Bab 9a
Nadine menghentikan motornya di lobi showroom mobil-mobil mewah. Ia sempat ternganga tak percaya, ternyata Evan punya tempat sedemikian mewah. Memang, bagaimana pun Evan adalah adik Dave yang berarti juga konglomerat. Nadine mengutuk kebodohannya sendiri.
“Aku nggak nyangka kamu adiknya Tuan Dave. Apa aku harus memanggilmu, Tuan?”
Nadine menghentikan motornya, dan menatap laki-laki tampan yang meloncat turun dari motornya.
“Nggak usah, panggil aku Kak, atau Abang. Apapun itu, jangan panggil aku Tuan karena aku bukan boss kamu.”
Tersenyum simpul, Nadine mengangguk. “Baiklah.”
“Ayo, masuk dulu. Aku tunjukkan tempat kerjaku.”
“Eh, nggak enak, ah.”
“Tidak apa-apa. Hayoo.”
Setengah memaksa, Evan meminta Nadine turun dan menemani wanita itu berkeliling show room-nya. Ia menjelaskan satu per satu mobil mawah dan mahal yang dijual. Melihat bagaimana Nadine hanya ternganga kaget.
“Tuan Dave punya yang ini,” ucap Nadine menunjuk sebuah ferari kuning.
“Oh, kamu pernah lihat, ya? Punya kakakku merah.”
Nadine meringis, tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Evan tahu, dia bukan hanya pernah melihat. Tapi, juga menaikinya dan mengganti biaya kerugian yang membuat bangkrut.Ia terus berkeliling dari satu mobil ke mobil lain. Dari yang paling modern sampai yang klasik.
“Oranga Jakarta memang kaya semua,” decak Nadine kagum.
“Klien aku bukan hanya orang Jakarta, tapi merata ke seluruh Indonesia. Bahkan ada yang dari luar negeri.”
Nadine menoleh heran. “Oh, ya? Kok bisa?”
“Ada mobil tertentu yang diproduksi secara terbatas. Dan, biasanya jika sudah memenuhi kuota, maka susah mendapatkan. Contohnya, klien aku yang di Arab Saudi. Membeli mobil dariku dengan harga nyaris dua kali lipat dari harga asli hanya karena di negaranya,dia sudah tidak kebagian.”
“Wow.” Nadine mendesah heran. Ia tidak habis pikir, dari mana orang-orang kaya itu mendapatkan uang untuk membeli mobil-mobil mewah ini. Ingatannya seketika tertuju pada Dave dan harta laki-laki itu yang tidak akan habis tujuh turunan.
“Menurutmu, apa seorang milyader bisa bangkrut?” tanya Nadine tiba-tiba.
Evan menatapnya, lalu mengangguk. “Bisa, meski nggak drastis. Karena, jika satu bidang usaha tidak menghasilkan, masih ada usaha yang lain untuk menopang. Biasanya penyebab bangkrut karena modal yang nggak berputar, seperti bisnis yang gagal. Hutang yang lebih besar dari pada aset. Sekali lagi, lama prosesnya. Karena biasanya, seorang pengusaha tahu bagaimana memutar balikkan keadaan.”
Nadine tercenung, mencerna semua penjelasan dari Evan. Ia tahu, tentu perlu perjuangan panjang untuk mencapai keadaan dan posisi Dave sekarang. Yang pastinya, juga banyak musuh dan rintangan. Ia sudah beberapa kali ikut Dave ke pesta dan secara tidak langsung mengamati, kalau dalam dunia bisnis, tikam menikam itu biasa.
“Sebelum pulang, aku ingin kita makan dulu.”
“Kak, aku pulang aja.”
“Makan dulu.”
Berbeda dengan Dave yang sangat menjaga sikap dan kata-kata, Evan lebih apa adanya. Nadine tidak dapat menolak saat laki-laki itu mengajaknya makan siang bersama. Dilanjut dengan ngopi dan obrolan ringan. Ia pamit pulang menjelang sore, karena harus menengok sang nenek dan berjanji akan bertemu lagi dengan Dave secepatnya.
Pulang ke rumah Dave waktu menunjukkan pukul delapan malam. Pelayan bertanya tentang makan malam dan Nadine menjawab sudah kenyang. Ia ke atas untuk berganti baju dan turun kembali ke tempat gym.
Dalam pikirannya ada kemarahan terselubung yang perlu dilampiaskan. Teringat kembali tentang Kurnia yang semena-mena. Ia menyesali diri, tidak cukup banyak uang demi bisa merawat sang nenek. Berusaha melampiaskan rasa kesal, Nadine menghajar samsak tanpa ampun.
“Sepertinya, sedang ada yang marah di sini.”
Teguran dari pintu membuat Nadine menoleh. Serta merta ia menghentikan gerakannya dan tertunduk malu. “Selamat malam, Tuan. Anda sudah makan?”
“Sudah, kamu sedang marah sama siapa?” tanya Dave sambil mengendurkan dasinya.
Nadine meringis, sama sekali tidak menduga Dave bisa membaca emosinya.”Nggak ada Tuan, sedang ingin olah raga.”
“Sepertinya kamu perlu lawan.”
“Eh, maaf?”
Nadine melongo, saat Dave membuka dasi dan kemejanya. Tak lama kaos dalam pun ikut tergeletak di lantai. Ia masih terdiam , saat Dave mendekat hanya memakai celana panjang abu-abu.
“Ayo, aku temani kamu cari keringat.”
“Mau apa, Tuan?” tanya Nadine bingung.
“Mengajakmu mencari keringat.”
Tak lama, Dave melakukan pemanasan. Nadine masih terdiam tak mengerti. Ia berkelit saat Dave melancarkan jab ke arah perut.
“Ayo, serang aku!” ucap Dave.
Cari masalah orang ini, pikir Nadine sambil memasang kuda-kuda. Tanpa sungkan ia melancarkan pukulan. Ternyata, Dave tidak selemah yang ia duga. Laki-laki itu mampu berkelit dan melancarkan pukulan balik yang membuatnya keteteran. Mereka saling pukul, saling tekel, saling serang tanpa ampun.
Dalam satu gerakan, Dave berhasil mentekel kakinya dan Nadine terjatuh ke matras dengan laki-laki itu memiting tangannya.
“Bagaimana? Masih mau cari keringat?” bisik Dave di atas tubuh Nadine.
“Ugh, ngaku kalah, Tuan.” Nadine menjawab dengan napas ngos-ngosan. Baru kali ini ia mendapatkan lawan yang sepadan dan itu sanggup membuat tenaganya terkuras..
Dave membalikkan tubuh Nadine. Ia tertawa dengan napas tersengal. Menatap laki-laki tampan yang berkeringat di atasnya.
“Anda hebat, Tuan.”
“Aku memang hebat dalam hal apa pun.”
“Yah, saya akui itu.”
Dave memperhatikan dalam diam, bagaimana Nadine yang berbaring mengatur napasnya. Wanita itu, memakai kaos dan celana mini yang kini lembab karena keringat.Dengan wajah memerah dan rambut yang lengket ke dahi, entah kenapa terlihat sexy.
Dalam pikiran Dave, kini dibanjiri bayangan saat Nadine membonceng adiknya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau mereka berdua ternyata saling kenal.Ia belum bertanya lebih lanjut, bagaimana mereka berkenalan. Namun, suatu saat pasti ia tanyakan. Perasaan aneh merasukinya, saat melihat bagaimana akrabnya mereka.
Dengan kikuk, Nadine bangkit dari matras. Sedikit kesusahan karena Dave tidak mau menggeser posisinya. Kali ini, ia tidak dapat menahan rasa gugup dan berdebar. Tubuh mereka duduk dengan sangat dekat. Bahkan keringat Dave bercampur dengan wangi parfum yang dipakai, tercium jelas oleh Nadine. Ia membasahi bibir bawah, demi menahan gugup.
“Tu-tuan?”
“Bolehkah aku menciummu?” tanya Dave serak.
“Apa?” Nadine mengulang pertanyaan, takut salah dengar.
Dave mengulurkan tangan, membelai bibir bawah Nadine. “Aku ingin menciummu.”
Nadine mengerjap, memandang mata Dave yang bersinar tajam. Wajah laki-laki itu terlihat tampan dalam keadaan berkeringat. Tentunya, diciuma laki-laki itu akan sangat menyenangkan. Sadar dengan pikirannya yang erotis dan memalukan, Nadine mengangguk pelan.
Dengan lembut, Dave membelai bibir Nadine lalu mengecup perlahan. Awalnya hanya coba-coba, ia memiringkan wajah. Namun, saat bibir lembut wanita itu menggigit bibirnya, rasa untuk mencecap tidak dapat ditahan. Ia melumat dengan rakus, lidah mereka bertautan. Tangan Nadine melingkari lehernya dan keduanya saling menghisap, mencium, dan memagut.
Entah siapa yang memulai, Nadine yang merebahkan diri atau Dave yang mendorongnya, kini keduanya berbaring di atas matras dengan Dave berada di atas tubuh Nadine. Napas keduanya terdengar nyaring di area Gym yang sepi.
Nadine merintih, saat Dave menjelajah kulitnya yang berkeringat, Ia meraih kepala laki-laki itu dan berusaha menyatukan bibir mereka.
“Ah, Tuan.” Ia mengerang, saat bibir Dave kini turun ke ceruk lehernya dan mengecup telinganya. Tangan laki-laki itu membelai, menyentuh dan menyentakkan kaosnya hingga terbuka. Serta merta, kulitnya yang telanjang terpapar udara.
Tidak ada waktu untuk merasa malu, saat Dave tanpa permisi meremas dadanya dan membuat Nadine terbeliak. Baru pertama kali ia merasakan hal seperti ini, dan saat ia belum siap, bra yang dipakai tersingkap ke atas digantikan oleh tangan Dave yang menangkupnya.
“Kamu cantik,” bisik Dave dengan tangan meremas dada Nadine. Ia tidak bisa menghentikan keinginannya dan terus menyentuh. Kini, tangannya digantikan oleh bibir dan Nadine nyaris menjerit saat ia mengulum puncak dada wanita itu.
Entah untuk berapa lama mereka bergumul, bibir bertemu bibir dengan tangan saling meraba dan menyentuh. Rasa intim yang membuat lupa diri dan Dave menahan keinginan untuk menelanjangi Nadine.
Dengan napas terengah, Dave mengangkat bibir dari puncak dada Nadine yang menegang. Menatap wanita yang kini bermata sayu dan sama seperti dirinya, diliputi hasrat. Mereka berdiam diri, saling memandang. Dave membantu Nadine duduk dan membiarkan wanita itu memakai kembali pakaiannya.
***
Semenjak peristiwa malam itu di gym, Nadine tidak bisa melepaskan pikirannya dari Dave. Ia masih belum mengerti, bagaimana mungkin seorang dengan orientasi seksual seperti Dave, ada keinginan untuk mencumbu wanita. Ia menghibur diri sendiri dengan mengatakan bisa jadi, Dave hanya sekadar mencoba.
Menatap bayangan di cermin, sebelum berangka kerja, Nadine meraba dadanya yang berdebar. Hubungan mereka tidak berubah meski pernah saling mencumbu. Dave tetap pergi dan pulang larut malam. Laki-laki itu tidak menunjukkan sikap, kalau mereka pernah bercumbu. Masih sama dingin dan kaku seperti biasa.
Mencoba mengabaikan perasaan aneh di hatinya, Nadine mencoba berpikir positif. Bisa jadi saat bercumbu, Dave hanya ingin belajar. Terus terang menurutnya aneh, seorang konglomerat tampan, banyak harta, tapi tidak punya pasangan.
Memendam sendiri rasa penasaran di hati, ia mencoba menikmati tinggal di rumah besar ini.
“Hari Minggu, kita makan siang di rumah orang tuaku.” Dave berucap suatu malam, saat laki-laki itu baru saja pulang, dan mendapati Nadine duduk di ruang tengah.
“Ada acara apa, Tuan?”
“Hanya makan. Mereka ingin mengenalmu.”
Nadine menelan ludah, bertukar pandang dengan Wildan. Ia sama sekali tidak paham, kenapa orang tua Dave ingin mengenalnya. Semoga saja, itu bukan sesuatu yang buruk. Memikirkanya membuat Nadine tanpa sadar bergidik ngeri.
“Tidak usah takut,” ucap Dave saat melihat wajah Nadine memucat. “Ada aku di sana.”
Nadine menunduk, menatap lantai mengkilat di bawahanya. Sementara Dave mengenyakkan diri di sampingnya.
“Saya, hanya merasa tidak pantas. Memang, saya sering menemani laki-laki hanya saja, tidak ada yang seperti Tuan.”
Dave menghela napas, meloggarkan dasi dan menatap langit-langit berpanel. “Seperti aku bagaimana? Bukankah intinya sama saja? Menemani?”
Kali ini Nadine menggeleng kuat. “Beda, Tuan.Mereka laki-laki biasa, dengan penghasilan menengah. Sedangkan Tuan, ibarat level dalam permainan itu, level dewa.”
“Huft.” Dave tidak bisa menahan rasa geli. Perumpamaan Nadine yang menyamakan dirinya dengan dewa, sungguh lucu.
“Kita hanya bertemu mereka sebentar, makan, mengobrol dan pulang, Jadi, nggak usah kuatir.”
Seandainya saja semudah itu, ia tentu tidak akan merasa kuatir. Masalahnya, Dave yang duduk di sampingnya bukan dari keluarga biasa. Ada batas seperti bumi dan langit yang membentang di antara mereka.
“Jangan banyak pikiran. Istirahat.” Nadine mendongak, saat Dave menyentuh ringan dahinya. Laki-laki itu naik ke atas dan meninggalkannya sendiri. Meraba rasa hangat di wajah, ia merasa bahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro