Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Salah Lagi

Sudah semenjak tiga jam yang lalu Fayka duduk di atas kasur sambil membuka laptopnya, mencari beberapa literatur yang mungkin ia perlukan, juga contoh skripsi sejenis yang banyak tersedia di situs internet. Otaknya benar-benar buntu memikirkan apa yang harus ia tulis. Pagi tadi, ia bersama Nindy sudah mampir ke sebuah sekolah menengah pertama di Surabaya untuk studi pendahuluan, sebagai data acuan yang berguna untuk menulis latar belakang.

Fayka membuka buku panduan skripsi dari kampus, siang tadi Pak Edo sudah berkoar-koar di grup WA untuk selalu dan terus mengecek buku panduan jika akan menulis proposal penelitian untuk pengerjaan skripsinya. Pak Edo adalah tipe orang yang straight, dan berpacu pada setiap aturan yang berlaku.

"Jangan stres-stres, makan dulu, Beb," kata Nida yang tiba-tiba menyembul dari luar kamarnya, Nida itu teman satu kelas sekaligus teman satu jurusannya.

"Pusing, Beb. Stress aku, Ya Tuhan, ribet banget Pak Edo."

"Sama, Pak Wayan juga ribet, kita nikmatin ajalah, ntar juga kelar, asal jangan ditinggal aja skripsinya apalagi dilupain."

Nida lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur milik Fayka, perempuan itu melihat poster The Vamps dan 5SOS yang menempel di dinding kamar. Nida juga memiliki yang sama persis, hanya saja sudah dilipat rapi dan disimpan di dalam lemari.

"Masih aja, ya, itu poster, jadi inget kelakuan dulu," kata Nida.

Ingatan Fayka melayang saat mereka masih semester awal, pergi ke Gramedia hanya untuk membeli tabloid yang memuat edisi poster idola mereka, kadang malah hanya mengambil poster itu tanpa membeli majalahnya.

"Dosa banget, ya, kayaknya dulu, ngambil posternya doang nggak beli majalahnya," kekeh Fayka, melupakan sedikit tentang kekalutannya.

"Ya, mau gimana lagi? Dosa zaman maba itu haha."

Fayka ikut merebahkan diri di kasur, sambil bermain ponsel, membalas beberapa pesan yang masuk dan sekadar mengecek media sosialnya. Aktivitas yang monoton dan kadang membosankan. Tapi, selalu ia lakukan.

"Dua hari lagi kita ada penutupan PKL loh, plakat yang kemarin gimana?"

"Udah kok, besok tinggal ambil," kata Nida.

Fayka dan Nida memang satu tempat PKL lebih tepatnya satu geng mereka, ada tiga laki-laki gila dan empat perempuan heboh di dalamnya. Sebenarnya PKL sudah selesai dari bulan lalu, namun perpisahan dengan lembaga diundur sampai bulan ini karena menyesuaikan jadwal dengan tempat PKL.

"Si Rea gimana, ya? Kemaren IG-nya di-follow sama Desta loh." Nida terkekeh. Rea itu salah satu teman mereka yang kebetulan disukai oleh salah seorang klien di rumah damping narkoba—tempat mereka PKL.

"Yakali mau, masih bocil gitu, tahu, kan, si Rea nyari yang satu suku?" timpal Fayka teringat cerita Rea soal calon suaminya yang harus berasal dari suku yang sama dengannya, Batak Toba.

"Oh, iya, besok kita berangkat lebih awal, ya, ke tempat PKL sekalian ambil plakat."

"Heeh."

"Ya udah, balik ke kamar dulu aku. Dan ... itu HP dari tadi kedip-kedip ditelepon Bang Yasa," tukas Nida lalu kabur, Fayka mendengkus kesal sambil meraih ponsel yang sempat ia geletakkan, nama Yasa tertera di sana.

***

"Bang, aku duluan, ya? Plis ...."

Fayka mengedip-edipkan matanya sambil menatap penuh permohonan pada Yasa. Berharap laki-laki itu menuruti keinginannya.

"Tumben amat minta duluan?"

"Lagi gelisah, nih, takut ditolak lagi."

"Elah, nggak bisa."

Fayka menghela napasnya, Yasa kumat menyebalkannya. Perempuan itu lalu menyodorkan tangannya di depan wajah Yasa membuat dahi Yasa mengerut heran.

"Apaan?"

"Suit," katanya dengan muka melas dan mimik wajah pasrah.

Yasa berdecak kesal. "Oke, kalau gue menang, gue duluan."

Dua anak manusia itu pun melakukan suit untuk menentukan siapa yang akan maju duluan, Nindy yang ada di samping Fayka hanya bisa menatap keduanya dengan pandangan geli.

"Nah, kan, gue duluan, lo pasrah aja di sini, oke Fay," kata Yasa sambil tersenyum dan mengacak-acak rambut Fayka.

"Eh?"

Jantung Fayka tiba-tiba deg-degan, ia, kan, tidak pernah skinship dengan laki-laki kecuali jabat tangan, tindakan Yasa barusan membuat pipi Fayka panas rasanya. Sementara Yasa senyum-senyum tidak jelas—tipikal fakboi zaman now.

"Gue duluan, ya."

"Tega, Bang. Tega."

Yasa mengangkat kedua bahunya lalu masuk ke dalam ruangan Pak Edo dengan membawa topik skripsi yang sudah ia persiapkan. Sementara Fayka kian terduduk lesu bersama Nindy yang sibuk dengan ponselnya, apalagi kalau bukan chatting-an dengan pacar tersayang. Memangnya Fayka yang jomlo ngenes selama bertahun-tahun, gagal move on dari cinta pertama sampai gede? Tapi, sekarang, sih, sudah move on.

"Fay, aku mau ngomong, dong, ntar sore aku ke kosmu, ya?"

"Kenapa Zah?"

"Mau curhat aja," kata Zahra sambil lalu.

Fayka hanya mengangguk untuk mengiakan. Memang, teman-teman di kelas sering curhat pada Fayka, tentang masalah asmara atau keluarga, Fayka sendiri heran padahal ia bukan mahasiswa terpintar di kelas, dan lagi pula mereka juga sama-sama mahasiswa psikologi, lebih lagi di fakultas disediakan psikolog gratis jika ingin konsultasi, tapi teman-temannya memang selalu datang padanya untuk curhat, katanya tebakan Fayka selalu benar tentang karakter dan masalah orang-orang di sekitarnya.

"Takut, deh, kalau nanti disuruh pakai regresi linear berganda, kemarin aku habis baca beberapa literature, rata-rata kalau survei pakai itu, aduh aduh statistik dua aja dapat C yakali mau nyemplung ke lubang neraka," gerutu Nindy tiba-tiba, Fayka menoleh, mukanya makin pucat, ia makin cemas.

"Mending kamu dapet C nggak ngapa-ngapain. Nah aku? Udah jadi PJ matkul masih aja dapet C, mau ngulang dosennya sama, males pasti nilainya sama, udah gitu kita sekelas dapat tuduhan plagiat gara-gara ngerjain tugas bareng, gila aja itu dosen, udah gitu lebih parahnya dosen itu jadi penguji satu, nggak tambah mati apa?"

"Lemes akutuh, Fay. Mau nangis aja. Udah dosen killer skripsi aroma-aromanya bakalan susah, nggak paham SPSS lagi, dahlah pengin rebahan aja rasanya."

"Bismillah ajalah, saling menguatkan."

***

Pak Edo memasang kacamata yang tadi sempat ia lepas, pria paruh baya itu menyandarkan tubuhnya di atas kursi kebesaran sambil membaca dua lembar kertas yang dibawa oleh Fayka dan Nindy—karena skripsi mereka berdua payungan, hari ini mulai bimbingan secara bersamaan.

Mata Nindy dan Fayka membulat saat kertas-kertas itu disilang oleh Pak Edo, dengan wajah yang tampak kesal, Pak Edo melipat kedua tangannya, sambil menatap keduanya tajam.

"Kalian sudah baca buku panduan?"

"Sudah, Pak," jawab Nindy pelan—Fayka makin lemas rasanya.

"Tahu cara membuat latar belakang?"

Tidak ada yang berani menjawab sampai Pak Edo menghela napas lelah. "Dari hal umum ke khusus, harus runtut, harus ada data dan fenomena yang pernah terjadi, sudah saya jelaskan berkali-kali, baca, baca, baca, bahkan kalau perlu satu literatur harus kalian baca sepuluh kali biar paham."

"Iya, Pak." Fayka menjawab dengan tangan yang sudah gemetaran.

"Latar belakang kalian tidak runtut, tidak ada data, tidak ada fenomena, buku yang jadi rujukan di bawah tahun 2010, kan, saya sudah bilang, untuk buku maksimal tahun 2010 dan untuk jurnal atau skripsi maksimal tahun 2012, kecuali buku-buku teori asli seperti milik Santrock, dan itu pun sumbernya harus jelas untuk jurnal."

"Iya, Pak. Akan kami perbaiki."

"Ini."

Pak Edo menyodorkan dua kertas yang sudah dicoret untuk Fayka dan Nindy yang diterima keduanya dengan wajah melas, ini baru awal tapi rasanya sudah sangat berat.

***

Yasa merebahkan dirinya di atas kasur di kamar kosannya. Ia baru saja pulang dari menarik ojek. Sebenarnya mamanya masih bisa membiayai dirinya, tapi karena ia seorang anak laki-laki pertama di dalam keluarga, Yasa merasa tidak ingin lagi merepotkan mamanya. Mamanya cukup menanggung biaya kuliah, untuk uang jajan ia masih bisa mengusahakannya sendiri. Setidaknya dalam tiga tahun ini laki-laki itu mencoba untuk mandiri. Terlebih lagi setelah kematian sang ayah empat tahun lalu. Meski mamanya memiliki jabatan yang cukup bagus sebagai general manager di sebuah perusahaan multinasional, tapi Yasa cukup tahu diri untuk tidak selalu merepotkan mamanya, lagi pula ia masih memiliki dua adik yang kelak akan menjadi tanggung jawabnya.

"Bro, nyebat dulu."

Arki menawarkan sebatang rokok pada Yasa, Arki teman satu kosannya. Mereka sama-sama dari Jakarta sehingga lebih merasa cocok, mungkin karena dulu satu sekolah juga sejak SMP.

"Nggak, males gue ngerokok."

"Yaelah, muka kusut itu, kenapa?"

Yasa mengembuskan napasnya. "Nyokap sakit, gue disuruh adek gue balik, tapi gue juga kepikiran sama skripsi, kan, gue baru mulai ngerjain."

"Yaelah santai, Bro. Gue malah belum mulai, udah, nikmatin dulu. Ngapain cepet-cepet lulus? Gini aja dulu sambil ngecengin maba."

"Ya, nggak bisa gitu. Semester ini gue harus lulus dan segera balik ke Jakarta, adek gue yang nomor dua udah mau masuk kuliah tahun depan, yang bontot masih SMP. Nyokap sering pergi ke luar kota, kasihan adek gue sendirian terus di rumah."

"Bisa dewasa juga ya, lo?"

"Sialan, lo, Ki."

Arki tergelak, laki-laki itu lalu menyesap soda kaleng yang tadi ia bawa. "Besok Sabtu gue mau ke Tretes, lo nggak mau ikutan?"

Yasa mendengkus, melambaikan tangan pada Arki tanda menolak. "Lo mau mantap-mantap, kan? Emang ngeres otak lo, ya? Selangkangan terus."

"Yaelah, nggak usah munafik deh, itu kebutuhan tahu nggak lo?"

"Dasar setan. Gue mau nyari makan di warteg depan, lo kalau mau di sini awas, jangan lo abisin jatah indomie gue."

Yasa tidak kaget lagi dengan gaya hidup Arki, teman-temannya juga banyak yang begitu. Untungnya, dia betah hidup selibat, ia selalu ingat pada Seina saat akan melakukan dosa. Yasa takut, di masa depan Seina—adiknya yang akan mendapatkan balasan kalau ia kebablasan.

"Pelit lo," maki Arki, Yasa tidak peduli.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro