Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4a

Mobil Mercy hitam melaju mulus di jalanan. Di bangku belakang, Nadine duduk dengan gugup. Ini pertama kalinya ia berperan sebagai kekasih seorang konglomerat. Tidak pernah sebelumnya, ia segrogi ini. Hilang sudah rasa percaya diri yang selama ini ia punya. Ia bahkan takut bernapas terlalu keras, kuatir akan membuat  murka.
Sesekali ia melirik laki-laki yang duduk di sebelahnya. Mau tidak mau ia mengakui kalau Dave memang tampan. Laki-laki itu memiliki rahang tegas dengan bentuk alis hitam yang nyaris menyatu di tengah. Jika diperhatikan lagi, ada semacam tahi lalat kecil di ujung mata kanan. Jenis laki-laki dengan keberuntungan istimewa, tampan, gagah, punya kekayaan tujuh turunan. Nadine berpikir, hanya wanita istimewa juga yang kelak menjadi pendamping Dave.

Di belakang kemudi, ada Wildan yang menyetir. Laki-laki cantik itu, malam ini memakai setelan putih. Sungguh kontras dengan boss-nya yang berjas hitam. Mereka adalah orang kaya dan berpengaruh di negeri ini, tak pernah terlintas sekali pun dalam pikirannya akan berdampingan dengan Dave Leandra.

“Sebentar lagi kita sampai. Apa kamu gugup?” tanya Dave mengatasi kesunyian.

Nadine mengangguk kecil. “Sedikit, Tuan. Eh, bukaan. Banyaak, saya gugup sekali.” Ia menunduk, merasa kacau dengan omongannya. Tanganya meremas gaun.

“Wajar, aku pun akan gugup jika masuk ke dalam lingkungan sosial yang tidak kukenal.” Dave mengalihkan pandagan pada Wildan. “Apa pamanku tercinta akan datang malam ini?”

“Tuan Nelson? Sepertinya beliau akan ada di sana.” jawab Wildan.

Dave mengangguk, kembali melirik pada Nadine.
“Aku ingin memberimu penjelasana satu hal. Paman Nelson, gemuk, tinggi, bicara keras, dan satu lagi dia mengincar wanita cantik. Tidak peduli itu itu milik keluarganya. Kamu hati-hati sama dia.”

“Baik-baik, Tuan.” Nadine menjawab gugup, menelan ludah.

“Satu lagi, istrinya ada empat.”

Hebat, pikir Nadine muram. Belum sampai ke tempat pesta ia sudah merasa takut duluan. Bukan perihal laki-laki bernama Nelson tapi banyak hal lainnya. Memang, ia sudah menghapal biodata Dave, tetap saja itu tidak cukup. Karena mereka bersama hanya sandiwara. Ia takut, akan melakukan kesalahan fatal dan membuat nama Dave tercoreng.

Saat berbelanja gaun di butik dengan Mita, ia banyak mendengar bagaimana kaum jet set bergaul. Ia tidak akan pernah siap untuk masuk dan berbaur karena memang bukan itu dunianya.

Ia mengalihkan pandangan ke jendela dan langsung tercengang. Setelah melalui proses pemeriksaan di pintu gerbang, mobil melaju mulus di jalanan beraspal yang diapit bunga-bunga bermekaran. Jika itu belum cukup indah, ada pohon cemara yang dihias dengan lampu. Nadine merasa seperti mendaki gunung, terlebih komplek yang mereka masuki sepertinya ekskusif. Tidak ada rumah lain di sekitarnya hanya berupa tanah ditumbuhi tanaman perdu.

Mobil berhenti di depan rumah megah berpilar delapan. Nadine melihat banyak mobil mewah berjejer di halaman. Tampak beberapa penjaga berseragam , sedang mondar-mandir memeriksa keamanan. Nadine terperangah, dan hampir meneteskan air liur melihat betapa besar dan mewah rumah di depannya.

“Ayo, turun. Kenapa bengong?”

Teguran dari Dave membuat Nadine tersadar. Ia turun saat salah seorang penjaga membantunya membuka pintu. Saat ia menjejak lantai batu yang kokoh, seketika gaun hitamnya luruh menutupi kaki. Dave memutari mobil dan berdiri di depannya.

Laki-laki itu menatapnya sesaat sebelum bergumam. “Gaunmu cantik, pas dengan tubuhmu."

Nadine menunduk malu. Tidak menyangka akan dipuji oleh Dave. Malam ini, harus diakui kalau gaunnya memang bagus. Berbahan lentur dengan taburan benang perak tanpa lengan, ia menganggap penampilannya tidak memalukan. Terlebih, bagian depan daun sedikit terbuka, menonjolkan bentuk dadanya. Ia melengkapi penampilannya dengan tas perak bertabur kristal, mengurai rambut merahnya dan diberi penjepit kecil di bagian samping.  Nadine merasa cantik, hanya saja tidak cukup punya rasa percaya diri.

“Ayo, kita masuk.”

Dave mengulurkan tangan, ragu-ragu sesaat Nadine mengalungkan tangan ke lengan laki-laki itu. Beberapa penjaga di depan pintu mengangguk hormat saat mereka lewat. Suara langkah mereka bergema di lantai marmer putih  mengkilat. Nadine menahan diri untuk tidak melongo saat menatap interior rumah yang super mewah.

“Tarik napas, dan embuskan perlahan. Tenangkan diri, jangan grogi. Jika takut terjadi kesalahan, kamu cukup diam saja.”

Arahan Dave dijawab  anggukan olehnya. Memang sudah ia rencanakan, akan diam sepanjang acara. Mengingat, tidak ingin terkena masalah. Ia di bawa masuk ke bagian samping rumah dan tercengang saat melihat meja makan super panjang dengan kursi berpelintur mengkilat. Tegantung di langit-langit, ada lampu dua lampu kristal yang menjuntai. Beberapa buket bunga diletakkan di tengah meja, berdampingan dengan peralatan makan. Sudah ada beberapa orang yang menempati kursi. Nadine melangkah di samping Dave dengan jantung berpacu cepat.

“Akhirnya, kamu datang juga!”

Suara seorang laki-laki menyapa dari ujung Meja. Dave mendudukan Nadine dan ia menyahut ramah.
“Apa kabar, Papa?”

Laki-laki itu menggebrak meja dengan pelan, meski begitu tak urung membuat orang-orang yang duduk di meja makan memandangnya ingin tahu.

“Masih menganggap aku papamu? Setelah kamu menghindari untuk datang ke rumah ini?”

“Aku sibuk,” jawab Dave ringan.

“Kamu pikir aku tidaak!”

“Kita masing-masing punya kesibukan, jangan memaksakan standar harus sama, Papa.”

“Kamu inii!” Kevlar menuding anaknya dengan geram. Saat wanita di sampingnya mengelus lengan untuk menenangkan, ia mengangguk tanpa kata. Matanya kali ini menilik ke arah Dave dan wanita yang dibawanya. “Siapa dia?” tanyanya tanpa basa basi.

Dave melirik Nadine lalu menjawab. “Teman special.”

Jawabannya membuat Nadine tak kuasa menahan gemetar. Terlebih papa Dave terlihat sangat marah. Laki-laki berambut putih itu mempunya ekpresi yang sama dengan anaknya, dingin seperti kutub. Di samping Kevlar ada wanita setengah baya yang terlihat cantik dan anggun, Nadine menduga itu istrinya atau mama Dave. Sementara di sebelah wanita itu, ada seorang gadis berambut kecoklatan dengan wajah imut bak boneka. Gadis itu bersikap tak peduli dengan menganggap segala sesuatu membosankan untuknya.  Selebihnya, Nadine tidak bisa melihat karena duduk sederet dengannya.

“Kamu tahu kalau keluarga Adira akan datang malam ini?”

“Iya, Papa.”

“Dan, kamu masih berani membawa teman special?”

“Kenapa tidak?” sahut Dave acuh. “semua orang punya privacy.”

“Davee!” Kevlar berteriak, suaranya menggelegar di ruang makan yang luas.

“Ada apa ini ribut-ribut!”

Semua kepala di ruangan menoleh ke arah seorang wanita tua yang didorong masuk memakai kursi roda. Wanita itu mengedarkan pandangan sekeliling, menatap Nadine sekilas lalu memberi tanda pada perawatnya untuk membantunya duduk di kursi.

“Grandma terlihat sehat.” Dave bangkit dari kursi, menghampiri wanita tua yang duduk di seberangnya. “Makin cantik juga,” ucapnya sambil mengecup kedua pipi yang nenek.

“Cucu kurang ajar! Sama sekali tidak pernah datang menengok!” Mutiara mengelus wajah cucunya dengan sayang.

“Bukankah hampir setiap Minggu kita video call?”

“Kamu pikir itu bisa menggantikan kehadiranmu?”

“Ah, baiklah. Aku akan sering-sering datang.”
Setelah memeluk neneknya, Dave kembali ke tempat duduknya. Beberapa pelayan datang membawa minuman di atas nampan perak.  Dengung obrolan mulai terdengar pelan.

Nadine yang ketakutan, merasa tenggorokannya amat kering. Ia meraih gelas berisi air putih dan meneguk perlahan. Mencoba meredakan kegugupan dengan menunduk, menekuri bagian bawah tubuhnya. Ia merasa terdampar di dunia yang sama sekali tidak ia mengerti.

“Gugup?” tanya Dave di dekat telinganya.

“Sedikit,” bisik Nadine.

“Aku akan melakukan sesuatu padamu, jangan kaget. Cukup kamu diam saja.”

Nadine mendongak, tidak mengerti dengan perkataan laki-laki di sampingnya. Kebingungannya terjawab, saat Dave dengan lembut mengelus pipinya, lalu turun ke lengannya yang telanjang. Tidak dapat menahan diri, ia merasa bulu kuduknya meremang.

Nadine bisa merasakan pandangan orang-orang yang diarahkan pada mereka. Ia mengerti, Dave sengaja melakukan itu agar mereka terlihat seperti pasangan.

“Siapa namamu?” 

Setiapa mata kini menyorot ke arah Nadine. Saat Mutiara bertanya dengan suaranya yang serak dan tegas.

“Nadine, Nyonya.”

“Berapa lama kamu mengenal cucuku?”

Kali ini, Nadine tidak punya jawaban. Ia meremas gaunnya dengan gugup.

“Belum lama.” Dave yang menjawa. “Kami baru dalam tahap pengenalan diri.”

“Dalam tahap pengenalan diri tapi kamu berani membawanya ke rumah. Hebat sekali dia, Dave.” Kali ini yang bicara adalah nyonya rumah, istri dari Kevlar. Wanita itu menyeringai, menatap bergantian pada Dave dan Nadine. “ Anak keluarga mana dia? Apa usahanya?”

“Nadine adalah teman specialku. Siapa dia dan dari mana dia berasal, tidak ada hubungannya dengan Anda.”

“Kurang ajar kamu!” Wanita itu membentak. “Semua yang berhubungan dengan keluarga ini adalah urusanku.”

Dave mengangguk. “Memang, tapi tidak untuk urusan pribadiku.”

“Kamuuu!”

“Cukup Giska!” Kevlar menengahi perdebatan antara anak dan istrinya. “Sebentar lagi keluarga Adira akan datang. Malu kita kalau terlihat sama mereka kita satu keluarga ribut.”

Giska mendengkus, bersedekap. Matanya menatap bergantian ke arah Dave yang duduk tak peduli, ke Nadine yang menunduk lalu pada suaminya.

“Bela saja dia teruus. Dari dulu kamu memang pilih kasih.”

“Sudahlah, jangan berdebat lagi,” Kevlar menyahut malas. “Ngomong-ngomog di mana Evan? Kenapa jam segini belum datang?”

“Dia ada urusan di luar negeri. Malam ini tidak bisa datang.”

“Hah, aku punya dua anak laki-laki yang keduanya tidak becus!”

Nadine meraba perutnya yang bergolak tidak enak. Tadinya, ia membayangkan akan mendatangi pesat dengan makanan melimpah ruah, sepeti yang sudah-sudah. Apalagi, ini adalah pesta keluarga konglomerat. Ia berencana, akan makan sepanjang acara demi menghindari masalah. Siapa sangka, justru masalah datang menghampiri lebih awal.  Kini, perutnya terasa perih karena kelaparan. Ia mengutuk diri karena bersikap ceroboh.

“Kenapa?” tanya Dave saat melihatnya mengusap perut.

Nadine menggeleng. “Nggak ada apa-apa, Tuan.”
Ia mendongka dan matanya bersirobok dengan nenek tua yang duduk di seberangnya. Seketika ia merasa malu dan menunduk.

Obrolan di ruang makan kini didominasi oleh Kevlar dan istrinya. Hubungan mereka menimbulkan tanda tanya pada benaknya. Kenapa Dave bersikap begitu formal pada mamanya sendiri. Tentu ada masalah yang ia tidak tahu, dan  dirinya bertekad untuk tidak mau tahu.

“Tuan, Nyonya, keluarga Adira sudah tiba.” Seorang pelayan membuka pintu mengumumkan dengan sopan.

“Biar aku yang menyambut mereka.” Kevlar bangkit dari kursi, diikuti oleh istrinya. Kedua melangkah beriringan menuju ruang depan.

Saat mereka kembali, ada tiga lainnya. Sepasang suami istri dan anak perempuan mereka. Yang membuat Nadine tercengang adalah penampilan sang anak yang spektakuler. Memakai gaun bermotif kulit macan tutul tanpa lengan dengan belahan dada yang rendah. Gaun itu pendek di atas dengkul dan bagian samping terbuka hingga nyaris ke paha atas.  Jika itu belum cukup heboh, maka riasan wajah wanita itu yang tebal dengan rambut ikal pirang terurai hingga ke punggung, Nadine merasa wanita itu terlihat seperti induk macan.

❤️❤️❤️

Bersambung

Tersedia di google playbook dan Karyakarsa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro