Sebuah Akhir, Namun Tidak Berakhir (END)
Untuk sementara, mereka akan berpisah, dan kelak jika kesempatan untuk bertemu telah tersedia, mereka akan saling mendekap dan berbagi cinta yang lebih hangat.
Wisuda adalah sebuah perayaan pasca bertarung dengan skripsi selama beberapa bulan. Mungkin juga sebuah upacara selamat tinggal bagi kawan seperjuangan, dosen dan semua pihak yang menjadi teman selama masa perkuliahan.
Fayka menyeka air matanya saat sekali lagi ia memperhatikan toga wisuda milik teman-temannya, mereka sedang sibuk berfoto di depan rektorat. Akhirnya, momen ini tiba, setelah menunggu sekian lama. Perempuan itu masih tidak percaya, kalau pada akhirnya ia bisa mencapai titik ini. Menjadi seorang wisudawati dengan gelar cumlaude yang menyertai. Mengingat bagaimana perjuangannya dan beberapa teman satu timnya untuk menyelesaikan skripsi dan meraih gelar sarjana. Ingatannya jatuh pada hari terakhir pertemuannya dengan Pak Edo—sewaktu ia hendak meminta tanda tangan untuk yudisium.
"Sebenarnya, saya sengaja menguji mental kalian, seberapa kalian tahan dengan bantingan. Kalian mungkin tidak akan menjadi kuat dan gigih kalau tidak dibeginikan. Dunia kerja itu keras, dengan beragam orang dan sifat. Kalau kalian tidak ada pengalaman, tentu akan kaget ke depannya."
Pria itu melepas kacamatanya, lalu meletakkan kacamata itu di atas meja, sebelum kembali fokus pada beberapa mahasiswanya yang sedang berkumpul untuk meminta tanda tangan persetujuan yudisium.
"Kalian jadi mengeluarkan banyak emosi bukan? Jadi lebih keras berjuang untuk mendapatkan sesuatu, dan yang paling penting ... skripsi kalian sangat bermakna, karena hasilnya akan benar-benar berguna untuk ilmu akademi, untuk junior kalian. Hasil skripsi kalian bukan hanya pajangan atau hal-hal sepele yang tidak berguna. Selamat, Anda semua sudah berhasil lulus, jadi sarjana dan siap kerja ... atau nikah?" Pak Edo sedikit bergurau di akhir, membuat beberapa dari mahasiswanya tertawa, kalau suasana hatinya sedang baik, pria itu memang sering bergurau.
"Kerja dulu Pak baru nikah," celutuk Yasa yang disambut gelak tawa.
"Loh, memang kenapa kalau nikah dulu?"
"Yah, calon saya mau kabur, Pak. Nunggu dulu saya baru bisa nikah."
"Ya itu derita Anda," ucap Pak Edo lagi, membuat yang lain tertawa, Fayka hanya menunduk. Malu. Yasa memang berhasil membuatnya mati kutu.
"Sampai jumpa, saya doakan semoga Anda semua sukses, dan ... salam untuk orang tua Anda di rumah," pungkas Pak Edo, sebelum pria itu beranjak, kembali ke ruang gugus penjamin mutu—tempatnya bekerja siang ini.
"Anak gadis ngelamun terus, nggak mau foto?"
Jefran menepuk bahu Fayka. Laki-laki itu sudah bisa berjalan dengan lancar. Sebulan lalu, bahkan kakak Fayka itu sudah melangsungkan pernikahannya dengan Vinna—istrinya. Fayka tersenyum sekilas pada Jefran. Hari ini keluarga angkat Fayka datang, ada ayah, ibu dan Jefran juga istrinya. Sedangkan Mel dan Gio tidak bisa datang karena ada kesibukan di Irlandia. Mel bilang, mereka akan pindah ke Jakarta setelah suami Mel mendapatkan promosi jabatan dan dipindahkan ke kantor cabang di Jakarta. Mungkin ini akan menjadi kesempatan Fayka dan Mel untuk memperbaiki hubungan mereka.
"Tadi kan udah?" Fayka tersenyum pada Jefran, ia memang sudah melakukan beberapa sesi foto dengan teman. Ada beberapa hadiah dan bunga yang diberikan pada mereka untuknya juga, dari adik kosannya hingga teman-teman satu angkatan yang sudah atau belum wisuda.
"Foto lagi dong, ambil kenangan sebanyak yang kamu bisa. Nanti nyesel."
Fayka tersenyum lebar. Memang sih, kenangan sekali seumur hidup, ada sedihnya juga, karena hari ini harus berpisah dengan sahabat-sahabatnya semasa kuliah. Bahkan beberapa temannya tidak bisa datang karena mereka sudah bekerja di luar kota. Ya, begitulah hidup. Hanya untuk bersama sementara, dan akan selalu berganti dengan orang baru ketika yang lama hilang, kecuali keluarga dan pasangan hidup.
"Beb, selamat wisuda! Akhirnya ya?"
Suara Nida membuat Fayka terkejut. Perempuan yang mengenakan jilbab krem itu tersenyum lebar padanya sambil membawa sebuket bunga dan boneka. Nida lalu mengangsurkan kedua benda itu pada Fayka.
"Nid! Iya, alhamdulillah, akhirnya wisuda setelah nunggu lama. Kamu, apa kabar?"
Nida tersenyum lebar sebelum menjawab pertanyaan Fayka. "Aku baik, seneng banget bisa dateng ke wisudamu."
"Aku juga seneng kamu dateng. Tadi, sama siapa?"
"Sendirianlah haha ... nginep di kos tadi, numpang di kamarnya Indah."
"Pantes nggak lihat, aku nginep di hotel kemarin, dipaksa sama Mas Jefran."
"Haha, enjoy your time, Beb. Habis ini mau jadi anak rantau lagi kan?"
Fayka mengangguk, ia lalu tersenyum lebar pada Nida, membenarkan ucapan perempuan itu.
"Oh ya! Aku mau ketemu Alivia dulu kayaknya, nanti kita ngobrol lagi di kos ya. Aku nginep dua hari di sini."
"Oke, oke beres ... ya udah, sana! Keburu Alivia pulang haha."
Nida melambaikan tangannya pada Fayak sebelum beranjak. Fayka kembali diam, memperhatikan beberapa teman yang sibuk berfoto, ia juga melihat Jefran dan keluarganya yang lain sedang duduk bergerombol pada pijakan tangga. Sebenarnya, daritadi Fayka mencari keberadaan Yasa, ia tidak kunjung menemukan laki-laki itu, juga adik laki-lakinya—Allan yang sepertinya bersama Yasa.
"Kamu ngelamun terus, kenapa sih?" lagi-lagi Jefran membuatnya terkejut.
"Hah, nggak papa kok. Balik yuk?"
"Yakin, balik?" Jefran menaikkan sebelah alisnya, tidak yakin dengan ucapan Fayka.
"Iya," jawab Fayka tegas, ia juga sudah lelah, sebenarnya ia tidak begitu menyukai keramaian, tapi karena ini salah satu hari yang paling membahagiakan, ya ia tidak bisa mengelak.
"Oke, oh ya, kata Ibu ... nanti malam kita makan di restoran, buat ngerayain wisuda kamu."
"Ibu?" Fayka bertanya dengan tidak yakin, sementara Jefran mengangguk mantap.
"Ya udah. Sekarang, ayo balik, terus istirahat. Nanti malem kita makan malam bareng."
"Hmmm ... oke."
***
Fayka sedang duduk termenung di dalam kamar hotelnya. Ia baru saja menerima panggilan dari Gio dan Mel, mereka tentu saja mengucapkan selamat atas wisudanya dan menyesal karena tidak bisa datang. Gio juga terlihat girang, karena akan segera pindah ke Indonesia, meski merasa sedih juga, karena harus meninggalkan tempat kelahirannya dan juga teman-temannya di sana.
Fayka menghela napasnya, ia segera beranjak dari atas tempat tidur, sewaktu mendengar bunyi pintu diketuk dari luar. Mungkin Jefran, ini sudah jam lima sore, keluarganya berencana untuk makan malam di restoran hotel pada pukul tujuh, katanya sih, ada perayaan kecil atas wisudanya.
"Ibu, Mbak Vinna?" dahi Fayka berkerut-kerut, saat mengetahui bahwa Jannah-lah yang mengetuk pintu kamarnya, wanita itu membawa sebuah paper back di tangannya, juga Vinna yang membawa sebuah tas serta sebuah paper bag di kedua tangannya.
"Ayo masuk," kata Vinna, perempuan itu lalu mendorong Fayka untuk masuk ke dalam kamarnya dan tersenyum lebar pada Fayka.
"Kamu kaget ya?" tanya Jannah, yang diangguki oleh Fayka.
"Pertama, Ibu mau minta maaf sekali lagi sama kamu, atas semua kesalahan Ibu selama ini. Setiap melihatmu, Ibu selalu ingat dosa-dosa Ibu sama kamu, Fay," kata Jannah dengan raut penyesalan di wajahnya.
"Itu masa lalu, aku sudah bilang berkali-kali sama Ibu, mari kita lupakan yang pahit itu. Ibu hanya harus fokus pada masa sekarang. Iya kan Mbak Vinna?"
"Iya, Bu. Udah, jangan sedih lagi ah, nanti Ayah sedih loh," gurau Vinna membuat Fayka tergelak, Jannah tersenyum tipis.
Rasa bersalah itu mungkin akan menghantui Jannah di sepanjang hidupnya, meskipun Fayka sudah memaafkannya. Tapi, Jannah bahkan tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia memang terlalu keras pada Fayka selama ini, tanpa ia sadari, ia sudah melakukan abuse secara psikis pada Fayka, dan itu bahkan menjadi beban mental seumur hidup yang ditanggung oleh Fayka.
"Jadi, kenapa Ibu sama Mbak Vinna ke sini?"
Jannah tersenyum, ia lalu membelai rambut Fayka yang hitam dan tebal. "Kamu sudah dewasa ya, Fay? Sudah lulus kuliah, sebentar lagi akan kerja jauh, yang sebenarnya Ibu juga keberatan kalau kamu ke sana, setelah itu kamu pasti menikah dan ikut suamimu, kamu jadi semakin jauh sama Ibu."
Fayka menggeleng, ia menggenggam tangan Jannah, dengan mata menatap lembut pada Jannah, Fayka berusaha berbicara pada wanita itu. "Ibu, kalau Ibu mau, kita bisa selalu bertukar kabar, saat lebaran, aku akan pulang. Nggak usah khawatir. Gimanapun, aku sudah dewasa, aku butuh pengalaman hidup, dan aku yakin, Ibu tahu, kenapa aku harus pergi sementara."
Jannah mengangguk, ia paham alasan Fayka untuk pergi sementara. Fayka berhak, untuk sementara menjauh agar bisa berdamai dengan segalanya. Jannah mengerti benar, mengapa Fayka melakukan itu. Mencari sebuah pengalaman baru, untuk menyembuhkan luka hatinya. Karena, meski sudah memaafkan, tapi luka yang tinggal, tetap tidak akan tanggal dengan mudah.
"Udah dong, jangan sedih-sedihan lagi. Ayok, Mbak pakaian make up. Kamu lagi haid kan, Fay? Jadi, nggak perlu salat nanti," ucap Vinna, ia meminta konfirmasi pada Fayka.
"Iya, masih halangan. Eh, kok pakai make up lagi?"
"Biar kamu cantik, Ibu juga bawakan gaun sama sepatu, kamu harus pakai ini. Ibu pengin lihat kamu cantik malam ini."
Fayka menatap ibunya heran, "Tapi, kan cuma acara keluarga kita?"
"Ya, memang kenapa? Udah diem aja deh."
Vinna gemas sendiri melihat Fayka, ia lalu mulai mengeluarkan alat make up-nya, dan mulai mengaplikasikan make up pada wajah Fayka. Sementara Jannah mengeluarkan gaun yang ia belikan untuk Fayka, gaun itu berwarna light pink, dengan model panjang semata kaki, dan lengan pendek, juga hiasan kristal, berbentuk bunga-bunga kecil yang melekat pada bagian pinggang.
"Nah, kan. Cantik kamu tuh, pakai softlens ya? Biar matanya kelihatan cantik, habis itu pakai bulu mata palsu haha ...."
Fayka melotot pada Vinna yang malah tertawa. "Ah, Mbak. Ngapain?"
"Udah, manut aja. Nih, cepet pakai!" Vinna menyerahkan sebuah softlens baru beserta tetes mata dan alat pemasangnya pada Fayka, dengan sedikit mendumel, Fayka akhirnya mencoba memakai benda itu, ia mengalami kesusahan.
"Nggak bisa, Mbak," keluhnya pada Vinna.
"Ya udah, aku pakein. Sini!"
Fayka hanya menurut saja pada Vinna, biar cepat. Istri Jafran itu akan selalu memaksanya sampai Fayka menurut, memang kadang menyebalkan sih. Vinna juga kadang judes, makanya Fayka tidak terlalu dekat padanya, tapi ya, Vinna itu bukan perempuan jahat, jadi tidak masalah, perempuan itu menjadi iparnya.
"Nah, sekarang pakai gaunmu," ucap Jannah, lalu menyodorkan gaun yang tadi ia pegang pada Fayka.
Jannah menatap haru pada Fayka, ia tampak cantik dengan gaun itu. Apalagi rambutnya dikuncir sedikit dan Vinna juga meninggalkan beberapa helai rambut sehingga membuat kesan alami pada wajah Fayka.
"Anak Ibu cantik sekali, kamu benar-benar kelihatan dewasa kalau begini."
"Ibu bisa aja." Fayka menunduk malu.
"Ya udah, kamu di sini dulu. Aku sama Ibu mau mandi, salat, terus siap-siap."
"Iya, kamu di sini dulu ya?"
Vinna lalu membereskan peralatan make up yang dibawanya dan segera meninggalkan kamar Fayka, membuat Fayka heran dengan kelakuan Jannah dan Vinna. Tapi ya, Fayka tidak mau ambil pusing, ia lebih memilih untuk membalas chat beberapa teman yang mengucapkan selamat wisuda padanya.
***
Keluarganya ternyata memesan sebuah ruang VIP di restoran untuk acara makan malam mereka. Fayka sendiri tidak menyangka, kalau wisudanya akan dirayakan bersama dengan keluarganya. Mungkin karena selama ini, ia tidak begitu dekat dengan keluarganya. Jadi, Fayka tidak mungkin berharap terlalu banyak.
"Nih, bunga buat Kakak gue yang paling cantik."
Fayka terkejut dengan keberadaan Allan, adik laki-lakinya itu tersenyum lebar sambil memberikan sebuket mawar merah yang tampak cantik dan segar.
"Kamu tadi darimana? Kok baru keliatan? Terus, diajakin siapa ke sini? Mas Jefran?"
"Kan kepo deh lo, Kak. Udah yuk, duduk?"
Allano menggenggam tangan sebelah kanan Fayka, lalu membawanya berjalan menuju kursi dan meja yang telah ditempati oleh keluarga Fayka. Semuanya tampak tersenyum hangat dan bahagia di saat ini.
"Ehemmm, lo ngapain pegang-pegang tangan Fayka?"
Allan memutar kedua bola matanya malas, ia lalu menoleh ke samping dan mendapati Yasa sudah menatapnya dengan kesal. Tapi, bukan Allan namanya kalau tidak membalas ucapan Yasa.
"Lah kenapa? Kakak gue ini, lo kali yang nggak boleh pegang. Bukan makhram."
"Masih aja ribut, bener-bener ya kalian tuh?" Seina menyela, melotot pada Yasa dan Allan.
"Bang Yasa kok di sini?"
Fayka melihat Yasa dengan heran, apalagi ada Seina dan juga Lista—Mama Yasa yang juga ada di ruangan ini. Ia merasa bodoh karena tidak mengerti apa pun.
"Gue berharap lo nolak dia deh, Mbak. Mending cari suami yang lain, malesin mukanya," bisik Allan, membuat Fayka semakin heran. Keluarganya juga tampak menyambut Ibu Yasa dengan hangat.
"Maksudmu apa sih, Lan?"
"Gue denger ya, Lan. Awas lo ngomong macem-macem," kata Yasa yang dibalas kekehan Allan. Mereka lalu duduk di atas kursi yang telah tersedia. Ternyata, sudah banyak hidangan yang tersedia di sana, beragam masakan khas Indonesia ada di atas meja.
Yasa tampak tegang dalam duduknya, laki-laki itu berulang kali melirik pada Fayka dan ibunya. Berkali-kali juga Yasa melakukan relaksasi ringan, menarik dan membuang napasnya, untuk mendapatkan ketenangan.
"Kamu pasti bisa, yang tenang," kata Lista menasihati. Yasa mengangguk, lalu tersenyum hangat pada ibunya.
"Makasih, Ma."
"Kamu mulai sekarang aja."
Yasa menarik napasnya lagi, lalu berdiri dari duduknya. "Semuanya, terima kasih atas kedatangannya. Dan, maaf kalau saya memintanya agak mendadak. Saya, Renardo Yasa Admoko." Yasa memberi sedikit jeda, ia benar-benar gugup rasanya.
"Saya ingin meminta restu pada keluarga Fayka dan juga pada keluarga saya. Hari ini, saya ingin melamar Fayka, menjadikan Fayka istri saya di masa depan, menjaganya sebagai orang yang saya sayangi dan saya cintai," kata Yasa dengan mantap.
Lista menatap anak laki-lakinya terharu, seharusnya ini menjadi tugas Papa Yasa untuk melakukannya. Namun, karena sudah lebih dulu meninggal, Yasa melakukannya seorang diri. Lista tidak menduga, bahwa anaknya bisa sedewasa ini.
Fayka diam dalam keterkejutannya, ia tidak menyangka hari ini akan menjadi hari di mana Yasa melamarnya pada keluarga. Fayka benar-benar tidak punya pikiran untuk yang satu ini, dan Yasa juga tidak membicarakan apa pun padanya.
"Terima kasih atas lamarannya Nak Yasa. Tapi, seperti yang Nak Yasa tahu, kalau anak kami, Fayka akan merantau untuk bekerja di Kalimantan selama dua tahu. Dalam kurun waktu itu, apa Nak Yasa bisa menunggu?" Brata selaku ayah angkat dan wali Fayka menjawab lamaran Yasa.
"Seperti yang saya bilang pada Om kemarin, saya siap menunggu. Saya juga tidak berencana akan langsung menikah, hanya ingin mengikat Fayka sebelum dia pergi, agar ikatan kami bisa kuat. Kami masih muda dan harus berkarya dulu sebelum menikah, saya juga ingin Fayka bisa memiliki waktunya sendiri dulu sebelum menjadi istri saya."
Jefran tersenyum lebar, laki-laki itu bahkan sedang melakukan panggilan video pada Mel dan Gio yang tampak senang menyaksikan lamaran Fayka, sedih juga karena tidak bisa datang.
"Fayka cantik kan, Tan?" kata Jefran, lalu mengarahkan kamera pada Fayka.
"Cantik sekali, andai Tante ada di sana. Ah, tapi ... apa pun itu, Tante bahagia kalau Fayka bahagia."
"Anak Tante masih terkejut," ucap Jefran, lalu tertawa pelan, yang membuat Vinna melotot padanya.
"Baiklah, tapi saya serahkan semuanya pada Fayka. Fayka, bagaimana? Kamu menerima lamaran Yasa?"
Fayka menundukkan kepalanya, ia masih berusaha mencerna semuanya. Terlalu mendadak, dan jujur saja ia sangat terkejut. Tapi, begitu itu mendongakkan kepalanya, dan menemukan pandangan penuh harap dari Yasa juga pancaran cinta dari mata laki-laki itu, Fayka menghela napasnya. Mungkin, keputusannya tidak buruk, lagipula, Yasa sudah melakukan banyak hal untuknya.
"Bismillah, saya menerima lamaran Bang Yasa," kata Fayka singkat.
Yasa tersenyum lebar, begitu pula dengan yang lainnya. Mereka tentu berharap yang terbaik untuk Fayka, setelah semua yang terjadi pada hidup perempuan itu.
"Kami juga menerima lamaran Nak Yasa, Fayka sini mendekat pada Ayah dan Nak Yasa."
Fayka mengulas senyum kaku, lalu melangkah mendekat pada ayah dan ibunya, juga Yasa beserta mamanya. Lista lantas mengangsurkan cincin yang tadi ia bawa pada Yasa untuk dipakaikan pada jari manis Fayka.
"Ayo, Bang, cincinnya dipakaikan ke calon istrinya."
Yasa tersenyum hangat pada Fayka, lalu meraih telapak tangan sebelah kiri Fayka dan memakaikan cincin emas putih bermata dua yang memiliki pendar putih yang cantik. Laki-laki itu lalu menggenggam tangan Fayka dengan erat sambil tersenyum lebar bahagia.
"Kumat kan bucin lo, Bang?" celutuk Allan, membuat mereka semua tertawa. Allan lalu menatap kakak perempuannya dengan bahagia, berharap Yasa adalah jodoh terbaik yang dipilihkan Tuhan untuk kakak perempuannya.
"Sei, lo nggak pengin kayak gitu?" Allan menyenggol Seina yang ada di sebelahnya.
"Ya penginlah, nanti tapi."
"Sekarang aja, sama gue?"
Seina mendengus, menatap malas pada Allan. "Nggak ada istilahnya balikan sama mantan, ngarep aja terosss."
"Ati-ati, ntar gue sama yang lain, lo mewek."
"Bodo amat, Lan," kata Seina, Allan malah tertawa. Mereka memang selalu ribut kalau bertemu, terlebih setelah putus.
***
"Jadi, beneran kita LDR?" Yasa bertanya dengan nada yang tidak ikhlas. Mereka sedang ada di bandara, hari ini Yasa, dan keluarganya akan kembali ke Jakarta, pun dengan Allan. Pemuda itu akan mengurus beberapa dokumen sebelum ikut dengan Fayka.
"Kan udah latihan kemarin. Kenapa? Nggak sanggup?" Fayka mengingatkan soal mereka yang sudah berjauhan selama beberapa bulan.
"Kalau kanget kan repot. Tapi, ya udahlah, tinggal beli tiket pesawat."
"Jangan bolak-balik tapi, fokus sama kerjaan." Fayka memperingatkan Yasa—biasanya laki-laki itu selalu nekad.
"Iya, iya. Kamu juga, jaga diri nanti di sana, jangan lirik yang lain," ujar Yasa, ia mulai membiasakan untuk memanggil aku-kamu pada Fayka.
"Ada Allan kok, nggak usah khawatir. Yang harusnya bilang gitu kan aku? Yang punya predikan fakboy siapa?"
Yasa meringis, "Udah tobat kok, pantang selingkuh."
"Sekali kamu ketahuan selingkuh, aku nggak bisa kasih toleransi loh ya?"
Yasa mengangguk, ia tahu prinsip Fayka yang satu itu. Tidak ada maaf dan kesempatan untuk orang yang berselingkuh, karena Fayka bilang, itu bisa jadi kebiasaan dan akan terulang lagi jika dimaafkan. Ya, mungkin ada orang lain yang memiliki prinsip kesempatan kedua, tapi bagi Fayka, tidak ada kesempatan kedua untuk selingkuh.
"Tante Lista jaga kesehatan ya? Jangan terlalu capek kerjanya," ucap Fayka, lalu memeluk Lista dengan hangat.
"Kamu juga ya, Sayang? Jaga diri di sana, sering-sering kabari Tante. Kalau perlu apa-apa nggak usah ragu buat bilang sama Yasa."
"Iya, Tante. Makasih." Fayka melepas pelukanya, lalu menatap Seina yang tampak cemberut. "Nggak usah cemberut, jelek Sei."
"Gue bakal kangen sama lo, Mbak. Cepet balik, terus nikah sama Bang Yasa, biar resmi jadi Kakak gue hehe."
"Doakan aja ya? Yang rajin belajarnya, jangan kebanyakan beli printilan bias, duitnya ditabung," nasihat Fayka, ia ingat, Seina bisa menghabiskan berjuta-juta hanya untuk mengoleksi stuff dari idolanya. Mulai dari photo card, album, cincin hingga botol dan pulpen. Apalagi, Seina bisa menghasilkan uangnya sendiri.
"Tuh, dengerin, Sei. Lo jangan boros-boros," sahut Allan, Seina menjulurkan lidahnya pada Allan.
"Ya udah, ayo! Kita harus segera check in." Lista memperingatkan untuk mereka segera bersiap.
Yasa bergerak mendekati Fayka, laki-laki itu lalu memeluk Fayka dengan erat, seolah tidak ingin melepaskan Fayka. Mereka mulai dekat setahun lalu saat proses mengerjakan skripsi, dan berakhir menjalin hubungan tepat saat wisuda. Tuhan memang terkadang memiliki rencana sendiri untuk membahagiakan umatnya, dan Yasa bersyukur atas kesempatan bertemu dengan Fayka. Perempuan itu membawa banyak perubahan dalam dirinya. Saat ini, Yasa ingin fokus untuk menjadi orang yang sukses, sehingga ia benar-benar bisa menjamin kebahagiaan Fayka dari segi materi di masa depan.
"I will miss you. I love you, Fayka Ailia," ucap Yasa lalu mengecup dahi Fayka hangat.
Fayka membalas dengan seutas senyum yang terbit pada wajahnya. "Aku juga cinta sama Bang Yasa. See you again."
Yasa melepas pelukannya, menatap Fayka sejenak sebelum melangkah, meninggalkan perempuan itu dengan lambaian tangan. Rasanya sedih, harus berpisah dari orang yang ia cintai, tapi hidup terus berjalan. Di masa depan, ketika mereka sudah selesai dengan urusan masing-masing, Yasa berjanji akan mengikat Fayka pada hubungan yang sah di mata hukum dan agama. Ya, dua tahun itu tidak lama. Untuk sementara, mereka akan berpisah, dan kelak jika kesempatan untuk bertemu telah tersedia, mereka akan saling mendekap dan berbagi cinta yang lebih hangat.
END
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro