Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9b

#Skandal_Cinta_sang_Konglomerat
#Bab_9b

**

“Tuan, bolehkah saya lari?”

“Hah, apa?”

“Lari, kabur dari sini.”

Nadine menatap cemas saat mereka memasuki restoran di sebuah hotel bintang lima. Gaun brokat putih keemasannya menyapu lantai. Meski memakai baju paling indah yang pernah dilihat, tak urung ia merasa gugup. Ia bahkan takut merusak gaun yang dipakai, karena terlalu mewah. Dengan hiasan kristal Swarovski, gaun ini dibandrol harga puluhan juta. Memikirkannya membuat kepala Nadine pening.

“Jangan takut, santai,” ucap Dave sambil meraih tangannya. “Kenapa tanganmu dingin sekali?”

“Takut, Tuan.”

“Ada aku.”  Hanya itu yang diucapkan Dave saat mereka bergandengan memasuki lift dengan Wildan mengiringi di belakang. Restoran ada di lantai lima hotel. Saat tiba, beberapa penjaga mempersilakan mereka masuk. Seketika, pemandangan kota dari lantai lima belas menyergap mata.

Restoran dibooking privat hanya untuk mereka. Sebuah meja  panjang nan kokoh berdiri di tengah ruangan dengan para tamu duduk di kursi yang mengelilinginya.

“Ah, Dave. Kamu sudah datang.” Mutiara menyapa cucunya.

“Sehat, Grandma?” tanya Dave.

Mutiara tertawa. “Sehat tentu saja. Kalau tidak sehat, aku tidak akan ada di sini.”

“Syukurlah.” Dave mengecup puncak kepala neneknya dengan sayang.

“Kamu duduk di sini.” Mutiara memberi tanda pada Nadine yang terdiam.

Mengenyahkan rasa takut dan gugup, Nadine duduk di samping sang nenek. Sementara Dave berkeliling meja untuk menyapa para kerabat.

Seperti biasa, Kevlar duduk di posisi paling ujung, diapit oleh anak dan istrinya. Nadine menunduk, saat merasakan tatapan tajam yang diarahkan  Giska padanya. Ia punya firasat kalau wanita itu tidak menyukainya. Namun, dipikir lagi tidak ada yang salah dengan itu. Siapapun tidak akan suka dengannya saat tahu kalau ia hanya wanita pendamping bayaran.

“Kamu bekerja di mana?” Pertanyaan Mutiara membuyarkan lamunan Nadine.

“Di sebuah agen real estate,” jawab Nadine terbata.

“Tidak usah gugup, kita berbicang biasa.”

Nadine mengeluh dalam hati. Seandainya saja, segala sesuatu yang menyangkut keluarga Dave adalah hal biasa, tentu dia tidak akan segugup dan setakut ini.

“Berapa umurmu?”

“Dua puluh lima.”

“Usia yang pas untuk menikah. Apa kamu berencana menikahi cucuku?”

Kali ini, Nadine benar-benar tidak bisa bicara. Bagaimana mungkin dia ada niat untuk menikah dengan Dave. Ia bahkan tidak ada seujung kukunya jika dibandingkan. Menelan ludah, Nadine meraih gelas berisi air minum dan meneguknya.

“Bagaimana? Kenapa diam Nadine?”

Nadine meletakkan gelas,  meremas tangannya lalu menarik napas panjang. “Maaf, Nyonya. Itu--.”

“Grandma, panggil aku begitu. Jangan Nyonya. Aku bukan nyonya di rumah ini.” Wanita tua itu tersenyum ramah, menepuk ringan tangan Nadine.

“Ya, Grandma.”

“Nah, bagus begitu. Lebih enak didengar.”

Nadine tersenyum. Berusaha mengalihkan pembicaraan dari topik pernikahan, Nadine mengajak Mutiara berbincang tentang bunga, obat, dan masakan. Juga penyakit yang diderita wanita tua itu.

“Hallo semua, aku datang!”

Suara seseorang yang menggelegar, membuat semua orang yang ada di ruangan menoleh. Evan datang dalam balutan jas putih yang keren. Wajah tampan laki-laki itu terlihat bersinar dan makin menawan. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, mata Evan membulat saat melihat sosok Nadine.

Tak lama, Dave menghampiri wanita berambut merah itu dan memeluk pundaknya.

Dua pasang mata bertemu. Dave dan Evan saling pandang, dalam diam seperti ada permohonan.

Evan mengedip lalu mengangguk samar. Nadine terlihat tenang, hanya tersenyum berbinar.

“Hallo, kakakku. Dan, wah ada Nadine.”

Kali ini seluruh anggota keluarga mengerjap kaget, saat melihat Evan mengenal Nadine. Laki-laki berjas putih itu tersenyum dan menghampiri Dave.

“Tumben kamu datang?” tanya Mutiara.

“Ah, Grandma. Jangan begitu, jangan bikin aku seperti nggak diinginkan. “ Berucap manja, Evan mengecup kedua pipi Mutiara dan mengelus lengan neneknya.

“Kamu kenal dengan wanita itu!” Kevlar menunjuk Nadine.

“Nadine namanya, Pa. Tidak bisakah menyebutnya dengan sopan?” protes Dave.

“Kenal, pa. Sangat baik malah,” jawab Evan santai.

Kevlar melambaikan tangan. “Duduk semua. Kita makan sekarang.”

Nadine terdiam, duduk diapit oleh Dave dan Evan. Sesekali ia mencuri pandang pada laki-laki berjas putih di sampingnya. Tidak cukup hanya Kevlar yang membuatnya grogi, kini kehadiran Evan pun mampu membuatnya tak berkutik. Terus terang ia merasa takut. Akan menerima cacian dan hinaan dari keluarga ini lagi. Terutama dari Giska yang memang terlihat tidak suka dengannya. Namun, detik itu juga ia sadar kalau dibayar memang untuk dipermalukan. Nadine merasa ironis dengan dirinya.

Makanan dihidangkan di atas piring-piring besar. Berbagai makanan olahan dari ikan, daging, sampai ayam panggang pun ada. Orang-orang mulai menyantap sambil berbincang.

Sementara Dave sibuk mengobrol dengan sepupunya, Nadine menyantap makanannya dalam diam.

“Nadine, kenapa kamu bisa datang ke sini dengan kakakku?” tanya Evan dengan suara pelan, nyaris berbisik.

“Itu, menemani,” jawab Nadine tak kalah pelan.

“Pura-pura jadi kekasihnya?”

Kali ini Nadine tidak dapat menyembunyikan keheranannya. “Kok tahu?”

Reaksi Nadine membuat Evan tergelak. “Ya ampun. Kamu polos amat.”

Tawa Evan menarik perhatian beberapa orang. Termasuk Dave. Laki-laki berkacamata itu mencuri pandang ke arah adiknya.

“Kalian bicara apa?” tanya Dave.

Nadine berdehem lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Dave. “Adikmu bisa menduga kalau kita hanya pura-pura.”

“Jelas kelihatan, Nadine,” jawab Dave gemas dengan perkataan Nadine. “Dia,’kan tahu siapa kamu.”

“Oh, ya. Lupa, Mau makan apa, Tuan? Biar saya ambilkan.”

Dave melihat-lihat makanan, lalu menunjuk ikan. “Ikan, tapi banyak durinya.”

“Biar saya yang bantu.”

Menggunakan sendok, Nadine menyingkirkan bumbu dan duri. Lalu, mengambil potongan daging ikan dan menyerahkannya pada Dave. “Ini, bersih tanpa duri.”

Dave menerimanya dan mulai makan dengan lahap.

“Mau sup sirip hiu atau rumput laut?”

“Ehm, sirip hiu boleh.”

Sekali lagi, Nadine melayani Dave. Tindakannya tidak luput dari pengawasan Mutiara dan Evan. Sungguh aneh bagi mereka, seorang Dave mau dilayani oleh seorang wanita.

“Evan, kapan kamu akan mulai kerja di perusahaan keluarga?” tanya Giska pada anaknya.

Evan mendongak. “Ma, aku,’kan udah kerja.”

“Iyaa, tapi mama maksud itu perusahaan kita."

“Bukannya sama saja. Lagi pula, aku sedang sibuk dengan pembukaan showroom baru di Surabaya dan Bali. Kenapa masih harus memintaku kerja di perusahaan?”

“Heh, kamu ini banyak cakap!” bentak Giska dengan mata tajam. “Perusahaan kita itu milik keluarga. Bukan hanya monopoli satu orang saja. Sudah seharusnya kalau kamu ikut kerja langsung!”

Sementara mulutnya bicara dengan Evan, tapi mata Giska tidak lepas dari Dave. Ada kebencian yang tertera jelas di sinar matanya.

“Aku rasa pendapat Mama itu salah. Sudah ada Kak Dave. Kenapa aku harus ikut campur? Lagi pula, tahu apa aku soal mengelola perusahaan? Nggak ada! Jadi, sementara karena aku senang di dunia mobil, aku akan melakukan hobiku sekaligus menghasilkan.”

“Masih membantah?”

“Sudah Giska, kendalikan dirimu!” tegur Mutiara. “Kita sedang menikmati hidangan. Bukan bertikai satu sama lain!”

Semua orang kini terdiam, dengan mata menatap bergantian ke arah Evan dan Giska. Perdebatan ibu dan anak itu memang tidak pernah berhenti.  Dari dulu, keduanya terkenal selalu berbeda pendapat.

Dave meneguk minumannya dalam diam. Ia bisa mengenali, sinar mata Giska yang memandangnya tidak suka. Hanya karena ia yang bekerja di perusahaan. Bukan Evan anak kandung Giska. Hubungan Dave dengan ibu tirinya memang tidak pernah cocok. Dan semua berdasar karena iri hati dan uang.  Bagi Dave, uang bisa dicari dan ia tidak akan bertikai dengan keluarga sendiri karena uang.

“Tuan, minumannya tumpah.” Nadine meraih tisu dan mengelap dagu Dave.

Apa yang dilakukan Nadine membuat Dave tersenyum. Bisa jadi karena suasana hati, atau sengaja ingin membuat papanya dan Giska tidak suka, Dave meraih tangan Nadine dan mengecupnya.

“Terima kasih.”

Keduanya berpandangan dengan mulut mengulas senyum. Tidak memedulikan pandangan orang yang menatap mereka dengan beragam reaksi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro