Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ditolak

"Udah, Mas?"

Yasa mendengkus, lalu melirik tajam pada Fayka yang sudah tegang dan tampak pucat wajahnya. Laki-laki itu lalu menghela napasnya, kedua telapak tangannya ia letakkan di pinggang, memberi kesan intimidasi bagi Fayka.

"Panggil gue Bang aja kenapa, sih, gue bukan orang Jawa kali, nggak konsisten lo, bentar-bentar panggil Mas, bentar-bentar panggil Bang," kata Yasa panjang lebar, biasanya laki-laki itu malas berbicara panjang lebar kalau memang tidak diperlukan, sekali bicara biasanya ucapan Yasa terkenal tajam dan nyelekit, ya, seperti dengan Via tadi, tapi Fayka membuatnya sering mendumel jika sedang mengajaknya berbicara, seperti saat ini.

"Ribet, ah. Suka-suka akulah, doain aku, ya, Bang. Mau masuk, nih."

"Udah buruan sana!" Yasa mengibaskan tangannya.

Memasuki ruangan Pak Edo, tangan Fayka gemetaran, wajahnya pucat pasi, keringat mengalir, demi apa pun dia gelisah dan jantungnya berdegub tak beraturan.

"Siang, Pak," katanya setelah menyugesti diri sendiri untuk tenang, walau hasilnya nihil, ia masih tetap gelisah.

"Hmmm ...," balas Pak Edo, pria tua itu lalu menyingkirkan tumpukan kertas di depannya, menunjuk dengan tatapan mata agar Fayka duduk di atas kursi yang tersedia.

"Jadi, sudah ketemu topiknya?"

"Su-sudah, Pak."

Pak Edo manggut-manggut sambil menyandarkan tubuhnya di bahu kursi yang ia duduki. Pria tua itu lantas memejamkan mata sejenak, raut wajahnya tampak lelah.

"Bagus, jangan seperti teman Anda tadi, menghadap saya dengan tangan kosong. Jadi, apa yang ingin Anda ajukan?"

Fayka meremas tangannya yang tak tampak di depan Pak Edo, perempuan itu menatap takut-takut ke arah Pak Edo yang selalu menampilkan mimik muka serius.

"Saya sudah ada judul, Pak. Jadi-"

Pak Edo berdecak, "Anda datang kepada saya untuk mengajukan judul? Anda bercanda?"

Fayka menegang di tempat duduknya, dia salah berbicara, ingin mengucapkan topik malah keliru judul, sudah pasti Pak Edo marah padanya.

"Anda harus menentukan topik terlebih dahulu, judul baru bisa ditentukan setelah Anda mengemukakan latar belakang. Anda sudah memiliki topik untuk proposal Anda?"

Fayka menelan ludahnya, sialan ini benar-benar menegangkan dan membuat perutnya mulas seketika. Bayangan wajah pucat Nindy setelah keluar dari ruangan Pak Edo tadi menjadi hantu di kepalanya. Menghadapi Pak Edo jauh lebih menegangkan daripada menunggu hasil Ujian Nasional-nya beberapa tahun lalu.

"Itu Pak, saya ingin mengajukan tentang kecanduan."

"Tidak, itu pasaran."

Fayka ingin guling-guling saat ini juga, padahal dari cerita beberapa teman yang sudah bimbingan, topik yang mereka ajukan banyak yang diterima.

"Pola asuh?"

"Susah, Anda pasti kesulitan."

Fayka menghela napasnya lagi. "Empati?"

"Empati yang bagaimana?"

"Empati terhadap teman sebaya?"

"Tidak kuat dasar yang Anda ajukan."

Fayka meringis, ia bingung sekarang. "Minat, Pak?"

"Sebenarnya minat juga sudah banyak, hanya saja tidak masalah bila Anda mengambil topik minat yang belum banyak diteliti."

"Minat belajar melalui aplikasi berbasis internet, Pak?"

"Bisa saja, Anda tulis saja latar belakangnya setelah studi pendahuluan, dan Anda bisa penelitian payungan bersama teman Anda yang perempuan tadi. Anda coba dulu, minggu depan Anda menghadap saya lagi. Tapi, jangan memikirkan soal judul terlebih dahulu, Anda matangkan konsep Anda dulu."

Fayka mengangguk pelan, ada angin segar, setidaknya jika bersama Nindy ia tidak akan pusing sendirian menghadapi Pak Edo yang terkenal super rewel ini.

"Anda harus ingat, saya tidak menerima skripsi penerapan dan pengembangan selain studi kasus dan survei. Itu sudah terlalu banyak, akan sangat percuma jika Anda mengerjakan penelitian yang tidak memiliki hasil yang bermanfaat."

"Iya, Pak. Terima kasih, saya permisi."

Pak Edo mengangguk, Fayka langsung berlalu setelah berpamitan-tidak menyalami Pak Edo, sebab pria itu cukup religius dan kerap kali menolak mahasiswinya yang ingin berjabat tangan-bukan makhram.

***

Fayka merebahkan tubuhnya di atas ranjang di kamar kosannya, setelah berdiskusi dengan Nindy perihal topik yang akan menjadi dasar skripsi mereka. Kedua matanya terpejam, Fayka merasa lelah seharian padahal tak banyak kegiatan yang ia lakukan. Kamar kosnya terasa sepi setelah ia memutuskan untuk pindah kamar sendirian, dulunya ia memiliki teman sekamar tapi temannya memilih untuk menjadi wonder woman dengan menempuh jarak puluhan kilometer dari rumahnya untuk pergi ke kampus.

Suara lagu khas milik Yesung Oppa menemani kegaluannya hari ini. Penolakan Pak Edo terhadap beberapa topik yang ia ajukan serta peringatan Pak Edo untuk membuat skripsi berjenis studi kasus atau survei membuat Fayka didera sakit kepala. Dua hal itu banyak dihindari oleh temannya, karena selain prosesnya lumayan lama, juga berat. Apalagi survei, pasti memerlukan alat uji yang kuat.

Suara Yesung yang menyanyikan lagu Paper Umbrella mendadak berhenti digantikan dengan getar yang menandakan chat WA masuk. Fayka meraih ponselnya, melihat nama si pengirim pesan.

Bang Yasa: lo nggak sibuk, kan?

Fayka: kenapa?

Bang Yasa: temenin gue ngopi, nyari topik. Pusing gue, buruan.

Fayka mengerang, ia mengacak-acak rambutnya, Fayka itu tidak tegaan, selalu paling depan kalau ada teman yang meminta bantuan hingga kadang lupa bahwa dirinya sendiri sedang kesusahan dan ingin dibantu.

Bang Yasa: gue di depan kos lo, nih.

"Allahu Akbar, tahu dari mana dia alamat kosku? Sialan, nih, Bang Yasa," pekik Fayka seketika ia terbangun dari rebahannya.

Fayka: serius? Tahu kosku dari siapa?

Bang Yasa: dari Emi, buruan elah, keburu malem.

Fayka mengumpat seketika, perempuan itu meraih tas selempang kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana, lalu meraih ponsel dan segera mengunci pintu kamarnya sebelum menghampiri Yasa-yang sialannya benar-benar berdiri di depan gerbang kosannya. Depan kos Fayka itu ramai karena ibu kosnya juga punya usaha warung makan, yang biasanya dibanjiri oleh mahasiswa-mahasiswi kampusnya.

"Lama lo. Buruan naik!"

"Ya lagian, ngeselin kamu, Bang. Aku baru nyampai kali, mau rebahan udah digangguin."

"Udah, deh, jangan cerewet."

Sambil memasang wajah kesal, Fayka naik ke atas motor matik milik Yasa sementara laki-laki itu mulai menjalankan motornya, menuju tempat nongkrong yang nyaman untuk dijadikan tempat berdiskusi. Warung kopi langganannya.

Sepanjang perjalanan, Fayka memilih bungkam, mereka belum terlalu akrab dan Yasa malah mengajaknya keluar seperti ini. Fayka takut kalau ada salah satu kenalan Yasa atau mungkin pacarnya melihatnya keluar bersama Yasa. Ia malas menghadapi orang-orang kepo, hidupnya sudah rumit, tidak ingin bertambah rumit karena kelakuan Yasa.

"Turun!" kata Yasa. Fayka mengangguk saja, sambil turun dari motor. Matanya menatap sekitar, berharap tidak ada teman satu angkatan yang melihat, Yasa, kan, idola anak-anak di fakultasnya-Fakultas Psikologi yang identik dengan warna ungu itu.

"Lo mau pesen apa?"

"Matcha ada?" tanya Fayka tanpa berpikir lebih lanjut, pokoknya matcha atau greentea. Kalau minum kopi, bisa tewas dirinya, secara tubuhnya tidak memberi respons yang baik dengan kafein, cokelat? Dia tidak begitu menyukainya.

"Bro, kopi item satu sama matcha satu. Gue di pojok sana, ya," kata Yasa sambil menunjuk tempat yang ia maksud.

"Oke Boss, beres."

"Ayok!"

Fayka mengekori Yasa, duduk di salah satu kursi yang tadi ditunjuk Yasa.

"Lo kenapa, sih? Nggak ikhlas banget muka lo, gelisah lagi."

Fayka menarik dalam napasnya, menatap malas pada Yasa. "Takut."

"Lah, takut kenapa?" tanya Yasa sambil mengerutkan dahinya.

"Kali aja pacar Bang Yasa lewat terus aku dituduh pelakor, kan, repot."

"Yaelah kebanyakan halu ni anak." Yasa tertawa sambil melihat geli ke arah Fayka.

"Serius aku, tuh, Bang."

"Mana ada woi. Lagi jomlo gue, nggak usah ngayal aneh-aneh deh."

"Yeee, serius, pokoknya kalau nanti aku dilabrak sama gebetan, pacar, mantan Bang Yasa awas aja."

"Dasar bocah, ngehalu mulu."

Fayke mendengus. "Di sini jualan makan nggak, laper."

"Ada indomie, mau gue pesenin?"

Fayka mengangguk, anak kos dan indomie adalah teman sejati. Pagi tadi padahal ia baru saja sarapan indomie, makan malam dengan indomie, ya, sudahlah yang penting tidak kelaparan.

"Ya, udah tunggu sini."

Yasa kemudian beranjak, meninggalkan Fayka yang saat ini beralih pada ponselnya, men-scroll timeline Twitter, membaca beberapa thread yang sedang hits oleh warga twitter, dari mulai cerita horor, politik sampai kasus fakboi dan selebtweet terkenal. Tentu saja, Fayka tidak menggunakan nama asli, foto profilnya adalah foto salah satu anggota EXO, si seksi Kai.

"Gue tadi lupa nanya kuah apa goreng, ya, gue pesenin kuah. Gak papa, kan?"

Fayka mengangguk lalu meraih minumannya yang dibawa oleh Yasa. Matcha dingin akan menenangkan hatinya dan mendinginkan kepalanya.

"Topik lo diterima, kan, tadi?"

"Nggak, ditolak, tapi topik terakhir yang aku diajukan mungkin bisa diterima, disuruh studi pendahuluan, sih, sebelum bikin latar belakang."

"Apaan emang?"

"Minat belajar gitu."

"Bantuin guelah, buntu gue."

"Pak Edo nggak terima apa pun kecuali survei sama studi kasus, sih. Kamu kemarin magang di mana emang?"

"Perusahaan pemasaran, sih."

"Ambil hubungan bisa kali, ya, kayaknya nggak masalah, deh. Kinerja karyawan misalnya."

"Pasaran, deh, kayaknya," balas Yasa.

"Self esteem karyawan, deh, coba."

Yasa berpikir sejenak. "Bisa kayaknya, coba, deh, gue ajuin sama Pak Edo besok. Berguna juga, kan, lo."

"Nggak gratis, bayarin indomie sama matcha-ku," balas Fayka kesal, Yasa cuma memanfaatkannya, ya, harus dia manfaatkan balik biar tau rasa.

"Gampang, asal mau bantuin aja," katanya sambil tersenyum-menampilkan lesung pipi yang membuat Fayka tertegun sejenak. Sialan, ganteng.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro