Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jangan Baper

Kamu telah membangun batasan-batasan agar aku tidak nekad untuk masuk ke dalam hidupmu. Kamu bahkan memaksaku untuk mundur bahkan sebelum aku jatuh sepenuhnya.

Fayka membawa helm berwarna biru setelah mengunci kamar kosnya. Perempuan itu memakai celana jeans panjang berwarna hitam dan kaus panjang berwarna cokelat, rambut yang biasanya ia gerai, kini ia kuncir rapi, tidak lupa kacamata menghiasi wajahnya. Fayka memang memiliki minus dan silinder, tidak banyak, tidak lebih dari dua—yang ia ketahui bulan lalu setelah periksa ke dokter mata, jadi sehari-hari memang ia tidak memakai kacamata, hanya saat akan keluar atau membaca buku.

"Maaf lama," kata Fayka kepada sosok berjaket jeans abu-abu yang duduk di atas motor matiknya.

"Jaket lo mana?"

"Enggak pake. Udah pake kaus panjang ini."

Yasa menggeleng, ia yang tadi sedang bermain ponsel lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket yang ia kenakan. Laki-laki itu menatap Fayka dengan sebal, sembari menghela napas.

"Balik ke kamar lo, ambil jaket!"

"Enggak perlu," kata Fayka masih ngotot dengan pendiriannya.

"Kita nanti lewat Driyorejo sama Krian, banyak truk gede, banyak pabrik. Lo mau pake jaket atau gue tinggal?"

Fayka mendengus, menatap Yasa tak suka. "Peduli banget, sih?"

"Gue enggak mau lo kenapa-napa, gue yang nyetir, Fay. Ntar lo masuk angin, repot. Masker juga sekalian, debu di jalan itu jahat."

Mengembuskan napasnya kasar, Fayka meletakkan helmnya di atas motor milik Yasa sebelum berlalu kembali ke dalam kamarnya, mengambil jaket beserta masker sesuai perintah Yasa. Gimana dia tidak baper? Yasa itu perhatian, selama ini Fayka jarang dekat dengan laki-laki, mantan saja hanya dua, itu pun hubungannya tidak lama, tidak ada satu tahun. Di rumah, ia tidak mendapatkan banyak perhatian selain dari masnya, lalu ketika Yasa datang dengan perhatian kecil namun manis, bagaimana bisa ia tidak terjerat pesona laki-laki itu?

"No, Fay!" gumamnya sambil mengelus dada. Fayka masih menganut, rasa baper tidak untuk ditunjukkan dan dituruti. Jadi, meskipun ia menyukai Yasa atau bahkan lebih, ya, biar saja ia telan sendiri. Tetap bersikap biasa saja, itu cukup.

Selesai mendapatkan apa yang diperintah oleh Yasa, Fayka kembali ke depan kosannya, tempat di mana Yasa masih menunggu dengan helm berwarna biru miliknya yang masih bertengger di atas spion motor.

"Nih," kata Fayka sambil menyodorkan sebotol kopi instan yang ia beli sore kemarin.

"Buat gue?"

"Iyalah, kalau kang ojol ngantuk di jalan, kan, repot."

Yasa tergelak, lalu mengambil botol itu dari tangan Fayka. "Gue minum ntar, deh, belum sarapan. Nyari sarapan dulu nanti."

Fayka mengangguk saja, ia juga lapar belum sarapan. Ini juga masih pagi, masih pukul enam pagi. Mereka memang berangkat pagi agar tidak kesiangan, daerah sekitar Surabaya kalau siang panasnya ampun-ampunan.

"Nindy gimana?"

"Udah, kok, ditunggu di depan gang. Ayo!"

Yasa menyerahkan helm Fayka dan meminta perempuan itu segera naik ke atas motornya.

"Lo kalau malu meluk gue, pegang ujung jaket gue aja," kata Yasa membuat pipi Fayka memanas.

"Iye, bawel."

***

Nindy diantar pacarnya, sedangkan Yasa bersama Fayka. Mereka berangkat ke Mojokerto untuk bimbingan dengan Bu Anna sekaligus membicarakan mengenai alat instrumen penelitian. Benar kata Yasa, jalanan menuju tempat Bu Anna memang banyak kendaraan besar, debunya apalagi. Rumah Bu Anna memang ada di pinggiran Mojokerto kota, jadi bukan di wilayah yang dekat gunung, jalanannya padat merayap apalagi jam jam pagi seperti ini.

"Si Nindy WA dong, sarapan dulu kita," kata Yasa agak keras, takut Fayka tidak mendengar.

"Iya."

Fayka lalu mengirim pesan pada Nindy untuk berhenti di rumah makan di pinggir jalan. Bisa bahaya kalau Yasa menyetir dalam keadaan kelaparan, laki-laki itu bisa kehilangan fokusnya. Setelah menerima balasan Nindy, tak berapa lama kemudian Yasa memberhentikan motornya di sebuah rumah makan di kiri jalan.

"Fay, gilak. Masih ngantuk aku," kata Nindy setelah mereka turun dari motor. Perempuan yang memakai hijab berwarna hitam itu melepas kacamatanya lalu membersihkan debu yang menempel di kacamata.

"Tidur jam berapa semalam?"

"Jam dua belas sih, cuma masih kerasa ngantuknya."

"Beli kopi, deh, ntar. Bahaya kalau ngantuk di jalan, rame gini jalanannya."

"Iya, deh, nanti beli."

Nindy lalu mengajak Fayka menyusul Yasa ke dalam rumah makan, pacarnya Nindy mengekor di belakang. Yasa tampak mengantre di depan etalase makanan, tampak sedang memikirkan menu untuk sarapannya.

"Saya mau pecel, deh, lauknya perkedel sama ayam goreng, minumnya air mineral aja satu botol," kata Yasa menyebutkan menu makanan yang ia pesan. "Lo mau apa, Fay?"

"Bingung, deh."

"Dasar cewek."

Fayka mendengus, menatap Yasa malas, kambuh, deh, sifat menyebalkan laki-laki ini. Meledeknya terus.

"Yang, kamu mau apa?" Nindy bertanya pada pacarnya. Mereka tampaknya sudah menentukan pilihannya, tinggal menunggu Fayka.

"Aku nasi, sayur bayam, dadar jagung sama udang tepung aja deh, Mbak," kata Fayka, akhirnya menjatuhkan pilihannya.

"Udah lo sana aja sama Nindy, nyari meja. Biar gue yang bayar."

Fayka menggeleng. "Enggak! Mau bayar sendiri."

"Nggak usah rewel, nurut aja kenapa, sih?"

Fayka mendengus malas. "Ya, masa kamu yang bayarin mulu?"

"Halah. Kayak makan di resto bintang lima aja, ginian paling enggak ada dua puluh ribu. Udah sana, bawel banget deh. Heran gue."

Akhirnya Fayka kalah lagi berdebat dengan Yasa—oh jangan lupakan status laki-laki itu yang seorang mantan ketua legislatif mahasiswa—ia memilih untuk mencari tempat duduk dengan Nindy.

"Bang Yasa manis gitu ke kamu, Fay," ujar Nindy setelah mereka mendapatkan tempat untuk duduk.

"Ya, fakboi, kan, memang gitu. Manis ke semua cewek."

"Kali aja dia suka sama kamu."

Fayka berdecak. "Khayalan babu itu. Enggak mungkin banget."

"Awas aja nanti, kalau dia beneran suka sama kamu, Fay. Bukan khayalan babu lagi namanya, dream comes true hahaha ...."

Di dunia ini memang tidak ada yang tidak mungkin, tapi Yasa sendiri yang sudah menganggapnya adik, jadi Fayka tidak akan berani untuk berharap. Ia bukannya merasa kurang PD untuk menjadi sosok perempuan yang disukai Yasa atau bagaimana, toh dua mantan pacarnya juga memiliki wajah yang tidak jauh berbeda dari Yasa—enak dipandang. Hanya saja, Fayka ingin berpikir realistis, tipe Yasa sepertinya sosok yang memiliki wajah cantik, suka merawat diri, lemah lembut dan dikenal banyak orang. Sedangkan Fayka, ya, meski tidak bisa dikatakan jelek, namun dirinya tidak se-glowing mantan atau gebetan Yasa selama ini, juga bisa dibilang agak bar-bar. Lagi pula, selama bertahun-tahun memendam rasa pada cinta pertamanya saja Fayka bisa, masa pada Yasa yang baru dalam tahap suka tidak bisa?

Mengedikkan bahunya, Fayka memilih untuk mengeluarkan ponsel android-nya dari dalam tas lalu membuka aplikasi twitter. Banyak thread yang berseliweran di timeline, namun kisah seorang perempuan yang batal menikah setelah diselingkuhi pacar delapan tahunnya membuat Fayka berdecak sebal.

"Fakboi kurang ajar emang. Enggak tahu diri, ceweknya udah capek-capek setia malah ditinggal selingkuh sampe selingkuhannya hamil lagi. Goblok banget, njir," omel Fayka sambil terus menelusuri thread itu. Mood Fayka jadi mendadak buruk.

"Eh, seriusan? Wah gila, lihat dong, Fay."

Nindy merebut ponsel Fayka dan ikut misuh-misuh setelah membaca thread itu sampai pacarnya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Nindy yang tidak jauh dari Fayka. Berisik.

"Yang, kamu jangan gini, ya, Yang? Awas aja kalau selingkuh sampe buntingin anak orang, enggak ikhlas aku."

"InsyaAllah. Jangan mikir negatif terus."

Nindy masih saja cemberut bahkan sampai makanan diantar dan ia mengembalikan ponsel milik Fayka.

"Bang Yasa, nih, ati-ati ntar buntingin anak orang lagi," ujar Nindy membuat Yasa tersedak.

"Eh kampret, kalau ngomong sembarangan. Kayak Arki lo, Ndy."

"Ya, kan, predikatnya fakboi, kali aja jadi berengsek gini."

"Gila lo, Ndy. Ya, enggaklah. Gue punya adek cewek, inget dosa, inget hukum timbal balik dari Tuhan."

"Bagus, deh. Eh, Bang, tapi kalau aku lihat-lihat, kayaknya kamu cocok, deh, sama Fayka."

"Kenapa aku dibawa-bawa?" protes Fayka, Nindy nyengir saja.

"Berisik lo, Ndy. Makan sono!"

***

Setelah dua kali nyasar, akhirnya mereka tiba di rumah milik Bu Anna. Fayka sedang harap-harap cemas menunggu Bu Anna selesai mengoreksi proposalnya dan melihat kisi-kisi, cikal bakal instrumen penelitian miliknya. Nindy sendiri sibuk menggoyang-goyangkan kereta bayi tempat anak Bu Anna tertidur pulas.

"Ini grand theory-nya udah bener?"

"Menurut saya benar, Bu. Itu grand theory minat, saya pakai punyanya Crow dan Crow."

"Hmmm ... nanti tolong diskusikan lagi sama Pak Edo, ya."

"Iya, Bu."

"Asumsi klasiknya uji hetero masukin aja, tapi nanti pengertiannya ganti yang sekiranya kamu lebih paham. Terus ini Ha sama H1, tapi H0 sama H1. Ganti lagi nanti, samplingmu juga masih abu-abu, ini kenapa pakai punya Krecjie dan Morgan?"

"Biar nanti sampelnya tidak terlalu banyak sih, Bu. Kalau populasinya di atas lima puluh ribu, kan, sampelnya tidak sampai lima ratus, nanti saya juga pakai teknik cluster, area jadi bisa nyebar ke masing-masing wilayah Surabaya."

"Hm, nanti kamu cari jumlah populasi subyek penelitianmu berapa, sumbernya harus valid.. untuk kisi-kisi, tinggal saja, nanti saya kabari. Variabelmu sepertinya ada yang bermasalah, di uji fisiologis, bagaimana itu buat kisi-kisinya?"

"Itu seperti sering sakit kepala, sering sakit perut, gitu sih, Bu."

Bu Anna menggeleng. "Mana bisa begitu? Harusnya, ya, pakai tes kesehatan, kalau tes kesehatan per anak ditarget lima belas ribu, ya, nanti atur saja anggaranmu, kamu bisa minta bantuan anak ilmu olahraga untuk ini."

Fayka menelan ludahnya susah payah. Bu Anna ini mengada-ngada pasti, sepertinya kurang paham maksud dari variabel yang ia sampaikan juga. Sepertinya Fayka dan Nindy harus mendiskusikan masalah ini dengan Pak Edo, bisa gawat kalau mereka harus melakukan tes kesehatan terhadap semua sampel penilitian. Mau habis berapa juta?

"Kalau faktor intelektual bisa pakai tes IQ sih, tapi masalahnya, apakah semua sekolah tempat penelitianmu itu menyediakan tes IQ untuk siswanya? Itu PR-mu juga, pelajari lagi nanti."

Fayka tersenyum berat, ia mengangguk mengiyakan perkataan Bu Anna. Ia benar-benar butuh Pak Edo untuk berdiskusi, meski terkesan kejam, tapi Pak Edo dosen yang cukup enak untuk diajak berdiskusi dan cenderung langsung memberitahu daripada memberikan petunjuk setengah-setengah seperti Bu Anna ini.

"Sebenarnya saya siang ini mau ke kampus, kalian malah jadi ke sini. Kan, bisa bimbingan di kampus saja." Bu Anna kembali berucap, membuat mata Nindy membeliak dan Fayka mengulas senyum paksanya lagi. Padahal kemarin sore dan pagi tadi saat di jalan Fayka telah mengirim pesan akan ke rumah Bu Anna, dan jawaban wanita itu, iya saya tunggu. Sekarang berubah lagi? Dosen-dosennya memang paling bisa membuatnya darah tinggi,

"Sekalian jalan-jalan, Bu. Sumpek ah bimbingan di kampus terus," sahut Yasa, laki-laki itu, sih, cukup sering berinteraksi dengan Bu Anna, jadi lebih berani.

"Sa Sa, kamu itu ... cepet lulus."

"Iya, ini lagi diusakan, Bu. Makanya bantu dong, Bu." Yasa cengengesan.

"Ck, makanya serius."

***

"Ndy, lo duluan saja sama pacar lo. Gue mau jalan dulu ke Pacet, mumpung sampe sini."

"Oh, gitu? Ya udah deh. Aku duluan, ya, Bang?"

"Yoi, hati-hati!" pungkas Yasa sebelum membelokkan motornya ke jalan yang berlawanan dengan jalan pulang

Fayka cukup terkejut, pasalnya ia tidak tahu tentang Yasa yang akan mengajaknya ke Pacet di siang bolong seperti ini. Laki-laki itu tidak mengatakan apa pun, langsung mengambil keputusan tanpa berbicara kepadanya terlebih dahulu.

"Ngapain ke Pacet?"

"Arki nitip pentol bakat sama susu, ya, sekalian."

"Tapi, aku pengin pulang."

"Udah deh, diem. Bawel mulu."

Fayka menggerutu tanpa suara, ia benar-benar tidak habis pikir dengan Yasa yang semaunya dan teman Yasa si Aki Aki itu, merepotkan sekali, menitip pesanan saja harus jauh-jauh ke Pacet.

"Makanya gue nyuruh lo bawa jaket, bisa masuk angin lo kalau enggak pake jaket."

"Ya, kan, aku enggak tahu mau ke sini."

"Gue suntuk, butuh lihat yang ijo-ijo, yang paling deket, ya, ke Pacet, mau ke Batu males, pasti rame. Pacet masih sepi, enakan ke sini."

"Kenapa harus ngajak aku? Sama pacarmu, kan, bisa, si Sarah atau siapalah itu."

Yasa tertawa. "Sekalian, Fay. Lo pikir, nyetir itu enggak capek apa?"

"Tahu ah. Kesel aku, Bang."

Yasa tidak menanggapi dan memilih untuk melanjutkan perjalanan, hingga mereka tiba di Pacet, Yasa memilih untuk berhenti sejenak di sebuah minimarket dekat bunderan pacet, ia butuh membeli minum.

"Gue mau beli minum dulu. Mau?"

"Aku aja yang masuk, Bang Yasa duduk tuh di kursi itu, keburu diduduki orang."

"Ya, udah."

Fayka masuk ke dalam minimarket, membeli beberapa snack, es krim dan minuman untuk ia dan Yasa. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, perempuan itu menghampiri Yasa yang tampak sibuk menghubungi seseorang.

"Iya, Ma. Mama jaga diri juga, kalau Dean sama Seina nakal bilang ke aku aja, nanti biar kumarahin mereka."

Fayka memakan es krimnya sembari menunggu Yasa yang tampaknya sibuk menelepon mamanya. Kira-kira ia kapan, ya? Fayka tersenyum kecut, mengabaikan pemikirannya yang tampak mustahil itu. Matanya lalu menatap ke sekitar, beberapa pendaki tampak berhenti di minimarket ini, Fayka jelas tahu mereka pendaki karena tas besar yang biasa dikenal dengan carrier bag itu.

"Kenapa? Mupeng banget kayaknya lihat pendaki."

"Pengin naik gunung."

"Ya, naiklah. Gampang, kan?"

Fayka menggeleng lesu. "Nggak bakal diizinin. Dulu, pernah ikut camping di lapangan desa, terus pingsan karena capek aja sampe rumah kena omel tujuh hari tujuh malem, dihukum sama ibu, enggak dikasih uang jajan seminggu."

"Ortu lo over protect kayaknya."

Fayka tersenyum miris. "Lebih tepatnya, enggak mau susah karena punya anak kayak aku."

Yasa menghela napasnya, menatap Fayka lekat-lekat. "Mereka pasti sayang lo, kok. Cuma cara mendidiknya aja yang salah, Fay."

"Enggak tahu, tiap lihat aku, Ibu kayak benci dan enggak suka."

"Udah, enggak usah mikir aneh-aneh. Kapan-kapan kuajak naik gunung, bareng sama yang lain, kalau berdua aja repot."

"Hah?"

"Kalau berdua aja, yang ketiga itu setan. Udah banyak kejadian, naik gunung berdua cuma buat ena-ena, manusia geblek emang."

"Apa sih, Bang? Segala bahas hal begituan," protes Fayka, Yasa malah tertawa terbahak-bahak.

"Lo udah gede, masih aja tabu bahas realita kayak gitu. Mahasiswi psikologi bukan sih, lo?"

"Ya, iyalah. Sembarangan kalau ngomong."

"Fay, Fay. Dunia ini keras, apalagi kaum cowok. Lo kudu hati-hati, sama siapa pun itu."

"Termasuk Bang Yasa?"

Yasa menonyor kepala Fayka. "Gue serius."

"Aku juga serius."

Yasa menarik napasnya, lalu mengalihkan pandangannya ke jalan raya. "Iya, termasuk gue. Lo harus hati-hati, jangan sampe baper. Lo udah kayak adek gue, gue enggak mau lo terluka."

Fayka nyesek. Jadi, ceritanya dia tertolak bahkan sebelum benar-benar jatuh? Hebat sekali Yasa mengaduk-aduk perasaannya.

"Baper itu enggak bisa dilarang, asal tahu batasan. Aku masih cukup waras buat enggak jatuh cinta sama orang kayak Bang Yasa, enggak usah khawatir. Patah hati enggak seberapa daripada luka karena keluargaku."

Yasa menoleh pada Fayka, menatap iba perempuan itu. "Sori," pungkasnya, lalu ia meminum air mineral yang dibelikan oleh Fayka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro