Kakak Adek Zone
Luka memang bisa disembukan oleh kenangan baru, tapi kenangan tidak bisa dihilangkan, ia mengendap selamanya, menciptakan ruang tersendiri untuk selalu diingat.
Yasa memandangi sebuah foto usang yang lama ia simpan di dalam dompet. Seorang perempuan berambut sebahu, dengan struktur wajah yang mengingatkannya pada Fayka. Memang tidak terlalu mirip, hanya jika dilihat sekilas, garis wajahnya hampir sama. Fayka membuatnya mengingat perempuan itu, sosok yang menyimpan luka dalam diamnya. Perempuan yang sangat berarti bagi Yasa, belahan jiwanya. Kehilangan perempuan itu sempat membuat Yasa terpuruk, merasa gagal menjaga sosok yang sangat dicintainya itu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, ia tak bisa mengembalikan apa yang telah pergi dari hidupnya.
"Kalau lo masih ada, gue enggak bakal ngerasa seberat ini mikirin keluarga kita, Ya."
Menghela napas, dadanya terasa sesak. Kehilangan Yaya bukanlah hal yang mudah, bertahun-tahun ia mencoba berdamai dengan masa lalunya, tapi sosok Yaya masih dan akan selalu mengendap dalam pikirannya.
"Kenapa sih, Ya? Kenapa lo kudu pergi? Lo tega, ya, ninggalin gue, Mama, sama adek-adek kita."
Selama bertahun-tahun sosok Yaya tidak pernah lagi dijadikan pembahasan di keluarga mereka, bukan berarti telah lupa. Tapi, kepergian Yaya terlalu meninggalkan luka yang dalam. Yasa sendiri merasa tidak becus menjaga kembarannya, hingga ia kecolongan.
"Maafin gue, ya, Ya? Nggak bisa jaga elo. Dateng ke mimpi gue dong, Ya. Kangen gue."
Yasa mengusap air matanya yang tanpa sadar jatuh, mengingat Yaya selalu membuatnya menangis. Yaya adalah saudara kembarnya, pernah berbagi satu kehidupan yang sama dengannya. Kehilangan Yaya bukan hal yang mudah, adik kembarnya itu meninggal sewaktu mereka masih kelas tiga sekolah menengah pertama.
"Dia mirip elo, Ya. Bedanya lo menderita gara-gara lingkungan lo yang toksik, kalau dia karena keluarganya. Ya, sejujurnya gue nyesel kenapa dulu gue enggak sepinter lo, kalau gue sepinter lo dan kita satu sekolah, udah pasti gue bisa jagain elo, dari orang-orang jahat yang bikin lo mati, Ya."
Yasa duduk di atas kursi, di balkon kamarnya. Kamar kosannya memang ada balkon, sengaja, ia memilih di lantai dua yang bisa melihat pemandangan malam hari, kalau-kalau sedang rindu keluarga, ia bisa berdiam diri di sana.
"Lo bahagia di sana? Udah ketemu Papa belum? Kangen gue, Ya. Sumpah deh, gue enggak bohong."
Yasa tersenyum miris, sejujurnya ia masih dendam terhadap orang-orang yang membuat Yaya-nya meninggal sedangkan mereka saat ini masih hidup bebas dan bahagia, tidak ada beban karena kehilangan orang yang dicintai.
"Hari di mana gue nemuin elo gantung diri adalah hari yang enggak pengin gue inget-inget lagi, Ya. Tapi, gue enggak bisa lupa. Lo mati di depan mata kepala gue sendiri. Lo jahat Ya, lo enggak cerita ke gue tiba-tiba lo mutusin buat pergi."
Kenangannya dengan Yaya memang tidak banyak, hanya sampai masa putih biru. Namun cinta Yasa untuk saudaranya itu terlalu banyak, terlebih rasa bersalahnya yang terlambat mencegah Yaya untuk bunuh diri.
"Bahagia ya, Ya di sana. Nanti gue nyusul kalau udah waktunya."
***
Fayka sedang pusing. Matanya sudah lelah melihat ke arah laptopnya, tapi masih buntu juga mengerjakan kisi-kisi yang rumit. Kemarin, Pak Edo meminta ganti beberapa poin indikatornya, sehingga mau tak mau Fayka harus lembur karena besok ia akan kembali menghadap Pak Edo.
Huft
Punya dosen pembimbing yang rewelnya ngalahin ibu hamil itu bikin pusing. Asli deh, kepala Fayka hampir meledak rasanya. Keinginan menyerah itu pasti ada, apalagi di masa-masa sulit seperti ini. Ingin rasanya Fayka kabur, tanpa memikirkan skripsinya. Tapi, kan, sayang masa kuliah yang sudah ia jalani, masa hanya tinggal menyelesaikan tugas skripsi ia tidak mampu?
"Bu Dela kemarin nyari si Seno, katanya enggak ada kabar juga sampai sekarang. Gila tu anak," kata Nida, perempuan itu sedang main ke kamar Fayka sambil nonton drama Korea dari laptopnya.
"Emang ke mana?" sahut Fayka sekenanya, sedang tidak terlalu fokus.
"Enggak tahu, udah lama enggak ada kabar, Bu Dela, kan, mau nyuruh dia sempro tapi susah banget dihubungi."
Fayka menghela napas, mahasiswa yang menghilang pada saat proses menyelesaikan skripsi memang tidak sedikit. Ada beberapa kakak tingkat yang sudah terlebih dahulu seperti itu. Alasannya beragam, sibuk kerja, menikah, malas dengan dosennya, pusing, tidak sanggup dan berbagai macam lainnya. Memang sih, manusia tidak bisa dipaksa kalau sudah tidak suka, tapi apa tidak sayang uang untuk bayar UKT? Lagian, hanya tinggal satu langkah malah mundur, sayang bertahun-tahun kuliah jika gelarnya ditinggal. Gelar memang bukan segalanya, tapi bisa membuat orang tua bangga di rumah, setidaknya perjuangan mereka untuk menguliahkan anaknya tidak sia-sia.
"Katanya mau nikah?"
Nida mengangkat bahunya. "Alibi doang kali, paling juga males ngurus skripsi. Apalagi si Seno kalau di kelas, kan, hobinya main hp, chatting-an sama pacarnya."
"Tapi, sayang waktu dan duit yang udah dibuang, ya, Nid."
"Ya, iya, Fay. Aku juga kadang mikir pengin nyerah, tapi, kok, tiap denger suaranya Ibu nelepon rasanya malah pengin cepet-cepet lulus."
"Setiap manusia pasti punya alasannya sih, Nid. Enggak bisa disamaratakan. Mungkin bagi kita itu motivasi, tapi bagi yang lain malah beban. Siapa yang tahu?"
"Itulah, Fay. Kudu pinter-pinter lihat situasi dan omongan orang sebagai motivasi sih."
Fayka mengangguk menyetujui, sekaligus lega, akhirnya jurnal dengan materi yang ia cari ketemu, kan, bisa dijadikan contoh untuk membuat kisi-kisi angketnya.
"Eh, Nid. Wifi-nya udah dibayar?"
"Enggak tahu, si Tata enggak pernah di kos, sibuk tuh dia. Maklum anak sendratasik, sibuknya ngalah-ngalahin Presiden, motonya, kan, kampus adalah tempat tidurku," kata Nida sambil tergelak.
"Ya udah deh, nanti aku WA. Kalau telat sayang dendanya, si operator itu, kan, enggak kira-kira kalau ngasih denda, udah sering trouble bayarnya makin lama makin mahal lagi."
"Iya emang, padahal aku sering DM-in mereka di twitter loh. Masih aja suka trouble."
Fayka menghela napasnya, sambil menuliskan beberapa ide yang tiba-tiba muncul. Semoga saja kali ini tepat, ini sudah ketiga kalinya ia menyetorkan kisi-kisi dan masih saja salah, belum lagi proses dengan Bu Anna, pusing Fayka kalau ingat. Untung saja sudah beres, tinggal dengan dosen pembimbing tercinta. Setidaknya, hasil revisian sementara sudah diserahkan ke pihak fakultas, jadinya sudah bisa mendapatkan kartu bimbingan, hanya saja membuat kisi-kisi angket juga bukan hal yang mudah.
"Fay, jangan marah, ya?"
Fayka menoleh ke arah Nida, temannya itu malah nyengir. "Apaan, Nid?"
"Aku denger gosip kamu pacaran sama Bang Yasa?"
Fayka berhenti mengetik, matanya fokus pada Nida, menatap temannya itu dengan tidak percaya. Masih saja gosip itu beredar, padahal, kan, Fayka belakangan ini sudah agak menjauh dari Yasa. Ya, semenjak kejadian di Pacet itu. Demi kebaikan hatinya, Fayka tidak terlalu sering berinteraksi lagi dengan Yasa.
"Gosip dari mana, sih? Ngawur aja deh, orang Bang Yasa jadian sama Sarah juga."
"Jadian? Loh, kok aneh? Kalau jadian sama Sarah ngapain malah si Sarah sekarang deket sama temen sekelas kita, si Reza?"
Fayka menghela napasnya. Ia yang akan memulai untuk mengetik lagi jadi malah berpikir tentang Yasa. "Aku enggak tahu, asumsi doang, sih. Ya, kalau udah enggak sama Sarah paling juga ada gebetan baru, kayak enggak tahu si Yasa aja. Udah terkenal suka deketin adek tingkat, kan? Dan, yang pasti itu bukan aku."
"Lah, terus? Kan, selama ini kalian deket."
Fayka mendengus. "Kakak adek!" katanya sedikit kesal pada Nida.
"Hah? Jadi kakak adek zone?"
"Apaan sih, udah ah diem. Mau ngerjain ini."
Nida tertawa sambil menatap Fayka prihatin.
***
Fayka sedang asik makan sendiri di kantin. Lapar, tadi belum sarapan, nungguin Pak Edo datang sudah tiga jam belum muncul juga, ya, sekalian saja dia ke kantin mengisi perut sambil salat zuhur sekalian. Si Nindy juga tidak bisa bimbingan hari ini, katanya sakit, berhubungan sudah izin dengan Pak Edo dan tidak apa-apa diwakilkan Fayka—karena penelitian mereka serupa—ya tidak masalah, Fayka sendiri yang bimbingan, dengan Yasa tentu saja.
Bakso di mangkoknya baru datang, masih panas dan membuat perutnya tambah keroncongan. Sebenarnya, Fayka sudah tidak makan dari semalam dan sedang tidak berminat makan nasi, jadi bakso adalah solusi.
"Pak Edo belum dateng?"
Fayka hampir tersedak, Yasa tiba-tiba muncul di depannya dengan segelas es garbis yang ia bawa, laki-laki itu melipat tangannya di atas meja. Fayka menggeleng, malas menjawab. Lebih baik menikmati bakso yang sudah ia campur sambal lima sendok dan kecap.
"Lo kok belakangan ini ngehindarin gue, sih, Fay?"
Alis Fayka naik, menatap Yasa bingung. Ia lalu meminum es jeruk miliknya sebelum menjawab pertanyaan Yasa.
"Biasa aja, lagian ... aku enggak pengin ada gosip yang enggak-enggak tentang aku sama Bang Yasa."
"Gosip apaan?"
"Kita pacaran."
"Hah? Siapa yang bilang?"
Fayka mendengus, ya, mana dia tahu. "Enggak tahu. Lagian kalau kita terlalu deket nanti gebetan Bang Yasa gagal lagi jadi pacar."
Yasa berdecak. "Gue enggak jadian sama Sarah, kan, karena memang enggak cocok bukan karena lo. Lagian, nyari yang baru gampanglah. Enggak usah lo pikiran, kita deket juga buat ngerjain skripsi."
Fayka mengunyah baksonya pelan sambil memainkan ponselnya, mengecek notifikasi dari Tante Mel dan Jefran yang menanyakan keadaannya. Perempuan itu tersenyum tipis, senang masih ada keluarganya yang peduli.
"Lo nyuekin gue?"
"Enggak, lagi bales WA."
Tatapan Yasa mengarah pada rambut Fayka, sebahu lurus, persis milik almarhumah Yaya. Setiap melihat Fayka selalu ada keinginan untuk melindungi dan membuat Fayka bahagia, Yasa hanya tidak ingin Fayka mengalami hal yang sama seperti Yaya. Tekanan itu bisa saja membuat Fayka melakukan hal yang sama seperti Yaya.
"Lo bener-bener mirip adek gue deh, Fay. Sekilas maksudnya."
Fayka mendongak, melihat ke arah Yasa yang tampak menerawang sambil memerhatikan wajahnya, membuat Fayka tidak nyaman saja.
"Kangen sama adeknya, ya? Telepon aja, Bang."
Yasa tersenyum kecut. "Andai ada telepon yang nyambung ke surga udah gue telepon sejak dulu."
Yasa terlihat sedih, sorot matanya terasa layu, tidak seperti biasanya. Fayka jelas tidak pernah melihat Yasa seperti ini.
"Loh, bukannya adek Bang Yasa ada di Jakarta?"
Yasa menggeleng. "Bukan Sena, tapi almarhumah adek kembar gue. Namanya Yaya."
"Maaf, enggak tahu," kata Fayka, mendadak bakso di tenggorokannya seperti menyangkut saja.
"Adek gue meninggal pas SMP, bunuh diri, enggak kuat di-bully, dia dapat tekanan dari teman-teman sekolahnya. Adek gue emang pinter, bahkan ia sering menang olimpiade sains, ya, mungkin temmen-temennya iri, karena guru-guru di sekolahnya ngandelin Yaya buat ikut olimpade selama Yaya sekolah di sana. Mereka semua memang pinter, tapi Yaya terlalu menonjol, dia enggak goblok kayak gue."
Fayka membekap mulutnya, tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca, Fayka memang sesinsitif itu, tidak bisa mendengar atau melihat cerita sedih. Rasa empatinya berlebihan sehingga kadang tanpa sadar dimanfaatkan orang.
"Gue ngelihat dia mati di depan mata kepala gue sendiri. Dan, tiap ngelihat elo gue, gue selalu inget dia. Sekilas, kalian mirip. Apalagi pas lo sedih, gue kebanyang dulu Yaya selalu menelan sedih dan lukanya sendirian karena enggak mau bikin keluarga khawatir. Gue enggak bisa bayangin gimana Yaya ngadepin semua itu seorang diri."
Yasa tersenyum pahit, Fayka sudah menangis. Ia tidak bisa membayangkan sosok Yaya yang tertekan dan mendapatkan perundungan dari teman-temannya, pasti sakit sekali.
"Tiap ngelihat lo, gue pengin lindungin lo, Fay. Lo bikin gue inget sama dia, gue khawatir lo depresi kayak Yaya dan berakhir suicide."
Kalimat itu seperti menghantam dirinya. Fayka menarik napas lalu membuangnya, entah sudah berapa kali ia ingin mengakhiri hidup, mulai dari menyakiti dirinya sendiri sampai meminum obat penenang kelebihan dosis, tidak ada yang tahu kecuali Nida, Mariam dan Rea. Hanya mereka saksi hidup saat-saat Fayka relaps dan tidak ingin lagi menghadapi dunia.
"Lo janji sama gue ya, Fay. Apa pun yang terjadi, jangan pernah buat bunuh diri. Lo enggak sendirian di dunia ini, bagi beban lo sama gue atau sama temen-temen yang lo percayai. Gue enggak mau ada Yaya Yaya lain yang bernasib serupa kayak adek gue. Pilihan ada di tangan lo, dan lo kudu milih buat tetep hidup."
"Enggak tahu, Bang. Enggak bisa janji, tapi aku terus berusaha buat bertahan hidup, kok."
Yasa tersenyum lebar sambil merogoh sebuah buku kecil dari dalam tasnya, baru saja ia beli di toko buku kampus tadi. Yasa lalu menyerahkan buku itu pada Fayka.
"Lo bisa nulis keluhan lo di sini, tiap kali lo relaps, tiap kali lo ngerasa pengin mati, tulis di situ. Tulis juga orang-orang berharga dan mimpi-mimpi lo di situ, kalau lo lagi relaps, bayangin keinginan paling gelap itu dan bandingin sama mimpi-mimpi yang belum lo raih serta orang-orang yang akan kehilangan lo."
Fayka menerima buku itu dengan tangan bergetar. Sebuah buku berukuran kecil, bersampul hitam bergambar Menara Eiffel yang diberikan Yasa untuknya.
"Udah, jangan sedih lagi, ntar yang suka sama lo kabur ngelihat lo mewek gini."
"Sialan. Lagi mellow malah dibercandain."
"Hahaha ... hidup jangan tegang terus kayak listrik."
Fayka menyeka air matanya, sudah tidak minat dengan bakso di mangkoknya itu. Lebih baik ia segera membayar bakso itu dan segera salat sebelum kembali ke kantor dosen untuk menemui Pak Edo.
"Eh, Fay. Gue saranin buat lo ke psikolog deh. Seenggaknya lo tahu lo sakit atau baik-baik saja. Inget kan, kita enggak bisa diagnosis sendiri?"
Fayka mengangguk, ia juga sudah berpikir untuk ke psikolog hanya saja belum sempat. Mungkin besok ia akan minta ditemani oleh Nida.
"Bang ...."
"Hmmm?"
"Salat, inget Tuhan. Jangan gebetan terus."
Yasa mendelik lalu mengumpat pada Fayka, ya, ditinggal kabur saja oleh Fayka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro