Bab 3b
Berdiri dengan tubuh bersandar pada pilar teras, Nadine menatap halaman yang panas. Hatinya kacau balau setelah menerima telepon dari asisten Dave. Ia mengerutkan kening, sama sekali tidak menyangka akan berurusan dengan seorang yang kaya raya seperti Dave. Laki-laki pemilik jaringan bisnis real estate terbesar di Indonesia. Bukan hanya itu, yang ia dengar Dave juga memiliki bisnis perkebunan dan tambang. Bisa dikatakan, harta kekayaan laki-laki itu tidak akan habis tujuh turunan.
Ia bingung dan kalut. Permintaan bertemu dari sang konglomerat tentu ada kaitannya dengan mobil laki-laki itu. Dan, saat ini ia sama sekali belum punya uang.
Uangnya yang tersisa di dompet sudah dirampas oleh Kurnia. Selain itu, ia harus membayar biaya perbaikan motornya. Untunglah, Prima memberinya kelonggaran untuk mencicil.
“Hei, bengong aja kamu. Nggak pergi?”
Nadine menoleh ke arah Lestari. “Tadinya niat pergi tapi klien membatalkan janji karena ada urusan ke luar kota.”
“Belum closing juga?”
“Belum, masih mempertimbangkan tentang yin dan yang. Bolak balik aku mengantar mereka ke sana, semoga saja closing.”
“Amin, semoga saja. Kita nggak bisa maksa klien untuk membeli unit hanya karena lokasi atau harga bagus. Mereka pasti banyak pertimbangan.” Lestari menatap sahabatnya lekat-lekat , sebelum melanjutkan ucapannya. “Anto resign.”
Nadine terbelalak. “Be-benarkah? Kamu tahu dari mana?”
Lestari menghela napas. “Dari teman-temannya sesama staf. Katanya, laki-laki itu membawa istrinya pergi begitu keluar dari RS.”
“Brengsek! Setan!” Nadine memaki keras. Seketika, kepalanya berdenyut menyakitkan. Tadinya, ia berniat untuk menagih biaya perbaikan pada Anto, begitu laki-laki itu kembali bekerja. Namun, siapa sangka Anto malah kabur.
“Kamu pasti pusing, ya? Semoga saja klienmu closing segera.”
Nadine mengangguk. Dari hati yang terdalam, ia ingin sekali agar sang klien menutup transaksi. Ia bisa mendapatkan komisi yang akan sangat membantunya melunasi hutang-hutang. Namun, ia masih harus bersabar untuk itu.
Sisa hari dihabiskan Nadine dengan mempelajari interior gedung dari Royal Garden City. Sebelumnya, ia memang sudah pernah membaca, hanya saja takut ada yang terlewat olehnya.
Pukul 5.30, ia memacu motornya meninggalkan kantor menuju alamat Dave. Ia tahu di mana letak kantor sang konglomerat, karena di Jakarta terhitung paling tinggi, keren, dan megah. Terlebih lokasinya berada di tempat paling strategis di ibukota. Mempertimbangkan kemacetan karena bersamaan dengan orang pulang bekerja, ia melajukan motornya melalui jalan kecil. Memang lebih lama tapi setidaknya tidak macet.
Satu jam kemudian, ia sampai di kantor Dave dan diantarkan resepsionis untuk bertemu Wildan.
Untuk sesaat ia tercengang, menatap laki-laki berjas abu-abu di hadapannya. Bertubuh ramping dengan wajah mulus tanpa janggut, Wildan lebih cocok jadi model dari pada seorang asisten.
“Nadine, mari ikut aku.”
Melangkah dengan grogi, Nadine mengikuti Wildan menyusuri lorong berkarpet. Kantor Dave terpisah dari pegawai yang lain. Laki-laki itu menempati satu suit besar sendirian, dengan meja asisten dan sekretaris berada di bagian depan.
Lorong menguarkan aroma citrus, Nadine menduga berasal dari pewangi udara yang menyemprot otomatis secara berkala.
Wildan membuka pintu menggunakan kartu lalu membiarkan Nadine melewatinya.
“Kamu tunggu di sini, Tuan Dave sebentar lagi datang.”
Nadine mengangguk dan mengenyakkan diri di sofa. Wildan menghilang ke balik pintu yang sepertinya menghubungkan dengan ruang dalam. Ia terpukau, saat melihat pemandangan kota dari tempat duduknya. Tidak tahan untuk melihat, Nadine bangkit dari sofa dan berdiri di depan kaca.
Pemandangan di hadapannya membuatnya terpukau. Gulita malam yang datang menyapa, membuat kota dalam keadaan temaram.
Sementara lampu-lampu neon menerangi gedung-gedung pencakar langit dan juga jalanan. Nadine mendongak, mencoba mencari kerlip bintang. Namun, sepertinya kalah terang oleh pendar cahaya lampu.
“Nadine.”
Teguran dari belakang membuatnya berjengit, ia menoleh dan menatap sosok Dave yang berdiri angkuh dengan Wilda di belakangnya. Seketika, tubuhnya gemetar. Entah kenapa, ia merasa takut berhadapan dengan laki-laki berkacamata itu.
“Tu-tuan, apa kabar?” sapanya terbata. “ma-maaf, saya belum ada uang untuk membayar ganti rugi kerusakan mobil Tuan.”
Tidak ada jawaban dari Dave. Laki-laki itu menatapnya tajam.
“Beri saya waktu, Tuan. Saya berharap closing sebelum akhir bulan dan komisi bisa untuk membayar hutang.”
Kata-kata Nadine menghilang ditelan udara. Ia membuka mulut lalu mengatupkannya kembali. Merasa malu karena Dave sama sekali tidak bereaksi atas kata-katanya. Bingung dan linglung, ia menunduk menekuri lantai berkarpet.
“Nadine, duduklah.”
Tanpa diminta dua kali, Nadine duduk di sofa. Disusul oleh Dave. Sedangkan Wilda berdiri tak jauh dari meja kerja Dave.
“Kamu wanita bayaran? Benar itu?”
Seperti ada bom yang meledak di kepalanya, Nadine tercengang hingga tak mampu bicara mendengar perkataan Dave. Ia berniat menyangkal tapi akhirnya paham jika tidak ada gunanya.
“Lebih tepatnya, wanita pendamping bayaran, Tuan.”
“Itu maksudku. Berapa tarifmu per jam?"
“Lima ratus ribu."
“Bisanya mereka menyewamu untuk menjadi pacar bohongan selama dua jam?”
“Minimal.”
Makin banyak yang ditanyakan Dave padanya, makin membuat Nadine bingung. Ia tidak tahu, apa maksud laki-laki itu bertanya soal pribadinya.
“Tuan, saya pastikan jika pekerjaan sampingan saya tidak akan merusak nama baik perusahaan. Karena saya melakukannya dengan baik dan saya tidak pernah tidur dengan klien saya.” Nadine berucap panik, mendadak ia takut kalau Dave akan melakukan sesuatu padanya.
Dave mengangkat sebelah alis. “Memangnya aku mengatakan apa padamu?”
Sadar telah salah menebak, Nadine menggeleng lemah.
Dave menatap wanita berambut merah di hadapannya. Meski terlihat percaya diri, tidak dapat dipungkiri kalau Nadine gugup. Berkali-kali wanita itu meremas ujung blus panjangnya yang kali ini berwarna biru. Pilihan warna pakaian Nadine terkadang membuatnya heran. Karena sama sekali tidak pas dengan rambutnya yang merah menyala.
“Aku ingin menyewamu secara ekslusif.”
Nadine tidak bereaksi, hanya menatap Dave tak berkedip.
“Sebutkan bayaran yang kamu minta, karena aku ingin tidak ada kebohongan atau karaguan antara kita. Kamu bersedia?”
Menggelengkan kepala, Nadine bertanya gugup. “Mak-maksud Tuan, ingin menyewa saya sebagai pendamping?”
“Iya, secara eklusif. Yang artinya, selama kerja untukku kamu dilarang menerima permintaan orang lain. Bisa dimengerti?”
Mengerti, Nadine merasa dirinya sangat mengerti perkataan Dave. Yang ia tidak mengerti adalah, kenapa laki-laki kaya itu memilihnya sebagai pendamping bayaran. Sedangkan di luar sana banyak wanita cantik untuk disewa. Dave bisa memilih artis atau foto model yang berkelas, kenapa harus dirinya yang bukan siapa-siapa.
“Kamu pasti bingung kenapa aku memilihmu?”
Nadine mengangguk. Tidak menyangka jika Dave akan tahu jalan pikirannya.
“Sederhana saja alasannya. Kamu sudah terbiasa bersandiwara di depan orang-orang jadi akan mudah melakukan ini denganku. Selain itu, ini adalah kesempatanmu untuk membayar hutang padaku. Bisa diterima?”
Menahan gugup, Nadine membasahi bibir bawah lalu mengangguk. “Saya mengerti, Tuan.”
“Kamu bersedia?”
“Iya, saya bersedia.”
“Bagus. Wildan akan mengurus kontraknya.”
Dalam diam Nadine menunggu, bagaimana sang asisten mengetik sesuat di laptop dan memperlihatkannya pada Dave. Keduanya berdiskusi pelan, membuatnya tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
Saat ini Nadine merasa perutnya bergolak. Tidak ada hubungannya dengan rasa sakit, hanya karena gugup dan tegang. Menjalin kerja sama sandiwara dengan seorang konglomerat bukanlah hal mudah. Jika bukan demi membayar hutang, ia tidak akan mau menerimanya selain karena takut tentu saja.
Tak lama, Wilda membawa beberapa lembar kertas dan menyerahkan padanya. Nadine menerima dengan bingung.
“Ini apa, Tuan?” tanyanya pada Dave.
Dave menatapnya tajam sambil menaikkan sebelah kaki ke atas lutut. “Hanya perjanjian biasa, Nadine. Semua untuk menghindari jika salah satu di antara kita berbuat curang. Seharusnya, sebagai seorang agen professional kamu tahu kalau surat semacam ini diperlukan sebelum kerja sama.”
Nadine menelan ludah, menunduk untuk membaca perjanjian di tangannya lalu membuka mulut.
“Saya disewa untuk tiga bulan?”
“Iya, secara eksklusif. Kamu masih menerima bayaran setelah dipotong hutang-hutangmu. Oh, ada kwitansi dari bengkel kalau kamu minta.”
“Nggak perlu, Tuan. Saya percaya sepenuhnya.”
“Harus, karena tidak mungkin aku menipumu. Tidak ada gunanya bagiku, Nadine.”
Cara Dave mengucapkan namanya, membuat bulu kuduk Nadine meremang. Ia seperti mendengar suara dari seorang jendral jaman dulu yang sedang menegur bawahannya. Sang jendral ganas yang siap menebas leher jika ia memberontak.
Memikirkannya membuat Nadine begidik.
“Baiklah, saya setuju. Di mana saya harus tanda tangan?”
Wilda datang dan menunjuk satu tempat bermaterai. Dengan tangan sedikit gemetar, Nadine membubuhkan tanda tangannya di sana. Ia tidak tahu apa yang menimpanya kelak. Yang pasti, berpura-pura menjadi pasangan Dave bukanlah hal yang mudah.
“Apa ada request special untuk saya, Tuan?”
Dave mengamati Nadine, lalu mempertimbangkan sesuatu.
“Tidak ada, jadilah dirimu sendiri. Pesta pertama malam Minggu ini. Berikan alamatmu dan Wildan akan menjemput pukul tujuh malam.”
Nadine mengangguk. “Baik, Tuan.”
“Keluar dari sini, kamu akan bertemu dengan sekretarisku. Ikutlah dengannya ke butik. Ada di lantai dasar gedung ini.”
“Untuk apa, Tuan?” tanya Nadine heran. “saya punya banyak gaun.”
Dave berdecak, menatap Nadine dan mengamati tubuh wanita itu dari atas ke bawah dengan terang-terangan.
“Kamu pikir, pasangan dari seorang Dave Leandra memakai gaun sembarangan? Mereka bahkan akan mengecek apa label gaun, sepatu, hingga perhiasan yang kamu pakai beserta harganya.”
Belum apa-apa, Nadine sudah dibuat pusing. Pertama kalinya ia menyamar menjadi pasangan orang lain melalu proses yang sedemikian rumit. Ia tidak pernah menerima klien high class seperti Dave. Perkataan laki-laki itu membuatnya takut.
“Tidak usah pusing soal uang dan pembayaran gaun-gaun itu. Semua aku yang mengurus. Kamu hanya tinggal memakainya.”
Nadine mengangguk. “Baiklah, Tuan.”
“Dress code, sexy and elegan in black. Paham?”
“Iya, Tuan.”
“Aku akan meninggalkanmu dengan Wildan untuk berdiskusi tentang kita. Jelaskan secara lengkap, hobi, pekerjaa, latar belakang pendidikanmu, dan juga makanan kesukaan. Aku ingin kita bertukar informasi sebelum datang sebagai pasangan.”
Menghela napas panjang, Nadine mengangguk lemah.
“Satu lagi, Nadine. Dan, ini harus kita taati.” Dave menatap wanita berambut merah yang menunduk di hadapannya. Menimbang sejenak sebelum bicara. “Urusan kita murni professional. Dilarang menggunakan hati.”
Malam itu, Nadine keluar dari kantor Dave dengan perasaan berkecamuk. Antara bingung dan tidak percaya. Meski, terselip juga rasa takut. Di sisi lain ia senang, karena perjanjiannya dengan Dave akan mampu melunasi hutangnya pada laki-laki itu. Namun, jauh di lubuk hatinya ia tahu, jika ia sedang bermain dengan api dan siap dihanguskan kapan pun Dave mengingkannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro