Baper itu Manusiawi
Beberapa baju berserakan di atas kasur, Fayka sedang dilanda kebingungan karena Ia nyaris tidak memiliki stok baju untuk pergi ke pesta. Yasa memang benar-benar kurang ajar dan sangat pemaksa, tidak heran laki-laki itu pernah menduduki jabatan ketua MPM, ia bisa membuat seseorang mengatakan iya dengan sukarela. Sejujurnya, agak manipulatif.
Mata Fayka melirik ke arah jam beker di atas meja kecil di kamar indekosnya, tiga puluh menit lagi, Yasa akan menjemputnya. Demi Tuhan, ia bahkan belum menyetrika pakaian atau berdandan. Oke, ia melupakan fakta tentang make up, Fayka bukan perempuan polos yang tidak bisa berdandan seperti kebanyakan tokoh-tokoh novel young adult yang ia baca yang selalu tampak polos apa adanya, perempuan itu tentu saja bisa membuat alis simetris, melakukan ombre pada bibirnya, menaburkan blush on di pipinya agar merona atau sekadar memasang kontak lensa yang dapat membuat pupil matanya lebih besar, dan melakukan hal-hal yang sewajarnya dilakukan oleh perempuan millenial lain di zaman ini.
"Dress abu-abu ini aja kali, ya? Pusinglah aku." Fayka menggerutu untuk kesekian kali.
Secepat kilat, perempuan itu mulai mengambil setrika yang tersimpan di atas lemari, dan mulai menggosok pakaiannya. Setelahnya ia mulai mengambil peralatan make up yang cukup sering ia gunakan, memenuhi wajahnya dengan foundation, membuat alisnya lebih bernyawa, terakhir ia mewarnai lipstiknya dengan warna soft pink dan tak lupa memakai kontak lensa berwarna cokelat madu di kedua matanya. Rambutnya ia kuncir setengah lalu menyemprotkan hairspray agar tampak rapi.
"Gini, kan, udah cantik," katanya di depan kaca kecil yang ia pasang di badan tembok.
Perempuan itu lalu buru-buru meraih ponselnya, mengecek notifikasi di bar ponsel dan menemukan lima panggilan dari Yasa. Laki-laki itu ternyata sudah ada di depan, sedikit terburu, Fayka segera mengambil wedges berwarna hitam sebelum meninggalkan kamarnya.
"Lo lama amat sih, lumutan gue, njir," kata Yasa sambil memasang wajah kesal.
Fayka nyengir, lalu mulai mengambil helm yang disodorkan oleh Yasa, untung dress-nya tidak ribet untuk dipakai naik motor, jadi ia santai saja.
"Ya masa ke pesta nikahan orang nggak dandan, sih, Bang. Malu-maluin diri sendiri itu, sih."
"Emang ribet cewek kalau dandan."
"Nggak dandan nanti dikatain lusuh," seloroh Fayka. Yasa memutar kedua bola matanya.
"Ya, memang."
"Dasar rese."
Yasa memilih tak menanggapi dan segera mengendarai motornya menuju tempat resepsi pernikahan sang mantan, mereka memakai baju senada berwarna abu-abu. Yasa memakai kemeja polos lengan pendek berwarna abu-abu tua, sedangkan Fayka dengan dress panjang berwarna abu-abu muda.
***
"Lo nanti gandeng tangan gue, pura-pura aja mesra, biar mantan sialan gue itu nggak ngeremehin gue. Ngerti, kan?"
Fayka mengangguk sambil tersenyum lebar. "Tuh kan, ada gunanya aku dandan."
"Iya ... iya. Bawel lo!"
Dua anak manusia itu berjalan saling bergandengan menuju tempat mantan Yasa yang mengenakan kebaya panjang berwarna salem. Mantan sialan Yasa itu tampak cantik dengan rambut yang disanggul serta mahkota kecil menghiasi kepalanya. Yasa merasa kurang nyaman, ya, walaupun sudah mantan dan tidak lagi cinta, tapi kalau datang ke pernikahan mantan itu rasanya selalu ada yang bikin nyesek.
"Cantik, Bang, mantanmu," bisik Fayka saat mereka hampir tiba di pelaminan Yana.
"Mantan gue nggak ada yang jelek."
"Iye iye, Fakboi. Pamer teros."
Yasa terkekeh sambil mengeratkan genggaman tangannya pada Fayka. Dengan langkah percaya diri, laki-laki itu menghampiri Yana yang tengah tersenyum bahagia menyalami para tamu undangan.
"Bang, suaminya, tapi, kok, agak tua, ya?"
"Iyalah, gantengan gue, kan?"
Fayka mendengkus. "Gantengan kamu, tapi mapan dia. Kamu bisa apa?"
"Mulut lo, Fay."
"Loh, bener, kok."
Yasa melotot pada Fayka, mengisyaratkan untuk diam. Tiba di depan Yana, dengan memamerkan senyum pongah, Yasa menyambut uluran tangan Yana sambil memandang ke arah Yana yang sedikit kaget.
"Selamat, ya, Yan. Semoga langgeng," kata Yasa basa-basi, di depan mantan harus tetap terlihat cool, jangan memasang wajah menyedihkan yang terpenting jangan datang sendirian.
"Pacar, Sa?"
Yasa mengangguk, melihat ke arah Fayka sekilas. "Calon, doain, ya. Semoga cepet nyusul."
Yana sempat terkejut sebelum akhirnya mengangguk terpaksa. "Amin," katanya.
Fayka menahan tawa sambil menyalami Yana, calon apanya, bah ... ada-ada saja si Yasa.
"Selamat, Mbak, semoga selalu bahagia," ucap Fayka lalu mengekori Yasa untuk turun dari pelaminan Yana setelah menyalami suami Yana.
Mereka lalu duduk di atas kursi yang tersedia, setelah mengambil makan dan minum yang disediakan, Yasa sendiri tampak sibuk dengan ponsel di tangannya, sejenak melupakan kehadiran Fayka yang mulai merasa kesal, pesta ini sangat membosankan.
"Bang, pulang, yuk. Ngantuk," kata Fayka memecah keheningan di antara mereka.
"Bentar, gue bales WA si Helda dulu."
"Pacaran mulu, nanti lanjutin. Pulang dululah, ntar gue tidur di motor repot, nih."
Menyimpan ponselnya di saku kemeja, Yasa lalu mengangguk dan mengajak Fayka untuk pulang.
"Bang, Helda nggak marah apa, kamu ngajak aku ke pesta gini."
"Ya, nggaklah. Ngapain marah? Orang dia yang nggak bisa diajak."
"Takut aja, nanti tiba-tiba dilabrak. Temen kosku kemarin ada yang dilabrak pacar katingnya gara-gara chat-an sama katingnya."
"Nggak bakalah, lagian gue sama Helda belum resmi."
Mata Fayka membulat. "Masa? Tapi si Helda bilang ke anak-anak. Kalian udah jadian."
"Serius?"
Fayka berdehem mengiyakan, sebenarnya agak malas membahas Helda, entah kenapa ia merasa tidak nyaman, ada yang aneh di dalam dirinya. Oh, tidak, jangan katakan ia sudah masuk zona baper.
"Lah, gue belum nembak juga."
"Tapi, tetep aja aku nggak mau dituduh perusak hubungan orang, ya, Bang. Awas aja."
"Bawel lo, Fay. Asal lo nggak melibatkan hati, ya, aman-aman aja."
Fayka terdiam, tak lagi menjawab kalimat Yasa. Asal tidak melibatkan hati? Bisakah? Ia, kan, manusia biasa, baper itu wajar, apalagi belakangan ini mereka sering dekat, Fayka masih punya hati, kalau ia baper, ya, apa salahnya? Tapi, dalam pikiran warasnya, Fayka juga tidak ingin baper pada Yasa, orang seperti Yasa tidak bisa diharapkan. Terlalu banyak stok perempuan di hidupnya.
***
Dua jam menunggu Pak Edo tanpa kepastian, Fayka melirik jam di pergelangan tangannya, sudah yang kesekian kalinya, Nindy bahkan hampir tertidur di atas kursi di depan ruang kerja dosen pasca sarjana. Semalam, Pak Edo berpesan agar menemui beliau di kantornya yang ada di gedung pascasarjana, maklum, selain mengajar strata satu, Pak Edo juga mengajar di program pascasarjana, menjadi tim peneliti serta penjamin mutu fakultas, semua kegiatan itu membuat Pak Edo sibuk luar biasa, sehingga untuk bimbingan, mereka mahasiswanya seringkali terkendala waktu.
"Nin, WA dong Pak Edo, kan, sama kamu biasanya dibales," seloroh Fayka, Nindy merengut.
"Males, ah. Lagian, WA Pak Edo, kan, musti di grup."
"Ayolah, Nin, njamur kita ini. Coba japri, deh, biasanya kamu, kan, dibales, Pak Edo, kan, suka bales pesan dari mahasiswanya yang cantik."
"Ngaco."
"Ini beneran tau, japri gih."
Nindy menghela napas, memilih menuruti saran Fayka. Perempuan itu lalu mengirim pesan pada Pak Edo, sebelum mengetuk simbol kirim, Nindy membaca pesannya sekali lagi, barangkali ada yang salah. Dosen, kan, suka rewel perihal pesan, tidak sopan sedikit alamat mahasiswa jadi bahan gosip di kalangan dosen, lebih parahnya langsung disembur dengan amarah.
Ting
"Tuh, kan, dibales cepet," ujar Fayka sambil tertawa. Gosip di antara mahasiswa menyembutkan kalau Pak Edo itu suka dengan mahasiswinya yang cantik, jadi yang biasa saja harus sadar diri.
Pak Edo
Kapan saya menyuruh kalian ke gedung pasca?
Kening Nindy mengerut, Fayka yang turut membacanya langsung mengumpat seketika, untung depan ruang kantor dosen di gedung ini sepi, kalau tidak matilah Fayka.
"Bangetan Pak Edo, kebangetan. Dikira gedung pasca deket apa? Ya ampun, ingin mengumpat."
"Kan, tadi kamu udah ngumpat, Fay."
Fayka berdecak, berbarengan dengan ponselnya yang berbunyi. Yasa lagi. Laki-laki itu tadi masih ada urusan di fakultas katanya, dan katanya akan menyusul.
"Woi buruan ke jurusan, Pak Edo di sini woy," katanya setelah Fayka mengangkat panggilan Yasa, tanpa salam, laki-laki itu langsung saja menyerocos.
"YA AMPUN AKU SAMA NINDY BENERAN DIPHP PAK EDO?"
"Hahahahaha ... kasihan lo berdua, udah burusan ke sini!"
Yasa menutup panggilan teleponnya, Fayka sekali lagi mendengus. Sebelum beranjak perempuan itu memasukkan ponselnya ke dalam tas, mengajak Nindy untuk segera pergi ke jurusan.
"Fayka?"
Seseorang membuat Fayka mendongak, sapaan itu ternyata berasal dari seseorang yang dikenal Fayka, Dicky namanya. Kakak kelasnya semasa SMA yang sekarang melanjutkan kuliah pascasarjana di kampus yang sama dengan Fayka.
"Eh, Mas Dicky?"
"Heeh, ngapain di sini?"
Fayka memasang wajah kesal lagi, ia beberapa kali berkirim pesan dengan Dicky walau tidak sering, tapi baru kali ini bertemu Dicky lagi setelah terakhir kali dua tahun lalu.
"Nyari Pak Edo, ternyata orangnya di jurusan."
"Bimbingan?" tebak Dicky, Fayka mengangguk malas.
"Sabar, emang gitu Pak Edo. Temenku yang anak bimbingan dia udah satu tahun belum lulus juga."
Fayka menelan ludah susah payah, pahit sekali cerita yang disampaikan Dicky.
"Sampai depresi orangnya. Kejar terus aja, deh, pokoknya."
"Haish, ya, udah deh, Mas. Aku balik dulu."
Dicky mengangguk, mempersilakan Fayka pergi bersamaan dengan cerita dari Dicky yang melekat di kepala, membuat kepalanya terasa mau meledak saja.
***
"Lama lo, gue udah bimbingan. Nggak tahu kenapa tadi Pak Edo mau bimbingan walau enggak lengkap."
Fayka yang sudah lelah, malas dan muak hanya menatap Yasa tanpa menjawab. Ia sedang kesal luar biasa dan banyak pikiran tentu saja.
"Orangnya ke mana sekarang, Bang?"
"Udah pergi, katanya mau rapat di rektorat."
"Yah, telat. Ya Allah, kesel banget."
Nindy menggerutu sambil menyenderkan badannya pada tembok bercat krem di belakangnya. Fayka sendiri memilih diam, ia tak mengatakan apa pun, terlebih sejak kedatangannya muka Helda yang berada di dekat Yasa sudah tak enak dipandang. Helda menatapnya tak suka, padahal sebelum ini mereka baik-baik saja. Mungkinkah karena kedekatakannya dengan Yasa?
"Gue balik dulu deh, nggak usah galau gitu, Fay," kata Yasa sambil tertawa kecil.
"Siapa yang galau?"
"Lo lah, muka kusut gitu."
Fayka mengibaskan tangannya. "Udah sana pergi! Bikin tambah bete aja."
Yasa mengedikkan bahunya, memilih mengajak Helda untuk segera pergi. Tersisa Nindy di sana yang meliriknya penuh telisik.
"Fay, baper sama Bang Yasa?"
Fayka tak segera menjawab, ia memilih berjalan menuju kursi di depan jurusan, duduk di sana untuk mengistirahatkan badan.
"Nggak ada larangan buat baper, baper itu manusiawi, kan?"
"Iya sih, tapi sama Bang Yasa? Yakin? Lebih lagi ada Helda."
"Santai, baper bisa dikendalikan, mungkin cuma kebawa suasana aja. Kalau nggak dituruti, baper nggak akan jadi."
Nindy mengangguk. "Inget, kata Bu Titi dulu, kalau skripsian jangan mikirin cowok yang berpotensi bakal mematahkan hati kita, nanti skripsi jadi berantakan dan molor."
"Iya, aku inget," balas Fayka sambil membuang napas. Memang benar, beberapa orang yang sedang patah hati akan mengganggu proses skripsi mereka, meski, ya, tidak semua, bergantung orangnya masing-masing.
Satu hal yang harus Fayka lakukan, menghentikan jenis perasaan apa pun yang mulai muncul di hatinya, sebelum terlambat. Fayka tidak boleh memanjakan perasaan ini, atau semuanya akan berantakan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro