue sama Nindy juga."

Fayka tersenyum kecut, "Iya, tahu, kok. Mungkin, rasa iri gini manusiawi, ya?"

"Udah enggak papa. Yang penting lo tetep optimis, gue janji bakal perjuangin buat kita sidang bulan depan, lo berusaha dan tetep berdoa."

Fayka mengengguk, ia melihat kesungguhan di mata Yasa. Kalau mengingat saat awal bimbingan dengan Yasa, Fayka tentu tidak menyangka Yasa akhirnya akan mengerjakan skripsinya dengan semangat seperti saat ini, dan malah progres Yasa sebenarnya selangkah lebih cepat dari dirinya dan Nindy. Fayka menatap ke arah Yasa sembari tersenyum, ia berharap yang terbaik untuk mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro