Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sebuah Harapan

Denganmu, aku menitipkan potongan harapan yang kuyakini mampu membawamu ke dalam dekapan.

Fayka sedang duduk gelisah di depan ruang konseling yang dijadikan sebagai tempat sidang. Saat ini, Yasa sedang di dalam ruang pembantaian. Laki-laki itu sedang berjuang untuk kelulusannya, menghadapi dua orang dosen yang dikenal kritis dan disegani kebanyakan mahasiswa di jurusan.

Fayka menarik dan menghela napasnya, ia gugup dan takut dalam satu waktu. tangannya gemetaran sejak tadi, bahkan saking gugupnya perempuan itu sampai dua kali muntah. Nindy pun tak beda jauh, wajahnya sudah tampak pucat, walau sesekali masih tersenyum di depan beberapa teman yang datang.

"Minum dulu Fay, nanti kamu pingsan," kata Nida menyodorkan sebotol air mineral untuk Fayka.

"Nggak pengin minum, Nid."

Nida menghela napasnya, perempuan itu lalu menggenggam tangan Fayka yang dingin. Ia menatap hangat ke arah mata Fayka yang tidak bisa fokus sejak tadi. "Listen, semuanya akan baik-baik aja, buktinya aku masih hidup, kan, habis sidang bulan lalu? Kamu juga gitu, pasti bisa kok. Kan, udah belajar?"

"Gimana kalau nggak lulus?"

"Nggak, semuanya akan lulus. Tenang ya," kata Nida, lalu melepas tangan Fayka dan kembali menyodorkan sebotol air mineral untuk Fayka.

"Makasih," balas Fayka, lalu ia meminum air mineral yang diberikan Nida.

Fayka terkesiap saat mendengar derit pintu yang dibuka dari samping, Yasa muncul dengan wajah penuh kelegaan. Laki-laki itu lalu tersenyum seakan bangga sudah berhasil menyelesaikan semuanya.

"Fay, giliran lo. Semangat, ya! Lo pasti bisa," ucap Yasa, ia mendekat ke arah Fayka yang semakin lesu. Lalu menepuk bahu Fayka pelan.

"Makasih, Bang Yasa lulus, kan?"

Yasa mengangguk. "Iya kemungkinan, tinggal sama Bu Della. Aman lah, lo harus yakin sama diri lo sendiri."

"Iya, makasih, ya. Nida, Nindy, semuanya, aku masuk duluan, ya?"

Fayka menarik napasnya panjang sebelum masuk ke dalam ruang sidang. Tampak Bu Anna sedang memakan kacang dan Pak Edo yang sibuk membaca proposal skripsi yang kemungkinan besar milik Fayka.

"Selamat pagi, Pak Edo dan Bu Anna, saya Fayka Ailia NIM 41 akan mempresentasikan hasil penelitian saya yang berjudul faktor-faktor yang memengaruhi siswa dalam menentukan minat ekstrakurikuler di sekolah."

"Selamat pagi Fayka, selamat, ya, sebentar lagi bisa lulus dari kampus ini. Silakan mulai presentasi Anda," kata Bu Anna mempersilakan Fayka untuk memulai presentasinya.

Fayka mengangguk kaku, ia kemudian memegang mouse-nya dan mengarahkan pada slide yang terpasang di layar monitor besar di belakang tubuhnya. Fayka mulai menjelaskan mengenai hasil penelitiannya tentang minat menentukan ekstrakulikuler di sekolah. Selama sebelas menit, Fayka menyajikan berbagai macam data yang telah disusun rapi, napasnya nyaris tersekat, mungkin karena rasa gugup yang terlampau besar dan rasa takut yang mendominasi.

"Oke, terima kasih Fayka. Jadi ini, variabel yang paling berpengaruh itu X3 tingkat motivasi, ya? Nilai signifikannya 0,000 dan nilai koefisiennya 0,302. Kalau menurut Anda, sudah puas kah Anda dengan hasil penelitian Anda ini?"

"Terima kasih atas pertanyaannya Bu Anna, tapi saya pribadi belum terlalu puas dengan hasil penelitian saya kali ini, sebab R square-nya hanya sebesar 23,1 persen yang artinya, variabel penelitian ini hanya mampu menjelaskan sebesar 23,1 persen dari total seratus persen."

"Oh, ya? Terus kenapa Anda memilih topik ini?"

"Awalnya saya melakukan studi pendahuluan dan akhirnya topik ini menjadi salah satu yang paling tinggi presentasenya. Jadi, saya memutuskan untuk mengangkatnya sebagai bahan skripsi."

"Bagan hasil Uji F Anda ini sepertinya terbalik, harusnya anak panahnya mengarah ke variabel Y. Nanti diperbaiki, ya?"

"Baik, Bu."

Bu Anna tersenyum tipis, wanita itu lalu melanjutkan dengan beberapa pertanyaan yang sempat membuat Fayka nyaris pingsan di ruang persidangan. Bu Anna memang terkenal dengan pertanyaan yang tajam dan kritis. Fayka menghela napasnya saat Bu Anna mengakhiri sesi tanya jawab, namun ketika mata Fayka melihat ke arah Pak Edo yang tidak begitu menyenangkan, Fayka kembali harus menelan ludahnya susah payah.

"Anda ingat saya meminta Anda untuk mengganti teori yang relevan?"

"Iya, Pak. Sudah saya ganti."

"Anda yakin teori ini sudah benar? Kalau tidak ada teori inti, saya minta grand theory." Pak Edo menatap tajam Fayka yang semakin menciut.

Fayka meremas kedua tangannya sebelum menjawab pertanyaan Pak Edo, "Saya memakai grand theory tentang minat milik Crow dan Crow, menurut saya itu sudah sesuai dengan isi skripsi saya. Menurut Crow dan Crow, minat lebih menekankan pada memberikan perhatian lebih untuk hal-hal yang disukai, dan ini sesuai dengan variabel yang saya teliti, karena penelitian saya ini terbatas pada faktor internal dari dalam diri sendiri."

Pak Edo mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu membuka kembali beberapa lembar yang ia tandai sembari mengajukan beberapa pertanyaan lagi untuk Fayka. Hampir satu jam menjadi uji coba masuk neraka dunia versi Fayka.

***

"Fay, gimana?"

Nida tergopoh-gopoh menghampiri Fayka yang baru saja keluar sidang dan digantikan Nindy di dalam. Perempuan itu lalu menangis memeluk Nida, menumpahkan segala beban yang ada di kepalanya. Sahabat baik Fayka itu memilih untuk diam sejenak sembari mengelus punggung Fayka yang bergetar karena menangis.

"Lulus, kan?"

Fayka mengusap air matanya dan menatap Nida dengan senyum. "Belum dibilang lulus, sih, kan, masih harus nunggu hari Senin sama Bu Della, cuma Bu Anna tadi bilang, nggak usah khawatir pasti lulus."

"Akhirnya, selamat ya, Beb. Aku yakin kamu pasti lulus, Bu Della mah santai, nggak usah tegang hehe ... oh ya, ini ada titipan dari anak-anak, lagi pada sibuk, nggak bisa dateng jadinya," ucap Nida sembari menyerahkan beberapa paper bag untuk Fayka.

"Makasih, ya, Nid."

Fayka lalu menoleh dan mendapati Yasa sedang bersama Lana, perempuan itu membawa buket bunga mawar berwarna merah dan sebuah kado di dalam paper bag berwarna hitam. Hati Fayka seperti tercubit, namun ia tidak melakukan apa pun selain tersenyum. Mungkin ini yang dinamakan cemburu.

"Sister!"

Suara seorang laki-laki menjadi perhatian beberapa orang yang ada di sana. Wajah blasterannya membuat beberapa orang menatap penasaran pada sosok laki-laki adik tiri Fayka.

Gio datang dengan sebuket Bunga Lily berwarna putih, ukurannya cukup besar sampai-sampai hampir menutupi wajah Gio. Fayka lalu menghampiri Gio yang datang bersama Mel—ibu mereka.

"Congratulations Sister. Akhirnya lulus juga, ini saya bawakan bunga, saya takut tidak ada yang membawakanmu bunga," ujar Gio sambil nyengir, Fayka tergelak.

"Thank you, Gionel. Kamu yang terbaik."

Gio tersenyum lebar lalu memeluk Fayka dengan hangat, walau masih remaja awal, tinggi Gio sudah melebihi tinggi Fayka. Gen bule memang lebih mendominasi di tubuh Gio ketimbang gen asia milik Mel.

"Ya, tentu saja. Saya yang terbaik."

Gio tersenyum lagi menampilkan giginya yang rapi, Fayka mengacak rambut adiknya gemas. Fayka pernah berpikir untuk membenci Gionel, ia tidak munafik, ia tentu iri dengan kehidupan Gio yang penuh kasih sayang dari Mel dan suaminya. Tapi, melihat Gio yang baik padanya membuat Fayka tidak tega, nyatanya ia kalah dengan rasa sayangnya untuk laki-laki berambut cokelat terang bernama Gionel Mcgilray.

"Hei. Ini buat kamu, selamat, ya?"

Fayka mendapati Dicky yang memberikan buket bunga berukuran sedang untuknya, buket bunga krisan yang terdiri dari beberapa warna. Dicky lalu menyodorkan tangannya pada Fayka sebagai ucapan selamat.

"Mas Dicky? Makasih, ya? Ngerepotin aja."

"Nggak, kok, kebetulan lagi nggak ada kelas juga," kata Dicky, tersenyum kikuk.

"Is he your boyfriend?" Gio menginterupsi.

"Bukan, dia temanku. Mas Dicky kenalin ini Gionel, adikku."

Dicky mengernyitkan dahinya bingung, setahunya Fayka tidak memiliki seorang adik, tapi seorang kakak. Kehadiran Gio membuat banyak pertanyaan yang muncul, sayangnya Dicky tidak punya kapasitas untuk bertanya pada Fayka tentang kehidupan pribadinya. Dicky lalu berkenalan dengan Gio yang menatapnya penasaran.

"Kalau gitu aku balik dulu, ya, Fay," kata Dicky.

"Oh iya, Mas. Sekali lagi makasih, ya."

Dicky mengangguk dan tersenyum hangat pada Fayka, sebelum pergi meninggalkan Fayka setelah berpamitan dengan Gio dan Mel, serta beberapa teman Fayka yang ada di sana.

"Selamat ya, Sayang. Mama bangga sama kamu."

Fayka menipiskan bibirnya saat Mel memberinya ucapan selamat, dari gestur wanita itu, tampak sekali ingin memeluknya namun Fayka lebih dulu memberi penolakan.

"Makasih." Fayka berkata dengan singkat, untuk menjaga kesopanannya.

Yasa yang membawa setumpuk kado dan buket bunga berjalan mendekati Fayka, setelah berfoto dengan beberapa temannya. Laki-laki itu tampak menatap Fayka sedikit aneh. Di belakangnya Lana membantu Yasa membawa kado.

"Buat lo, selamat, ya, akhirnya kita sidang."

Yasa memberikan buket cokelat untuk Fayka, ada banyak cokelat dari berbagai merk yang dirangkai menyerupai buket bunga. Fayka menerimanya sembari tersenyum.

"Makasih, Bang Yasa juga selamat, ya. Maaf aku nggak persiapin kado buat Bang Yasa."

"Nggak perlu, ngeliat muka lega lo itu gue udah seneng."

Lana yang berada di samping Yasa tergelak, lalu menepuk bahu Yasa cukup keras. "Gombal deh, kebiasaan," katanya, lalu menatap ke arah Fayka.

"Fayka, ya? Aku Lana, selamat, ya?" Lana menyodorkan tangannya pada Fayka untuk bersalaman.

"Makasih, ya, Lana," balas Fayka. Ia memperhatikan wajah cantik Lana, perempuan itu terlihat baik dan ... cocok untuk Yasa.

"Gue mau ngomong sama lo bentar, bisa?"

"Ngomong apa?"

"Bentar, di sana." Yasa menunjuk koridor di sisi ruang konseling yang lumayan sepi.

"Kamu mau bawa Fayka ke mana?" Gionel menatap Yasa penuh selidik.

"Ke sana, bentar, doang, Bule. Jangan pelit lo."

Gio mengeryitkan dahinya tidak terlalu paham dengan apa yang diucapkan oleh Yasa.

"Aku mau bicara dulu dengan Bang Yasa, Gio di sini dulu, ya," kata Fayka menjelaskan. Gio mengangguk.

Yasa lalu meraih tangan Fayka dan menjauh dari keramaian, laki-laki itu menghela napasnya, saat sudah tinggal berdua saja dengan Fayka.

"Lo jangan salah paham, ya, Lana dateng sama temen-temen ormawa dulu, cuma mereka udah pada cabut. Gue nggak mau lo salah paham kayak kemarin. Gue serius."

Fayka mengangkat kedua alisnya, ia menatap Yasa aneh. "Kenapa mesti jelasin? Memang kita ada hubungan yang bikin Bang Yasa harus jelasin ke aku soal Lana?"

Yasa menyugar rambutnya yang menutupi dahi. Laki-laki jangkung itu melihat Fayka dengan memelas, Fayka sendiri memilih diam, ia menunggu Yasa membalas ucapannya. Faktanya memang mereka tidak terlibat dalam sebuah hubungan yang mengharuskan Yasa menjelaskan soal Lana padanya.

"Sekarang belum, di masa depan, gue pastikan kita bakal punya hubungan."

"Percaya diri sekali?"

Yasa memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana hitam panjang yang ia kenakan. "Oh jelas, kalau gue nggak PD gimana mau jadi calon suami yang baik buat lo?"

"Dih ngaco."

Yasa tergelak, ia lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana yang ia kenakan. "Gue mau lo nerima ini, dan mesti lo pakai."

"Haaa?"

Fayka terkejut saat Yasa mengeluarkan sebuah kalung berbandul tulisan hope yang tampak sederhana dan cantik.

"Di sini ada sebuah harapan, harapan gue pengin lihat lo sembuh, harapan gue pengin suatu saat kita bisa sama-sama. Gue mau lo pakai ini, biar lo tahu kalau gue sedang berusaha buat membuat harapan-harapan itu jadi kenyataan dan biar lo juga selalu ingat, selalu ada harapan dan kesempatan untuk memperbiki hidup lo yang mungkin udah berantakan."

"Aku nggak bisa terima ini, ini pasti mahal, kan?"

Yasa menggeleng. "Tenang aja, gue beli pakai duit sendiri bukan duit Nyokap gue, lagian itu bukan emas putih. Gue bakal kecewa banget kalau lo nolak pemberian gue. Plis, buat kali ini aja."

"Kalau misalnya semua harapan Bang Yasa nggak ada yang terealisasikan, gimana?"

Yasa tersenyum, ia lalu meletakkan kalung itu di tangan kanan Fayka dan menggenggamnya. "Seenggaknya lo tahu masih ada yang mengharapkan lo dan memperjuangkan lo. Kita nggak pernah tahu masa depan, tapi masa depan bisa diusahakan. Dan, gue sedang mengusahakan itu."

Fayka menundukkan kepalanya, menekuri lantai. Hatinya berbunga-bunga, sikap Yasa hari ini sangat manis, membuat sedikit bebannya terasa hilang.

"Kalau misalnya akhirnya kita nggak bisa sama-sama, aku bakal balikin kalung ini."

"Nggak, itu buat lo. Kalau takdir kita emang nggak sama, itu tetep buat lo, jangan kasih lagi ke gue. Lo ngerti, kan?"

"Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi makasih."

"Gue boleh peluk lo?"

Fayka mengernyitkan dahinya, pipinya lalu terasa panas. "Hah?"

"Boleh, ya?"

Fayka tersenyum kaku, lalu mengangguk. Yasa segera membawa Fayka ke dalam pelukan, memeluk Fayka dengan erat, perempuan kuat yang berhasil mengisi tempat kosong di dalam hatinya. Perempuan yang selama ini berjuang dengannya untuk meraih gelar sarjana.

"Makasih, ya, lo udah jadi partner skripsi terbaik buat gue. Mungkin kalau bukan lo, gue belum tentu bisa sidang hari ini, makasih juga karena lo gue tahu rasanya takut kehilangan orang yang gue sayang. Sekarang gue bener-bener bersyukur, meskipun telat lulus kuliah, tapi gue bener-bener nemuin orang seberharga lo, dan gue nggak menyesali itu semua."

"Aku juga makasih, Bang Yasa mau bantu aku selama ini. Maaf, ya, aku belum bisa janjiin apa pun saat ini."

Yasa terkekeh, ia lalu melepas pelukannya pada Fayka. Ia mencubit pipi Fayka gemas. "Gue pastiin di masa depan lo yang akan jadi teman hidup gue. Mulai sekarang, gue bakal berusaha buat jaga hati gue, nggak lagi-lagi punya banyak gebetan."

"Idihhh, PD banget haha ... emang yakin, nggak mau punya banyak gebetan? Bisa?"

"Fayka, ayo kita makan piza. Saya lapar," kata Gio membuat dua manusia itu terkejut, Fayka lalu menjauhkan tubuhnya dari Yasa, membuat Yasa berdecak sebal pada Gio.

"Dasar penganggu," dumel Yasa.

"Oke Gio, sebentar, ya."

Gio menganggukkan kepalanya sambil mencibir ke arah Yasa, lalu berjalan menjauh dari Fayka dan Yasa.

"Bang Yasa jangan lupa belajar, ya, buat besok Senin sama Bu Della. Emh, Nindy kayaknya juga udah selesai, kita balik, yuk?" ajak Fayka, sebenarnya ingin segera menjauh dari Yasa, karena lama-lama dekat dengan Yasa tidak baik untuk jantungnya.

"Ck, dasar Bule rese, ganggu gue aja njir," dumel Yasa sembari menatap sebal ke arah Gionel.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro