Bab 6a
Dave memandang lekat-lekat pada wanita yang berendam di dasar bathtub. Ia tahu Nadine sedang berjuang melawan dirinya sendiri dan patut diapresiasi. Wanita itu bergerak gelisah dan sesekali mengerang. Seandainya terjadi pada wanita lain, tentu akan lain ceritanya.
“Berendamlah, sampai kamu tenang. Aku akan meninggalkanmu sendiri.”
Dave beranjak pergi, meninggalkan Nadine yang hanya mengernyit seperti orang kesakitan. Menghela napas, ia ke kamar dan mengganti setelannya yang basah. Wildan datang untuk membantunya mengeringkan rambut. Ada banyak pikiran berkecamuk dalam benak Dave. Tentang Katrin, minuman, dan apa yang terjadi pada Nadine.
“Dia belum pulih, Tuan?” tanya Wildan dengan tangan sibuk merapikan pengering rambut.
“Sebentar lagi. Dia terlihat berusaha menahan diri.”
“Kasihan.”
Dave mengangguk setuju. “Memang, aku rasa ini terjadi pertama kali baginya. Dan caranya mengendalikan diri sangat bagus.”
“Lalu, apa tindakan Tuan selanjutnya?”
Memikirkan jawaban atas pertanyaan Wildan membuat Dave terdiam. Ia bangkit dari kursi, menarik gorden jendela dan melihat pemandangan gulita malam dari kamarnya. Pukul dua dini hari, para pelayannya pun sedang tidur. Ia terjaga, demi seorang wanita yang berkorban untuknya.
“Aku akan membuat perhitungan dengan Katrin.”
“Bagaimana dengan Papa dan Mamanya?”
Dave menoleh. “Lakukan sekarang, korek semua informasi tentang wanita itu. Jangan ada yang terlewat dan aku ingin secepatnya.”
Wilda mengangguk. “Baik, Tuan.”
“Tolong panggil Bu Ina.”
Wildan berpamitan keluar, tak lama seorang wanita awal empat puluhan masuk dan mengangguk hormat.
“Tuan, ada yang bisa saya bantu?”
“Tolong bantu Nadine. Dia ada di kamar mandi.”
Ina mengangguk. “Baik, Tuan.”
“Bu Ina harus tahu, dia meminum sesuatu yang membuatnya lupa diri.”
Dave menunggu, detik demi detik berlalu saat Ina berada di kamar mandi bersama Nadine. Ia tidak tahu apa yang dilakukan sang kepala pelayan pada Nadine. Karena dari dalam terdengar erangan panjang, berikut suara air yang dikucurkan. Ia merasa kuatir, dan berniat membuka pintu untuk mencari tahu. Namun, teringat olehnya tubuh Nadine yang polos tanpa tertutup sehelai benang pun. Seketika, ia menangguhkan niatnya.
Akhirnya, ia duduk di depan laptop dan membuka laporan pekerjaan. Meski begitu, matanya selalu menatap ke arah pintu. Mengawasi bagaimana Ina keluar masuk kamar mandi dan menduga-duga apa yang terjadi.
Ia mengutuk Katrin karena membuat Nadine menderita. Wanita tua manja yang mengusahakan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan, tak peduli jika melalui cara yang memalukan.
Satu jam kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Nadine keluar dalam balutan gaun tidur. Terlihat pucat dan rapuh dengan rambut basah. Ina mengiringinya di belakang.
“Tuan, saya akan mengeringkan rambut Nona.”
Nadine tidak bicara. Selama Ina membantunya mengeringkan rambut, wanita itu hanya menatap nanar ke arah cermin. Setelah rambut kering, kepala pelayang mengoles kulitnya dengan pelembab lalu berpamitan keluar untuk membuat sup dan minuman hangat.
“Kamu sudah baikkan?” tanya Dave lembut.
Nadine menoleh, memalingkan wajah dari cermin.
“Tuan, maaf tentang apa yang terjadi.”
Dave bangkit dari kursi, menghampiri Nadine. “Aku yang seharusnya meminta maaf. Menjerumuskanmu dalam masalah. Kamu pasti tersiksa dan ketakutan.”
Tanpa sadar Nadine bergidik. Teringat olehnya bagaimana ia bergitu berhasrta untuk mencumbu Dave. Saat itu, yang ia pikirkan hanya menyerahkan dirinya pada laki-laki kaya yang sekarang berdiri di depannya.
“Nadine?”
“Iya, Tuan.”
“Bu Ina akan membawakanmu sesuatu yang hangat. Makanlah lalu tidur.”
“Iya, Tuan. Saya akan pulang setelah ini.”
Dave Mengernyit. “Siapa yang menyuruhmu pulang?”
“Lalu?” tanya Nadine tak mengerti.
“Kamu tidur di sini.”
Kali ini Nadine melongo. “Ma-maksudnya, Tuan?”
“Tidur di kamarku. Aku akan ke ruang kerja dan tidur di sana.”
“Tapi?”
“Tidak ada bantahan.”
Nadine menatap dalam diam, saat laki-laki itu keluar dan meninggalkannya sendiri di kamar yang luas dan mewah. Dengan perabot kelas satu yang pastinya berharga mahal. Ia mengedarkan pandangan, tertuju pada ranjang luas dengan seprei dan selimut abu-abu. Lalu, turun ke karpet bulu lembut yang tepat berada di bawah ranjang.
Pelayan datang menghidangkan sup panas dan minuman. Setelah kenyang, ia berdiri di samping jendela lengkung. Menatap pemandangan malam dari tempatnya berdiri. Ia tak tahu sedang berada di mana, yang pasti mansion milik Dave pastilah salah satu yang terbaik di kota.Kalah pada rasa kantuk, ia merebahkan diri di atas ranjang dan seketika terlelap.
**
“Apa Nadine sudah bangun?” Pukul sepuluh pagi, Dave sudah rapi dengan pakaian kerja. Laki-laki itu terlihat segar seakan sudah menikmati tidur yang cukup. Padahal, para pelayan tahu jika sang tuan baru saja terlelap di ujung pagi.
“Belum , Tuan. Anda ingin saya memeriksanya?” tanya Ina menawarkan diri.
“Tidak usah. Tunggu sampai tengah hari. Kalau belum bangun, kamu bisa menengoknya.”
“Baik, Tuan.”
Menikmati sarapan berupa kopi dan sandwich, Dave makan dengan santai. Wildan datang lima menit kemudian. Sang asisten melaporkan tentang janji temu, jadwal rapat, hingga beberapa konferensi yang harus dihadiri oleh Dave.
Mereka bicara sampai satu jam kemudian, Wildan menerima telepon dan bicara dengan serius, meninggalkan Dave membaca laporannya.
“Selamat siang, Tuan?”
Dave menoleh, menatap Nadine yang berdiri di belakangnya.
“Duduk, kita makan siang.”
Tidak membantah, Nadine duduk di kursi seberang Dave. Ia melihat kepala pelayan yang semalam mengurusnya datang, untuk bertanya menu makan siang. Dave mengatakan, untuk menyajikan sesuatu yang lebih simpel bagi Nadine.
“Selamat siang, Nadine. Sudah baikkan?” Wildan datang menyapa.
“Sudah, terima kasih.”
“Selesai makan, kamu ganti baju. Bu Ina sudah menyiapkan beberapa baju yang sesuai ukuranmu.” Dave menatap Nadine.
Nadine mengangguk. “Gaun semalam, rusak. Maaf.”
“Tidak masalah, kita beli lagi nanti.”
Selama menyantap steak sapi yang juicy dan empuk, Nadine tidak terlibat dalam percakapan dua laki-laki di depannya. Mereka melakukan pembicaraan serius tentang bisnis.
Satu jam kemudian, dengan memakai setelan baru Nadine diantar pulang langsung oleh Dave. Mereka menaiki sport car kuning, yang berbeda dari sebelumnya. Nadine tak habis pikir, berapa banyak mobil mewah yang dipunyai laki-laki itu, karena setiap bertemu selalu membawa mobil yang berbeda.
“Aku mentransfer uang ke rekeningmu, Nanti kamu chek.”
Nadine menoleh ke arah laki-laki yang terlihat menawan di balik kemudi. “Uang untuk apa, Tuan?”
“Untuk membalas kebaikanmu karena menolongku tadi malam.”
“Ta-tapi,’kan itu bagian dari pekerjaan.”
“Tidak, pekerjaanmu adalah menemaniku ke pesta atau acara. Bukan menenggak alkohol berisi obat perangsang dan membahayakan dirimu. Seandainya bukan bersamaku, entah apa jadinya.”
Nadine bergidik ngeri, membayangkan apa yang terjadi dengannya tadi malam. Apa yang dikatakan Dave ada benarnya. Obat perangsang plus alkohol membuatnya kehilangan kewarasan dan akal pikiran. Yang ia inginkan hanya bercumbu dengan Dave dan menyerahkan dirinya.
Untung Dave gay,coba kalau normal, pikir Nadine muram. Ia tentu terlihat tak tahu malu, memamerkan tubuh telanjang pada laki-laki yang tidak sepenuhnya ia kenal.
Dengan mobil mewah yang melaju dengan kecepatan sedang, mereka menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak, jika kendaraan mereka bersaing dengan mobil-mobil yang banyak beredar di pasaran. Diam-diam Nadine menatap interior mobil yang mewah dan merasa, jika bekerja selama belasan tahun pun tidak akan sanggup membeli mobil sepeti ini.
“Minggu depan, acaranya siang. Di sebuah club privat. Wildan akan mengirimkanmu gaun baru.”
“Tuan, masih banyak gaun di lemari saya belum terpakai,” protes Nadine.
“Tidak cocok untuk acara siang hari.”
Ia tidak membantah, menuruti apa kata Dave. Laki-laki itu mengantarnya hingga tiba di depan gang. Setelah berbasa-basi sejenak, ia berjalan kaki ke arah kos-an. Selama ini, ia selalu membuat janji dengan laki-laki yang menyewanya untuk menjemput di tempat yang jauh dari kos-an. Hanya Dave seorang, yang mengantarnya hingga sedekat ini.
“Wow, baru pulang, Sayang? Menginap ke mana aja kamu semalam?” Laki-laki pemilik kos menegurnya di depan pintu. Nadine mengabaikannya dan menaiki tangga dengan langkah cepat. “Badung juga kamu, Nadine. Suka yang menginap di luar!”
Teriakan laki-laki itu terdengar bahkan sampai di lantai atas. Untung penghuni lain sedang berada di dalam kamar mereka, hingga tidak perlu mendengar tuduhan itu.
Uang yang ditranfer Dave terhitung lumayan besar, Nadine mengecek rekeningnya dengan tercengang. Tanpa banyak kata, ia mengambil sebagian dan membayarkan hutang pada Prima.
“Dari mana kamu dapat uang? Cepat amat bayarnya,” tanya Prima terheran-heran.
Nadine tersenyum sambil berkacak pinggang. “Ada deh, Sugar Daddy.”
“Ngaco!”
Nadine tidak dapat menahan senyum, membayangkan jika memiliki sugar daddy setampan dan sekaya Dave. Tentu hidupnya akan berkecukupan, jauh dari kata sengsara. Ia bisa merawat nenek ke rumah sakit terbaik, agar tidak perlu lagi berhadapan dengan nenek sihir macam tantenya.
Mengabaikan perasaan aneh yang merambat tiap kali ia memikirkan Dave, Nadine menyibukkan diri dengan menulis laporan.
Sore hari, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal. Saat membaca, keningnya mengernyit.
“Selamat sore, Nadine. Aku Evan, masih ingat?”
Merasa familiar tapi juga lupa, Nadine menjawab cepat. “Evan yang mana?”
“Ah, aku dilupakan. Evan yang kamu bantu saat pencopetan.”
Ingatan Nadine tertuju pada laki-laki tampan berkulit putih yang ia temui di pinggir jalan. Beberapa detik kemudian, Evan menelepon. Laki-laki itu agak memaksanya untuk bertemu. Untuk sesaat Nadine enggan. Namun, akhirnya setuju bertemu di sebuah kafe yang tak jauh dari rumahnya.
Setelah mengganti baju dengan celana jin dan kaos, Nadine menyambar jaket kulitnya. Ia mengendari motor menuju kafe yang telah disepakati. Ia meloncat turun dari motor dengan heran, saat melihat laki-laki itu sudah menunggunya di teras.
“Wow, cantik dan sexy kamu Nadine, Dengan motor besar dan jaket kulit, aku merasa bertemu pahlawan wanita dan siap ingin diselamatkan.”
Perkataan laki-laki itu membuat Nadine tercengang. “Apaan, sih?”
“Santai, dan panggil aku Evan, Bukan, sih.”
Nadine tergelak, mengikuti langkah Evan menuju bagian dalam kafe yang berkonsep monokrom. Awalnya Nadine bicara dengan nada kaku pada laki-laki itu. Namun, Evan orang yang humble dan pandai mencairkan suasana. Mereka terlibat obrolan seru layaknya sahabat yang sudah lama tidak bertemu.
“Aku senang bicara denganmu, Nadine. Kalau tidak keberatan, lain kali menonton denganku, mau? Mungkin mini konser penyanyi atau apa.”
Nadine terdiam sesaat, menimbang-nimbang lalu mengangguk. “Baiklah, kita ketemu lain kali.”
Evan tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya. Mereka berpisah setelah mengobrol hampir dua jam. Diselingi oleh ponsel laki-laki itu yang terus berbunyi. Nadine menduga, Evan adalah pengusahan yang sibuk. Namun, ia tidak berani bertanya apa pun, karena hubungan mereka hanya sebatas baru kenal.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro