Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pain

"Ibu?"

Fayka terkejut melihat ibunya ada di depan kamar kosannya. Perempuan itu baru saja mandi, rambutnya bahkan masih basah setelah tadi ia keramas. Jam masih menunjukan pukul sepuluh pagi, dan ibunya tampak sudah ada di depan matanya. Tumben sekali.

"Anak gadis, jam segini baru mandi."

"Baru bangun, kuliah libur juga," jawab Fayka pelan, ia lalu membiarkan ibunya masuk. Wanita paruh baya itu lalu duduk di atas kursi belajar di dalam kamar kosnya.

"Sampai mana skripsimu?"

"Bikin instrumen."

Fayka mengambil vitamin rambut di atas meja, menuangkan cairan kental itu ke atas tangan kirinya lalu menggosokannya ke rambut.

"Kapan penelitian? Kapan sidang?"

Fayka menelan ludahnya susah payah, rasanya mulai tidak nyaman. Perempuan itu memilih mengambil sisir untuk merapikan rambutnya yang masih berantakan setelah keramas.

"Doakan saja semoga dua minggu lagi bisa penelitian, Bu. Ini juga masih usaha buat nyari tempat penelitiannya, baru dapat dua kurang dua lagi."

"Jangan lama-lama! Jangan sampai telat."

Kalimat yang selalu ibunya ucapkan itu seperti mantra sihir paling mematikan, membuat beban di pundak Fayka kian berat. Demi Tuhan, bahkan setiap minggu ia selalu mengusahakan untuk bimbingan, mengusahakan progres skripsinya, walau nyatanya seperti jalan di tempat, Pak Edo selalu memintanya mengganti kisi-kisi skripsi, padahal beliau sendiri yang membuatkan kalimatnya, tapi sebagai mahasiswa apalagi yang bisa ia lakukan selain diam, menurut dan memperbanyak stok sabar? Dibantah pun rasanya percuma, dosennya sosok yang keras, tidak mau menerima penolakan.

"Aku selalu berusaha, kok, Bu. Bahkan tiap hari, enggak sekalipun aku lupa buat mengerjakan skripsiku, tiap minggu minimal satu kali, aku selalu bimbingan sama dosen. Enggak sehari pun waktuku terbuang percuma."

Jannah mendengus, memandang dengan sangsi atas pernyataan Fayka. Siapa yang akan memercayai ucapan Fayka? Setiap hari mengerjakan skripsi dan minimal seminggu sekali bimbingan, tapi progresnya masih jalan di tempat?

"Kamu tidak sedang membohongiku?"

"Enggak. Aku berbicara serius, terserah Ibu mau percaya mau enggak. Memang, kan, sulit dipahami kondisiku ini, enggak akan ada yang percaya kecuali yang benar–benar mengalami, serumit apa memiliki dosen seperti dosen pembimbingku."

"Oh, ya? Lantas, kamu mengadu apa pada Melati? Kamu jangan berbohong kali ini."

Tubuh Fayka menegang—ia yang sedang duduk di atas kasur menatap ibunya dengan takut. Apa yang dikatakan Tante Mel pada sang ibu sehingga ibunya terlihat marah seperti ini?

"Aku enggak ngomong apa–apa sama Tante Mel."

"Enggak ngomong apa-apa, tapi Melati mau mengajakmu tinggal di luar negeri. Kamu jangan mengada-ada, Fayka!"

Fayka terkejut dengan bentakan sang ibu, meski ini bukan pertama kalinya ibunya bersikap demikian, tapi, ia selalu bereaksi sama setiap kali ibunya membentak dirinya dengan amarah yang menggelegak.

"Aku cuma pengin liburan ke sana, dan Tante Mel sudah setuju. Tante Mel memang memintaku tinggal di sana, hanya saja aku enggak mau, Bu."

"Kamu pasti mengadu yang aneh–aneh pada Melati, kan?"

Fayka menggeleng, ia mulai menangis, tubuhnya terasa menggigil. Ia sedang banyak pikiran, lalu ibunya datang-datang dengan membawa kemarahannya yang hebat. Rasanya, Fayka ingin bersembunyi dan tak ingin menemui siapa pun lagi.

"Aku enggak ngomong apa–apa sama Tante Mel, Bu."

"Halah! Enggak ada maling yang mau ngaku. Kamu sama Tantemu sama saja, tukang ngadu, enggak menghargai saya!"

"Aku capek," kata Fayka singkat. Ia tidak mampu lagi mengeluarkan kata –kata lanjutan.

"Dasar anak kurang ajar. Lebih baik kamu mati saja, tidak usah hidup di dunia ini! Kamu merepotkan saya saja, Fayka!"

Jannah meninggalkan Fayka dengan emosi yang bergelegak, menyisakan Fayka yang menangis tergugu di atas kasurnya. Sekali lagi, ibunya berhasil menyakiti Fayka begitu dalam. Ibunya tidak ingin Fayka hidup, ibunya menyesal memiliki anak seperti Fayka. Fayka seperti menelan bara panas di dalam tenggorokannya, terasa menyakitkan dan menjadikannya abu yang hilang diterbangkan angin. Nyatanya, tidak sedikit orang tua yang durhaka kepada anaknya, hanya saja kebanyakan anak–anak itu akan memilih diam karena rasa takut dan rasa hormat.

***

Relaps itu menyakitkan. Relaps membuat Fayka tidak lagi ingin menemui dunia, ia sedang dilanda kesakitan dan kekecewaan yang dalam. Luka yang belum sembuh, telah disayat lagi lebih dalam, mengakibatkan luka itu kian menganga lebar. Rambutnya berantakan, ia tadi menjambaki rambutnya sendiri untuk mengalihkan rasa sakit di hatinya, tangannya juga lebam–lebam, Fayka memukul lantai untuk melampiaskan rasa sakit yang mencekam. Tindakannya memang tidak dibenarkan, Fayka hanya tidak mampu menghalau rasa sakit itu, seakan–akan ilmu yang dipelajarinya selama ini mental begitu saja, ia kalah dengan rasa sakit yang menyedihkan.

"Berhenti, stop!" Fayka berbicara lirih, mantra itu ia gunakan sedari tadi.

Ia berkali-kali menarik dan mengeluarkan napasnya, memanfaatkan teknik relaksasi untuk mengurangi perasaan semrawut itu tapi belum berhasil. Ia masih kalah dengan perasaannya sendiri.

Perempuan itu mengambil sebuah buku kecil bergambar Menara Eiffel yang pernah diberikan oleh Yasa. Kata laki–laki itu, ia harus menampung kesedihannya di buku ini. Menulis kesedihan memang salah satu cara untuk menggambarkan seberapa parah luka batin yang dialami, dalam bentuk sebuah jurnal yang berisi rasa kecewa dan luka yang tengah dialami oleh Fayka. Dengan tangan gemetar, Fayka mengambil bolpoin, lalu memulai untuk menulis apa yang sedang ia rasakan.

Aku sedang merasa tidak berguna. Ibu seperti benar-benar membenciku. Apa memang, aku tidak seharusnya hidup di dunia ini? Rasanya, kesedihan ini tidak lagi dapat kugenggam, luka yang ditorehkan Ibu sangat dalam. Ibu bilang, aku tidak tahu diri, tidak berguna dan lebih baik mati. Benarkah, Tuhan? Bukan kah semua manusia yang terlahir di dunia ini pasti berguna? Lalu, apakah hanya aku yang tidak?

Rasa-rasanya, kematian lebih baik. Tapi, aku tidak seberani itu untuk membunuh diriku sendiri. Yang aku inginkan hanya melenyapkan rasa sakit ini, kematian mungkin cara paling instan. Tapi, Tuhan masih memberiku kesadaran rupanya.

Ibu, bolehkah aku membencimu? Ternyata, aku tidak sekuat baja untuk terus bertahan, aku tidak bisa terus menerus diam di saat belati tajam Ibu hujamkan kepadaku. Kalau Ibu mau tahu, rasanya sangat menyakitkan.

Fayka menghela napas, air matanya kembali turun. Ia sudah belajar untuk mengendalikan diri, tapi nyatanya memang tidak mudah, ia memerlukan banyak waktu untuk belajar menolong dirinya sendiri, ia memerlukan sebuah sandaran yang kokoh untuk berbagi rasa sakit. Fayka tersenyum tipis, tangannya membuka halaman berikutnya, masih kosong. Ia ingat, salah satu cara lain untuk terapi melalui menulis adalah menulis harapannya sendiri di masa datang, berpura –pura bahwa ia adalah dirinya dari masa depan. Ia akan membandingkan kedua tulisan itu, setidaknya ia bertahan hidup dengan harapan-harapan yang ia yakini akan ada, nanti.

Untuk: Fayka di masa lalu

Dari: Fayka di masa depan

Terima kasih sudah bertahan. Kamu kuat, kan? Aku tahu kamu bisa melalui semuanya. Di dunia ini memang banyak hal yang akan membuatmu sedih dan terluka, tapi tenang, di masa depan kamu akan baik –baik saja, Fayka.

Buktinya? Saat ini kamu sudah sukses, sukses memerangi rasa sedih dan lukamu di masa lalu. Saat ini, dengan kedua kakimu, kamu telah berdiri, membantu orang lain yang memiliki kisah kelam sepertimu di masa lalu. Tolong, tetaplah bertahan, meski itu berat, bertahan lah sekali lagi. Aku, dirimu di masa depan, sedang menunggumu dengan senyum lebar dan segenggam kebahagiaan yang harus kamu saksikan. Sekali lagi, kamu akan baik-baik saja.

Fayka meraih ponselnya yang tergeletak sejak kedatangan ibunya tadi. Hari sudah malam, dan ia bahkan belum memakan apa pun sejak tadi pagi, ucapan ibunya selalu menjadi hantu di kepala. Fayka mendapati puluhan pesan masuk, beberapa dari Nindy yang bertanya padanya tentang revisi dari Pak Edo, juga beberapa pesan dari temannya termasuk dari Yasa. Bertepatan dengan ia yang akan membalas pesan Nindy, Fayka mendapati ponselnya bergetar, panggilan dari Dicky.

"Assalamualaikum?" kata Fayka dengan pelan, suaranya terdengar serak, mungkin karena banyak menangis.

"Waalaikumsalam. Fay, aku di depan kosmu, mau balikin buku yang kemarin," kata Dicky, laki-laki itu kemarin memang meminjam buku psikoanalisa milik Fayka.

"Tunggu bentar, Mas. Aku keluar dulu."

Fayka mematikan panggilannya, perempuan itu menarik napasnya. Ia lalu menyalakan lampu kamar yang sejak tadi mati, dan hanya menyalakan lampu tumblr yang remang-remang ketika menerangi kamarnya.

Fayka melihat wajahnya dari balik cermin. Matanya bengkak dan merah, wajahnya kuyu, bibirnya kering. Ia benar-benar terlihat mengenaskan. Perempuan itu lalu meraih bedaknya, lipbalm, dan kacamata untuk menyamarkan kondisi matanya yang memerah dan bengkak.

Dicky duduk di atas motornya, laki-laki itu sedikit terkejut melihat keadaan Fayka yang bisa dikatakan tidak baik-baik saja. Sebagai orang yang pernah dekat dengan Fayka, Dicky tentu tahu bahwa perempuan itu memang sedang memiliki masalah berat. Fayka bukan tipe manusia yang bisa menyembunyikan rasa sedihnya, sekalipun ia tertawa, tatapan matanya yang tak bersemangat dan wajahnya yang tampak murung selalu bisa menyampaikan rasa sakit yang dialaminya.

"Udah makan?"

"Udah."

Dicky menggeleng. "Belum, kan? Makan, yuk?"

"Nggak pengin makan."

"Makan! Nanti sakit. Ayo!"

Fayka menghela napasnya lelah. Ia tersenyum masam pada Dicky, "kelihatan kalau aku lagi kacau, ya?"

"Iya, makanya makan. Nanti cerita kamu kenapa."

Perempuan itu lalu mengangguk, Dicky, kan, terus memaksanya kalau ia tidak mau menurut untuk segera makan. "Aku ambil dompet dulu."

"Enggak usah, ayo langsung naik. Makan soto aja di depan sana, nanti keburu kamu pingsan," gurau Dicky, Fayka mencibir.

Sedikit canggung, Fayka lalu naik ke atas motor matik berwarna putih milik Dicky. Laki-laki itu lalu mengendarai motornya, membawa Fayka ke sebuah kedai soto di pinggir jalan, Fayka butuh asupan makanan yang tidak pedas dan tidak terlalu berbumbu—mengingat keadaannya, Dicky yakin, Fayka belum makan sejak tadi pagi, dan soto tentu saja pilihan yang tepat.

"Kamu kenapa?" tanya Dicky setelah ia memesan soto untuk dua orang.

"Enggak ...."

Fayka menolak untuk cerita, rasanya ia sedang tidak ingin seseorang tahu tentang kondisinya. Ia hanya bingung jika harus menjelaskan kepada Dicky tentang hubungan rumitnya dengan sang Ibu.

"Aku enggak bisa maksa kalau enggak mau cerita. Tapi, apa pun itu, aku tentu berharap kamu selalu baik-baik saja dan segera membaik, Fay."

"Makasih, Mas," jawab Fayka, perempuan itu tersenyum tipis. "Ngomong –ngomong, punya kenalan psikolog selain dari kampus kita enggak?"

Dicky mengerutkan dahinya, pertanyaan Fayka menimbulkan spekulasi di dalam kepalanya. "Buat kamu?"

"Iya. Aku butuh diagnosa."

"Ada, kakak tingkat di kampus pas masih S1 dulu. Rumahnya juga enggak jauh dari sini, daerah Surabaya selatan. Kamu mau kuantar ke sana? Dia buka praktek juga, tapi kalau mau ke rumahnya juga enggak masalah."

"Takut ngerepotin."

Dicky menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku santai ini. Kalau mau nanti biar ku-WA orangnya."

Fayka tersenyum tipis. "Minta alamat sama nomor WA aja. Nanti aku ajak temenku ke sana."

"Oke, nanti kukirim nomor WA-nya ke kamu, kalian bisa janjian sendiri."

"Makasih, Mas."

Dicky mengangguk, tersenyum pada Fayka. "Ya, udah. Makan dulu!"

"Iya."

***

"Lo lagi sedih?"

Yasa baru saja meletakan tas ranselnya di atas meja gazebo di dekat ruang dosen. Ia baru saja selesai menemui Pak Edo untuk berkonsultasi mengenai dosen penguji yang akan menguji produk untuk bahan skripsinya nanti. Laki-laki itu melihat Fayka, tampak murung sambil menghadap laptopnya yang menampilkan proposal penelitian milik perempuan itu.

"Enggak papa."

"Udah, enggak usah bohong lo."

Fayka menggeleng, ia sedang malas berbicara. Tadinya, Fayka ke kampus untuk meminjam buku di perpustakaan fakultas, tapi melihat suasana sepi di kampus pada hari Jumat ini membuat perempuan itu memutuskan untuk tinggal sejenak dan mengerjakan proposalnya.

"Enggak papa, kok."

Yasa menarik napas, Fayka susah dipaksa. Jadi, laki-laki itu memilih untuk mengganti topik pembicaraan dengan Fayka. Ia tahu Fayka sedang ada masalah berat, terbukti dari wajahnya yang tampak tak bersemangat.

"Udah dapet semua tempat penelitiannya?"

"Kurang dua. Senin besok mau ke sekolah, hari ini enggak bisa, belum ngurus surat."

"Ngurus surat, kan, gampang, enggak ada sejam."

"Iya, tapi nunggu Nindy juga."

Yasa menarik napasnya. "Kurang di wilayah mana?"

"Pusat sama timur."

"Lo ada surat yang tinggal di-print, kan? Lo cetak, deh, sekarang."

"Hng ...? ngapain?"

"Udah manut aja, kita ke sekolah sekarang. Gue ada kenalan Guru BK di SMP wilayah timur sana. Penelitian lo, di SMP, kan?"

"Iya."

"Ya udah, buruan! Gue tunggu sini, ya, cepet dah lo. Gue mau jalan sama Lana juga jam empat nanti."

Fayka sedikit terkejut, siapa lagi Lana? Terakhir ia tahu, Yasa dekat dengan Sarah, si adik tingkat yang terkenal cantik itu. Kalau Lana, ya, baru kali ini Fayka mendengarnya. Tapi, Fayka tidak ingin bertanya sekarang, ia segera beranjak dari gazebo dan menuju belakang kampus untuk mencetak surat izin penelitian dari kampus.

"Titip tas sama laptop, ya?"

"Iye, udah buruan."

Fayka lantas berlalu dari hadapan Yasa, menyelesaikan urusannya sementara Yasa sibuk dengan ponselnya, ia sedang menghubungi kakak tingkatnya yang menjadi guru BK di salah satu sekolah menengah pertama di Surabaya. Soal koneksi, Yasa memang tidak diragukan, beruntung juga kakak tingkatnya memilih menjadi Guru BK—selama ilmu yang dimiliki masih linier, tidak masalah, jadi bisa dimanfaatkan untuk hal-hal mendesak seperti ini.

Setengah jam menunggu Fayka, perempuan itu datang dengan peluh yang membasahi wajahnya. Napasnya putus-putus namun wajahnya menampilkan sebuah kelegaan. Fayka lalu duduk di sebelah Yasa.

"Udah? Ayo dah, buruan. Ambil jas almamater lo sama helm dulu kali, ya. Gue udah WA si Rommy sih, katanya oke, kita bisa ke sana."

"Rommy?"

"Guru BK-nya, si Rommy. Dulu alumni sini juga, cuma nyasar jadi Guru BK dia."

"Oh. Ke kos dulu, deh, ambil helm sama almamater."

***

Jalanan tampak macet, maklum ini siang bolong, jam istirahat pula. Pasti banyak yang keluar untuk makan siang, udara panas juga sedang jahat-jahatnya, jika tidak pakai sunblock, pakaian panjang dan kaus kaki, sudah pasti kulit tubuh akan menjadi korban keganasan sinar matahari di siang bolong seperti ini.

Fayka memperbaiki maskernya yang sedikit bergeser, perempuan itu lantas kembali duduk tenang sambil memerhatikan jalan yang sedang padat merayap. Sesekali melirik Yasa melalui kaca spion.

"Tolong balesin WA si Lana," kata Yasa sambil menyerahkan ponselnya pada Fayka. Laki-laki itu masih fokus dengan sepeda motornya.

Fayka menerima ponsel itu dengan perasaan yang sedikit tidak enak. Yasa mungkin sedikit tidak waras dengan memintanya untuk membalas pesan dari gebetannya.

"Sandinya?"

"110298."

"Oke, aku bales gimana? Dia kirim pesan, jadi nonton enggak."

"Bilang aja, nanti gue kabari, masih di luar."

Fayka mengetik apa yang diperintah Yasa, lalu mengirimkan pesan itu pada Lana—gebetan baru Yasa.

"Gebetan baru? Si Sarah ke mana?" pahit rasanya bertanya seperti itu.

"Udah ganti. Ya sama Lana itu, anak fakultas sebelah, seumuran lo."

"Lana cantik, pakai jilbab gini. Kalem kayaknya, yang ini jangan di-php lagi deh, Bang. Kasian."

Yasa berdecak. "Kalem apaan. Bar-bar orangnya. Lo lihat dari tampangnya doang, sih. Tapi, emang baik, sih, dia, enggak posesif kayak mantan gebetan gue yang lain, malah cenderung bodo amat tu anak. Lagian, jilbab, kan, kewajiban, bukan berarti perempuan yang berjilbab kudu kalem. Si Lana contohnya, dia pakai jilbab, tapi tetep bar-bar."

"Oh, ya? Cocok dong, semoga bisa jadian," kata Fayka—sekali lagi, pahit. Ngomong-ngomong soal jilbab, kapan, ya, ia bisa menjalankan kewajiban Tuhan yang satu itu? Rasanya, kok belum siap. Tapi, seharusnya dia tetap menjalankan kewajiban itu walaupun belum siap. Entahlah, pikiran Fayka masih semrawut.

"Lihat aja nanti."

Fayka tersenyum kecut. Tapi, kalau memang Yasa jadian dengan si Lana-Lana itu, mau bagaimana lagi? Ia tidak bisa melarang, mereka tidak memiliki hubungan apa pun, sebagai teman yang baik, Fayka hanya harus mendukung Yasa, karena selama ini, laki-laki itu juga sudah baik dan banyak membantunya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro