Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6b

Senin yang sibuk, Nadine melakukan janji temu dengan dua klien. Ia menyimpan harapan, jika salah satu dari keduanya akan menutup traksaksi di akhir bulan. Ia membutuhkan uang dan berharap banyak penjualan apartemennya akan mulus pada tahun ini.

Sebagai wanita belum menikah, dengan karir sebagai sales property yang lumayan berhasil, banyak yang menanyakan ke mana perginya uang Nadine. Mereka mengatakan, tentu dia bisa kaya dengan menyimpan penghasilannya. Pertanyaan itu juga datang dari Lestari, sahabatnya.

“Aku kalau jadi kamu, sudah beli mobil. Bukan ke mana-mana naik motor. Emang, sih, motor gede. Tetap aja motor!”

Nadine tidak menjawab, membiarkan orang-orang berpendapat tentang dirinya. Ia tidak harus menjelaskan pada mereka, sebagai anak yang tidak punya orang tua, ia dituntut berbakti pada keluarga yang telah mengambilnya. Selama ini, sang neneklah yang mengasuhnya. Paman dan bibinya memanfaatkan cintanya pada sang nenek untuk mengeruk uangnya.

Dimulai dari membayar hutang terus menerus, biaya berobat nenek, dan banyak hal lain.

“Waktu kamu sekolah, Nenek banyak berhutang di sana-sini, sudah sewajarnya kalau kamu yang membayar.” Itu yang diucapkan sang bibi padanya. Karena nenek sakit parah dan tidak bisa bicara, tidak ada yang bisa memberinya kebenaran. Dengan terpaksa, ia membayar hutang yang seakan tidak ada habisnya.

Kini, bebannya ditambah dengan Dave. Tidak tanggung-tanggung mencapai puluhan juta, karena ia melihat sendiri kwitansi pembayaran bengkel perbaikan mobil. Karena itu pulalah, ia menuruti apa pun perintah Dave, bahkan jika harus menyelamatkan laki-laki itu dari wanita penggoda.
Sepulang kerja, Nadine menengok sang nenek dan lagi-lagi terlibat cek-cok dengan tantenya yang marah, karena anak laki-laki kesayangannya dibuat babak belur olehnya.

“Kamu wanita apa preman, bisa-bisanya membuat anakku luka-luka!”

Ucapan Kurnia tidak ditanggapi oleh Nadine. Ia menggenggam tangan sang nenek dan mendengarkan wanita itu mengoceh di belakangnya.

“Kurang ajar kamu! Tangan Aji luka-luka tahu nggak?”

Nadine mendengkus. “Bagus, nggak patah!”

Ia berkelit dengan cepat, tepat saat Kurnia melayangkan pukulan ke belakang kepalanya. Tidak percuma ia belajar bela diri saat sekolah karena ternyata kempuannya , banyak membantu dalam hidup. Kurnia hampir terjungkal, karena besarnya tenaga yang ia keluarkan untuk memukul Nadine. Wanita itu berdiri dengan wajah memerah dan tangan mengepal.

“Brengsek! Wanita tidak tahu terima kasih.Sudah bagus kami mengambilmu dari got! Kalau tidak--,”

“Bukan kalian tapi Nenek!” sahut Nadine memutus perkataan Kurnia. “Neneklah yang banting tulang untuk merawatku. Jadi, jangan coba-coba ingin menimbulkan rasa bersalah dalam diriku, Bi.”

Menyahut tegas, Nadine mengalihkan pandangan ke arah neneknya dan meremas lembut tangan wanita itu itu. “Nenek, ini Nadine. Kapan Nenek bangun?”

Kurnia melotot, menatap dengan benci gadis berambut merah di depannya. Dari dulu, entah kenapa ia tidak pernah menyukai Nadine. Bisa jadi, karena kemunculan gadis itu merebut segala perhatian yang harusnya didapatkan Aji, anaknya.
Orang-orang kampung tidak peduli, meski Nadine ditemukan di pasar dalam keadaan sakit dan luka-luka. Sang nenek yang memungut dan merawatnya bagai cucu sendiri. Siapa sangka Nadine tumbuh menjadi gadis sangat cantik dan menjadi primadona kampung. Bahkan, saat ia melahirkan anak kedua yang juga perempuan, orang-orang membandingkan mereka.

“Nadine jauh lebih cantik dan lebih baik dari, Maria. Anak Kurnia.”

“Nadine itu baik, Maria itu nakal.”

Pada akhirnya, Maria yang merasa tersaingi memilih untuk sekolah di luar kota.Karena tidak ingin dibandingkan dengan Nadine. Itulah yang membuat Kurnia, makin hari makin membenci si anak pungut.

Menahan benci yang berkobar di dada, Kurnia berderap pergi. Meninggalkan Nadine sendiri. Di rumah ini, yang mengurus Nenek hanya Mariska, anak ketiga dari Kurnia. Berbeda dengan Maria yang cenderung temperamental, Mariska manis dan lembut. Gadis yang asih duduk di bangku kelas XI itu, banyak membantunya mengurus sang nenek.
Setelah kepergian sang bibi, dengan lelah Nadine menyandarkan kepala di pinggir ranjang sang nenek. Hatinya teramat sangat sengsara, merasa sendiri dan tak diingini. Nenek adalah satu-satunya orang yang mencintainya dengan tulus dan kini berbaring tak berdaya di ranjang.
**
Dave berdiri di depan pintu bar, mengedarkan pandangan ke sekeliling dan matanya tertumbuk pada wanita berbaun motif macan tutul. Wanita itu melambai saat melihatnya. Mengabaikan rasa enggan, Dave menghampirinya.

“Dave, Sayang. Senang sekali aku melihatmu di sini. Nggak nyangka, akhirnya kamu mengajakku berkencan.”

Katrin membuka lengan, berniat untuk memeluk Dave tapi ditepiskan dengan sopan.

“Apa kabar, Katrin?”

Katrian berusaha menyembunyikan rasa kecewa dengan tersenyum. “Kabar baik. Baru berapa hari kita berpisah, nggak menyangka secepat ini kamu ingin bertemu.”

Wanita itu terkikik, dengan sikap malu-malu yang sama sekali tidak cocok untuknya. Dave memandang tanpa senyum lalu menyilakannya duduk.

Mereka duduk berhadapan di sofa beludru yang dipisahkan oleh meja bulat. Pelayan datang menawarkan minuman dan Dave hanya memesan cocktail tanpa alkohol. Ia sedang tidak ingin mabuk dan menginginkan kewarasan saat bicara dengan wanita bergaun macan tutul di hadapannya.

“Kamu tidak memesan wine? Kenapa?” tanya Katrin.

Dave mengangkat bahu. “Masih sore, aku harus kerja lagi nanti.”

“Hei, ini sudah jam delapan malam. Kamu bilang masih sore?”

Tidak ada reaksi dari Dave atas perkataan Katrin. Matanya menatap tajam ke arah wanita itu dengan pandangan yang sulit dijelaskan.

“Katakan padaku, Katrin. Minuman yang kamu berikan padaku di pesta, kamu campur dengan apa?” tanya Dave tanpa basa-basi.

Katrin mengangkat bahu lalu tersenyum, seakan tidak berdosa.”Tidak kucampur apapun. Murni alkohol, kenapa memangnya?”

“Benarkah tidak ada?”

“Tidak ada. Kenapa, sih, kamu tanya-tanya soal itu. Aku pikir, kamu mengajak bertemu karena ingin  bermesraan denganku.” Katrin mengangkat kaki, secara otomati gaun bagian bawahnya naik dan menampakkan paha yang mulus. Tangannya bergerak perlahan menyusuri  belahan dadanya yang terbuka dengan sikap menggoda.

Apa yang dilakukan wanita itu membuat Dave kesal. Ia datang jauh-jauh, membuang waktunya yang berharga bukan untuk meladenin wanita yang sedang ingin disetubuhi. Ia yakin, jika sekarang mengajak wanita itu ke atas untuk chek in, Katrin tidak akan menolak.

“Aku kenal baik siapa papamu. Pengusaha keuangan, asuransi, dan banyak hal lain. Papamu orang yang hebat tapi sayangnya, tidak ada satu pun anak-anaknya yang mengikuti jejak kehebatannya.”

Ucapan Dave membuat Katrin menghentikan aksinya. Wanita itu menatap Dave dengan pandangan bertanya.

“Kedua kakak laki-lakimu, mereka bejat dan tukang foya-foya. Satu doyan judi, satu lagi doyan mengkonsumsi barang terlarang.” Dave mencondongkan tubuh, menatap tajam dan berkata dingin pada Katrin. “Apa kamu mau, aku bongkar juga kebiasaan burukmu?”

Katrin ternganga lalu menutup mulutnya kembali. Kegugupan terlihat jelas di matanya. “Ap-apa maksudmu dengan keburukanku? Kamu mengada-ada!”

Dave tersenyum tipis.

“Benarkah? Apa aku mengada-ada tentang anak laki-laki kemarin sore yang kamu pelihara untuk memuaskan nafsumu? Apa aku berbohong tentang arisan brondong yang kamu adakan dengan beberapa teman sosialitamu? Ah, satu lagi. Kamu juga pecandu alkohol!”

Wajah Katrin memucat. Matanya melotot dan menatap Dave dengan kekagetan terpancar di wajah.

Dave menaikkan satu kaki dan mengambil minuman yang diantarkan pelayan. Meneguk perlahan untuk membantunya meredakan emosi. Ingatannya tentang Nadine yang tersiksa karena obat perangsang, membuat amarahnya menggelegak. Rasa dendam, membuatnya ingin mencabik-cabik Katrin dengan kata-kata.

“Aku menghargai papamu, itulah kenapa aku tidak mengusik hidup kalian. Tapi, kamuuu! Sudah terlampau jauh mengusikku, Katrin!”

Katrin memejam, napasnya tersengal. Saat membuka mata, ia berucap gemetar.

“Dave, aku khilaf. Aku sama sekali tidak ingin mencelakanku.”

Dave bergeming. Menatap tanpa kata.

“Aku mohon, jangan sangkut pautkan apa yang aku lakukan dengan papaku. Semua aku lakukan demi untuk, me-memikatmu.” Katrin menelan ludah, menahan rasa takut.

“Seandainya malam itu aku yang menenggaknya, pasti aku mempermalukan diriku sendiri di depan orang banyak. Itu perbuatan biadap, Katrin!”

“Ma-maafkan, aku Dave. Please, forgive me.”

Dave menatap tajam, merogoh sesuatu dalam saku jas-nya dan melemparkan ke atas meja. “Itu adalah foto-foto perbuatan bejat dan mesummu. Aku tidak peduli, selama kamu tidak mengusikku.”

Nadine menatap foto-foto yang berserak di atas meja dengan nanar. Dengan gugup, ia meraup foto-foto itu dan menggenggamnya.

“Ap-apa maumu, Dave?” ucapnya gemetar.
Dave tersenyum tipis. “Itu yang aku tunggu untuk kamu ucapkan. Apa mauku? Sederhana saja. Katakan pada papamu untuk menbatalkan perjodohan kita. Apa pun alasannya aku tidak peduli, asal tidak membuat namaku tercemar. Lakukan dengan baik, karena aku tidak ingin hubungan kerja sama antara papamu dan papaku terputus karena urusan kita!”

Katrin mengangguk. “Iy-iya, aku jamin soal itu.”

“Aku menunggu!” ucap Dave. Ia bangkit dari sofa.

“Aku akan tahu kalau kamu mengingkari ucapanmu. Ingatlah, konsekuensinya. Asal kamu tahu, yang kamu hadapi itu aku! “

Meninggalkan Katrin sendirian dengan wajah pasai, Dave melangkah keluar dari bar. Di lobi, ia bertemu Wildan yang sudah menunggunya.

“Hubungi, Nadine. Minggu jam delapan pagi, kita akan menjemputnya. Dress code, main golf.”

Wildan mengangguk. “Baik, Tuan.”

Sepanjang jalan menuju rumah, otak Dave berpikir keras. Ia harus mencari cara untuk menyelamatkan dirinya. Katrin mungkin akan menuruti kemauannya. Namun, Adira yang tidak paham apa pun tentang perilaku anak perempuannya, bisa jadi akan marah. Untuk itu, ia memerlukan dukungan yang kuat. Dan, ia tahu harus mencari dukungan siapa dan ke mana. Untuk itu, ia memerlukan Nadine di sampingnya. Sebagai wanita yang tidak hanya menemani tapi juga bisa diandalkan saat sulit.

Dave menyandarkan kepala ke kursi, bayangan Nadine yang jelita dengan rambut merah dan tubuh telanjang di bathtub, terbias di kepalanya. Seketika, ia mengutuk diri karena merasa hasratnya tergugah.
.
.
Tersedia di Karyakarsa dan google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro