Bab.1a
Seorang wanita dengan gaun silver yang melekat di tubuh, berdiri menatap keramaian di depannya. Rambutnya hitam panjang hingga nyaris sampai pinggang, dengan mata tajam berbentuk almond.Tangan kanan memegang minuman dengan tangan kiri menggosok permukaan gaunnya yang licin. Sesekali ia tersenyum pada laki-laki yang melewatinya dan membalas kerlingan mereka. Inilah perannya sekarang, sebagai wanita pendamping sewaan. Malam ini ia dituntut menjadi penggoda, dan sekarang sedang dilakukannya.
Pesta yang sekarang ia hadiri, dilakukan di samping kolam renang dengan tata lampu dan dekorasi megah. Namun terkesan kekeluargaan. Yang mengadakan pesta adalah orang berada, itu tidak bisa dipungkiri dari bentuk rumah mereka yang megah, tinggi menjulang di atas tanah yang sangat luas.
Sebenarnya, ia sedang gugup dan berusaha mengatasi kegugupannya dengan minum. Ia tidak tahu apakah minuman di tangannya mengandung soda atau tidak, tapi yang pasti mampu menyegarkan tenggorokan. Sebisa mungkin ia menghindari alkohol karena harus tetap dalam keadaan waras saat bekerja.
Saat ia sedang mengamati bunga mawar ungu yang dirangkai dan menggantung di pohon, tanpa sengaja matanya berserobok dengan seorang laki-laki berkacamata.Laki-laki itu berdiri tepat di bawah pohon dengan rangkaian mawar ungu menjuntai nyaris mengenai wajahnya. Di bawah temaram lampu, siluet laki-laki itu terlihat memesona. Laki-laki itu menatapnya. Mereka saling memandang sebelum ia memalingkan wajah. Ada yang aneh dengan laki-laki itu, entah apa. Bisa jadi karena sosoknya yang menonjol dengan wajah tampan. Ia tidak mengerti.
“Nadine, kamu kenapa diam di sini?”
Seorang laki-laki pertengahan tiga puluhan dengan kepala botak dan tubuh subur mendatanginya. Laki-laki itu mengulurkan tangan untuk menyentuh lengannya dan ditepis oleh Nadine.
“Jangan sembarangan menyentuhku, Rama,” desis Nadine.
“Hanya lengan, Nadine. Bukan hal lain. Ayo, sudah ada Safira di sana. Ingat, kamu harus membuatku putus dengannya.”
Nadine mengamati laki-laki di depannya. “Perasaan, aku hanya dibayar untuk menemanimu datang ke pesta. Bukan untuk hal lain. Kenapa jadi ada masalah putus hubungan?”
Rama menggaruk kepalanya lalu mendesah. Ia mengedarkan pandangan dengan gugup ke arah orang-orang di sekeliling. Ia membuka mulut dan kembali mengatupkannya saat terdengar gesekan biola yang memainkan nada-nada indah.
“Please, Nadine. Aku akan membayarmu 3 kali lipat asalkan kamu membantuku sekarang.”
“Tiga kali lipat?” tegas Nadine.
“Iya, plus bonus. Asalkan kamu buat wanita itu menjauhiku. Please ….”
Menimbang sejenak, Nadine terdiam untuk memikirkan permintaan laki-laki di depannya. Ia dibayar cukup mahal untuk menemani Rama datang ke pesta ini. Dan, akan mendapat bayaran 3 kali lipat beserta bonus jika ia melakukan permintaan laki-laki itu. Uang, ia sangat membutuhkannya. Namun, ia tahu pasti resikonya tidak kecil.
“Please, Nadine. Sekali ini saja.”
Terdiam beberapa saat, Nadine menghela napas lalu mengangguk. “Baiklah, tapi ingat! Tepati janjimu, Rama.”
Rama memandangnya dengan wajah semringah. “Pasti, aku akan menstranfer segera setelah selesai.”
“Bukan ke rekening Anina tapi ke rekeningku langsung.”
“Okee, no problem. “
Nadine mendengarkan dengan seksama, rencana yang dituturkan Rama. Ia mengangguk lalu mengikuti laki-laki itu. Ia tidak tahu, jika gerakannya tidak luput dari perhatian laki-laki berkacamata di bawah gazebo bunga.
Wanita cantik dan provokatif, Dave menatap kepergian wanita bergaun silver yang sedari tadi ia perhatikan. Ia tidak tahu, apakah gaun silver yang membuat wanita itu terlihat menonjol di antara semua wanita yang hadir di pesta, ataukah karena mata almond wanita itu yang terlihat menggoda? Seingatnya, tidak pernah sekalipun ia tertarik untuk menatap wanita dengan gaun sexy di pesta lebih dari beberapa detik. Namun, entah kenapa kali ini ia tidak dapat mengalihkan pandangannya.
Ia jenuh berada di sebuah pesta, malam ini pun sama. Hanya demi sebuah persahabatan dengan tuan rumah, ia bersedia datang. Meski begitu, ia sudah tidak sabar untuk pamit pulang. Meski begitu, ia tetap berusaha ramah dengan menanggapi pembicaraan orang-orang di sekitarnya. Ia sengaja datang sendiri tanpa asisten pribadinya, karena berpikir tidak akan tinggal lama di pesta.
“Tuan Dave Leander?”
Sebuah teguran mengagetkan Dave.
“Perkenalkan, saya Tomi dari Kyoto Bank Group. Kita pernah bertemu sebelumnya.”
Dave mengulum senyum, lalu mengulurkan tangan. “Senang mengenal Anda, Tuan. Tidak menyangka kita bertemu di pesta ini.”
Laki-laki bernama Tomi tertawa lirih. “Iya, saya jarang sekali datang ke pesta seperti ini. Kurang suka. Ini karena tuan rumah adalah sepupu saya.”
“Tuan Tjokro?”
“Betul sekali. Ini adalah pesta ulang tahun anaknya, dia akan marah kalau saya tidak datang.”
“Saya pun begitu. Dipaksa untuk datang ke pesta ini.”
“Hahaha. Karena bernasib sama, bagaimana kalau kita cari tempat untuk minum dan berbincang?”
“Dengan senang hati.”
Keduanya bercakap-cakap dengan ramah. Kedatangan Tomi mengalihkan pikiran Dave dari wanita bergaun silver. Senang rasanya, bisa berbincang dengan seseorang yang membuatnya keluar dari rasa bosan.
Nadine melangkah dengan was-was menuju sekelompok wanita yang berdiri di dekat kolam. Ada tuan rumah pesta-seorang wanita yang sedang berulang tahun hari ini-berada di antara mereka. Ia mendesah dalam hati, menyesali keputusannya untuk membantu Rama. Ia tahu, rencana mereka akan sulit kali ini.
“Safira yang bergaun kuning. Lakukan tugasmu dengan baik,” bisik Rama. “Dan, harusnya kamu membiarkan aku menggandengmu, Nadine. Agar lebih meyakinkan.”
“Baiklah, hanya menggandeng.”
Rama mengangguk riang. Tangannya terulur ke lengan Nadine dan setengah menyeret gadis itu menuju para wanita yang berkumpul di pinggir kolam.
“Halo, selamat malam!” Rama menyapa dengan suara keras. “Selamat ulang tahu, Andrea.”
Andrea, wanita yang berulang tahun malam ini menatap Rama dengan bingung. “Bukannya kamu sudah memberi ucapan tadi? Kenapa diulang?”
“Dua kali biar lebih afdol.” Rama meringis, mengedarkan pandangan dan kali ini menatap wanita bergaun kuning. “Apa kabar, Safira?”
“Siapa dia?” tanya Safira ketus sambil menunjuk Nadine. “Dapat dari mana kamu wanita seperti itu?”
Nadine yang sedari tadi terdiam, mencoba menahan sabar saat mendengar pertanyaan Safira. Ia tahu, ketenangannya sedang diuji.
“Ah, dia ini kekasihku,” ucap Rama dengan tangan mengelus lengan Nadine. Jika tidak ingat tentang pembayaran 3 kali lipat dan bonus, ingin rasanya Nadine menepis tangan laki-laki itu.
Safira melangkah maju, menatap bergantian ke arah Rama dan Nadine. “Kekasihmu? Jadi begitu? Kamu meninggalkanku untuk mendapatkan wanita murahan ini?”
“Hei, dia bukan wanita seperti itu!” tukas Rama.
“Tolong jaga mulutmu.” Nadine yang tidak tahan dihina, menyela dengan pelan.
Safira berkacak-pinggang, tersenyum mencemooh ke arah Nadine.”Kenapa? Nggak suka? Kalau bukan murahan lalu apa namanya bagi wanita yang merebut pacar orang! Hah!”
Nadine mengibaskan rambut dan melempar senyum manis. “Pacar orang yang tidak lagi ingin berpacaran dengan pacarnya. Itu maksudmu?”
“Apaaa?” Safira melotot.
“Dalam arti kata, kamu harusnya tahu diri. Rama memilihku.”
Safira mengentakkan kaki ke lantai, mengangkat tangan dan bersiap mencakar.
“Sabar, Safira. Jangan mempermalukan diri.” Andrea, sang tuan rumah maju untuk menenangkan sahabatnya. “Tahan emosi.”
Saat wanita itu bicara, pandangannya mengarah pada Nadine dengan tatapan tajam. Ia mengamati penampilan Nadine dari atas ke bawah dengan menilai. Lalu, tersenyum kecil.
“Dia, hanya cantik. Itu saja, Safira. Yang lain jelas kalah sama kamu.”
Ucapan Andrea diberi anggukan setuju oleh teman-temannya yang kini berada di sekeliling mereka. Nadine menahan diri untuk tidak memukul.
“Entah apa yang kamu lihat dari wanita ini, Rama. Tapi, dia memang kalangan rendah. Kamu pikir kami nggak bisa mengenali jenis gaun yang dipakai?” Safira berucap mencemooh.
“Maaf, aku cinta dia.” Rama berucap dengan mimik sendu yang dibuat-buat.
“Laki-laki tak tahu diuntung! Sudah bagus aku suka sama kamu.” Safira menghardik emosi. “Kamu pikir wanita ini mau sama kamu yang gembrot itu kalau bukan karena uangmu?!”
Rama mengangkat bahu. “Semua wanita sama, hanya memandang uangku. Termasuk kamu,” ucapnya pelan.
“Nggak, kamu salah paham, Rama. Aku tulus.”
“Kamu mengekang, Safira.”
Nadine mendengarkan perdebatan mereka dengan bosan. Ia ingin secepatnya pergi dari kerumunan ini karena tidak enak menjadi obyek ingin tahu dari para tamu yang lain. Terlebih, para wanita termasuk Andrea kini mulai mendekat dan mengerubunginya.
“Senang kamu sekarang? Dasar wanita murahan!” bisik Andrea sengit.
Bersikap seakan tak peduli, meski hatinya terasa sakit, Nadine tersenyum simpul. “Itu urusan mereka. Nggak ada sangkut pautnya denganku. Lagi pula, laki-laki sudah nggak mau bersama lagi, untuk apa ditahan?”
“Kamuu!” Andrea menunjuk wajah Nadine dengan geram. “Datang ke pestaku hanya untuk membuat kacau?”
“Kalian yang memulai.”
“Masih membantah?”
“Aku hanya mengutarakan pendapat.”
Nadine terkesiap, saat Safira menyiramnya dengan minuman. Seketika, wajah dan tubuhnya basah oleh cairan yang lengket. Tangannya terkepal untuk menguatkan diri agar tidak menghajar wanita-wanita sombong di depannya.
“Safira, apa-apaan kamu?” teriak Rama kaget. Laki-laki itu menatap Nadine dengan pandangan iba, meraih beberapa lembar tisu dan berniat membantu Nadine mengelap tubuh. Namun, tangannya ditepiskan oleh Nadine.
“Rasakan itu, Sundal! Aku bisa melakukan yang lebih dari ini kalau kamu menggangguku,” bisik Safira dengan mata melotot.
Nadine berdecak, meraba rambut dan gaunnya yang basah. Sudah cukup ia dipermalukan malam ini. Jika tidak ingat tentang uang, ingin rasanya mengayunkan tinju dan membuat para wanita di sekelilingnya babak belur. Terutama Safira.
“Kelakuanmu sungguh bar-bar! Tidak pantas kamu disebut wanita berkelas. Aku yakin, mamiku pasti setuju denganku untuk memutuskan hubungan kita melihat kelakuanmu!” sembur Rama dengan nada marah.
Safira shock dan menggeleng. “Rama, semua kulakukan untukmu. Jangan salah paham.” Tangannya terulur untuk meraih lengan Rama tapi laki-laki itu berkelit.
“Cukup sudah hubungan kita! Jangan lagi menghubungiku!”
Mengabaikan Nadine yang berdiri kebasahan, Rama berlalu dengan Safira mengekor di belakangnya.
“Wanita rendahan! Perusak hubungan orang!” desis Andrea. Wanita itu pun berlalu diiringin teman-temannya. Meninggalkan Nadine berdiri gemetar, merasa malu dan direndahkan. Dalam keadaan bingung, ia menyabet gelas berisi minuman yang dibawa pramusaji. Tanpa bertanya apa isinya, ia meneguk dan menandaskannya. Ia butuh minum untuk menenangkan diri, demi menghindari pandangan orang-orang. Ia tahu, kini sedang menjadi pusat perhatian.
Entah kenapa, perutnya bergolak tidak enak. Anehnya, tubuhnya terasa ringan. Melangkah gontai, dengan kepala sedikit pusing. Nadine berniat mencari pintu keluar. Ia menyibak para tamu yang memandangnya ingin tahu, melangkah tak tentu arah hingga membentur tubuh yang kokoh.
“Hati-hati kamu.”
Ia mendongak dan menatap laki-laki berkacamata yang kini memeluknya. Tanpa sadar, senyum merekah di mulutnya.
“Kamu baik-baik saja? Kenapa basah semua?” tegur laki-laki itu.
Nadine tidak menjawab, perasaan aneh merasukinya. Bercampur antara senang tapi juga malu secara bersamaan. Dengan enteng, ia mengalungkan lengannya pada laki-laki itu dan berucap serak.
“Anda tampan sekali, Tuan.”
Dave mengernyit, berusaha melepaskan pelukan wanita mabuk di hadapannya tapi susah dilakukan tanpa sedikit paksaan.
“Lepaskan pelukanmu,” ucapnya lembut.
“Kalau aku nggak mau kenapa?” Nadine terkikik, menatap bagian samping tubuh Dave lalu menunjuk. “Ah, di situ rupanya pintu keluar.”
“Kamu mau pulang?”
Nadine mengangguk. “Iya, membosankan di sini.”
“Hati-hati kalau begitu, nanti tercebur ke kolam.”
Entah apa yang lucu, Nadine terkikik. “Masih mending tercebur di kolam. Dari pada tercebur dalam kubangan malu?”
Dave mengamati lekat-lekat wanita yang sepertinya setengah mabuk. “Di mana pacarmu? Kenapa tidak bersamanya?”
“Nggak, aku nggak punya pacar. Aku jomlo sejati!” bisik Nadine dengan tubuh menempel erat pada Dave.
Menimbang sesaat, akhirnya Dave berucap pelan.“Ayo, aku antar. Sepertinya kamu mabuk.”
“Aih, baiknya Anda.”
Nadine melepaskan pelukannya dan membiarkan Dave menuntun tubuhnya. Ia tidak tahu apakah laki-laki yang sekarang menggandengnya baik atau tidak. Yang ia inginkan hanya keluar dari pesta yang terasa seperti neraka. Ia menurut, saat laki-laki berkacamata itu mendudukkannya di bagian depan mobil dan membawanya melaju di jalan raya yang lengang.
“Di mana rumahmu?” tanya Dave.
“Jalan Cempaka, Jakarta Pusat,” jawan Nadine dengan pandangan linglung. Ia menyebut alamat dengan lengkap lalu menyandarkan tubuh dan memejam. Namun, ia cukup sadar untuk tidak jatuh tidur.
Selama perjalanan, tidak ada percakapan di antara mereka. Hingga setengah jam kemudian, mereka tiba di ujung gang yang sepi.
“Ini gang menuju rumahmu?” tanya Dave.
Nadine membuka mata lalu mengangguk. “Iya, itu rumahku. Pasti mobil mewahmu nggak muat masuk ke dalam,’kan?” kikinya geli. Ia membuka sabuk pengaman lalu duduk tegak menghadap ke arah Dave. “ijinkan aku memberimu hadiah sebagai ucapan terima kasih, Tuan.”
Dave menoleh. “Hadiah apa?”
“Sesuatu yang mengasyikkan.” Nadine terkikik lalu menggeser tubuhnya mendekat ke arah Dave. Tanpa diduga, ia meraih bagian belakang kepala Dave dan melancarkan kecupan.
“Hei, apa-apaan!” Dave memprotes dan tak lama, Nadine melumat bibirnya. Seharusnya ia menolak, semestinya ia menjauhkan bibir wanita itu dari bibirnya. Namun, kelembutan dan rasa bibir wanita berbaju silver itu menggugah hatinya. Ia membiarkan, mulutnya disergap dalam satu ciuman yang panas dan tanpa sadar mereka akhirnya saling melumat. Suara erangan manja keluar dari mulut Nadine saat lidah mereka bertautan. Dave lupa diri, menabur gairah bersama wanita yang tidak dikenalnya.
.
.
Tersedia di Google Playbook dan Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro