Sebuah Kata Maaf
Keluarga tidak akan tergantikan oleh apa pun, sekalipun saling membenci dan terkikisnya cinta di antara yang ada.
"Selamat buat kita semua, akhirnya bener-bener resmi lulus," ucap Yasa, lalu mengangsurkan tangannya pada dua teman seperjuangan, Nindy dan Fayka.
"Ya Allah akhirnya resmi lulus S.Psi dong ... nggak sia-sia, kan, kerja lembur bagai kuda haha ...," kata Nindy sambil tertawa.
Fayka ikut tersenyum, akhirnya perjuangan mereka selama setahun ini terbayar lunas, walau harus sidang di akhir semester delapan dan kemungkinan tidak bisa ikut wisuda karena keterbatasan kuota wisuda.
"Sayangnya nggak bisa ikut wisuda, kuota wisuda seratus delapan udah penuh," keluh Fayka, perempuan itu menghela napasnya.
"Ya mau gimana lagi? Seenggaknya kita udah berusaha dan berhasil sidang, meskipun, ya, nggak kekejar wisudanya, terus juga kayaknya musti bayar UKT nih, nggak kekejar juga buat upload nilai tanggal delapan belas besok. Tinggal seminggu lagi dan kita belum revisian, tahu sendiri Pak Edo sama Bu Anna gimana," timpal Nindy.
"Mau ke Starbuck depan dulu? Minum-minum?" Yasa memberi tawaran, saat ini mereka sedang duduk di depan kantor dosen usai sidang dengan Bu Della. Karena perayaan kelulusan sidang sudah hari Jumat kemarin, hari ini tidak ada teman yang datang.
"Gila ... mainnya starbakkk cuy, ada duit Bang?"
Yasa menyentil kening Nindy membuat perempuan itu meringis, sedangkan Fayka hanya diam sambil memperhatikan dua temannya yang sedang ribut.
"Ngehina lo Ndy, ya, adalah ...."
"Traktir, kan, Bang?"
"Astaga ... lo traktir mulu," dumel Yasa, Nindy tergelak.
"Ya udah ayo!"
"Serius, nih? Beneran?"
"Buruan dah, gue tinggal, nih?" Yasa melirik ke arah Fayka, "Ayo, Fay? Ikut, kan?"
Fayka menganggukkan kepalanya, ia juga ingin merayakan selesainya sidang skripsi setelah beberapa hari ini terbebani dengan sidang skripsi dan segala kemungkinannya. Sidang skripsi memang sanggup membuat seseorang tidak enak makan dan tidak enak tidur selama berhari-hari.
Nindy berjalan di depan dengan semangat, sementara Yasa dan Fayka tertinggal di belakang. Sesekali Yasa akan melirik ke arah Fayka yang memilih diam sejak selesai sidang setengah jam yang lalu. Entah karena kepikiran hasil sidang atau karena suatu hal lain, Yasa tidak dapat menebaknya.
"Lo kenapa? Daritadi diem terus?"
Fayka menoleh pada Yasa lalu tersenyum singkat. Perempuan itu tidak langsung menjawab, matanya menatap lurus ke arah jalan raya yang ada di depan mata setelah mereka tiba di depan gerbang utama fakultas.
"Cuma lagi kepikiran sesuatu."
"Hasil sidang?" Yasa menebak, Fayka menggeleng.
"Sesuatu yang lebih rumit dari sidang."
"Keluarga?"
Fayka menarik napasnya, sembari tersenyum masam. Raut wajahnya tiba-tiba keruh tidak bersemangat. "Belakangan ini, aku masih nggak percaya hidupku jadi sebegini rumitnya. Dalam sekejap mata semuanya berubah. Semuanya nggak lagi ada pada tempatnya."
"Di dunia ini, memang nggak ada yang tetap, pasti akan ada yang berubah, mau nggak mau, perubahan itu pasti."
"Iya, tapi yang ini terlalu ekstrem."
Yasa menggenggam tangan Fayka saat mereka akan menyebrang, khawatir Fayka sedang tidak fokus karena di kepalanya sedang terisi oleh hal-hal rumit yang tidak mampu Yasa pahami.
"You did well, Fay. Dulu, pas Bokap pergi dan Yaya juga milih buat menyerah, gue juga sempet ngerasa nggak terima sama keadaan yang ada, semuanya serba mendadak dan nggak bisa gue prediksi. Dalam sekejap mata, orang-orang yang gue sayang pergi tanpa ada yang pamitan ...," Yasa melihat ke arah Fayka, lalu melepas tautan tangannya setelah mereka tiba di seberang jalan. "Tapi, Nyokap gue bilang, life must go on, gue harus bangkit dan melepaskan kenangan menyedihkan di masa lalu, gue nggak bisa terus-terusan stuck di tempat yang sama. Waktu terus bergerak meski yang kita sayang pergi, waktu tetap bergerak meski takdir kita nggak sesuai ekspektasi. Intinya, waktu bakal tetap bergerak apa pun yang terjadi, dan lo nggak bisa berhentiin itu, lo juga nggak bisa stuck di tempat yang sama."
"Kadang aku merasa takdir itu nggak adil. Yang seneng, ya, seneng terus, yang sedih, ya, sedih terus."
"Life is balance, Fay. Ada namanya roda kehidupan. Nggak selamanya seseorang itu bakal seneng terus, ada saatnya dia bakal sedih dan sebaliknya. Lo nggak usah khawatir, nanti ada saatnya lo bahagia."
"Kapan?"
"Lo yang menciptakan kebahagiaan itu bukan orang lain, kalau lo tanya kapan. Gue bakal tanya balik, kapan lo mau mulai buat bahagia?"
"Woy, pacaran terus. Udah ayo pesen!" teriak Nindy, membuyarkan suasana.
"Berisik lo."
***
"Jadi, kalian udah resmi pacaran?" Nindy memulai percakapan setelah mereka mendapatkan minuman masing-masing.
"Nggak," sahut Fayka setelah diam sejak tadi.
"Ih, kenapa nggak pacaran aja? Cocok tahu."
"Coba lo paksa temen lo buat nerima gue, deh, Ndy."
"Emang udah ditembak, Bang?"
"Lo tanyain coba, masa gue digantungin?"
"Jemuran, dong?" Nindy tergelak membuat Yasa mengumpat. Kesal sekali dengan Nindy.
"Kenapa nggak diterima aja sih, Fay?" Nindy melempar pertanyaan pada Fayka membuat Fayka tiba-tiba tersedak saat minum caramel macchiato.
"Lo nggak papa?"
"Nggak papa."
"Aduh, Fay ... sori."
Fayka mengangguk, ia mengambil tisu lalu mengelap mulutnya. "Apanya yang diterima?"
"Lah, ya, cinta Bang Yasa dong, eakkk ...."
"Hah? Kan, cuma dikode nggak diajak pacaran."
Yasa membulatkan kedua matanya, apa-apaan Fayka? Tidak diajak pacaran? Padahal Yasa sudah mengatakan bolak-balik tentang perasaannya dan kemungkinan jika mereka pacaran.
"Fay, lo amnesia?"
Fayka terkekeh lalu menggeleng. "Bang Yasa bisa LDR?" tanya Fayka tiba-tiba.
Yasa sedikit berpikir, ia belum pernah LDR selama ini, tapi kalau mencoba dengan Fayka sepertinya tidak masalah. Yasa merasa sudah sangat cocok dengan Fayka dan sepertinya Fayka adalah orang yang tepat untuknya.
"Kelamaan jawab, berarti nggak bisa LDR," kata Nindy memandang kesal pada Yasa.
"Realistis, Ndy, gue belum pernah LDR bisa nggaknya, ya, belum tahu."
"Kamu sendiri gimana Fay? Kalian nggak mau nyoba gitu?"
Fayka mengangkat kedua bahunya. "Di umur segini, dan lagi banyak pikiran bikin aku nggak lagi memprioritaskan pacaran Ndy. Rasa-rasanya isi kepalaku udah terlalu banyak."
"Lo denger sendiri, Ndy?"
Nindy menghela napasnya kesal, dua manusia di depannya sangat ribet. "Kalian tuh ya, iya, ya, iya, enggak, ya, enggak. Jadi, iya apa enggak?"
"Iya."
"Nggak," kata Fayka berbarengan dengan jawaban iya dari Yasa.
"Yah, Bang ... ditolak. Layu sebelum berkembang."
"Ya emang ditolak. Makanya gue lagi berusaha biar di masa depan bisa diterima."
"Ya ampun kalian ... ribetttt, padahal saling sayang. Kan, aku yang gemes."
Nindy menopang dagunya pada kedua tangan. Perempuan itu benar-benar gemas dengan dua orang di depannya yang membuat rumit sesuatu. Yasa dengan perasaannya yang tidak ingin menyakiti Fayka dan Fayka yang belum mau untuk mencoba hal yang lebih tinggi dari sebuah pertemanan.
"Ya udah komitmen aja, deh, kalian. Ntar langsung nikah."
"Ya emang komitmen," kata Yasa kesal, ia lalu meminum kopinya dengan cepat.
"Terus rencana kalian apa setelah ini?" Nindy mengalihkan pertanyaan, tidak sanggup lama-lama membahas tentang hubungan Yasa dan Fayka yang rumit.
"Gue balik ke Jakarta, sih, Ndy, kalau surat kelulusan udah keluar sambil nunggu wisuda. Nyari kerja."
"Kamu, Fay?"
Fayka mengangkat kedua bahunya. "Bingung, pengin ngademin kepala sama hati dulu, liburan dalam jangka waktu yang lama misalnya?" Fayka memang berencana akan pergi liburan setelah semua masalahnya memiliki sisi terang. Ia perlu menyendiri untuk sementara waktu, keluar dari keadaan dan lingkungan yang menjadi beban di kepalanya.
"Yah, aku mau nikah, dong, tapi kerja dulu haha ...."
"Serius? Selamat, Ndy."
"Iya, Fay. Tapi, ya, nggak sekarang, kerja dulu sih. Kamu nanti cepet nyusul ya, Fay. Jangan denial orang-orang yang emang serius mau masuk ke dalam hidup kamu. Kamu butuh orang lain buat berbagi dan jagain kamu nanti. Inget loh, manusia mahluk sosial." Nindy melirik ke arah Yasa yang menaikkan kedua alisnya.
"Mungkin nanti, nggak sekarang. Thanks anyway."
"Oh iya, jangan lupa bawa photocopy legalisir ijazah SMA ya, buat daftar surat kelulusan sama yudisium. Ini aku besok juga mau minta legalisir ke SMA-ku dulu."
"Hampir lupa, mesti pulang dong? Eh, kita revisian kapan?"
"Hari Kamis aja, masih ada waktu kalau mau pulang, Fay. Bang Yasa gimana?"
"Aman, ntar gue minta Nyokap buat maketin."
"Oke deh. Eh kayaknya aku nggak bisa lama-lama deh, udah dijemput Mas pacar, nih."
Nindy melihat pesan di ponselnya, lalu mengarahkan tatapannya pada Yasa dan Fayka. "Aku duluan, ya, thanks kopinya Bang, besok lagi, ya? Haha ...."
"Take care, Ndy."
Nindy mengangguk lalu segera beranjak dari tempat itu. Sementara Yasa masih tertinggal Bersama Fayka yang sedeng menghabiskan minumannya.
"Gue anter pulang, ya?"
"Nggak ngerepotin?"
"Nggak."
"Oke."
***
Fayka berada di dalam kereta bersama Gio dan Mel. Hari ini ia akan pulang ke tempat keluarganya untuk mengambil legalisir ijazah. Gio memaksa ikut, dan mau-tak-mau Mel juga harus ikut, karena tidak mungkin meninggalkan Gio Bersama Fayka sendirian. Sepanjang perjalanan, pikiran Fayka masih dipenuhi soal tanggapan ibu angkatnya akan kedatangannya hari ini. Terakhir kali mereka bertemu saat dulu Jefran masih dirawat di rumah sakit. Setelahnya, Fayka benar-benar putus komunikasi dengan kedua orang tua angkatnya. Bahkan saat ayah angkatnya menghubungi, Fayka memilih untuk mengabaikan.
"Fayka, ayo! Kata Mommy, kita sudah sampai."
Fayka mengangguk, lalu meraih tas ranselnya dan menggendong tas itu di punggung belakang. Mereka keluar dari kereta dan segera menuju ke depan stasiun, mencari supir yang akan menjemput.
"Semuanya akan baik-baik saja," kata Mel saat wanita itu memperhatikan raut wajah Fayka yang gusar sejak tadi.
Fayka hanya menoleh sekilas, tidak berniat untuk menjawab. Ia fokus mencari supir keluarga yang akan menjemput mereka, dan saat menemukannya, Fayka memilih untuk masuk ke dalam mobil dan duduk di bagian depan, membiarkan Gio dan Mel duduk di belakang. Mungkin, Fayka sudah bisa menerima semuanya dan mencoba memaafkan Mel, tapi ia masih perlu waktu untuk menerima Mel sebagai ibunya. Semuanya tentu tidak mudah, hidup dalam kebohongan selama bertahun-tahun dan hidup dalam siksaan batin yang kuat Bersama Jannah bukan hal yang akan langsung hilang dari hidupnya dalam sekejap mata.
"Fayka, kamu baik-baik saja?" Gio bertanya dengan penuh curiga, ia mungkin tahu Fayka tanpak berbeda dari beberapa hari yang lalu.
"Nggak papa, kok, G. Ngantuk tadi."
"Yah, saya harap juga kamu baik-baik saja."
"Thanks, G."
Fayka menghela napasnya saat mobil yang ia tumpangi tiba di rumah Brata. Kondisi rumah ini masih sama seperti kali terakhir Fayka lihat, hanya saja sepertinya ada beberapa tanaman baru yang menghiasi pekarangan rumah. Jannah memang suka memelihara tanaman hias, Fayka masih ingat, dulu saat SD, setiap sorenya ia yang akan kebagian menyirami tanaman hias Jannah dengan air bekas rendaman beras—katanya membuat tanaman lebih ternutrisi, dan dengan senang hati Fayka akan melakukannya.
"Jefran!" teriak Gio begitu melihat Jefran. Laki-laki itu sudah bisa berdiri dan berjalan walau masih agak pincang.
"Gio, bagaimana kabarmu?"
"Saya sangat sehat. Kakimu bagaimana?"
"Sudah lebih baik hanya saja kita belum bisa bermain bola," gurau Jefran, Gio tertawa.
"Tante Mel? Fay? Ayo masuk!"
"Kakimu sudah lebih baik, Jef?" Mel bertanya sambil melihat Jefran yang agak lebih kurus dari dulu sebelum kecelakaan.
"Ya, bentar lagi juga bisa jalan, Tan. Butuh beberapa kali terapi dan kemauan lagi, sih."
"Bagus, pernikahan kamu?"
"Dua bulan lagi, Tan. Nanti Tante datang, kan?"
"Tante usahakan, ya, Gio mau masuk sekolah juga. Tapi mungkin Tante tinggal di sana bersama papanya, Tante masih ada urusan di sini," jelas Mel, Jefran tersenyum mengerti.
"Kamu nggak mau peluk Mas?" tanya Jefran pada Fayka, perempuan itu melihat Jefran dengan pandangan dalam.
"Aku mau ke kamar, Mas," pamit Fayka, ia pergi begitu saja meninggalkan Jefran, Gio dan Mel yang sedang berada di luar tamu.
"Tante yang sabar, ya? Suatu hari nanti, Fayka akan menerima Tante sebagai Ibu."
"Tante harap masih punya kesempatan itu, Jef."
"Pasti. Jefran yakin Fayka akan benar-benar menerima Tante sebagai ibunya."
Mel tersenyum tipis, mengamini ucapan Jefran.
***
"Bagaimana kabarmu, Fay?" Brata membuka percakapan, setelah mereka semua berkumpul di meja makan. Fayka memang lebih banyak diam, dan mengabaikan semua orang.
"Baik."
Brata menghela napasnya, menatap Fayka dengan sedih. Walau Fayka bukan anak kandungnya, tapi Brata yang sudah merawatnya sejak bayi, dan pria itu sudah menganggap Fayka sebagai anak kandung, meskipun mungkin ia kurang perhatian pada Fayka, karena memang Brata bukan tipe orang yang terlalu perhatian dengan orang lain.
"Kami tetap orang tua kamu, Fay. Jangan sungkan dan jangan merasa asing," kata Brata, Fayka tidak menanggapi. Ia memilih untuk memakan nasi di piringnya.
"Fay, Ibu tadi masakin ayam rica-rica kesukaan kamu, kok, nggak dimakan?" ucap Jefran, laki-laki itu melirik ibunya yang juga sama diamnya dengan Fayka. Jannah memang memasak banyak makanan malam ini, salah satunya ayam rica-rica kesukaan Fayka.
"Udah cukup, kok, Mas. Ini aja," Fayka menunjuk telur dadar, tumis brokoli dan tempe goreng di piringnya.
"Jangan dipaksa kalau tidak mau, Jef," kata Jannah menyahuti. Ia memang sekilas pada Fayka lalu sibuk dengan makanannya lagi. Jefran menghela napasnya, ibunya itu keras dan Fayka menjadi keras juga belakangan ini. Akhirnya mereka memilih diam sampai selesai makan.
"Ibu nggak mau ngobrol sama Fayka?" kata Jefran pada ibunya, Fayka sedang duduk di ruang tengah, menonton televisi bersama Gio.
"Ngomong apa?"
"Aku tahu, Ibu ingin ngobrol dengan Fayka."
"Jangan sok tahu kamu," kata Jannah dengan suara sedikit meninggi, mereka sedang berada di dapur bersama Mel juga.
"Ibu yang harus memulai, minta maaf sama Fayka. Bagaimanapun sikap Ibu pada Fayka selama ini salah. Ibu terlalu keras pada Fayka."
Jannah diam, ia sibuk menata makanan yang masih tersisa untuk dimasukkan kulkas. Wanita itu hanya menghela napasnya.
"Saya minta maaf, ya, Mbak Jannah, gara-gara saya kita semua jadi rumit."
"Makanya kamu jaga kelakuan, jangan jadi jalang, agar jadi tidak merepotkan semua orang. Laki-laki brengsek kamu percaya, ya, hidupmu berantakan."
"Saya tahu, Mbak. Saya sedang berusaha memperbaikinya."
Jannah mendengkus, ia melihat malas pada Mel lalu pergi dari dapur setelah kegiatannya selesai. Jannah berjalan ke ruang tengah, ingin melihat Fayka walau sekilas. Wanita itu sudah menyadari bahwa kesalahannya pada Fayka sudah terlalu besar dan mungkin sulit untuk termaafkan. Sayangnya, Jannah juga bukan orang yang mudah untuk meminta maaf, ia memiliki ego yang tinggi. Walau begitu, diam-diam selama ini Jannah selalu meminta Jefran untuk mencari kabar apa pun tentang Fayka, termasuk saat Fayka sidang skripsi kemarin.
Fayka menahan napasnya saat tidak sengaja berpapasan dengan Jannah saat ia akan kembali ke kamarnya. Mereka menghentikan Langkah dan saling terdiam satu sama lain, Jannah memandangannya dengan dalam sebelum akhirnya memalingkan wajah. Wanita itu seperti menahan diri untuk mengucapkan sesuatu dan melihat Fayka dengan gusar.
"Maaf," katanya singkat, kemudian ... Jannah memilih untuk berbalik arah dan pergi ke kamarnya, tidak siap berhadapan dengan Fayka lebih jauh.
"Maaf?" Fayka membeo, ini kali pertama Fayka mendengar kata maaf dari bibir Jannah, rasanya aneh ... dan entah mengapa Fayka ingin menangis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro