Bab 5b
Saat tiba di halte, lima menit kemudian mobil yang dikendari Wildan berhenti di hadapannya. Mobil yang berbeda dari yang terakhir mereka naiki. Nadine tak habis pikir, berapa banyak mobil yang dimiliki Dave. Wildan turun dari mobil dan membantunya membuka pintu.
“Selamat malam, Nadine."
“Selamat malam, Wildan.”
Ia masuk dengan sopan dan duduk di samping Dave yang hari ini memakai jas malam warna hitam. Tidak ada yang berubah dari penampilan laki-laki itu. Tetap tampan, berwibawa, dan angkuh.
“Tuan, apa kabar?” sapanya ramah.
Dave tidak menjawab, hanya mengangguk kecil lalu kembali sibuk dengan tabletnya. Sepertinya laki-laki itu sedang bekerja. Tidak ingin mengganggu, Nadine terdiam sepanjang perjalanan. Padahal, ia ingin tahu sekali tentang pesta yang akan mereka hadiri. Menunggu hingga Dave memberi penjelasan, ia menutup mulut dan duduk dengan manis.
“Malam ini pesta Katrin, kamu tentu ingat dia siapa?”
Ingatan Nadine tertuju pada wanita berbaju macan. Ia meneguk ludah.
“Ulang tahunnya, entah ke berapa.”
“Ulang tahun ke 33 tahun, Tuan,” sahut Wildan dari depan.
“Oh, baiiklah.” Dave melirik ke arah Nadine. Mengamati wanita itu dan mengagumi dalam diam kecantikannya. “Malam ini, lakukan segala cara agar wanita itu berhenti menggangguku untuk ke depannya. Segala cara, aku mendukungmu.”
Menghela napas panjang, Nadine mengangguk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di pesta nanti, tapi cara Dave memintanya untuk membantu, membuatnya sedikit ketakutan.
Mobil memasuki area hotel bintang lima. Nadine turun dan ia agak gugup saat Dave memberikan lengannya.
“Ayo, masuk.”
Ia mengiringi langkah Dave, menuju lobi hotel. Dilanjut dengan naik lift ke lantai atas. Dengan Wilda beberapa langkah di belakang mereka. Sepanjang perjalanan, Nadine diliputi ketakutan. Entah kenapa, ia merasa akan ada yang terjadi.
Genggap gempita pesta menyambut mereka. Keluarga Katrin tidak tanggung-tanggung mengeluarkan dana untuk acara. Mereka menyewa satu hall dan menyulapnya menjadi tempat pesta dengan dekorasi ala hutan belantara.
Nadine mengerjap, melangkah di antara rimbun daun buatan. Musik jazz mengalun lembut, membius para pengunjung. Ada kursi-kursi yang diletakkan di pinggir dinding dengan dekorasi lumut dan pohon.
Di atas panggung kayu dengan nuansa etnik yang kental, terlihat Katrin berdiri anggun. Seperti biasanya, wanita itu memakai gaun bermotif macan tutul. Kali ini, berupa terusan dengan belahan hingga ke pangkal paha, dan bagian atas berbentuk kemben. Ada semacam tiara di atas rambutnya.
Wanita itu memekik saat melihat kedatangan Dave.
“Aih, Tuan Dave.” Tanpa sungkan hendak memeluk tapi diurungkan saat melihat Nadine menggelayut manja di lengan Dave.
“Selamat ulang tahun,” ucap Dave sopan. Ia memberi tanda pada Wildan dan sekretarisnya ke depan sambil menyerahkan kotak berisi hadiah. “Semoga suka dengan hadiahnya.”
Katrin mencebik, mengulurkan tangan untuk menerima hadiah. Menatap Dave bergantian ke arah Nadine. Wanita itu tidak bisa menutupi rasa sebalnya.
“Oh, selamat menikmati pesta.”
Dave mengangguk dan menggandeng Nadine turun dari panggung. Mereka berbaur bersama tamu pesta yang lain. Nadine merasa ngeri, membayangkan tersesat di hutan belantara, terlebih dengan interior ruangan yang disertai ilustrasi binatang. Mereka berdiri berdekatan di dekat pohon buatan, sementara Wildan pergi entah ke mana.
“Benar-benar ratu hutan. Hebaaat, bravo.” Tanpa sadar Nadine berucap agak keras, mengatasi gemuruh musik.
“Kamu tidak suka?” tanya Dave padanya.
Nadine mengangkat bahu. “Tidak, kurang elegan Tuan. Aneh juga, Anda mau datang ke pesta seperti ini. Kayak bukan … diri Anda.”
“Seperti bukan diriku?” Dave bertanya bingung.”Maksudnya?”
Menggigit bibir bawah, Nadine sedikit bingung untuk mengungkapkan isi hatinya. Ia takut akan menyinggung perasaan Dave.
“Maaf, sebelumnya. Tuan itu identik dengan pesta yang elegan, di tempat yang tenang dan mewah. Bukan yang--.” Nadine tidak menyelesaikan perkataannya.
Dave mengangguk. Mengerti dengan arti ucapan Nadine. “Sebenarnya, aku juga tidak ingin hadir. Tapi, ada sesuatu yang memaksaku harus datang. Itulah kenapa aku membawamu.”
“Untuk membantu kalau Anda diserang macan?”
Dave memandang Nadine tak mengerti. Merasa gurauannya tidak lucu, ia menunduk.
“Macan tutul di atas panggung itu?”
“Iya.”
“Ada kamu. Pawang macan.”
Nadine ternganga, bingung memutuskan apakah Dave sedang memujinya atau tidak. Saat ia sedang sibuk menerka-nerka, dari arah depan, Katrin meluncur ke arah mereka. Nadine mengatakan meluncur karena wanita itu melangkah cepat sekali hingga tubuhnya bergerak dengan gaun melambai seperti tertiup angin. Di belakangnya ada seorang pelayan memakai rompi hitam dengan nampan berisi minuman.
“Dave, Sayaaang. Mari kita bersulang.” Wanita itu mengambil dua buah gelas dan menyorongkan salah satunya pada Dave. “Ayo, demi hubungan kita,” ucapnya sambil mengedip genit.
Dave terlihat enggan menerima minuman yang disodorkan. Ia melirik ke arah Nadine yang sepertinya paham dengan apa yang ia mau.
Nadine bergerak sigap, mengambil minuman dari pramusaji lain yang lewat lalu memberikannya pada Dave.
“Kamu minum ini untuk bersulang, Sayang. Itu biar aku yang minum.” Mengabaikan Katrin yang melotot, Nadine mengambil minuman dari tangan Dave dan menukar dengan miliknya.
“Hei, itu untuk Dave!” protes Katrin marah.
Nadine tersenyum. “Kekasihku tidak suka minuman ini. Biar aku yang minum.” Tidak memberi kesempatan pada Katrin untuk protes, Nadine meneguk meniman di tangannya.
Dave menatap Nadine sekilas lalu berpaling pada Katrin.“Mari bersulang, Katrin. Semoga panjang umur,” ucapnya sambil membenturkan gelas lalu meneguk minuman di tangannya.
Wajah Katrin merah padam. Ia menatap bergantian ke arah Nadine dan Dave. Tanpa permisi, ia membalikkan tubuh dan kembali ke panggung.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Dave pada Nadine yang terdiam.
“Nggak, Tuan. Saya merasa ada yang aneh,” ucapnya serak.
“Kenapa? Ada apa?”
Nadine menggeleng. “Saya merasa gerah, dan tidak nyaman.”
Dave menatap Nadine dengan kuatir, lalu mencari sosok asistennya. Saat Wilda yang berdiri tak jauh darinya, menangkap pandangan sang tuan, laki-laki itu bergerak mendekat.
“Iya, Tuan?”
“Siapkan mobil. Kita pulang!”
Tanpa banyak tanya, Wildan setengah berlari menuju pintu keluar. Dave menatap Nadine yang kini wajahnya memerah.
“Nadine, ayo, kita pulang.”
Ia mengulurkan tangan, berniat untuk menggandeng lengan Nadine.
“Jangan menyentuh saya, Tuan.” Nadine mengelak.
“Kenapa?”
“Gerah. Saya bisa jalan sendiri.”
Dave menatap kuatir ke arah Nadine yang melangkah sempoyongan. Ia membiarkan wanita itu berjalan di depannya. Tubuh Nadine terlihat oleng saat harus berdesakan dengan pengunjung. Tidak tahan dengan apa yang dilihatnya, mengabaikan penolakan Nadine, ia meraih lengan wanita itu dan membimbingnya keluar.
“Tuaan, lepaskan saya,” rengek Nadine.
“Tunggu, sampai di mobil,” jawab Dave.
“Tapi, geraaah.”
Dave tidak mengerti dengan apa yang dirasakan Nadine. Wanita itu terus menerus menyebut kata gerah dan menolak untuk menyentuhnya. Akhirnya, setelah susah payah mereka tiba di lobi dan disambut dengan mobil yang telah terparkir di teras.
Seorang petuga hotel membantu mereka membuka pintu. Setelah Nadine dan Dave duduk nyaman di belakang, pintu menutup dan kendaraan melaju di jalan raya.
“Nadine, kamu kenapa?” tanya Dave saat Nadine mendesah. Wanita itu terlihat gelisah.
“Tuan, saya merasa aneh,” ucapnya.
“Kenapa?”
“Ingin, aaah.” Nadine menggeliat di kursinya. “Saya malu tapi saya ingin dicium.”
Dave terkesiap lalu tersadar saat itu juga. “Wildan, ke apartemenku. Suruh pelayan siapkan air dingin di bathtub!”
“Iya, Tuan.”
“Cepat sedikit jalannya.”
Wildan mengangguk, ia memakai head set untuk menghubungi kepala pelayan di apartemen Dave dengan tangan memegang kemudi. Mobil melaju di jalan raya dengan kecepatan tinggi. Untunglah, jalanan dalam keadaan sepi saat tengah malam.
“Nadine, bertahanlah,” ucap Dave.
Nadine terkikik. “Ingin buka baju, Tuan.” Tangannya meraih bagian atas gaunnya.
“Jangan!” Dave berteriak untuk mencegahnya dengan memegang tangan Nadine.
“Ih, Tuan. Anda tampan. Jadi pingin cium.”
Terlambat untuk menghindar, Nadine menyergap Dave dengan ciuman yang panas.
Dave berusaha menolak tanpa menyakiti wanita itu. “Sadarkan dirimu, Nadine,” ucapnya tersengal di antara serangan ciuman Nadine di wajah dan bibirnya.
“Pingin cium, Tuan.”
Bersikap seakan tidak melihat apa pun, Wildan melajukan kendaraan hingga memasuki sebuah komplek apartemen mewah di wilayah yang terhitung eklusif. Ia menghentikan mobil di depan lobi dan membuka pintu.
“Nadine, ayo. Kita turun,” ajak Dave pelan. Ia susah payah menghindari ciuman Nadine.
“Nggak, Tuan. Mau ciuman.”
“Iya, ayo. Kita ke atas ciuman.”
“Ke atas?”
“Iya, jangan di sini. Dilihat orang.”
Setelah dibujuk, Nadine menurut. Dave membimbingnya turun dan membawanya menyeberangi lobi menuju lift. Mereka berhenti di lantai lima dengan Nadine terus menerus merengek.
Dengan sabar, Dave menggandengnya. Seorang pelayan telah menunggu di balik pintu dan bertugas membukanya.
“Sudah kalian siapkan air dingin?” tanya Dave pada pelayan wanita yang mengiringi langkahnya.
“Sudah, Tuan.”
“Siapkan baju tidur wanita. Berikan padaku di kamar.”
“Baik, Tuan.”
Pelayan itu berbalik dan bergegas menelepon. Wilda berdiri was-was di ruang tamu, melihat ke arah dalam di mana Dave menghilang bersama Nadine.
“Ayo, kita mandi,” ucap Dave saat mereka sudah sampi di kamarnya.
Nadine terkikik. “Buat apa mandi Tuanku, Sayang. Enakkan kita bermesraan.”
Mengalungkan lengan ke wajah Dave, Nadine kembali menyergap laki-laki itu dengan ciuman. Ia menempelkan tubuhnya pada tubuh Dave dan berharap bisa berbagi panas gairah yang tidak ia mengerti. Yang ia inginkan hanya satu, bercumbu dengan Dave.
“Nadine, tenangkan dirimu.” Dave setengah menyeret wanita itu ke kamar mandi.
Namun, sesuatu terjadi dan membuatnya terperangah. Nadine membuka gaunnya hingga ke memperlihatkan dadanya yang membusung indah. Dave merasakan napasnya menjadi berat tapi ia harus tetap menjaga kewarasannya.
“Ayo, Sayang. Kita ciuman.”
Kali ini, Dave membiarkan dirinya dicium dengan tubuh Nadine yang setengah telanjang menempel padanya. Ada gelenyar yang tidak dapat ia jelaskan, saat merasakan kulit halus Nadine di dadanya. Ia membawa Nadine mendekati bathtub yang penuh dengan air dan sekuat tenaga menggendong wanita itu lalu menceburkannya ke dalam bak berisi air dingin.
Nadine menjerit kaget, dan bersiap pergi tapi Dave menekan pundaknya.
“Dingin, Tuaaan.”
“Bagus, biar kamu nggak gerah. Ayo, berbaring dan kita ciuman.”
Mengesampingkan setelan mahalnya yang basah kuyup, Dave menekan tubuh Nadine hingga berbaring di dalam bathtub. Wanita itu mengerang dan melumat bibir Dave dengan kasar.
Dave menjaga pikirannya tetap tenang saat melihat tubuh Nadine yang tanpa memakai selembar penutup. Karena gaunnya larut ke dalam air. Ia membiarka wanita itu mengulum bibirnya, dan ia membalas ciuman Nadine. Mereka saling melumat, entah untuk berapa lama, hingga akhirnya Nadine terkulai di bathtub.
.
Tersedia di goggle playbook dan Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro