Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10a

#Skandal_Cinta_Sang_Konglomerat
#Bab_10a

**

Selesai menyantap hidangan, para anggota keluarga masing-masing menyebar ke meja yang lebih kecil untuk berbincang atau berdiskusi. Dave terlibat obrolan serius dengan beberapa kerabat. Nadine yang tidak ingin menganggu, melangkah ke teras restoran. Ia menyandarkan tubuh pada pagar teras. Dari tempatnya berdiri, menampakkan pemandangan kolam renang hotel yang dibentuk serupa hutan kecil.

“Gaunmu bagus, Kak Dave yang beli?”

Suara teguran mengagetkannya. Nadine menoleh, menatap gadis cantik yang ia ketahui sebagai adik Dave. Gadis yang setiap kali pertemuan selalu pendiam, dan terlihat cuek serta tidak pernah lepas dari sisi mamanya.

“Memang, ini Kak Dave yang beli, Bagus,’kan?”
Nadine mencoba bersikap senetral mungkin dalam menjaga bicaranya.

“Uhm, aku tahu itu rancangan siapa. Paul Roff, salah satu perancang hebat yang saat ini berdomisili di Bali.”

Nadine yang tidak mengerti dengan ucapan gadis itu tentang nama designer, hanya tersenyum. Ia terdiam, tidak ingin salah bicara.

“Kamu pacar Kak Dave atau hanya sekadar teman kencan?”

Kali ini Nadine mengernyit, menatap penampilan gadis di sampingnya dari ujung rambut sampai ujung kepala lalu tersenyum. “Kamu suka boyband Exo?”

Pertanyaan Nadine membuat gadis itu kaget. “Kok tahu?”

Nadine menunjuk pada gantungan kunci yang tersemat di tas kecil yang dibawa. Ia tahu, gantungan itu tidak murah karena terbuat dari perak asli.

“Ah, ya. Aku suka Exo.” Gadis itu menoleh ke dalam restoran lalu berucap. “Jangan katakan ini pada siapa pun, please.”

“Hahaha. Santai. Aku pribadi juga suka Exo.”

Gadis itu tersenyum. “Namaku Stella.”

“Hai, Stella. Aku Nadine. Caramu menguncir rambut itu bagus, siapa yang melakukan? Penata rias?”

“Bukan, aku sendiri yang melakukan.”

“Keren, kok bisa, sih?”

Stella berdiri dekat dengan Nadine. Ia menatap wanita cantik berambut merah yang terlihat mengagumi rambutnya. Sepertinya benar-benar sebuah kekaguman yang tulus, karena Nadine bertanya sangat detil tentang itu.

“Kamu mau ubah gaya rambut?” tanya Stella tiba-tiba.

“Eh, bisakah?” Nadine kaget.

“Bisa, tetap warna merah tapi beda merahnya. Aku punya warna yang bagus untukmu.”

“Aku mauu, tentu sajaa.”

Keduanya terus bicara tentang rambut, dan sesekali diselingi tentang Exo. Baru kali ini, Nadine merasa tidak tertekan saat berada dalam lingkungan keluarga Dave. Ternyata, meski mereka punya orang tua yang kaku dan tegas, tapi semua anak-anaknya baik dan ramah. Bukan hanya Evan juga Stella. Nadine merasa punya saudara perempuan yang tidak dimilikinya. Meski ada Mariska, anak dari Kurnia tapi gadis itu terlalu menurut dengan sang ibu. Jadi, tidak pernah ada kesempatan untuk mereka mengobrol akrab.

“Menurutku kamu keren,” puji Stella.

“Kenapa?”

“Bisa meluluhkan hati Kak Dave. Tadinya, setelah kejadian tiga tahun lalu, dia tidak berniat lagi menjalin hubungan dengan wanita. Ternyata salah. Kamu memikatnya.”

Nadine terdiam. Ia ingin bertanya tentang kejadian yang menimpa Dave saat pintu membuka.

“Kalian mengobrol apa?”

Keduanya menoleh, Evan tersenyum mendatangi mereka. Nandine mengurungkan niatnya untuk mencari informasi.

“Urusan cewek,” jawab Stella sambil meleletkan lidah.

“Hih, sombong kamu.”Balas Evan sambil mencolek hidung adiknya. Lalu berpaling pada wanita bergaun putih di sampingnya. “Nadine, kamu cantik hari ini.”

“Terima kasih, Anda juga,” jawab Nadine diplomatis.
“Kalian kenal sudah lama?” tanya Stella.

Nadine menggeleng. “Belum, hanya saja kami--,”

“Akrab,” sela Evan.

Tidak memedulikan orang-orang di dalam restoran, ketiganya mengobrol di teras. Evan bahkan meminta para pelayan untuk membawakan mereka cemilan dan minuman.

“Restoran ini sangat terkenal, kalian hebat sekali bisa booking satu ruangan penuh,” ucap Nadine saat pelayan datang ke meja, kursi, dan pendingin udara. Seketika, teras diubah menjadi tempat berbincang yang nyaman.

“Nadine, kamu nggak tahu, ya?” tanya Stella.

“Apa?” Kali ini Nadine yang bertanya heran.

“Hotel ini milik kelurga kami, restorannya milik Kak Dave.”

Hampir saja Nadine menyemburkan teh yang ia minum. Untung saja, ia tidak melakukannya. Seharusnya bisa diduga dari awal, kenapa satu keluarga bisa membooking restoran selama berjam-jam dengan santai. Ternyata karena punya sendiri. Tidak cukup hanya apartemen, ternyata hotel dan restoran pun mereka kuasai.  Aku harus rajin bertanya pada Tuan Dave soal mereka, ucap Nandine dalam hati.

“Ah, ternyata kamu tidak tahu,” ucap Evan.

Nadine tersenyum. “Saat kami bersama, tidak pernah bicara soal itu ….”

“Harta maksudmu?” Stella menegaskan.

“Iya, kami bicara hal lain.”

“Oh, paham dengan hal lain apa. Meski umurku baru dua puluh. Pasti kalian bergulat dengan kemesraan.”

Ucapan Stella yang blak-blakan membuat Nadine dan Evan saling pandang lalu tertawa bersamaan. Jika pikiran Nadine berkutat tentang ciuman yang memabukkan di gym, maka benak Evan bertanya-tanya. Sejauh mana hubungan antara kakaknya dengan wanita berambut merah yang menarik perhatiannya.

Terus terang dari awal bertemu dengan Nadine, ia amat tertarik dengan wanita itu. Kedekatan Nadine dengan Dave menjadi batu penghalang untuknya bergerak lebih jauh. Karena tidak peduli betapa besar ia menginginkan seorang wanita, tidak akan pernah berusaha mengambil milik saudaranya. Namun, sebelum bertindak jauh, ia akan mencari tahu lebih dulu.

Di dalam restoran, Dave menatap dua adiknya yang bicara akrab dengan Nadine. Tidak seperti dirinya yang terjebak dalam pembicaraan bisnis yang tiada henti, sepertinya Evan jauh lebih santai.

“Dave, mana pacarmu yang sexy itu.”

Dave menoleh, menatap laki-laki gemuk yang merupakan adik sang mama tiri, Ia menahan diri untuk tidak mengumpat Nelson karena gaya bicara laki-laki itu yang meremehkan soal Nadine. Rupanya, Nelson baru datang karena dari awal acara makan, laki-laki itu tidak ada.

“Ah, ada di teras rupanya. Sayang ada Evan, kalau tidak aku yang akan mendekatinya.”

Dave yang memegang gelas minuman, menahan diri untuk tidak menyiram ke wajah pamannya.

“Tidak kapok, Paman. Sudah dihajar oleh Nadine? Mau sekali lagi pukulan?”

Ucapan Dave membuat air muka Nelson mengeruh.”Hah, aku sengaja mengalah. Mengingat dia seorang wanita.”

“Benarkah? Karena setahuku Nadine seorang petarung tangguh. Kalau Paman waktu itu tetap melanjutkan, bisa lebih babak belur.”

Nelson menelan ludah, berteriak pada seorang pelayan dan minta dibawakan anggur. Ia melirik ponakannya yang terlihat tampan berwibawa.

“Jangan sok begitu, Dave. Aku tahu kualitas dirimu seperti apa?”

“Kualitasku?”

“Iya, kalau bukan karena sokongan keluarga Leander, kamu belum tentu bisa seperti sekarang.Ingat itu! Sekarang, keluarga Adira pun membencimu karena menolak anak mereka.”

Dave mengangkat bahu. “Tidak bisa dipungkiri, keluarga Leander adalah penyokongku. Namun, semua juga tahu kalau aku bekerja keras.”

Nelson menyambar anggur yang disodorkan pelayan. Melirik Dave yang berdiri tenang dan kembali berucap sinis.

“Kakakku pintar, karena tidak sepenuhnya percaya padamu. Kami keluarga Hutomo tidak bodoh!”

“Sungguh informasi yang berguna, karena bisnis keluarga Leander lebih banyak dari keluarga Hutomo,” jawab Dave tegas.

“Brengsek kamu!” sungut Nelson.

“Jangan menguji kesabaranku Paman, aku masih menghormatimu demi Papa dan  grandma. Kamu pikir, aku tidak tahu bagaimana kelakuanmu di luar sana?”

“Kamu memata-mataiku?”

“Iya.” Dave menjawab tegas. “Sama seperti keluarga Hutomo yang terus mengincarku. Ingat,aku akan membalas apa pun yang kalian lakukan padaku!”

Dengan ancaman terakhir, Dave beranjak pergi. Ia melangkah ke teras dan berniat mendinginkan pikiran, Sudah cukup ia berdebat dan bicara terus menerus penuh pertentangan dengan orang-orang di dalam ruangan. Saat sosoknya muncul di teras, semua yang ada di sana mendongak.

“Kalian santai amat,” sapanya.

“Tuan, di sini adem,” ucap Nadine riang.

Dia tidak sadar, panggilannya pada Dave membuat Stella melongo. “Kok manggilnya Tuan?”

Sementara Dave duduk di sebelah Nadine dengan tidak peduli, pertanyaan Stella membuatnya bingung. “Eh, Tuan itu panggilan sayang.”

“Oh, unik juga.”

“Apa Paman Nelson menyulitkanmu?” tanya Evan pada Dave,

“Sama sekali tidak,” jawab Dave.

“Tumben sekali.”

Dave mengangkat bahu. “Karena dia tidak sebanding denganku.”

Evan ternganga lalu mengangguk. “Baiklah, aku paham.”

“Mau makan? Ini enak.” Nadine menyorongkan satu cemilan pada Dave dan laki-laki itu melahapnya tanpa bantahan. “Gimana?”

“Ehm, enak memang.”

“Lagi?”

“Iya.”

Melihat kakak mereka suap-suapan, Evan dan Stella hanya saling pandang dengan satu alis terangkat. Sungguh menggelikan, seorang Dave ternyata suka disuapi selayaknya anak kecil.

“Evan, Papa berniat menjodohkanmu.”

“Oh, jangan lagi. Pleaseee.” Evan mengerang.

“Kalau gitu cari kekasih.”

“Siapa lagi kali ini?” tanya Stella.

“Entahlah, sepertinya papa kita tercinta tidak pernah kekurangan stok wanita untuk dijodohkan dengan anak-anaknya.”

“Nyerah aku nyeraaah!” teriak Evan.

Mereka mengobrol di teras hingga berjam-jam.  Makanan kecil dihidangkan dengan berbagai minuman.Nadine memakan semua yang ada di atas meja, dan meminum apa pun yang dituang Dave untuknya. Tidak memedulikan orang-orang yang di dalam restoran, yang penting Dave membuatnya bahagia.

Giska yang mengamati dari dalam hanya mampu menahan geram. Terus terang, ia tidak suka jika dua anaknya bergaul dengan Dave, terutama dengan wanita berambut merah.

Sikap, tingkah, dan pembawaan Nadine sama sekali tidak menarik hatinya. Ada sesuatu dalam diri wanita itu yang menggangunya. Sama seperti Dave. Mereka pasangan yang sama sekali tidak ia sukai. Menjentikkan jari, Giska memanggil salah satu asistennya.

“Iya, Nyonya.”

“Aku ingin kamu menyelidiki wanita berambut merah itu.Lakukan dengan diam-diam.”

Sang asisten, seorang wanita berambut pendek mengangguk.

“Baik, Nyonya.”

Sisa hari itu, Giska tidak banyak bicara. Ia membiarkan anak-anaknya berkumpul di teras dan bicara dengan Dave. Ia hanya perlu waktu untuk melakukan semua  rencananya. Dan, kali ini tidak boleh gagal seperti waktu dulu.
**
“Kamu bahagia?” tanya Dave dalam perjalanan pulang.

Nadine yang duduk di sampingnya tersenyum. “Iya, dan berasa rileks. Tadi minum apa, sih? Kok aku merasa bahagia.” Tak lama ia terkikik.

“Memangnya kamu nggak tahu minuman yang dihidangkan dalam gelas tinggi?”

“Nggak.”

“Arak Guihua. Biasanya diminum hanya makan kue bulan. Bukannya kamu ada makan tadi?”

Telunjuk Nadine bergoyang. “Ah, kue yang lembut tadi? Rasanya enak memang. Aku makan yang isi ... telur asin sama taro. Iya-iyaa, aku ada makan dan minum sesuatu. Itukah yang membuatku bahagia, Tuan?”

Dave mengangguk. “Iya, aku ingin melarangmu agar jangan minum terlalu banyak. Tapi, kamu kelihatan suka. Jadi, aku diamkan saja.”

Kali ini Nadine benar-benar tertawa.  Ia menggeser tubuh mendekat ke arah Dave. Tidak memedulikan Wildan dan sopir yang duduk di depan.

“Anda tampan sekali, Tuan. Sayang sekali ….”

Dengan berani Nadine mengelus lengan Dave.
“Sayangnya kenapa?” Dave ingin tahu. Ia membiarkan Nadine meraba lengan dan kini pundaknya.

“Sayang, Anda gay.”

“What?”

“Apa?”

**
Penasaran?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro