Bab 5a
Setelah pekerjaan pertama dilewati, apakah bisa dikatakan ia berhasil? Nadine tidak pernah tahu. Setahunya, utangnya berkurang pada Dave lumayan banyak. Itu memberinya kesempatan bernapas mencari uang.
Gaun-gaun, tas, dan sepatu yang diberikan Dave untuknya, tersimpan rapi di lemari. Barang-barang mewah dan mahal yang ia anggap bukan miliknya. Ia merasa hanya menyimpan sementara sampai nanti harus dikembalikan pada pemiliknya.
“Malam Minggu ini, kita nonton, yuk. Udah lama nggak nonton,” ajak Lestari saat mereka makan siang bersama.
Nadine mengangguk. “Ayok, kalau nggak ada rencana apa-apa, ya. Soalnya kadang harus pulang ke tempat Bibi.”
Ia sengaja mengatakan itu, agar saat harus pergi bersama Dave, Lestari tidak akan marah.
“Memangnya nenekmu makin parah?”
“Begitulah. Aku curiga bibiku tidak mengurus dengan baik. Tapi, kalau nggak ada dia, Nenek sama siapa lagi. Kasihan kalau harus dimasukin ke panti jompo. Nanti malah nggak terawat.”
“Uang lancar,’kan kasih mereka?”
“Lancar, kurang malah.” Nadine mendengkus sebal. Teringat terakhir kali saat Kurnia merampas tas-nya dan membuatnya kehilangan cukup banyak uang.
“Hahaha. Mereka itu kamu kasih berapa pun akan selalu kurang.”
Nadine mengiyakan perkataan sahabatnya. Karena memang, tak peduli berapa pun ia memberikan uang, keluarganya akan meminta lebih. Nasi padang di atas piringnya teronggok penuh, mendadak ia kehilangan selera makan. Teringat harus membayar utang pada Prima dan Dave. Sekarang, ia dikontrak secara ekslusif oleh Dave, yang berarti tidak boleh menerima booking dari orang lain. Ia hanya bisa pasrah, selaian karena bayaran yang diberikan Dave lebih besar, ia juga tidak perku repot-repot mencari klien baru.
Tersenyum tipis, Nadine merasa dirinya makin lama makin mirip pelacur. Hanya saja tidak melayani di tempat tidur.
Karena tidak ada kegiatan di luar, Nadine memutuskan untuk pulang lebih cepat. Berniat untuk membersihkan kamar dan laundry.
**
Di sebuah bengkel mobil, seorang laki-laki muda dengan paras rupawan terlihat serius memperhatikan mobilnya yang baru saja selesai di wrapping. Ia mengubah warna mobil sportnya dari hitam menjadi merah satin. Sebuah perubahan yang drastis. Ia memang sedang ingin tampil beda. Ia berencana untuk mengubah semua tampilang koleksi mobilnya. Untuk itu, harus membuat janji lebih dulu dengan pihak bengkel, agar mereka bisa datang ke rumahnya.
“Setelah disemprot densikfektan, mobil bisa dibawa pulang, Tuan.”
“Bagus, cepat sekali kalian melakukannya.”
Laki-laki itu memuji pekerja berbaju orange yang sedang sibuk memoles mobilnya.
“Sudah tugas kami, terlebih Tuan Evan adalah pelanggan setia kami.”
Evan mengangguk, ia meraih ponsel di saku celana saat merasa benda itu bergetar. Membukanya dan melangkah ke arah bagian depan bengkel. Ada satu temannya berniat datang menyusul ke bengkel, dan kesasar. Ia melangkah ke arah pinggir jalan untuk memastikan tentang kondisi jalan raya.
Sesuatu terjadi dan membuatnya terperenyak, saat ponsel yang dipegangnya disambar oleh dua orang laki-laki yang berboncengan motor.Untuk sedetik ia terdiam, sebelum akhirnya berteriak.
“Copeeet!”
Beberapa orang hanya diam memperhatikan, ia mencoba mengejar tapi kalah cepat. Dari arah belakang muncul motor merah dan mengejar pelaku pencopetan. Pengendara motor merah memepet para pencopet. Pada satu kesepatan menjejakkan sebelah kaki dan membuat motor pencopet oleng lalu jatuh. Menggunakan kesempatan itu, motor merah berhenti.
Pengendaranya menghampiri pelaku pencopetan dan mengayunkan tangan untuk memukul mereka.
Terjadi baku hantam sebelum para pencopet yang kesakitan, kocar-kacir dan melarikan diri dengan motor mereka.
“Te-terima kasih,” ucap Evan sambil terengah. Ia berlari menyusul, napasnya tersengal.
“Hati-hati, di sini memang banyak pencopet dan jambret.”
Suara seorang wanita. Evan meneggakan tubuh. Mengamati pengendara yang menyelamatkannya. Memang benar seorang wanita, jika dilihat dari postur tubuhnya. Menerima ponselnya, Evan berkata sambil tersenyum.
“Kamu hebat, bisa bertarung.”
“Siapa bilang, hanya sekadar bisa. Oh, aku tinggal dulu.” Wanita itu berbalik. Sambil membuka helm.
Evan dibuat terperangah sekali lagi saat melihatn untaian rambut merah terurai. Wanita itu memunggunginya dan sibuk menguncir rambut.
“Tunggu, boleh kita kenalan. Siapa namamu?” Evan mendekat.
Wanita itu menoleh. “Untuk apa?”
Evan sama sekali tidak menyangka, di balik helm hitam yang menutupi, ternyata ada seraut wajah rupawan berambut merah. Ia memandang tanpa malu-malu dan mengagumi sepasang mata almond milik wanita itu.
“Hanya ingin kenal. Siapa tahu nanti aku bisa mentraktirmu kopi.”
Nadine tersenyum. “Nggak usah. Aku melakukannya tanpa pamrih.”
Saat Nadine memakai kembali helm dan bersiap pergi, laki-laki yang ia tolong memegang stang motor.
“Please, aku tidak akan melepaskan stang kalau kamu tidak memberiku nomor ponsel.”
Ia mengernyit, merasa sedikit jengkel dengan laki-laki yang sedang memaksa. Akhirnya, ia mendesah dan menyebutkan nomor ponselnya.
“Berdering. Terima kasih. Namaku Evan.”
“Hai, Evan. Bisa lepaskan peganganmu pada stangku?”
“Upz, sorry.”
Setelah berbasa-basi, Evan membiarkan Nadine pergi. Ia masih mematung di tempatnya, hingga motor merah menghilang di tikungan. Ponselnya memang sudah kembali, tapi ada sebagian hatinya yang terbawa pergi. Evan merasa gemas dengan dirinya sendiri. Tanpa sadar mematung di pinggir jalan dengan debu-debu beterbangan di sekitar.
**
Suasana meeting berlangsung dengan panas. Terjadi pertentangan pendapat antara para peserta rapat. Kesepakatan tidak dapat diambil saat dua kubu bersitegang. Kubu bagian pemasaran, dan kubu managemen. Keduanya kukuh dengan pendapat masing-masing.
Dave hanya memperhatikan dalam diam, ini bukan pertama kali rapat berjalan alot. Jika begini,biasanya akan selesai hingga tengah malam.
Sementara matanya menatap direktur pemasaran yang sedang berunding dengan stafnya. Sementara direktur managemen sibuk menerangkan dengan data-data di tangan. Dave menimbang dengan seksama, menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan pendapatnya.
Sudah hampir lima tahun ia menduduki posisi direktur utama. Segala sesuatunya tidak pernah berjalan mudah. Banyak yang meremahkannya waktu itu, dianggap hanya orang muda biasa yang tidak kompeten. Tapi, Dave membuktikan dirinya mampu.
Pukul sepuluh malam, akhirnya tercapai kesepatakan. Itu pun setelah Dave bersikap agak menekan. Meeting bubar tiga puluh menit kemudian.
“Tuan, mau makan atau langsung mandi?” tanya Wildan pada boss-nya yang sedang melonggarkan dasi.
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu booking suit di sekitar sini?”
Wildan mengangguk. “Tentu saja, Tuan.”
Saat Dave melangkah menyusuri lobi kantor, Wildan sibuk menelepon. Tak lama asistennya mengatakan, sudah menyiapkan presiden suit di sebuah hotel ternama yang tak jauh dari kantor mereka.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, Dave menyandarkan kepala pada kursi. Merasa lelah. Bisa jadi karena malam sebelumnya ia kurang tidur.
“Ada undangan dari Nona Katrin. Apa saya harus menolaknya?” tanya Wildan dari depan. Laki-laki itu duduk di sebelah sopir.
“Undangan apa?” tanya Dave enggan.
“Ulang tahunnya. Di hotel Oriental Sabtu malam.”
Dave melengos, menatap jalanan yang diterangi lampu-lampu. Membicarakan pesta, pikirannya seketika tertuju pada Nadine. Mereka tidak pernah saling menghubungi dari terakhir kali bertemu. Sepertinya, kali ini ia membutuhkan wanita itu, jika keadaan memaksa.
Masih terbayang dalam ingatan, tentang Nadine yang menghajar Nelson. Menurutnya itu keren, tetap saja menimbulkan banyak masalah kelak.
Setelah pesta malam itu, ia mendapat cercaan pertanyaan baik dari sang papa maupun neneknya. Mereka bertanya tentang asal usul Nadine dan apa rencannya terhadap wanita itu. Ia hanya mengatakan dengan singkat sedang dalam tahap pengenalan. Ia tahu, neneknya tidak puas dengan jawabannya dan bisa dipastikan akan menyuruh orang menyelidiki.
“Jangan menyelidiki apa pun tentang Nadine, grandma. Biarkan kami pendekatan tanpa kalian ikut campur.”
Untunglah, ia memberi penegasan pada sang nenek. Meskipun tidak terima tapi setuju untuk tidak ikut campur.
“Bisakah kita memberinya alasan untuk tidak datang?” tanya Dave pelan.
Wilda mengangguk. “Bisa, dengan catatan Anda ke luar kota atau ke luar negeri. Karena yang mengundang justru bukan Katrin tapi kedua orang tuanya.”
“Sial!” runtuk Dave pelan. “Aku tidak terlalu suka datang ke pesta. Menurutku membuang-buang waktu tapi kenapa akhir-akhir ini banyak sekali undangan pesta.”
Wilda mendengarkan ucapan bossnya dalam diam. Ia memaklumi jika Dave lebih suka bekerja dari pada terlibat dalam pesta. Namun, untuk strata bisnis yang sedang dijalankan Dave. Pesta bukan hanya soal bersenang-senang tapi juga koneksi.
“Bagaimana, Tuan?”
Dave memejam. “Telepon Nadine. Katakan padanya, malam Minggu pukul delapan aku menjemputnya.”
“Baik, Tuan.”
Tidak ada lagi pembicaraan di dalam mobil. Dave memejam, berusaha mengistirahatkan otak. Malam ini, ia berencana lembur sampai pagi di hotel. Jika harus pulang, maka akan banyak menyita waktu. Tidur di dalam mobil selama perjalanan adalah waktunya beristirahat.
**
Nadine menatap bayangannya di cermin dalam balutan gaun Dior ungu muda. Ia mendesah, dengan tangan menyusuri tekstur gaun yang lembut. Sungguh barang yang mewah dan mahal. Pundaknya terbuka, karena gaun yang ia pakai tanpa lengan. Untunglah, dadanya tertutup dengan baik. Untuk make-up sendiri, ia berdanda seperti biasanya. Untuk bagian mata sengaja membubuhkan glitter untuk memberi kesan sexy.
Malam ini, ia menggerai rambut merahnya. Tanpa memakai perhiasan apa pun. Memadukan gaun dengan sepatu putih dan tas kecil dengan mereka yang sama. Ia mengamati tas di tangannya dan menernyit heran. Karena tas yang berukuran tak lebih besar dari buku tulis itu, berharga sangat mahal. Padahal, tidak bisa digunakan menyimpan apa pun selain dompet dan ponsel.
Pukul 7.30, ia menuruni tangga. Berpikir untuk menunggu Dave di halte dekat rumah. Di lobi, lagi-lagi ia bertemu dengan laki-laki pemilik kos. Mata laki-laki itu melebar saat melihat penampilannya.
“Wow, bidadari turun dari langit. Nadine, kamu cantiiik sekali.” Laki-laki itu mengitari meja penjaga dan menghadang langkahnya. Nadine menahan geram.
“Tolong minggir!”
“Jangan sombong, dong. Ayolah, lain kali kita jalan-jalan. Mau, ya?”
Menatap remeh, Nadine berkacak pinggang. “Punya apa kamu? Kos ini saja milik istrimu. Udah numpang, genit, belagu pula!”
Semburan kata-kata membuat laki-laki itu merengut.
“Sedang apa kalian memblokir pintu?”
Nadine menoleh, melihat wanita pemilik kos mendatangi mereka. Ia menganggukkan kepala dan melewati laki-laki di depannya. Masih terdengar obrolan suami istri itu saat ia membua pintu.
“Kamu ngapain di sini sama wanita itu? Selingkuh, ya?”
“Aduh, Sayang. Jangan curiga dulu. Kamu nggak tahu barusan aku nolak dia. Masa, dia mau ganti uang sewa pakai kencan.”
“Apa, dasar cewek murahan!”
Menahan geram, Nadine melanjutkan perjalanannya. Ia berniat memberi pelajaran pada laki-laki itu suatu hari. Sepanjang jalan, ia banyak sekali laki-laki yang menggoda. Ia tak peduli, asal tidak menyentuhnya.
**
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro