Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4b

"Halo, Dave. Senang akhirnya bisa melihatmu.” Wanita itu menghampiri kursi Dave dan menyapa.
Dave bangkit dari kursi dan mengangguk. “Senang mengenal Anda, Nona Katrin.”

Katrin terkikik. “Ah, kamu sopan sekali. Jadi kelihatan makin manis dan aku makin suka.”

Tanpa aba-aba, wanita itu memeluk Dave dan mengecup pipinya. Tindakannya membuat Nadine melongo. Dave pun terlihat salah tingkah. Dia melepaskan pelukan wanita itu dan mengangguk sopan.

“Silakan duduk.”

“Ah, aku mau duduk sama kamu.” Dengan sikap tak mau tahu, Katrin mengenyakkan diri di samping Dave. Dan membuat laki-laki tampan berkacamata itu terjepit antara dirinya dan Nadine.

Saat keluarga Adira sudah menepati tempat duduknya masing-masing, pelayan mulai menghidangkan makanan. Percakapan mulia bergulir disertai denting peralatan makan beradu.
Nadine menunduk, menatap makanan pembuka di hadapannya. Ia tidak tahu apa namanya. Disajikan di atas piring porselen berupa irisan daging tipis dengan sayuran dan keju di atasnya. Ia mengambil garpu dan mencobanya. Lumayan enak, terlebih ada rasa asam yang sepertinya dari perasan jeruk. Merasa jika makanan itu cocok dengan lidahnya, ia menandaskan dalam sekejab. Saat mengangkat wajah, seketika merasa malu karena para tamu sibuk berbincang bahkan nyaris tidak menyentuh makanan mereka.

“Enak?” tanya Dave tiba-tiba.

Nadine mengangguk. “Iya, Tuan.”

“Mau lagi?”

Kali ini ia menggeleng malu. “Nggak, terima kasih.”

Kembali menunduk saat memergoki sang nenek menatapnya tajam.

“Dave, Sayaang.” Terdengar derit kursi digeret dan Katrin tanpa malu-malu mendekatkan kursinya ke arah Dave. “Ini memang pertemuan pertama kita, tapi entah kenapa aku merasa cocok.”

Dave berdehem. “Kenalkan, ini Nadine,” ucapnya sambil meremas tangan Nadine yang berada di atas meja.

Nadine sadar itu adalah kode-nya untuk bertindak. Ia menatap Katrin dengan sopan dan tersenyum kecil sambil menyapa.

“Apa kabar?”

Katrin menatapnya sambil mengernyit. Seakan-akan dia adalah kotoran atau debu yang menjijikan.

“Dave, bagaimana kalau lain kali kita pergi bersama ke club? Aku tahu sebuah tempat yang privat tapi menyenangkan.”

Mengabaikan Nadine, wanita itu berbicara dengan Dave sambil mengelus lengan laki-laki itu. Nadine menghela napas, usaha pertamanya gagal. Wanita berbaju macan itu sama sekali tidak menganggapnya, bisa jadi semua yang di sini.

Terganggu dengan pemikiran itu, ia mengedarkan pandangan dan mendapati jika sang nyonya rumah menatapnya tajam. Mereka saling memandang sebelum Giska berpaling dan melanjutkan pembicaraan dengan orang tua Katrin.

Di sampingnya, Katrin masih berusaha mati-matian untuk merayu Dave. Dada wanita itu menempel pada lengan Dave dan membuat sang direktur tidak nyaman. Dari bawah meja, Nadine merasa jika Dave menekan telapak tangannya. Laki-laki itu mengerling sambil memiringkan kepala. Ia tahu harus bertindak.

Saat pelayan datang menghindangkan makanan selanjutnya, ia mendadak mendapat ide.

“Sayang, mau coba udang?” Ia bertanya sambil tersenyum ke arah Dave.

“Enakkah?” tanya Dave.

Nadine mengangguk. Ia mengambil satu ekor udang yang cukup besar dan sudah dikupas.Memasukkan ke dalam mulutnya setengah dan menyisakan bagian ekor. Dengan bibir mengecap saos, ia tersenyum ke arah Dave. “Mau? Udangnya manis.”

Tanpa diduga, Dave meraih tangan Nadine dan memasukkan udang ke dalam mulutnya.

“Enak, aku suka apa pun yang kamu berikan.”

“Ah, laki-laki yang baik. Aku makin cintaaa,” desah Nadine. Ia berusaha menghilangkan rasa malunya. Memantapkan diri dari dalam hati kalau dia dibayar untuk menyelamatkan Dave. “Mau lagi?”

“Mau.”

Tindakan mereka yang penuh kemesraan dengan berbagi makanan yang sama, membuat Katrin sebal. Wanita itu sama sekali tidak menyentuh makanannya. Wajahnya merengut kesal. Nadine mengabaikannya, ia terus menyuapi Dave dengan makanan dan bersikap seolah-olah mereka adalah sepasang kekasih yang mabuk kepayang.

“Dave, kamu sudah selesai makan? Bawalah Katrin ke taman samping dan tunjukkan koleksi anggrek kita.”

Perintah Kevlar terdengar keras, mengatasi percakapan. Semua mata kini tertuju pada Dave.

Sebenarnya, ia enggan untuk menanggapi perintah papanya. Namun, tertangkap olehnya perintah sang nenek yang menggerakan kepala. Ia tahu, dirinya sedang diuji untuk bersabar dengan tidak mempermalukan keluarga.

“Kamu mau lihat anggrek?” tanyanya pada Katrin.

“Mau sekali. Ayoo!” Dengan sigap Katrin berdiri dan merangkul lengan Dave saat laki-laki itu berdiri.

“Ayo, ikut,” ajak Dave pada Nadine.

“Biarkan dia di sini, Nenek ingin bicara dengannya.” Perintah Mutiara membuat Dave bimbang. “Pergilah bersama Katrin, sana!"

Tidak ada lagi kesempatan menolak, Dave dengan terpaksa membiarkan dirinya diseret Katrin menuju taman bunga.

Nadine menatap kepergian mereka dengan merana. Ditinggal sendiri bersama orang-orang yang bersikap sinis padanya, ia merasa sangat tidak percaya diri.

“Nadine, kamu sekolah lulusan apa?” tanya Mutiara padanya.

Nadine tersenyum. “Diploma tiga.”

“Hanya diploma? Kenapa tidak sarjana.”

Sekarang Nadine kebingungan, ia tidak mungkin mengatakan pada sang nenek kalau dirinya keluarga miskin yang tidak sanggup kuliah.

“Saya lebih suka bekerja,” ia menjawab dengan malu.

“Begitu, apa usahamu sekarang?  Juga usaha keluargamu?”

Menarik napas panjang, Nadine berucap pelan.

“Otomotif. “ Yang ada di benaknya adalah bengkel motor milik Prima.

“Importir mobil seperti cucuku Evan atau lebih ke sparepart?”

“Sparepart.”

Nadine mengeluh dalam hati, ia berharap sang nenek menghentikan pertanyaannya. Ia takut makin lama makin banyak kebohongan yang harus dikatakan.

Untunglah, ada perawat datang dan mengatakan pada Nenek untuk beristirahat. Setelahnya, Mutiara berpamitan pada semua yang ada di meja dan membiarkan dirinya dibawa ke kamar.  Nadine mengembuskan napas lega, akhirnya bisa menikmati makanannya meski di bawah tatapan mengancam sang tuan rumah.

“Selamat malam semua.”

Suara seorang laki-laki menyapa dari pintu. Nadine mendongak dan menatap laki-laki bertubuh subur dengan rambut klimis. Laki-laki itu memakai kemeja biru dengan celana katun abu-abu.

“Nelson, kenapa kamu datang terlambat. Tidak ada sopan santun,” Giska menegurnya.

“Maafkan aku, ada banyak urusan.” Nelson melintasi ruangan dan menghampiri Kevlar. Saat melewati Nadine, dia mengedipkan sebelah mata. Membuat Nadine mengernyit.

“Inikan Tuan dan Nyonya Adira, senang bertemu Anda.”

Memperhatikan dalam diam, Nadine berusaha mengingat tentang Nelson. Akhirnya, ia tahu siapa laki-laki itu. Dave telah memperingatkannya untuk hati-hati. Tidak ingin terkena masalah dan tanpa takut dikatakan tidak sopan, ia bangkit dari kursi  lalu melangkah ke teras.

Untuk sesaat ia berdiri termangu menatap taman yang temaram. Tidak menemukan sosok Dave di mana pun. Melangkah perlahan, menyusuri rumput dengan aneka anggrek yang tertanam rapi.

“Gadis Cantik, kamu sendirian?”

Nadine menoleh, melihat Nelson menghampirinya.

“Aku baru saja datang dan kamu pergi?”

Ia tidak bereaksi, menatap Nelson yang kini berdiri tak jauh darinya. Laki-laki itu tersenyum dengan mata mengamatinya dari atas ke bawah.

“Cantik, amat cantik. Tubuh sexy sempurna dan tinggi langsing. Wow, melihatmu membuat dadaku berdesir.”

Melihat Nadine hanya terdiam membisu, Nelson makin mendekat. “Siapa namamu? Aku dengar kamu datang bersama ponakanku tersayang, Dave. Di mana dia? Apa meninggalkanmu untuk berasyik masyuk dengan Katrin?”

Nadine tidak tahu, laki-laki itu mendapat informasi dari mana. Namun, makin banyak kata yang keluar dari mulutnya, makin membuatnya tidak suka.

“Maaf, saya pergi dulu. “ Ia berpamitan dengan sopan dan membalikkan tubuh.

“Hei, tunggu dulu. Aku belum selesai bicara.”

Nelson bergerak cepat dan kini mencegat langkah Nadine. “apa kamu tidak ingin berkenalan denganku?”

“Tidak,” jawab Nadine lugas.

Nelson meringis. “Sombong sekali kamu. Aku tahu wanita macam apa kamu.”

Nadine mengangkat sebelah alis. “Seperti apa?”

“Cih, aku tahu persis kalau ponakanku itu gay. Makanya kenapa sampai umur segitu dia belum punya pasangan. Dan, kamuuu … mendadak ada di sini.  Aku yakin, kamu hanya jadi pacar pura-pura. Dibayar untuk menutupi penyimpangan Dave.”

Nadine kaget bukan kepalang. Bukan perkara ia terdeteksi hanya sebagai pasangan pura-pura. Namun, kenyataan kalau Dave adalah gay. Ia sama sekali tidak tahu soal ini karena memang tidak pernah dekat dengan sang direktur. Informasi dari mulut Nelson pun belum tentu bisa dipastikan kebenaranya.Hanya saja cukup membuatnya shock.

“Kaget, ya, Manis? Baru tahu kalau Dave nggak normal?” Nelson tersenyum kecil. Melangkah semakin dekat. “makanya, kalau cari laki-laki jangan cuma tampan. Tapi, harus lihat aspek yang lain.”

Dengan berani, laki-laki itu mengulurkan tangan untuk mengelus pipinya. Nadine menghindar.

“Jangan sok jual mahal. Berapa Dave membayarmu, biar aku ganti tiga kali lipat!”

Nadine tersenyum. “Pada dasarnya, aku nggak terlalu pemilih soal laki-laki. Hanya saja, saat bersama dengan seorang laki-laki, aku ingin dia sanggup menderita bersamaku.”

Nelson menepuk dadanya. “Tentu saja, aku sanggup menderita bersamamu. Apalagi di dalam kamar. Hahaha.”

Tawa mesum dan tidak sopan keluar dari mulut laki-laki itu, membuat Nadine muak. Dengan senyum tersungging di bibir, ia mendekat. Membiarkan saja saat laki-laki itu mencoba mengelus lengannya. Secepat kilat, ia menyambar lengan laki-laki itu dan menekan urat nadinya. Lalu, menginjak kaki kiri Nelson sekuat tenaga dan membuat laki-laki itu menjerit.

Saat Nelson membungkut kesakitan, ia lepaskan pegangannya. Terdengar laki-laki bertubuh subur itu menyumpah-nyumpah.

“Nadine, sedang apa di sini?” Suara Dave terdengar dari belakang.

Nadine menoleh dan mengulas senyum. Katrin masih menggelendot di lengan Dave dengan tidak tahu malu.

“Sudah selesai?” tanya Nadine ramah.

Dave mengangguk, menatap bergantian ke arah Nadine yang tersenyum lalu pada Nelso yang melangkah tertatih. Ia mencurigai sesuatu.

“Kita pulang sekarang,” ucapnya pada Nadine.

“Aduh, aku belum puas mengobrol Dave,” rengek Katrin.

“Maaf, tapi besok ada acara pagi buta. Jadi harus pulang lebih cepat.”

Meninggalkan Katrin yang merajuk, Dave meraih lengan Nadine dan membimbingnya ke ruang makan.  Ia berpamitan singkat pada semua yang ada di sana. Tidak memedulikan sang papa yang berusaha menahannya. Dengan sedikit tergesa, ia membawa Nadine ke mobil dengan Wildan yang telah menunggunya di dalam.

“Nadine, bisa aku menanyakan sesuatu?”

“Iya, Tuan.”

“Kamu apakan pamanku?”

Pertanyaan Dave membuat Nadine menunduk. Ia merasa tidak enak hati, meringis kecil ia menjawab pelan. “Saya injak dan piting tangannya.”

“What?”

“Apa?”

Baik Dave maupun Wildan bertanya bersamaan.

“Maaf, bukannya Tuan pernah mengatakan untuk berhati-hati dengannya? Dia mencoba untuk menyentuhku. Dan, aku hanya memberi sedikit pelajaran.”

Dave tercengang lalu tertawa terbahak-bahak. Nadine memandangnya heran. Tidak mengerti kenapa sang direktur terlihat gembira.

“Wow, kamu luar biasa Nadine. Baru kali ini aku lihat dia terpincang-pincang karena wanita.”

Kegembiaraan Dave bertahan hingga mobil yang mereka naiki berhenti di ujung gang rumah Nadine. Ia berpamitan dan mengucapkan terima kasih lalu turun.

Dave membuka kaca jendela dan menatapnya.

“Terima kasih untuk malam ini. Aku hubungi lagi jika perlu.”

Nadine mengangguk. “Baik, Tuan.”

Saat kendaraan yang membawa Dave melaju di jalanan, Nadine mendesah. Memikirkan tentang Dave dan kenyataan jika laki-laki itu ternyata gay.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro