Bab 11a
Nadine mengerjap, menyesuikan pandangan dengan penerangan kamar. Ia menyadari sekarang ada di kamanya sendiri, hanya saja ada yang berbeda. Tubuhnya telanjang di balik selimut dan saat menoleh ke samping, ada sosok Dave yang tertidur.
Mengedip tak percaya, Nadine menatap Dave dalam diam lalu membuka selimut dan mengamati tubuhnya yang telanjang. Samar-samar ia sadar apa yang terjadi dan detik itu juga merasa kalut. Saat hendak bangkit dari ranjang, sebuah tangan yang kokoh menahannya.
“Mau ke mana kamu?” Suara Dave terdengar serak.
“Tu-tuan,” ucap Nadine gugup. “Sa-saya.” Perkataannya tertelan kembali dalam tenggorokan.
Dave bergerak dan kini merengkuhnya dalam pelukan. “Ingat apa yang terjadi semalam?”
Mengangguk malu, Nadine berucap ‘iya’ tanpa kata. Bagaimana ia bisa lupa sedangkan kehangatan sisa semalam masih membekas di tubuhnya.
“Menyesal?”
Nadine terbelalak, bagaimana mungkin ia menyesali diri untuk satu malam kebersamaannya bersama Dave. Meski terpengaruh alkohol tapi semua terjadi atas keinginannya sendiri.
“Tidak, Tuan,” jawabnya lemah.
Dave tersenyum, menyibak selimut yang menutupi tubuh mereka. Tangannya bergerak ke arah dada Nadine dan meremasnya lembut.
“Bagus, karena aku belum puas untuk membuktikan aku bukan gay.”
“Tuaaan.”
Nadine mendesah
, saat Dave kembali menindihnya. Tangan laki-laki itu bergerak dari dada turun ke area intim dan membelai di sana. Saat ia mendesah, bibir mereka bertautan dan sekali lagi keduanya berbaur dalam gairah. Kali ini, Nadine bisa menikmati setiap momen yang tercipta antara dirinya dan Dave. Ia membelai punggung yang kokoh, pinggul yang bergerak keluar masuk di dalam dirinya dan desah napas mereka yang seirama. Kali ini, ia benar-benar menikmati saat Dave mencapai puncak dan terjatuh dalam pelukannya.
Kebersamaan mereka tidak selesai saat pagi menjelang. Nadine yang ijin mandi pun tidak bisa sendirian karena Dave mengikuti. Lagi-lagi, keduanya bergulat di bawah shower air hangat.
Sarapan dilakukan di dalam kamar, dan untuk hari itu Dave mematikan ponselnya hingga siang menjelang.
“Apa kamu puas sekarang?” tanya Dave pada Nadine yang sedang menyisir rambut.
“Puas kenapa Tuan?”
“Membuktikan aku bukan gay.”
Kali ini Nadine menunduk malu. Ia meletakkan sisir di meja dan menghampiri Dave yang duduk bersandar di ranjang.
“Saya hanya menyampaikan apa yang saya dengar, Tuan.”
“Lalu, kamu percaya begitu saja?”
Nadine menunduk. “Maaf, soal itu.”
Dave membuka pelukkannya. “Sini, biar aku ceritakan sesuatu.”
Menyingkirkan rasa malu, Nadine naik ke atas ranjang dan menyelusup masuk ke dalam dekapan Dave yang hangat. Ia merebahkan kepalanya di bahu laki-laki itu dan bersiap mendengarkan apa pun yang dikatakan Dave.
“Pertama aku katakan, aku bukan gay. Aku normal dan masih suka dengan tubuh wanita. Kamu sudah membuktikan tadi malam dan pagi, sekitar lima kali.”
“Ah, bisa tidak itu nggak disebut!” sela Nadine dengan wajah memerah.
“Oh, sekadar untuk penegasan.”
“Iya, baik Tuan. Anda hebaat.”
Dave tidak dapat menahan tawa. Ia mengecup puncak kepala Nadine dan melanjutkan ceritanya.
“Aku pernah punya kekasih duluu.”
Nadine menahan napas. Tangan meraih Dave dan jemari mereka bertautan.
“Kami menjalin hubungan selama tiga tahun lamanya. Dialah yang mendampingiku saat aku sedang merintis karir hingga ke posisi sekarang. Dia adik kelasku di kampus saat di Amerika.”
Dave menarik napas panjang, berusaha menggalin ingatan tentang satu wanita yang terkubur dalam hatinya. Sosok yang tak pernah ia lupakan , meski sudah bertahun lamanya.
“Ternyata, dia sakit dan menyembunyikannya dariku. Dengan alasan ingin berlibur, dia pergi ke German. Siapa sangka di sana dia ingin berobat. Hampir setengah tahun dia pergi, dan saat aku ingin menyusul dia melarang. Pada akhirnya, orang tuanya menyuruh datang saat dia sudah terbaring sekarat.”
Nadine merenung, memahami kesedihan yang terdengar dari suara Dave yang sendu. Ia mencoba tersenyum, dan menahan agar matanya tidak memanas karena tangis.
“Aku menunggunya di sana selama beberapa hari, hingga hari ketujuh dia pergi.”
Dave terdiam, menunduk dalam kesedihan yang coba ia samarkan. Sementara Nadine di dalam pelukannya mengusap mata.
“Namanya Clarina, wanita cantik dan lembut. Pada siapa aku ingin menikah. Harapan kami musnah dan bisa dibilang, hatiku terbawa pergi bersama sosoknya yang terkubur di tanah.”
Suara Dave menghilang bersama tarikan napasnya. Nadine mendekap laki-laki itu lebih erat dan mencoba menghibur dengan pelukan. Ia tahu, tidak banyak yang bisa ia perbuat demi menghilangkan kesedihan Dave. Setidaknya, ia punya harapan dengan bercerita akan mengurangi beban kesedihan laki-laki itu.
“Dia sudah tenang, Tuan. Setidaknya terbebas dari rasa sakit.”
Dave berdehem, menghilangkan tenggorokannya yang tercekat. Selalu seperti ini, saat ia bicara tentang Clarina, hatinya tidak pernah baik-baik saja. Kenangan mereka begitu membekas di hati. Hanya Clarina satu satunya wanita yang ingin dia nikahi.
Selesai bicara tentang Clarina, Dave melanjutkan ceritanya tentang keluarga besarnya. Tentang sang mama yang meninggal saat dia masih kecil dan papanya menikah lagi dengan Giska. Karena mama tirinya tidak pernah suka padanya, dengan terpaksa ia diasuh oleh sang nenek.
“Itukah kenapa Anda begitu dekat dengan grandma?”
“Iya, dia pengganti sosok mamaku.”
“Kenapa Nyonya Giska tidak menyukaimu? Aku yakin dari kecil Anda seorang yang rajin dan penurut.”
“Benarkah?” Dave tersenyum mendengar sanjungan Nadine. “Hidupku memang serius. Setiap hari yang aku lakukan hanya belajar dan belajar. Saat usiaku menginjak 17 tahun, aku bahkan membantu Papa mengelola perusahaan. Semakin rajin diriku, semakin tidak suka mama tiriku. Tahu kenapa? Karena tidak satu pun anak kandungnya suka bekerja.”
“Maksudnya? Evan dan Stella?”
“Iya, Evan dari dulu suka main, dugem, pacaran, dan membuat Papa naik darah. Dia mulai berubah setelah Papa terkena serangan jantung dan dia berpikir ingin punya uang sendiri. Stella, kamu lihat sendiri dia masih muda dan tidak mau terikat jabatan. Dia lebih tertarik di bidang kecantikan setahuku.”
“Memang.”
“Itulah, yang membuat mama tiriku tidak suka denganku.”
“Mungkin, takut soal warisan.”
Dave mengangguk. “Bisa jadi.”
Keduanya bercakap hingga makan siang tiba. Kali ini, keduanya turun untuk makan karena Wildan mengatakan akan datang.
Saat sang asiten muncul di ruang makan dan melihat Dave serta Nadine duduk berdampingan dan bicara akrab, raut muka Wilda tidak berubah. Rupanya, ia sudah terbiasa melihat perubahan apa pun itu dari sang boss. Termasuk sekarang, kehadiran Nadine.
Selesai makan siang, Dave berpamitan untuk bicara dengan Wildan di ruang kerja. Nadine memutuskan untuk pergi menemui sang nenek. Sudah beberapa hari ia tidak menjenguk dan rasa rindu menguasai hatinya.
Dave menawarkan naik mobil. Awalnya Nadine menolak. Ia tidak ingin menambah masalah keluarga Kurnia melihat kedatangannya dengan mobil mewah. Namun, setelah merasakan sedikit nyeri di pangkal paha yang menandakan, ia tidak akan nyaman menaiki motor, akhirnya ia bersedia diantar oleh sopir.
Kendaraan melaju mulus menembus jalan raya, Nadine terkagum-kagum dengan suara mesin halus. Rupanya, menjadi orang kaya dan menaiki mobil mewah adalah sebuah kesenangan. Tidak ingin membuat keonaran di rumah sang bibi, ia ke bengkel Prima lebih dulu. Sudah lama ia tidak berjumpa dengan sahabatnya.
Saat mendapatinya turun dari mobil mewah, Prima berteriak kaget.“Kemana aja Nyonyaaa, lama banget nggak mampir.” Laki-laki itu menatap mobil tak berkedip lalu pada sopir di belakang kemudi. “kamu benar-benar punya sugar daddy?”
Nadine tergelak. “Tidaklah, ini mobil boss. Kebetulan saja aku pinjam.”
“Keren amat, ya boss kamu.”
“Begitulah, orang kaya tujuh turunan yang duitnya nggak ada habisnya.”
“Susah yang mainnya duit. Apalah aku yang hanya ngutak-atik mesin.”
“Itu juga duit! Nggak usah nyindir deh!”
Keduanya berpandangan lalu tawa meledak dari mulut mereka. Nadine mentraktir Prima makan mie ayam dan mereka mengobrol akrab untuk beberapa saat. Nadine bertanya tentang motor baru yang ingin dibeli dan meminta pendapat Prima.
Satu jam kemudian, diantar oleh Prima, Nadine tiba di rumah Kurnia. Prima menolak masuk dan mengatakan akan menunggu di ujung gang. Di dalam kamar ia mendapati sang nenek dijaga oleh Mariska.
“Kak, sepertinya Nenek rindu.”
Nadine tersenyum, duduk di samping sang nenek dan mulai berbicara lirih. Ia mengecup tangan keriput yang dulu selalu memberinya kasih sayang. Ada rasa rindu ia rasakan, tentang kehangatan dekapan sang nenek.
“Doakan Nadine bisa melunasi utang segera, ya, Nek. Lalu, bisa nabung. Nanti kita tinggak bersama.”
Tidak peduli berapa banyak yang ia katakan, sang nenek tetap tertidur. Setelah bicara beberapa saat, ia menyerah. Melihat keadaan sang nenek, tekadnya untuk menabung makin kuat. Ia yakin, akan menerima sisa gaji dari Dave jika melakukan pekerjaannya dengan baik dan menabung dalam waktu dekat.
“Mariska, ini kamu pegang. Buat jajan kamu sama Nenek.”
Nadine mengulurkan beberapa lembar uang pada gadis di depannya.
“Buat apa, Kak?”
“Untuk jajan. Ambil, dan aku nitip Nenek, ya?”
Ia tetap menyodorkan uang meski Mariska menolak. Setelah gadis itu menerima, ia bergegas pergi. Tidak ingin berlama-lama dan bertemu Kurnia atau Aji. Namun, harapannya musnah saat di halaman kepergok oleh sang bibi. Terlambat baginya untuk menghindari wanita itu.
“Eh, orang nggak tahu diri. Bisa, ya, kamu nggak datang berhari-hari. Mana uang jatah?!”
Nadine menoleh sekedarnya lalu mengangkat bahu.
“Berani-beraninya kamu mengabaikanku!”
“Uang sudah aku kasih Mariska,” jawab Nadine malas.
“Halah, paling juga sedikit. Nggak cukup!”
“Terserah, sih, tapi hanya itu yang bisa aku kasih. Utang warung, biar aku totalan sendiri.”
“Kamuuu! Bisa-bisanya membantahku.”
Nadine tersenyum. “Aku bukan lagi gadis kecil yang bisa dibentak dan dimaki semaunya. Masa sudah berlalu, Bi. Asal kamu tahu, kalau uangku cukup akan kubawa Nenek pergi dari sini!”
Tidak memedulikan Kurnia yang terperangah, Nadine melangkah cepat ke ujung gang di mana Prima menunggunya. Ia bisa mendengar teriakan Kurnia yang ditujukan padanya. Ia tidak peduli, yang penting sudah bisa melihat nenek.
Senja datang temaran, saat mobil yang dinaikinya memasuki gerbang tinggi. Pemandagan terlihat indah di halaman rumah Dave yang besar. Sopir menghentikan mobil di halaman, ia turun dan berdiri di dekat undakan lalu mendongak pada langit yang temaram. Saat ini, di sinilah rumahnya. Ada seorang laki-laki di dalam yang telah menambat hatinya. Nadine meraba dadanya yang berdebar saat mengingat Dave. Ia sadari, kalau sudah terjatuh dalam pesona Dave dan berharap laki-laki itu juga merasakan hal yang sama.
**
Momen baper dimulai❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro