Bab 7b
Dave datang bersama Anderson dan mengabarkan kalau mengalami luka di tangan. Katanya tanpa sengaja tertusuk sesuatu saat mengambil bola. Dengan sigap, Nadine meraih tangan Dave dan mencoba mengeluarkan serpihan yang menusuk kulit.
“Sakitkah?” tanyanya lembut.
“Sedikit, lebih ke nyeri.”
“Tahan, bentar lagi dapat.”
Dave terdiam, memandang bagian belakang kepala Nadine. Rambut merah wanita itu tergerai hingga ke pundak. Aroma sampo bercampur parfum, menggelitik hidungnya. Tanpa sadar Dave mendesah, mencoba menenangkan diri. Saat dekat begini, ia teringat tentang minggu lalu, kala Nadine mencoba meredakan gairah. Bayangan wanita polos tanpa sehelai benang, masih membekas di pikirannya. Kini, saat kepala mereka beradu dengan tubuh saling bersentuhan, membuat Dave tidak tenang.
“Ah, sudah, Tuan.” Nadine mengangkat wajah dan tersenyum. “Pasti udah nggak sakit.”
Wajah wanita yang semringah dengan senyum menawan dari bibir merona, Dave menahan keinginan untuk mengecup.
“Ehm, terima kasih. Sudah baik.”
“Wah-wah, benar-benar pasangan sejati.” Istri Anderson bertepuk tangan kecil.
Nadine yang tersadar sedari tadi memegang tangan Dave, melepaskannya tiba-tiba.
“Ayo, kita makan siang bersama,” ucap Anderson pada mereka.
Penuh keakraban, mereka menyantap hidangan di restoran club. Kali ini, Nadine benar-benar menikmati makanannya. Ia bahkan tidak canggung untuk melayani Dave, seperti menuang minum atau membantu mengupas udang. Ia berbuat sebaiknya, selayaknya pasangan.
Dave pun tidak kalah manis memperlakukannya. Laki-kaki itu secara khusus memesan cake mango kesukaannya. Tidak lupa membeli sekotak coklat yang dibawa pulang olehnya.
Pertemuan berjalan sukses, di mobil saat mengantar Nadine pulang, sesekali senyum muncul di bibir laki-laki itu. Nadine menduga, ada deal-deal antara para petinggi yang tercapai kesepakatan. Ia tidak paham.
“Terima kasih coklatnya, Tuan. Enak ini.”
“Kamu suka?” tanya Dave saat melihat Nadine mengamati kotak mengkilat di pangkuannya.
Nadine tertawa lirih. “Jelas suka. Mahal pasti.”
“Lusa aku ke luar negeri. Nanti aku bawakan.”
“Benar, Tuan?” Nadine terbelalak , detik itu juga merasa malu. “Terima kasih.”
Dave melirik sekilas pada Nadine yang menunduk malu. “Nanti malam, Wildan akan mengantar gaun-gaun baru untukmu.”
Mendongak kaget, Nadine berucap bingung. “Tuan, saya masih banyak gaun.”
“Kamu perlu lebih banyak. Jangan sampai datang ke acara dengan gaun yang pernah dipakai dua kali.”
Nadine menelan ludah. “Lalu, gaun yang sudah pernah dipakai bagaimana.
Dave terdiam sejenak, berkonsentrasi pada jalanan di depannya. “Simpan buatmu.”
Jawabannya yang lembut membuat Nadine mengulum senyum. Pikirannya mengembara tak tentu arah, kalau saja Dave bukan gay, ia akan berupaya untuk memikat hati laki-laki itu. Hanya saja, harapan tinggal harapan, karena ia sadar diri tentang siapa dirinya.
Seperti biasa, Nadine diantar sampai halte. Sepanjang jalan menuju kos-nya, senyum tak lepas dari mulut Nadine. Ia menenteng coklat di tangan dengan hati berbunga. Sudah lama sekali ia tidak menerima kebaikan dari seorang laki-laki tanpa pamrih. Karena semenjak menjadi lady escort, semua laki-laki yang dekat dengannya karena pekerjaan. Bahkan sampai hari ini, Anina masih sering menghubungi karena banyak klien minta ditemani olehnya. Dengan terpaksa ia menolak karena sudah terikat perjanjian dengan Dave. Ia bahkan berencana untuk berhenti jadi lady escort, saat utangnya lunas.
“Huh, wanita malam tumben pergi siang-siang.” Seorang wanita, pertengahan tiga puluhan mencemoohnya dari balik meja resepsionis. Nadine mengabaikannya.
“Nih, surat untukmu.” Wanita itu menyerahkan selembar surat beramplop putih. Nadine menduga, itu adalah tagihan untuk cicilan barang yang ia beli.
“Denger, ya, Nadine. Kamu memang penghuni lama. Masalah pembayaran pun kamu bagus. Yang kamu harus ingat adalah, jangan menganggu suamiku. Atau, aku akan membuat hidupmu menderita. Kamu dengar!”
Nadine tersenyum tipis, menatap surat di tangannya lalu beralih pada wanita di balik meja.
“Nggak usah kuatir soal suamimu, Kak. Dia bukan tipeku dan aku rasa dia nggak cukup punya modal untuk menjadi tipeku.”
Meninggalkan wanita itu dengan wajah memerah, Nadine menaiki tangga menuju lantai dua. Ia sudah sering dihina oleh pasangan pemilik kos ini. Hanya karena Lesmana tidak bisa menjaga tangannya. Jika saja, ia tidak takut repot, ia memilih untuk pindah tempat. Namun, melihat sikap Lesmana dan istrinya yang makin lama makin memuakkan, Nadine mempertimbangkan untuk pindah kos.
Sepanjang sore, Nadine berada di kamar.
Mendengarkan musik, membaca buku, sambil mengemil coklat. Sesekali pesan dari Anina datang, merayunya untuk menerima pekerjaan.Nadine hanya membaca tanpa membalas.
Memutuskan untuk membeli makan malam di restoran padang seberang kos, Nadine mengganti baju tidurnya dengan celana pendek sedengkul dan berkaos putih. Menguncir rambut sambil meniti tangga. Lagi-lagi masalah menghadangnya saat Lesmana nyengir kuda ke arahnya. Laki-laki itu bergegas menghampiri dan menghadang langkahnya.
“Hai, Cantik. Tumben kamu di rumah. Hah, nggak ada yang booking malam ini, ya?”
Nadine menyipit, mendesah kesal. “Minggir, Lesmana. Atau kupatahkan lehermu.”
“Ah, galak sekali kamu Nadine. Jangan begitu, dong. Aku tahu kamu sebenarnya naksir aku. Hanya saja, gengsi.”
Lesmana nyengir kuda, memamerkan giginya yang menguning karena terlalu banyak minum kopi.
“Kamu terlalu jual mahal. Padahal, harga tubuhmu murah, Nadine. Coba katakana berapa yang aku harus keluarkan untuk mencicipi tubuhmu.”
Nadine tidak tahu, dari mana ia mendapatkan tenaga. Diiringi rasa marah dan terhina, ia melayangkan pukulan ke wajah Lesmana dan membuat laki-laki itu berjengit kaget.
“Apa-apaan kamu,” bisik Lesmana dengan tangan meraba pipinya yang perih.
Nadine berkacak pinggang. “Itu adalah peringatan untukmu. Agar lain kali menahan lidah. Minggir!”
Lesmana mendesah, dengan pipi berdenyut nyeri menatap Nadine dengan pandangan mata tajam. Ia begitu mendamba untuk memiliki Nadine tapi sayangnya, wanita itu keras hati. Saat Nadine bergerak untuk melewatinya, ujung mata Lesmana menangkap bayangan sang istri. Entah apa yang ia pikirkan, tangannya mencengkeram lengan Nadine dan membuat wanita itu kaget. Tak ayal, sebuah pukulan mendarat di pipi. Kali ini, lebih keras dari sebelumnya.
“Aduuuh, wanita kurang ajar!” Lesmana meraung kesakitan.
Dari arah pintu beberapa penghuni kos masuk, berikut istri Lesmana yang datang dari pintu samping. Mereka semua terbelalak, melihat Nadine memukul Lesmana.
“Sayang, kamu kenapaaa?”
“Aduh, aku dipukul.”
Nadine yang kaget, hanya terdiam tak mampu bicara. Sementara pasangan suami istri di depannya saling bertangisan.
“Kenapa kamu biarkan dia memukulmu?”
“Salahku, Sayang. Aku menegurnya untuk berpakaian sopan, agar tidak membuat resah. Dan dia marah.”
“Apaa?” Nadine memekik kaget.
Lesmana menunjuk ke arahnya masih dengan ekpresi kesakitan. “Kamu lihat pakaiannya,’kan? Mana pantas wanita memakai celana sependek itu?”
Istri Lesmana melepaskan tangannya dari wajah sang suami dan menuding Nadine. “Jangan harap masalah ini akan selesai begitu saja. Dasar wanita jalang! Aku akan menyeretmu ke kantor polisi!”
Meratapi nasib sial yang terus merundungnya, Nadine mengutuk dunia saat ia dijemput polisi untuk diminta keterangan.Para saksi diperiksa dan semua memberatkannya. Menunduk lunglai di bangku kantor polisi, Nadine tidak tahu harus meminta bantuan siapa. Kini, ia hanya pasrah menunggu nasib. Sementara Lesmana dan istrinya sedang bicara dengan polisi dengan nada menggebu-gebu.
**
“Bagaiamana? Apa Tuan Anderson menghubungimu?” tanya Dave pada Wildan yang sedang memeriksa catatan di tablet elektroniknya.
Wildan mengangguk. “Satu jam yang lalu. Sekretarisnya yang menghubungi.”
Dave mengannguk. Tersenyum puas. Anderson adalah laki-laki yang baik, juga pecinta keluarga. Bekerja sama dengannya, akan sangat menguntungkan baginya. Masih ia ingat, bagaimana istri Anderson sangat akrab bicara dengan Nadine. Mau tidak mau, cara Nadine merebut perhatian dari istri Anderson membuatnya kagum.
“Kamu telepon Nadine dan minta alamat. Antarkan gaun-gaun yang sudah kita pesan untuknya.”
“Bailklah, saya telepon sekarang.” Wilda merogoh saku dan mengambil ponselnya. Ia memencet nama Nadine dan mulai melakukan panggilan. Teleponnya diangkat saat waktunya nyaris habis.
“Nadine, kamu di mana?” tanya Wildan tanpa basa basi.
“Kantor polisi.”
“Hah, ngapain kamu di kantor polisi?”
Davae yang semula nenunduk di atas ponselnya, kini mendongak. Menatap Wildan ingin tahu. Sementara asistennya itu masih asyik bicara.
“Apa orang itu luka-luka?”
“Sedikit.”
“Mereka menuntutmu?”
“Iya.”
Selesai menelepon, Wildan menghadap ke arah boss-nya dan berucap parau. “Nadine di kantor polisi, Tuan. Terduga kasus pemukulan dan sekarang sedang menjalani pemeriksaan.”
Dave bangkit dari kursi. “Minta alamat kantor polisinya, kita ke sana.”
Wildan menganguk. “Baik, Tuan.”
Dave tidak tahu apa yang terjadi dengan Nadine sampai harus dilaporkan ke kantor polisi. Namun, satu yang pasti ia tahu jika Nadine tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan. Dilanda kecemasan, Dave melaju menembus malam, menuju kantor polisi tempat Nadine berada.
***
Tersedia di Karyakarsa dan Playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro