Harapan Tak Berdasar
Teruslah hidup dan bertahan, meskipun hidup bersama harapan yang tidak berdasar. Kelak, semesta akan mengamini dan Tuhan akan menjadikannya nyata. Harapan itu tumbuh bersama luka yang menjadikamu ada di antara dua pilihan, sebagai pemenang ataukah pecundang.
"Lo tunggu di warung sana, gih, sekalian pesen bakso dua. Belum makan, kan, lo? Gue ambil kadonya Seina dulu," kata Yasa setelah laki-laki itu menghentikan motornya di depan sebuah bangunan besar, yang diduga Fayka adalah indekos Yasa.
"Warung bakso yang di sana itu?"
Fayka menunjuk sebuah warung bakso baru yang berada di dekat kosan Yasa. Laki-laki itu mengangguk, lalu segera masuk ke dalam kosannya yang memiliki gerbang tinggi berwarna hitam, beberapa mobil dan sepeda motor tampak berjajar di halaman depan—kosan Yasa memang cukup elit, biasanya dihuni oleh anak-anak rantau dari keluarga kaya, satu bulannya saja mencapai enam digit nol.
"Pak, baksonya dua, ya. Sama es jeruknya juga dua," ucap Fayka setelah tiba di warung bakso yang dimaksud oleh Yasa.
Warung baksonya berukuran cukup besar, mungkin seperti mini kafe. Tempatnya juga bersih, belum begitu ramai memang, mungkin karena baru buka.
"Bakso apa, Mbak?"
"Eh, bentar, Pak."
Fayka melihat menu yang menempel di tembok. Ada beberapa macam menu melekat di sana, berbagai jenis bakso dan rasa. Fayka bingung, biasanya Yasa memesan apa. Setelah merenung sejenak, akhirnya ia memilih menu aman untuk Yasa.
"Bakso ikannya satu sama bakso sapi campur satu, ya, Pak."
"Oke, Mbak. Siap!"
Fayka lalu mengambil duduk di dekat jendela. Warung ini sepertinya adalah bangunan rumah bagian depan yang dijadikan warung, cukup strategis sebenarnya, karena berjualan di lingkungan anak kuliah seperti ini sudah pasti laku, apalagi menu yang ditawarkan cukup beragam dan tempatnya juga cukup bersih.
"Nih, Seina kemaren kirim, baru nyampe tadi pagi."
Yasa menyodorkan sebuah benda persegi panjang yang dibungkus oleh kertas berwarna cokelat, ukurannya lumayan besar dan cukup ringan.
"Apa ini?"
"Buka aja."
Fayka mengeryitkan dahinya, tangannya bergerak untuk membuka pembungkus hadiah dari Seina itu. Sebuah kanvas yang berisi potret dirinya. Fayka ingat foto ini, Seina mengambil fotonya saat berada di paralayang di daerah batu, ia berdiri di dekat pagar pembatas dengan senyum tipis, rambutnya sedikit diterbangkan oleh angin sehingga beberapa helainya mengenai wajah.
"Lukisan? Seina yang bikin?"
"Yoi. Seina pinter ngelukis, bahkan pernah ikut pameran lukisan sampai ke Jerman. Makanya, Nyokap gue bener-bener kasih fasilitas yang baik buat itu anak. Biar demen opah opah Korea gitu, tapi otaknya encer. Beda sama gue yang semuanya serba pas-pasan gini. Nyokap sama Bokap kayaknya lupa bismilah pas bikin gue, makanya enggak kebagian otak encer. Adek-adek gue encer semua otaknya."
"Kamu pinter, Bang. Cuma enggak nyadar aja, ketutup sama rasa males."
"Enggak usah ngehibur gue lo."
Fayka tak menjawab, masih takjub dengan lukisan yang dibuat Seina, bagus. Sangat mirip dengannya, detailnya benar-benar membuat Fayka takjub. Cukup lama ia memerhatikan lukisan tersebut sampai akhirnya bakso yang ia pesan datang, perhatiannya teralih sejenak dan kembali sibuk melihat potret dirinya di dalam lukisan.
"Realisme, Seina benar-benar berbakat, aliran lukisan ini memang kesannya pasaran, tapi enggak semua orang bisa membuat detail realisme dengan baik."
"Hah?"
Yasa berhenti menuangkan sambal ke dalam kuah baksonya. Laki-laki itu melihat ke arah Fayka yang masih sibuk memandang lukisan di depannya.
"Ini, lukisan Seina ini jenisnya realisme. Dia memang sering ngelukis kayak gini?"
Yasa mengangguk, lalu mengambil ponselnya. Laki-laki itu membuka galeri foto, mencari folder yang berisi kumpulan lukisan milik Seina yang selalu dikirimkan perempuan itu pada Yasa setiap kali selesai melukis.
"Nih, beberapa lukisan Seina."
Yasa menyodorkan ponselnya pada Fayka, membiarkan Fayka melihat beberapa lukisan milik Seina yang memang masih tersimpan di dalam galeri ponselnya.
"Daebak! Selain realisme, Seina pinter bikin naturalisme juga ternyata, woah ada ekspresionisme juga ternyata. Keren banget."
"Lo kok tahu yang kayak gitu?" tanya Yasa setelah memerhatikan raut wajah berbinar milik Fayka.
Perempuan itu tampak tersenyum tipis. "Pas SMP dulu pernah pengin jadi pelukis, tapi yang namanya anak usia segitu, kan, minatnya belum terarah, masih banyak pilihan karena penasaran sama banyak hal. Enggak jadi, deh, malah terdampar di psikologi."
"Oh, ya?"
Fayka mengangguk. "Hmm, dulu sering ikut lomba melukis juga. Tapi, cuma sampai provinsi aja, kalah, deh, di provinsi. Pernah mau ikut pameran di Jerman juga yang pas itu diwadahi sama kedutaan Jerman, sayangnya ...."
"Kenapa?"
Yasa penasaran, karena mata Fayka tampak berkaca-kaca. Perempuan itu seperti mengenang sesuatu yang menyakitkan, berulang kali menghela napasnya, seolah mencari ketenangan dari rasa gelisah yang mulai mengusik.
"Lukisannya ketumpahan sama kopinya Ibu pas mau dikirim, enggak cukup waktu buat bikin lagi, ya, enggak jadi."
Yasa merasa iba, pasti selain itu ada alasan menyedihkan lagi yang belum dikatakan oleh Fayka. Wajah Fayka tidak bisa berbohong, ada kelam yang menghuni raut wajah Fayka, sorot matanya redup, tidak ada semangat di sana, mungkin hanya ada rasa sedih dan keputusasaan.
"Ada lagi? Pasti ada alasan lagi."
"Hmmm ...." Fayka memandang kosong tembok yang ada di balik punggung Yasa. "Aku marah sama Ibu saat itu, lalu pergi sambil bawa motor Ayah. Terus tabrakan sama pengendara motor, dua tanganku patah dan tulang kaki juga sempat retak. Akhirnya enggak bisa ngelukis selama berbulan-bulan, setelah sembuh, minatnya ilang, entah ke mana," jelasnya pahit.
"Sekarang juga enggak minat?"
Fayka menggeleng, ia bahkan tidak tahu minatnya dalam hal apa sekarang. Terlalu banyak pikiran buruk di kepalanya membuat minatnya satu per satu mulai hilang. Dulu, selain melukis, ia juga hobi menulis, sempat ikut menjadi pengurus majalah sekolah, bahkan pernah menduduki sebagai bendahara satu OSIS sewaktu SMA, namun memasuki perkuliahan, Fayka benar-benar hilang arah."
"Minatku hilang, sejak terlalu banyak pikiran jelek di kepala, minatku raib semua. Dulu hobi nulis juga, ikut organisasi juga pas SMA dan SMP, tapi pas kuliah malah jadi mahasiswi enggak guna gini."
Yasa menghela napas, memandang Fayka seakan memberi semangat. "Coba lo mulai ngelukis lagi, mulai nulis lagi atau hobi apa pun yang bikin otak lo sibuk sama hal-hal positif. Salah satu dampak sakit mental memang begitu, kan? Lo bakal ninggalin hobi lo satu per satu karena enggak minat sama apa pun, sama apa pun urusan lo di dunia. Maka, lo kudu semakin semangat ketika minat itu ilang, paksa, Fay."
"Sulit."
"Memang. Tapi harus dipaksa. Lo udah dapat diagnosisnya, kan?"
Fayka mengangguk, "depresi. Tapi, enggak tahu kalau berubah lagi."
"Lo harus pulih. Lo bisa, pasti bisa. Gue yakin. Jangan kayak Yaya, ya? Gue enggak mau ada Yaya kedua di hidup gue."
"Aku belum ketemu alasan kenapa harus pulih."
"Lo penting buat gue. Gue mau lo sembuh."
Perhatian Fayka teralih pada Yasa, ia menatap Yasa dengan lekat seakan mempertanyakan maksud ucapan Yasa. Laki-laki itu tampak sedang serius sewaktu mengatakannya. Penting? Kenapa? Apa karena ia mirip Yaya?
"Di masa depan, pasti ada kebahagiaan buat lo. Walau itu harapan yang enggak berdasar, tapi lo kudu tetap berjuang buat harapan itu. Harapan enggak berdasar kalau terus didoakan dan diperjuangkan bakal jadi kenyataan. Lo paham, kan?"
"Jadi, aku harus berjuang buat harapan enggak berdasar?"
"Ya, dan suatu saat semua itu bakal jadi nyata. Tuhan selalu mengabulkan doa tulus dari umatnya." Yasa tersenyum berusaha meyakinkan Fayka bahwa apa yang ia katakan bukan bualan semata. "Udah, ya, makan tu bakso. Keburu dingin."
Fayka mengangguk, lalu meletakkan lukisan dari Seina di atas kursi yang ada di sisi kirinya.
"Makasih, ya, Bang. Makasih udah dukung aku."
"Enggak gratis. Entar gue minta traktiran."
Fayka tergelak, Yasa memang paling bisa membuat mood-nya membaik dengan caranya sendiri. Jadi, jangan salahkan Fayka kalau ia baper, Fayka juga perempuan normal, dan memang perlakuan Yasa kadang-kadang manis dan cukup berkesan.
"HP lo bunyi."
Yasa menunjuk ponsel Fayka yang menampilkan mode panggilan di layarnya. Ponsel Fayka tidak memiliki getaran bunyi atau suara, jadi mungkin Fayka tidak memerhatikannya tadi.
"Tante Mel?"
Fayka segera mengangkat ponsel tersebut dan berbicara dengan Mel. Ternyata tantenya yang menelepon, jarang sekali tantenya menelepon di jam seperti ini, apalagi menjelang sore begini.
"Kenapa?" Yasa bertanya setelah Fayka selesai mengangkat panggilan Mel. Wajahnya mendadak pias, air matanya seketika mengalir, membuat Yasa khawatir. Fayka diam, tak mengatakan apa pun, mungkin masih terlalu terkejut.
"Fay, lo kenapa?"
"A—aku harus pulang."
"Hah? Lo kenapa?"
"Mas Jefran kecelakaan, aku harus pulang sekarang."
"Tapi ini udah sore, lo sampe rumah bakal malem. Lo lagi kalut gini. Lo mau naik apa pulang?"
"Bus."
"Gue anter, ya? Gue khawatir lo kenapa-napa di jalan."
"Enggak, enggak. Nanti ngerepotin."
"Enggak! Gue pinjem mobil Arki sekarang. Mobilnya nganggur, kita berangkat sekarang, ya? Lo tetap tenang. Kakak lo bakal baik-baik aja."
Fayka kehilangan suaranya. Otaknya tidak lagi mampu berpikir jernih. Bagaimana bisa bukan orang tuanya yang memberi kabar, dan malah Mel tahu lebih dulu? Terlebih lagi, keadaan Jefran cukup parah, Jefran belum sadar sejak semalam. Fayka benar-benar merasa kecewa sekaligus khawatir sekarang.
"Gue udah bayar baksonya. Ayo!"
***
Yasa benar-benar merealisasikan ucapannya untuk mengantar Fayka pulang ke kampung halaman. Bahkan laki-laki itu juga tidak berganti baju lebih dulu, hanya berbekal mobil dan dompet. Fayka sedari di dalam mobil hanya duduk diam sambil meremas tangannya gelisah, sesekali perempuan itu akan menangis. Fayka mudah panik, memikirkan hal kecils aja ia akan panik apalagi memikirkan keadaan Jefran yang sedang tidak baik.
"Udah sampe rumah sakit. Ayo turun," kata Yasa, mereka tiba di rumah sakit setelah magrib.
"Salat magrib dulu biar hati lo tenang."
Fayka mengigit bibirnya. Ia panik, dan hampir saja melupakan kewajibannya pada Tuhan.
"Makasih udah diingetin."
Mereka menuju masjid yang ada di dalam rumah sakit dan menjalankan kewajiban pada Tuhan, setelah bertanya kepada salah satu dokter yang lewat di koridor. Fayka berharap Jefran akan baik-baik saja, ia tidak ingin satu orang yang paling berarti dalam hidupnya harus mengalami hal buruk. Jefran mungkin menjadi salah satu orang yang menerima keberadaannya selama ini. Fayka tidak bisa membayangkan bila hal buruk menimpa kakak laki-lakinya itu.
"Kakak lo dirawat di mana?" Yasa bertanya setelah mereka selesai salat dan bertemu di depan pintu utama masjid.
"Tante Mel bilang masih di ICU."
"Ya udah. Ayo!"
Dua anak manusia itu berjalan menuju ICU yang kebetulan jaraknya tidak begitu jauh dari masjid. Tadi, Yasa sempat bertanya kepada perawat yang lewat. Karena ini kali pertama ia menginjakkan kaki di rumah sakit ini, masih cukup awam.
Fayka melihat sosok Pak Yusuf yang berada di depan ruang ICU, Pak Yusuf adalah supir keluarga di rumahnya. Laki-laki paruh baya itu tampak sendiri, tidak ada kedua orang tuanya yang menemani. Buru-buru Fayka melangkahkan kakinya menemui Pak Yusuf. Perasaan khawatir semakin memuncak memenuhi kepala perempuan itu.
"Pak Yusuf? Mas Jefran gimana keadaannya?"
"Ya Allah, Mbak Fayka? Sama siapa?"
"Aku sama temen. Jadi, gimana Mas Jefran?"
"Mas Jefran masih kritis, Mbak."
"Terus Ayah sama Ibu?"
"Bapak masih di masjid, Ibu cari makan sama Mbak Vinna, Mbak."
"Kenapa Mas Jefran bisa kecelakaan?"
Pak Yusuf tampak diam. Pria itu tidak berani melihat ke arah Fayka, Yasa yang berada di belakang Fayka melihat gelagat aneh dari supir keluarga Fayka itu. Seperti menyembunyikan sesuatu.
"Pak? Jawab jujur. Mas Jefran kenapa?"
"Anu, Mbak. Anu ...."
"Kenapa?" suara Fayka mulai bergetar, ia tidak bisa menahan lagi kekalutannya.
"Malam kemarin Mas Jefran habis bertengkar hebat sama Ibu, gara-gara Mas Jefran protes sama perlakuan Ibu ke Mbak Fayka, lalu Mas Jefran keluar dari rumah, malam sekitar jam sepuluh. Setelah itu, jam sepuluh lewat lima belas, Ibu sama Bapak menerima kabar kalau Mas Jefran kecelakaan."
Fayka terhuyung, kalau tidak ditahan Yasa mungkin sudah rubuh. Perempuan itu jelas sangat terpukul oleh berita yang disampaikan Pak Yusuf. Jadi, secara tidak langsung ia yang menyebabkan Jefran kecelakaan? Yasa menuntun menepuk bahu Fayka, mencoba menenangkan.
"Ngapain kamu di sini?"
Suara itu membuat Fayka terperanjat, Jannah dan Vinna—calon istri Jefran baru saja tiba. Wajah Jannah jelas tidak bersahabat, tampak sekali kebencian di matanya untuk Fayka. Wanita itu lalu menarik kasar tangan Fayka, membawa anak bungsunya menjauh dari ruang ICU, menempati sisi yang cukup sepi, tidak mungkin memarahi Fayka di sana, ada beberapa keluarga pasien yang juga sedang menunggu.
"Kamu tidak seharusnya di sini."
"Bu, aku cuma pengin lihat keadaan Mas Jefran." Fayka menatap penuh permohonan pada ibunya. Seakan tak peduli, tatapan tajam yang diberikan Jannah tidak juga luntur.
"Tidak! Kamu pergi saja, Fayka. Kehadiran kamu di sini tidak penting."
"Tapi, Mas Jefran itu kakakku, Bu. Ibu kenapa, sih? Aku salah apa?"
"Salah apa? Salah kamu, lahir ke dunia ini dan membuat sial semua orang."
"Enggak!" Fayka memekik. Tubuhnya bergetar, ia menangis sesenggukkan. Ucapan Jannah benar-benar masuk ke dalam pikirannya, mematikan tunas harapan yang tadi baru saja ia bangun setelah mendengar ucapan Yasa.
"Aku bukan anak sialan."
"Kamu anak sialan! Saya menyesal merawat kamu! Dasar tidak berguna."
"Bu ...."
"Jefran celaka gara-gara kamu. Puas kamu?"
"Gara-gara aku?"
Jannah mencengkram erat lengan Fayka hingga memerah, wanita itu jelas tidak menyukai keberadaan Fayka di sini.
"Karena kamu hadir di luar pernikahan. Kamu anak pembawa sial, lihat Jefran sial gara-gara kamu. Seharusnya, saya tidak pernah setuju untuk merawat kamu dulu. Seharusnya kamu tidak pernah memanggil saya, Ibu!"
"Jannah!" suara Brata menginterupsi obrolan itu.
Ayah Fayka itu datang dengan wajah berang menatap sang istri yang sedang tersenyum mengejek. "Memang benar, kan? Seharusnya aku tidak setuju merawat anak sialan ini. Seharusnya kamu buang dia ke panti asuhan, Mas. Kehadirannya tidak dikehendaki oleh siapa pun."
"Keterlaluan! Fayka itu anak saya, ucapanmu benar-benar bukan cerminan wanita terpelajar. Kamu sudah keterlaluan Jannah!"
Fayka berdiri kaku di samping ayahnya. Pikirannya kosong. Kenyataan apalagi yang sedang ia hadapi? Fayka benar-benar akan gila karena masalahnya yang seakan tidak pernah habis. Tangisanya tersendat-sendat, dadanya terasa sangat sakit rasanya.
"Seharusnya kamu tidak menikahiku, Mas. Seharusnya aku masih hidup bahagia dan hidup bebas, bukan malah menjadi istrimu dan merawat anak sialan ini. Aku menyesali kehidupanku yang dirampas olehmu dan keluarga kita. Aku menyesal menikah denganmu dan merawat anak sialan ini! Aku tidak pernah bahagia dengan pernikahan kita."
Jannah bergerak menatap penuh benci pada Fayka yang ia anggap sebagai anak pembawa sial. Fayka meluruh ke atas lantai, suasana hatinya benar-benar buruk. Kenyataan yang dilemparkan Jannah hari ini membuat kepalanya nyaris pecah. Jadi, Jannah bukan orangtua kandungnya? Lantas siapa orangtuanya?
"Tante, maaf kalau saya ikut campur. Tapi, tidak seharusnya Anda berbicara kasar seperti itu. Fayka hanya seorang anak perempuan yang tidak mengerti apa pun masalah di masa lalu Anda. Tidak seharusnya Fayka menjadi korban. Tante tidak tahu, kan, kesulitan apa yang dia hadapi selama ini karena sikap Tante yang buruk?"
Yasa yang sejak tadi mengintip di balik pilar tak kuasa menahan diri saat melihat Fayka dicaci oleh ibunya. Seumur-umur, baru kali ini Yasa melihat secara langsung seorang ibu yang kejam kepada anaknya, ucapan yang dilontarkan Jannah jelas sekali ucapan yang sangat menyakitkan.
"Siapa kamu? Tidak usah ikut campur."
"Saya orang yang peduli sama Fayka. Saya orang yang ingin melihat Fayka tetap hidup."
Yasa berjongkok di depan Fayka, menyeka air mata perempuan itu. Hatinya ikut teriris saat melihat betapa menyedihkannya Fayka saat ini.
"Kita balik ke Surabaya, ya?"
Fayka tidak menjawab, tubuhnya mendingin, Fayka juga belum makan sejak tadi. Membuat Yasa bertambah khawatir, apalagi wajah Fayka yang sudah pucat.
"Fayka?"
Yasa menepuk-nepuk pipi Fayka, mata perempuan itu mulai terpejam dan tubuhnya perlahan meluruh seutuhnya ke atas lantai. Fayka kehilangan kesadarannya.
"Fayka, Nak?" Brata ikut bersimpuh di samping Fayka, pria itu terlihat sangat khawatir.
"Biar saya yang gendong, Om. Fayka pingsan," kata Yasa setelahnya, ia menggendong Fayka, lalu berjalan meninggalkan kedua orang tua Fayka. Yasa menatap Fayka dengan khawatir, kehidupan perempuan ini benar-benar berat.
"Lo harus tetap hidup, Fay. Lo berharga, lo bukan anak sialan. Lo harus ingat itu. Seenggaknya lo berharga buat gue," bisik Yasa di depan wajah Fayka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro