Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pelukan yang Menenangkan


Dekapmu memang asing, namun mampu menenangkan. Genggamanmu memang sebentar, namun bisa menghangatkan.

Yasa menatap kesal pada adik perempuannya—Seina yang sedang mendorong koper berwarna biru muda miliknya. Stasiun Pasar Turi tampak ramai seperti biasa, banyak orang hilir mudik bergantian, stasiun ini cukup besar dan padat, bisa saja adiknya itu hilang jika ngelonyor seenaknya tanpa menunggu Yasa di belakang.

"Lo ilang enggak gue cari, ya, Sei," ucap Yasa pada Seina, adik perempuannya itu menghentikan langkahnya sambil nyengir menatap Yasa.

"Abis lo lelet, sih, Bang. Gue laper tahu."

"Perut mulu lo, lagian ngapain, sih, lo pake liburan ke sini segala? Males gue."

"Gitu amat lo sama adek sendiri. Ya, kan, gue libur, kakak kelas gue lagi try out, temen-temen gue pada liburan, Bang. Masa lo tega lihat adek lo ngenes sendiri?"

"Gue gaplok juga lo, Sei. Lo enggak sadar diri apa gue sibuk skripsian? Ini malah lo repotin, bener-bener, ya, lo jadi adek enggak ada akhlak."

Yasa sibuk ngomel-ngomel sambil meraih koper Seina, pandangan matanya menginstruksikan Seina agar mempercepat langkahnya menuju parkiran motor tempat Yasa memarkir motor matiknya.

"Ih, jangan ngomel ngapa, Bang. Temen-temen gue pada liburan ke luar negeri tahu, Mama enggak bakal bolehin gue ikutan, apalagi mereka liburan sama pacarnya masing-masing, terus lo pengin gue jadi obat nyamuk?"

Yasa menyerahkan helm pada Seina, helm dengan logo salah satu perusahaan startup di Indonesia, warnanya hijau cerah seperti hati Seina karena bisa liburan ke luar kota.

"Salah lo sendiri, punya temen anak sultan semua, makanya lo Sei, sekolah di tempat biasa aja, enggak usah di tempat mahal begitu. Sama aja, asal lo mau rajin, jangan kayak gue, terlanjur males."

Seina dengan wajah cemberutnya memasang helm di kepalanya, perempuan itu lalu menatap melas pada Yasa yang sedang sibuk meletakkan koper mininya di atas motor. Mulut abangnya memang kadang mengesalkan.

"Pendidikan nomor satu, Bang. Orang Mama juga yang mau, lagian Papa, kan, udah siapin dana buat kita sekolah. Ya, kenapa enggak?" kata Seina pelan, tiba-tiba ingat almarhum papanya.

Yasa menarik napasnya, lalu meminta Seina naik ke atas motor. Mungkin tadi sedikit keterlaluan? Sebenarnya ia hanya panik karena untuk pertama kali Seina memaksa naik kereta dari Jakarta sendirian, ia takut Seina mengalami masalah di perjalanan.

"Iya, udah enggak usah sedih. Lo mau makan apa?"

Seina tersenyum ceria, ini yang disukai dari sosok Yasa, laki-laki itu hanya akan kesal sebentar dan setelahnya akan merasa bersalah, Yasa tidak pernah bisa marah padanya. Seina, kan, adik kesayangan, adik perempuan satu-satunya setelah kematian Yaya.

"Apaan aja yang enak, makanan Jawa Timur tapi, enggak mau makanan mal."

"Gaya lo, biasanya juga makan ikan mentah lo, gitu doyan."

Seina nyengir, lalu melingkarkan tangannya di pinggang Yasa, ia jarang naik motor, jadi sedikit takut. Seina memang tumbuh menjadi anak manja, apalagi sejak kematian Yaya, Seina menjadi sangat dimanjakan oleh abang dan mamanya. Disekolahkan di tempat terbaik, diberi banyak fasilitas dan apa pun yang menjadi keinginannya akan dipenuhi, tapi, Seina tentu tidak kalap, paling-paling sedikit oleng kalau bias keluar album baru. Jadi multifandom itu sulit, apalagi kalau idolanya come back barengan, bisa jebol isi dompet.

"Yaelah, enak, Bang itu. Lo kudu cobain."

Yasa menggeleng, sambil mengendarai motornya laki-laki itu fokus dengan jalanan. "Kagak deh, kagak doyan gue. Soto Betawi lebih enak, enggak usah lo ngajakin gue makan begituan lagi, sayang duit gue, mending gue beliin soto dapet sepuluh mangkok. Kenyang, hati gembira, dompet aman."

Seina terbahak-bahak, lidah abangnya memang sangat Indonesia sekali, dari kecil hobinya makan sayur mentah sama sambal, buat lalapan katanya. Kalau diajak makan di mal yang dicari, ya, restoran lokal bukan makanan Jepang, Korea atau Barat.

"Percuma, Bang, nenek moyang kita ada darah Jepangnya, lo begini bentukannya," kata Seina setelah berhenti tertawa.

"Yaelah, kakek buyut, udah jauh. Muka gue udah Indonesia tulen, enggak ada tuh Jepang-Jepangan, lo kali masih kebagian kulit putih, mata rada sipit gitu," balas Yasa tidak mau kalah, kakek buyutnya memang orang Jepang, katanya, sih, dulu kakek buyutnya mantan tentara Jepang, sewaktu menjajah Indonesia, jatuh cinta dengan sang nenek dan akhirnya menikah, sayangnya kakeknya meninggal saat perang dunia dua melawan sekutu.

"Ya, tapi pas kecil lo, kan, putih, Bang. Mana rambutnya rada cokelat gitu. Gede-gede, sih, iteman, rambut juga udah kayak orang Indonesia haha..."

"Gimana kagak item? Gue idup di Surabaya, jadi kang ojol tiap hari kelayapan cari penumpang, item manislah, bangga gue jadi orang Indonesia."

"Iyain, biar cepet. Gue, sih, pengin punya kulit putih aja biar kayak oppa gue di Korea."

"Ya, serah lo. Apa pun warna kulitnya, sama aja di mata Tuhan, kalau cowok, ya, ganteng, cewek, ya, cantik. Mau itu putih, item, kuning, kalaupun mau diubah, asal siap tanggung risiko dan dari kemauan hati lo, ya, enggak masalah. Hidup-hidup lo, cuma, ya, yang jadi masalah, rasisme makin ngekhawatirin."

Seina menggeleng-gelengkan kepalanya, tumben abangnya bijak, biasanya paling malas mengeluarkan kata-kata waras seperti tadi. Seina harus menandai jam, menit, detik dan tanggalnya, nanti akan ia laporkan pada sang mama.

"Bijak bener lo, Bang. Haha ... tapi bener sih, semua warna kulit sama aja, Miss Universe sama Miss World, kontes kecantikan paling beken di dunia juga punya ratu dari kulit hitam. Itu berarti cantik enggak harus putih, punya standarnya sendiri. Temen gue di sekolah juga ada, anaknya kedubes dia, kulit hitam, tapi keliatan cantik menurut gue, apalagi anaknya pinter banget."

"Nah, itu lo tahu. Di Indonesia aja warna kulit macem- macem, mulai dari putih, kuning langsat, item manis kayak di Indonesia Timur, sawo mateng juga ada. Sayangnya ya, Sei, rasisme masih tinggi, enggak di luar negeri enggak di Indonesia sendiri, sama, mereka orang kulit item sering didiskriminasi, ya, karena standar kecantikan di sini masih kulit putih."

"Bener,sih, Bang. Cuma ya, orang-orang enggak bisa dikendaliin semua, sih, mau digimanain juga pasti bakal tetep ada yang rasis, yang penting, mulai dari diri sendiri dengan enggak jadi rasis ke orang lain."

"Kena panas Surabaya kepala lo langsung cling-cling, ya, belajar bijak dari mana lo, Sei?"

Seina menggerutu, mencubit pinggang Yasa hingga laki-laki itu mengaduh kesakitan. Abangnya memang rese. Tapi, Seina sayang, Yasa abang yang baik dan perhatian dengan adik-adiknya.

"Udah tahu Surabaya panas, lo enggak mau dibawain mobil sama Mama, mobil lo mangkrak di rumah, enggak ada yang pakai."

"Jakarta juga panas, lagian lo kira beli bensin mobil murah apa? Enakan juga pake motor bisa ngebut, nyelip, irit," balas Yasa, laki-laki ini memang sangat realistis jika berhubungan dengan uang. Bagi Yasa, pantang untuk menghambur-hamburkan uang, selagi ada yang lebih hemat kenapa tidak?

"Serah lo, serah. Terus, masa ntar nganter gue liburan ke Batu pake sepeda motor gini?"

"Santai, si Arkimpret, kan, bawa mobil. Ya, tinggal pinjem."

Seina mendengus, lalu memilih diam. Sudah lelah badan, lelah pula berdebat dengan Yasa, ada saja bantahannya, pantas saja sampai telat lulus kuliah gara-gara ikut organisasi. Yasa punya sejuta alasan untuk membantah pada sang mama, dan mamanya? Bukan orang tua yang hobi memaksa anaknya pula, sang mama memberi kebebasan pada Yasa untuk memilih jalan hidupnya sendiri.

***

Yasa membuang ponselnya ke atas kasur, ia baru saja tiba di kosan, sementara Seina menginap di hotel yang tidak jauh dari kosannya, tidak mungkin Yasa menginap di sana juga, nanti akan terjadi pemborosan. Pesan yang didapati dari Seina membuat kepala Yasa hampir pecah, adiknya itu merengek minta diantar ke mal untuk membeli peralatan make up, milik Seina tertinggal di Jakarta dan katanya, Seina tidak bisa kalau tidak pakai make up, minimal harus ada lipstick bedak, dan blush on. Anak zaman sekarang!

"Kenapa tu muka? Dateng-dateng udah butek," kata Arki sambil duduk di atas kursi belajar di kamar Yasa.

"Adek gue minta temenin beli make up. Gila aja, yakali gue kudu temenin dia ngemal, tu anak kalau ngemal pasti lama."

Arki tertawa, ia ingat adik Yasa, si Seina, sewaktu di Jakarta, mereka beberapa kali bertemu.

"Ya, lo minta salah satu gebetan lo aja buat nemenin, gitu aja susah. Noh yang baru, si Lana!"

"Kagak dah, ngaco lo. Mereka enggak bakal cocok."

Arki berdecak sambil membuka ponselnya, laki-laki itu lalu kembali memberi saran. "Ajak adek tingkat jadi-jadian lo aja. Seina kayaknya sefrekuensi sama dia."

"Fayka maksud lo?"

"Ya, siapa lagi?"

Yasa tersenyum, ia bisa lupa dengan Fayka. Seina pasti cocok dengan Fayka. Ide Arki tidak buruk juga, ia pun segera mengambil ponsel dan menghubungi Fayka, mumpung masih jam tujuh, belum terlalu malam.

"Gue pinjem mobil lo deh."

"Pake aja elah, kuncinya di kamar gue. Ambil sendiri, gue numpang rebahan di sini ya, kamar gue berantakan banget, males beresin."

"Awas aja lo berantakin kamar gue, Ki."

"Elah, ribet. Udah sono!"

Yasa mengabaikan Arki sambil mengirim pesan untuk Fayka, ia segera ke kamar Arki yang berada di sebelah kamarnya untuk mengambil kunci mobil. Tidak ingin membuang banyak waktunya, Yasa lantas menuju halaman kosannya untuk segera mengemudikan mobil milik Arki menuju kosan Fayka yang untungnya masih satu wilayah dengan kosannya. Seina memang menyebalkan, dan Yasa tidak pernah bisa menolak keinginan Seina.

Yasa: Gue OTW kosan lo, ya. Minta tolong anterin adek gue beli make up.

Fayka: Lagi enggak bisa.

Yasa: Gw maksa! Tolongin gue!

Fayka: hmmm

Yasa meletakkan ponselnya di dasbor mobil, ia cukup memaksa Fayka untuk mau menurutinya. Lagi pula besok itu hari jumat, Pak Edo juga sedang menghadiri sidang doktoral dosen satu jurusan mereka di Jogja, jadi tidak ada alasan bagi Fayka untuk menolak. Mumpung libur, sesekali Fayka harus ia ajak untuk melepaskan beban di otak, karena sejujurnya Yasa juga mulai mumet mengerjakan produk skripsinya.

***

Fayka tersenyum miris menatap cermin, tadinya ia sedang ingin menghabiskan sisa hari dengan meratapi nasib. Tapi, Yasa malah mengajaknya keluar, Fayka ingin benar-benar menolak, tapi Yasa sudah baik dan sering membantunya, jadilah perempuan itu memakai eyeliner dan eye shadow cokelat di matanya, untuk menutupi sisa tangis. Ia tadi memang baru selesai menangis setelah melihat isi pesan ibunya yang lagi-lagi menanyakan tentang skripsi, dengan bumbu kata-kata pedas yang tidak ketinggalan. Setelah mengamati cermin dan dirasa sudah cukup, Fayka segera menyambar flatshoes berwarna krem, dan sling bag hitam miliknya.

Yasa sudah menunggu di dalam mobil, tadinya Fayka mengira Yasa akan membawa sepeda motor seperti biasa, tapi pesan terakhir dari laki-laki itu mengatakan bahwa ia membawa mobil Arki yang berwarna merah.

"Maaf agak lama," kata Fayka sewaktu ia masuk ke dalam mobil.

Yasa mengamatinya sejenak, aura wajah Fayka makin buram, meski sudah ditutupi make up, tapi sisa bengkak di matanya belum hilang. Perempuan itu pasti habis menangis, membuat Yasa menarik napasnya.

"Lo nangis lagi? Kenapa?"

Fayka menggeleng, ia menundukkan kepala sambil memilin ujung kausnya, dadanya tiba–tiba sesak, ia bingung harus bagaimana. Ibunya benar-benar menjadi toksik. Fayka tahu cara mendidik orang tua memang berbeda-beda, ada yang halus ada yang keras, tapi ibunya sudah keterlaluan.

"Enggak papa."

"Cerita aja, gara-gara Nyokap lo lagi?" tembak Yasa langsung, Yasa tahu ibu Fayka itu cukup keras, ia jadi tak tega melihat Fayka.

"Capek," lirih Fayka pelan, ia kembali menangis, beruntung eyeliner-nya water proof, jadi tidak luntur, kalau tidak, pasti wajahnya sudah mengerikan sekarang.

"Lo boleh capek, istirahat kalau perlu. Enggak usah terlalu pusing sama omongan Nyokap lo. Hidup lo punya lo, Fay."

Fayka makin mencengkram kausnya, belakangan ini memang ia sering menangis, emosinya sering tidak terkontrol, jadwal tidurnya bahkan sangat berantakan karena setiap malam kepalanya selalu berkelana, memikirkan hal-hal menyakitkan.

Yasa mengambil tangan Fayka, menggenggam tangan perempuan itu yang terasa dingin. Seakan memberi kekuatan, Yasa ingin Fayka sadar bahwa ia tidak sendirian di dunia ini. Banyak yang mendukungnya.

"Lo enggak sendiri. Enggak papa nangis aja," kata Yasa, Fayka seketika menangis, perempuan itu mengeluarkan semua emosi yang sudah tertahan sangat lama. Dadanya terasa sesak, ada luka yang hanya dapat ia rasakan sendiri, tak terlihat namun kehadirannya menyakitkan.

"Enggak papa, semuanya akan baik-baik aja, kita pasti bisa lulus," kata Yasa. Karena tak tega, ia lalu memeluk Fayka, melupakan prinsipnya tentang jangan menyentuh orang yang tanpa seizin orang tersebut. Ia tak tega melihat Fayka seperti ini, kali pertama seorang Yasa melihat perempuan menangis dengan begitu emosi, bahkan saat praktek konseling pun, tidak pernah Yasa menemukan klien seperti Fayka.

"Lo berharga Fay, lo pasti bisa," kata Yasa sambil mengelus punggung Fayka yang bergetar.

Apakah dulu Yaya juga sesakit Fayka saat menerima bullying dari temannya? Apakah Yaya akan seterluka Fayka? Pertanyaan itu bersarang dalam kepala Yasa, membawa kembali memori tentang Yaya yang meninggalkan kenangan menyakitkan. Yaya hanyalah remaja labil yang salah memilih langkah, meski katanya orang bunuh diri tidak akan mendapatkan surga, tapi Yasa masih berharap Tuhan memberi surga untuk Yaya.

"Aku capek."

"Semua orang berhak capek, istirahat kalau capek. Enggak papa buat berhenti sejenak."

Pelukan hangat Yasa memberikan ketenangan, Fayka seperti mendapatkan kenyamanan. Ini kali pertama ia mendapatkan sebuah pelukan dari laki-laki yang bukan keluarganya. Kepalanya memerintah untuk melepas, namun hatinya tidak bohong, ternyata ia memang butuh sebuah pelukan untuk meredakan lukanya yang kembali menyala.

***

Yasa tidak salah, adiknya langsung cocok dengan Fayka. Mereka mungkin satu selera perihal make up, karena malas, laki-laki itu memilih menunggu di max cafe sambil menikmati secangkir kopi yang masih panas. Sudah dua jam, mereka belum juga kembali, bahkan satu jam lagi mal akan tutup. Benar, jika perempuan sudah belanja, pasti tidak akan sadar waktu, apalagi kalau sudah belanja make up, untungnya tadi, ia tidak mengantar Seina sendirian. Bisa patah kakinya diajak Seina dari satu store ke store lain.

Ingatan Yasa jatuh pada kejadian beberapa waktu lalu di dalam mobil, ia memeluk Fayka. Yasa juga tidak menyangka bisa reflek seperti tadi, ia hanya tidak tega melihat Fayka rapuh seperti tadi. Sosok Fayka itu membuat Yasa selalu ingin melindungi perempuan itu. Yasa tidak merasa menyesal, ia memang melakukan hal yang benar tadi, atas dasar kemanusiaan.

"Astaga! Lo ngelamunin apaan, Bang? Serius amat," nyinyir Seina sambil meletakkan tas belanjanya, beberapa merk seperti inniesfree, nature republik, dan Watson tampak terlihat.

"Cerewet lo."

Seina mengedikkan bahunya, lalu menyerobot kopi milik Yasa, membuat abangnya itu mendelik tidak terima.

"Punya gue itu!"

"Haus."

"Tapi, itu panas, kalau haus, ya, sana! Beli yang dingin."

"Eh, Kak Fayka sori yang harus lihat keributan gue sama Bang Yasa. Ini orang emang rese," kata Seina menatap tidak enak pada Fayka.

"Enggak papa, udah biasa dia begitu."

Seina tergelak, sambil menjulurkan lidahnya pada Yasa, ia menatap Fayka dengan semangat. "Serius, Kak? Emang udah sifat orok dia nyebelin, sih, haha."

"Iya, pernah waktu itu aku dilabrak sama gebetannya Bang Yasa gara-gara gebetannya salah paham sama hubungan kami."

Mulut Seina membulat. "Hah? Beneran? Sinetron abis, masih ada manusia kayak gitu haha?"

"Masih, Sei. Namanya juga manusia," balas Fayka, memang benar, manusia korban sinetron itu masih ada, dan banyak, Fayka juga pernah begitu.

"Hahaha ... Bang Yas, lagian lo sih, masih aja jadi fakboi, enggak tobat juga. Inget umur, daripada jadi fakboi, gebetan sana-sini ujungnya enggak jadi, mending sama Kak Fayka aja, gue setuju, nih, selera make up kami sama, selera musik Korea juga."

Yasa melotot pada adiknya, Seina memang tidak punya rem jika sudah nyerocos, apalagi kalau sudah bertemu orang-orang yang satu frekuensi dengannya.

"Berisik, Sei. Berisik lo!"

"Bodo!" Seina tergelak melihat Yasa yang menatapnya sebal. "Eh, Kak. Besok ikut gue ke Batu, yuk, masa gue liburan sama Bang Yasa doang? Mana asik? Ikut gue ya, plis?"

"Ikut aja, Fay. Buat tenangin pikiran, besok Senin baru gelut lagi sama skripsi, mumpung weekend juga," timpal Yasa.

"Nanti aku ganggu."

Seina menggeleng. "Enggak, Kak. Serius deh, ikut yah? Biar rame, bosen banget sama Bang Yasa doang mah."

Fayka menghela napasnya, seperti tidak masalah, otaknya juga sudah terlalu banyak beban. Kemarin, ia sudah menghabiskan libur semesternya untuk mengerjakan proposal, liburan sebentar tidak masalah sepertinya, apalagi ada temannya begini. Fayka perlu mengurai isi otaknya yang sudah seruwet benang kusut.

"Boleh, deh."

Seina terlihat gembira, perempuan itu tersenyum lebar. "Yaiy! Akhirnya gue liburan enggak sama Bang Yasa doang, bisa bosen ntar."

"Adek kurang ajar lo, Sei."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro