Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8a

Nadine menunduk malu, tidak berani menatap wajah Dave. Masih memakai celana pendek dan kaos, ia berdiri menghadapi sang konglomerat. Laki-laki itu telah datang untuk membantunya dan ia merasa tidak enak hati karena sudah merepotkan. Melibatkan Dave dalam setiap masalahnya bukanlah kehendaknya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Dave padanya.

Nadine mengangguk. “Iya, Tuan.”

“Kamu apakan laki-laki itu?”

“Saya memukulnya.”

“Berapa kali?”

“Dua.”

“Ada yang melihat?”

Nadine mengangguk malu. Menyesali diri karena tidak sanggup menahan emosi. Andai saja, ia tidak terpancing emosi, tentu semua tidak akan terjadi. Kini, nasi sudah menjadi bubur. Bisa saja Lesmana dan istrinya memasukkan dirinya ke penjara kalau Dave tidak datang menolong.

“Tuan, selamat malam. Semua sudah selesai.”

Dari arah dalam, muncul seorang laki-laki setengah baya berjas hitam yang dikenal sebagai pengacara ternama. Di sampingnya ada Wildan. Mereka berdua menatap bergantian ke arahnya dan Dave.

“Nadine bebas?” tanya Dave.

“Bebas, Tuan.”

Dave mengangguk dan bangkit dari kursi tempatnya duduk. Mengamati Nadine yang menunduk, ia berucap pelan.

“Aku antarkan kamu pulang.”

Nadine mendongak lalu melongo, untuk sesaat terdiam sambil menelan ludah. “Tu-tuan, sepertinya saya naik taxi saja.”

“Kenapa?”

“Itu, saya sudah pasti diusir. Jadi, mau cari tempat tinggal dulu untuk malam ini.” Selesai berucap, Nadine menunduk sedih. Meratapi nasibnya yang sial tak berujung. Ada saja masalah dan membuatnya nyaris putus asa.

Tak lama, muncul sepasang suami istri pemilik kontrakan. Keduanya menatap Nadine dan orang-orang yang mengelilingi. Lesmana meringis sambil memegang pipi.

“Hebat sekali kamu, mampu berkelit dari penjara,” cela istri Lesmana dengan wajah menahan geram.
Nadine tidak menjawab, hanya menatap Lesmana dan istrinya dalam diam. Ia sedang lelah dan tidak ingin berdebat dengan siapa pun, termasuk mereka.

“Sebaiknya kamu keluar dari kos malam ini juga!”

Tanpa menunggu jawaban Nadine, pasangan suami istri itu bergegas menuju mobil yang telah menunggu mereka. Nadine mendesah menatap punggung mereka yang menjauh. Jauh di lubuk hati ia merasa harapan musnah tak bersisa.

“Wildan.”

Panggilan Dave mengalihkan perhatian Nadine.

“Iya, Tuan.”

“Aku akan membawa Nadine pulang. Kamu urus kos-nya.”

Wildan mengangguk, berpaling ke arah Nadine dan mengulurkan tangan. “Mana kunci motor?”

Nadine mengerjap lalu menggeleng. “Ada di kos. Tapi, apa maksudnya mengurus kos saya Tuan?”

“Kamu ikut aku pulang. Biar Wildan yang mengurus.”

“Ta-tapi.”

“Tidak ada bantahan. Ayo!”

Mendesah bingung, Nadine mengenyahkan rasa kikuk dan melangkah mengikuti Dave. Ia tidak tahu akan dibawa ke mana. Sepanjang perjalanan, Dave sama sekali tidak mengajaknya bicara. Terlampau tegang, dengan banyak masalah berkecamuk di otak, Nadine duduk melamun menatap jalanan.
Ia tersadar, saat mobil memasuki komplek perumahan mewah. Rupanya, Dave tidak membawanya ke apartemen. Nadine menganga, melihat rumah-rumah besar yang ia lihat sepanjang jalan. Jarak dari satu rumah ke rumah lain tidak dekat. Namun, ukuran rumah-rumah itu tidak ada yang kecil. Semua besar dengan bangunan megah menyerupai istana. Mungkin karena malam hari, keadaan cenderung gelap.

Begitu pula rumah Dave. Nadine dibuat terpukau, saat mobil memasuki gerbang besi tinggi. Kendaraan melaju di pelan di  atas jalanan yang diapit pepohonan. Berhenti di halaman luas dan sebuah rumah dengan design modern nan elegan menyambutnya. Lampu-lampu dinyalakan, menambah kesan kuat tentang rumah masa depan.

“Wow.” Tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya, Nadine bergumam.

Jika rumah-rumah yang tadi dia lewati cenderung bergaya eropa. Maka rumah Dave beda. Berlantai dua dengan dinding kaca dan kayu. Bagian depan rumah ada kolam dengan tangga bertingkat yang rendah dan batu-batu yang ditata artistik. Namun, pada malam hari tidak banyak hal bisa dilihat.

“Ayo, turun!”

Nadine membuka pintu, menarik napas panjang dan melangkah gugup mengikuti Dave. Di pintu, beberapa pelayan berseragam menyambut mereka.

“Nona ini akan tinggal di sini. Siapkan kamarnya di lantai dua.”

Mendengar perintah Dave, para pelayan itu serempak mengangguk dan beberapa orang bergerak ke lantai dua.

“Kamu sudah makan?”

Nadine menggeleng malu-malu. “Belum, Tuan. Tapi saya tidak lapar.”

Ia merasa malu saat perutnya berkriuk keras dan membuat Dave yang mendengarnya mengangkat sebelah alis. “Lapar kalau begitu.”

Ucapan laki-laki itu membuatnya malu.Nadine menunggu di ruang tengah, saat Dave memerintahkan para koki untuk memasak. Laki-laki itu kembali ke ruang tengah dan membuka laptop, tak lama sibuk dengan pekerjaannya. Nadine yang tidak melakukan apa pun, menunduk mainkan ponsel di tangan.

Ia berkirim pesan dengan mariska. Bertanya tentang keadaan  sang nenek. Gadis itu mengatakan kalau nenek seharian tidur dan itu membuat kuatir. Mendesah sedih, Nadine mengatakan akan menengok secepatnya.

Dengan perasaan campur aduk, antara bingung dan kesal, Nadine menyandarkan kepala pada sofa dan menutup mata. Memikirkan tentang sang nenek dan niatnya untuk merawat sendiri. Sebenarnya, ia  punya keinginan untuk itu sudah lama, tapi keadaanlah yang membuatnya tak berdaya. Selain masalah biaya, juga keterbatasan waktu dan tenaga. Tidak mungkin ia merawat sang nenek sedangkan ia tinggal di kos yang sempit.

“Tuan,makan malam sudah siap.”

Seorang pelayan datang memberitahu. Dave mengangkat wajah dari laptop dan menatap Nadine yang memejam.

“Nadine, apa kamu tidur?” tegurnya pelan.

Nadine membuka mata lalu duduk tegak. “Tidak, Tuan.”

“Ayo, kita makan.”

Awalnya, Nadine malu-malu untuk menyantap makanan tapi karena terlalu lapar, ia menyingkirkan rasa malu dan makan dengan lahap. Terlebih, hidangan di atas meja sangat lengkap. Dari mulai  olahan ikan, daging, dan sayur semua ada.
Wildan datang saat mereka sedang makan. Laki-laki tampan itu memberitahu tentang barang-barang Nadine yang sedang dalam perjalanan dari kos ke rumah.

“Tuan, sertifikat tanah dan tempat itu menyusul.”
Dave mengangguk, memberi tanda pada Wildan untuk duduk.

“Apa mereka tidak menolak saat kamu ingin membeli tanah itu?”

“Menolak, tapi saya memaksa.”

Percakapan dua laki-laki di depannya membuat Nadine bingung. Ia menatap bergantian ke arah keduanya, berniat mengajukan pertanyaan tapi takut dikira lancang.

“Bagus, lalu ke mana suami istri itu.”

“Saya minta mereka angkat kaki malam ini juga.”
Dave mengangguk lalu berpaling ke arah Nadine yang terdiam dengan sendok di depan mulutnya.

“Ada apa? Kenapa kamu terdiam?”

Nadine tersenyum simpul . “Maaf, Tuan. Tanah mana yang baru saja dibeli?”

“Bekas kosanmu,” jawab Wildan.

“Apa?” Nadine berucap tak percaya.

Wildan tersenyum. “Tuan Dave membeli tanah dan bangunan itu. Sudah tercapai kesepakatan.”

Sendok yang dipegang Nadine jatuh ke atas piring. Ia menatap bergantian pada Wildan dan Dave. Sama sekali tak habis pikir jika bagi seorang Dave, membeli tanah seperti membeli kacang goreng. Tunjuk, bayar, dan bungkus. Nadine mengeluh dalam hati, membandingkan nasibnya yang jauh berbeda dengan mereka.

“Tahu gini, dulu waktu masih embrio aku minta dijadiin kaya sama Tuhan.” Tanpa sadar Nadine bergumam dan menunduk malu saat Dave memergokinya.

Nadine tidak tahu, apakah tinggal di rumah Dave yang super duper kaya adalah sebuah keberuntungan. Ia ditempatkan di kamar lantai dua dengan design interior yang luar biasa mewah. Untuk sesaat Nadine tercengang menatap ranjangnya yang besar sebelum masuk dan mulai mengelus semua permukaan seperti ranjang, meja, dan terakhir adalah kamar mandinya yang mengkilat dan mewah.

Ia juga tidak tahu, apalah tinggal di rumah ini berarti termasuk bagian dari hutang yang kelak akan dibayarnya. Yang sekarang ia tahu adalah menikmatinya.

Barang-barangnya datang, tak lama saat ia selesai makan. Para pelayan membantunya menata di kamar. Untuk sesaat ia malu, barang-barangnya yang biasa harus diletakkan di lemari besar dan keren. Motornya pun sama, bersanding dengan mobil sport Dave yang jumlahnya lebih dari lima.  Rasanya sungguh tak pantas.

“Aku mengajakmu tinggal di sini, karena posisi yang tidak jauh dari kantormu,” ucap Dave di malam pertama ia mengeinap. “Anggap saja rumah sendiri biar kamu betah. Kita pikirkan nanti soal yang lain.”
Seperti mendapat lotre, durian  runtuh, atau apa pun alasannya, Nadine hanya mengangguk menerima keputusan dari Dave.

Hari pertama ia tersesat, saat ingin berolah raga dan ternyata masuk ke dapur.  Untunglah beberapa pelayan berinisiatif mengajaknya melihat-lihat, dan ia menghapal dengan cepat bentuk dan posisi rumah. Rupanya, Dave juga tinggal di lantai dua dan ternyata kamar mereka bersebelahan. Nadine menyimpan keinginan untuk melihat-lihat isi kamar laki-laki itu.

Tidak ingin terkukung dalam ruangan, ia memutuskan berolah raga di bagian belakang rumah. Tepat di samping kolam.  Ia terpaku di ujung kolam saat melihat Dave sedang berenang. Cepat, kuat, dan indah. Laki-laki itu meliuk dan bergerak seperti saat sedang bekerja. Fokus, dan tahu apa yang ingin dicapainya. Tidak ingin terpergok sedang mengamati, ia berniat pergi saat mendengar panggilan.

“Nadine, kamu mau berenang?”

Nadine menoleh dan melihat laki-laki itu duduk di tepi kolam. Air yang luruh di tubuhnya yang atletis dan hanya berbalut celana pendek, membuat jantung Nadine seakan berlompatan keluar. Dave terlihat luar biasa menawan tanpa kacamata dan dalam keadaan basah.

“Eh, maaf Tuan. Saya hanya bisa sekedarnya renang. Tidak terlalu mahir.”

Dave menatapanya, sedikit mengangkat bahu.

“Gantilah baju renang. Kalau nggak punya kamu bisa minta pada pelayan. Ayo, aku ajari.”

Nadine menggeleng. “Nggak mau, Tuan. Saya cari sasak aja.”

“Sasak?”

“Iya, mau latihan.”

“Kamu lurus, nanti ada tikungan belok ke kanan. Dalam ruangan gym ada sasak.” Dave menunjuk tempat yang dicari Nadine.

Tanpa basa basi Nadine melesat pergi, dengan jantung bertalu-talu. Teringat akan tubuh Dave yang maskulin dan dalam hatinya mengeluh. “Sayang, dia gay.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro