SKAJORIE - 3
Hi. Sebelum baca wajib vote ya ⭐️ tekan bintang di bawah! Jangan lupa comment juga~ thank you.
—🅂—🄺—🄰—🄹—🄾—🅁—🄸—🄴—
Sudah lewat beberapa hari sejak kejadian seorang remaja menangis dan memohon-mohon kepada Skajorie untuk memberi izin pihak sekolah menurunkan lukisan vulgar itu.
Akhirnya lukisan diturunkan setelah Lillie berjanji akan menuruti semua perintah gila Skajorie selama lima hari berturut-turut. Selama itulah ia wajib datang ke kediaman Skajorie setiap keadaan rumah sepi. Ia akan menerima pesan singkat atau telepon dari Musa, asisten Skajorie.
Lima hari yang tidak mungkin bisa ia lupakan seumur hidup. Lima hari yang penuh rasa sakit, penuh jeritan, penuh permohonan diselingi tangis, merasa rendah, merasa kotor, dan berakhir trauma sampai tidak berani menemui siapa-siapa, termasuk orang tuanya.
Tadinya Lillie ketakutan berlebih sampai setiap waktu dia pucat dan berkeringat dingin setelah pihak sekolah memutuskan untuk memberinya skors selama enam hari. Lillie tidak bisa tenang menghadapi hari-harinya. Namun kini, ternyata dia butuh tambahan waktu skors.
Lillie belum siap bertemu penghuni sekolah besok. Meski lukisan telah tiada, pasti mereka semua masih mengingat jelas mahakarya erotis ciptaan Skajorie. Omongan jelek mereka akan terus memenuhi telinga dan kepala Lillie.
Tidak berhenti sampai di situ beban pikiran Lillie. Siang ini ia menerima pesan singkat dari Musa. Baru membukanya saja Lillie langsung panik dan berpikiran yang tidak-tidak. Ia takut Skajorie menuntut sesuatu lagi padahal sudah tak ada urusan antara mereka.
Pesan tersebut merupakan undangan untuknya.
"Kalau aku enggak datang, gimana? Tuan Skajorie marah, ya?" Dia bergumam, jemarinya gemetaran meremas rok panjang yang dikenakan.
Ia terduduk lemas di tepi kasur sambil menatap jendela kamar yang kacanya terbuka setengah. Semilir angin berdatangan seolah menyapa Lillie dan ingin menghiburnya yang diserang perasaan tidak enak setelah menerima undangan tadi.
Pandangannya teralih ke lemari kecil di sudut kamar. Ia tidak memiliki pakaian cantik. Semua rata-rata pakaian sederhana untuk aktivitas sehari-hari di rumah. Lillie takut dia akan merusak acara Skajorie.
Dengan tangan tremor, Lillie memberanikan diri mengirim balasan pesan ke Musa.
Lillie:
Aku boleh enggak datang?
Tak lama, Musa membalas. Balasannya padat, sesuai perintah Skajorie yang tak boleh dibantah. Bisa-bisa ia yang kena teguran keras kalau Lillie tidak menunjukkan batang hidungnya di acara nanti.
Asisten Tuan Skajorie:
Tidak, Nona. Anda diwajibkan datang. Seorang muse Tuan Aire Skajorie Lonan harus menghadiri acara tersebut karena telah masuk dalam daftar tamu spesial.
Asisten Tuan Skajorie:
Tolong saya. Anda harus datang.
Pasrah. Ia tidak punya jalan untuk lari bersembunyi dari Skajorie. Sekarang Lillie paham bahwa mendekatkan diri kepada Skajorie adalah pilihan yang salah, dan kini menghindari Skajorie merupakan pilihan lebih buruk lagi.
Memiliki rasa tidak tegaan membuat Lillie mudah bersedih bila melihat orang lain kesusahan. Tak memandang dirinya yang juga terjebak dalam masalah besar. Maka, ia membalas pesan dengan kalimat singkat yang baik agar tak menambah beban hidup asisten itu.
Lillie:
Ya. Aku pasti datang.
🅢 🅚 🅐 🅙 🅞 🅡 🅘 🅔
Ini pukul 19.15 waktu setempat. Suasana Malv de Arte semakin ramai terhitung sejak satu jam lalu. Acara pameran berlangsung lancar dan dipenuhi kehangatan.
Keluarga Lonan berada di satu ruangan khusus mahakarya normal Skajorie. Lucunya, Skajorie tidak ada di sana. Lelaki itu berjalan sendirian menelusuri tiap-tiap ruangan yang dipenuhi lukisan indah milik pelukis senior dari berbagai negara.
Orang tua dan kedua adik Skajorie menikmati indahnya hasil torehan cat pada kanvas besar-besar di sana. Ada lukisan alam berupa danau berair jernih yang dikelilingi tumbuhan hijau segar, lukisan laut berombak besar, hewan fantasi berupa naga hitam dengan ukiran emas di sepanjang badan sampai ekor, suasana di musim dingin, sayap peri milik Ai, ada juga mawar besar dan kupu-kupu kesukaan Sang Ibu.
Itu hanya beberapa dari puluhan mahakarya Skajorie yang disuguhkan di galeri ini, yang dapat dinikmati semua orang dari berbagai kalangan dan usia. Kecuali lukisan-lukisannya yang terpajang di ruang rahasia, yang bahkan tak boleh dikunjungi keluarganya.
Mahakarya Skajorie yang paling-paling membuat banyak orang terpana adalah naga hitam bergaris emas itu. Menawan sekali. Mata naga memiliki ilusi menakjubkan, seakan-akan mengeluarkan cahaya perak yang terasa nyata. Ukurannya teramat besar, dan Skajorie menghabiskan waktu sebulanan untuk menyelesaikannya.
Lukisan naga Skajorie menjadi satu-satunya yang diberi garis pembatas agar tak disentuh. Ada larangan keras bertuliskan, "Dilarang memotret, merekam, meniru, dan menyentuh mahakarya ini. Dilarang menatap lama mata naga."
Tak perlu diragukan kemampuan Skajorie dalam melukis. Luar biasa mengagumkan.
"Kakak hebat bisa membuatnya seperti nyata." Den, adik paling kecil Skajorie, berbinar-binar terharu.
"Ya ... Kakak hebat." Ryn Si Anak tengah menyahut.
Ketika banyak orang terkagum-kagum pada lukisan naga Skajorie, pelukisnya malah menghilang dari ruangan khusus karyanya. Ia sibuk mengamati sekitar, mencari tahu apakah semua perempuannya hadir di sini atau tidak.
Skajorie mengeluarkan rokok elektriknya. Ia isap, kemudian mengembuskan asap ke udara. Bersamaan itu ia menemukan segelintir perempuan yang tak asing di matanya.
Tidak ada senyuman di wajah tampan Skajorie. Datar saja. Padahal hatinya senang melihat perempuan-perempuannya menegang ketika masuk ke galeri ini.
Mereka semakin cemas saat menemukan Skajorie berdiri di tengah lobby utama.
Siapa yang tidak panik melihat lelaki itu di sana? Takut dan senang bercampur menjadi satu, tapi lebih banyak bagian takutnya.
Rasanya mereka ingin menghilang, namun yang terjadi malah buru-buru masuk ke ruang rahasia yang telah diatur aksesnya oleh asisten Skajorie khusus 'tamu spesial'. Sesungguhnya semua perempuan cantik itu takut bertemu lukisan seksi nan vulgar mereka yang dibuat Skajorie.
Skajorie belum beranjak dari tempat. Ia bersama rokok elektrik kesayangannya masih ingin menghitung jumlah perempuannya yang datang. Banyak sekali.
Sampai akhirnya, Lillie muncul dengan pakaian serba tertutup berwarna biru gelap. Dia celingukan waswas, lalu spontan berhenti melangkah bertepatan ia menatap lurus ke depan dan tidak sengaja bersitatap dengan Skajorie.
Ya Tuhan. Tuan Skajorie ..., batinnya.
Ia langsung memutuskan pandangan. Mau menjauh dari pijakan awal, akan tetapi kakinya terasa berat dan sulit digerakkan. Dada Lillie bergetar kuat ketika Skajorie mendekat. Asap-asap itu mengiringi Skajorie, membuatnya makin terkesan menakutkan di mata Lillie.
Tubuh Lillie membeku pada detik Skajorie berhenti di sisi kanannya dan merunduk hanya untuk menghirup aroma rambut Lillie yang baru keramas. Sampo Lillie beraroma melon. Wanginya mengingatkan Skajorie akan pertemuan mereka selama lima hari berturut-turut.
"Sekarang sanggup berjalan lama? Bagian bawah kamu tidak sakit lagi?" Suara berat itu menghadirkan efek melilit di perut Lillie.
"Saya wajib datang, kan? Saya enggak mau berurusan panjang sama Tuan." Lillie menunduk.
"Begitu?" Skajorie menurunkan benda kecil yang tak lagi ia isap. "Kamu datang dengan tulus untuk menikmati lukisan saya atau terpaksa?"
Lillie bingung harus menjawab apa. "S—saya datang karena diundang. Undangan harus dipenuhi selagi saya bisa."
"Terpaksa?" ulang Skajorie.
Batin Lillie berteriak mengiakan, tapi otaknya melarang Lillie menjawab secara gamblang. Ia masih tertunduk saat bertutur, "Saya cuma berusaha menuruti Tuan."
"Wajah saya di sini, bukan di lantai." Skajorie berujar dingin.
Seketika, Lillie mendongak dan melawan kecemasannya dalam memandangi Skajorie dari jarak dekat. Mereka melempar tatapan sampai belasan detik. Lutut Lillie lemas, ingin segera menyudahi aksi saling tatap ini!
Sorot tajam Skajorie tidak berhenti tertuju ke manik karamel Lillie. "Pulang kalau tidak minat."
Lalu, Skajorie menyingkir dari sekitar Lillie. Dia pergi dengan hati panas. Lagi-lagi tersinggung, merasa Lillie meremehkan lukisan-lukisan indahnya di dalam sana. Merasa Lillie datang bukan karena keinginan murni dari hati.
"Saya enggak bilang begitu, Tuan!" Lillie berseru, cepat-cepat mengejar Skajorie agar tidak terlibat masalah lagi.
Sayang, Lillie tak memiliki kesempatan untuk bicara empat mata dengan lelaki bertubuh tinggi tersebut. Skajorie meninggalkannya setelah berkata akan mengembalikan lukisan vulgar Lillie ke sekolah.
"Jangan, Tuan! Saya bisa gila kalau lukisan itu dipajang lagi! Lima hari ini enggak ada artinya bagi Tuan? Saya merelakan harga diri saya jatuh sejatuh-jatuhnya demi Tuan! Demi lukisan itu enggak dipajang lagi!" Seperti api menyambar bensin, Lillie meledak-ledak karena ucapan Skajorie. Ia menahan sakit di perut, pinggul, dan area privasinya untuk mengejar Skajorie.
"Belajar dulu arti menghargai sebuah karya. Jangan bisanya berteriak, menangis, dan memohon. Saya muak." Skajorie berucap tanpa menoleh ke belakang, ke Lillie yang berlari terseok-seok.
"Maafkan saya, Tuan! Kasih saya hukuman lain kalau Tuan mau. Saya siap, asal lukisan itu enggak dikembalikan ke sekolah. Saya masih mau bersekolah sampai lulus dan meraih nilai tinggi supaya mendapatkan beasiswa! Sebentar lagi saya lulus, tolong jangan persulit hidup saya, Tuan Skajorie!"
"Kamu yang mempersulit hidup sendiri," geram Skajorie. "Jangan ikuti saya terus. Bukankah itu kemauanmu untuk menjauh dari saya? Biar saya buat benar-benar menjauh."
"Tuan ... tolong saya! Maaf!" Lillie menangis.
Skajorie tak sedikit saja menaruh rasa peduli. Itu berarti ... lima hari yang Lillie relakan untuk Skajorie hanyalah berujung sia-sia. Skajorie mendapatkan kepuasan, sedangkan Lillie semakin menderita.
🅢 🅚 🅐 🅙 🅞 🅡 🅘 🅔
Malam kian larut. Pengunjung galeri seni tersisa hitungan jari lantaran acara pameran telah selesai. Keluarga Skajorie pulang duluan setelah Skajorie meminta waktu sedikit lebih lama berdiam di tempat ini. Alasannya ingin mencari ide-ide baru untuk karya terbarunya nanti.
Skajorie menyukai suasana temaram di sepanjang koridor lantai satu. Banyak lampu plafon telah dimatikan, tapi lampu-lampu kecil pada bingkai lukisan di dinding masih menyala. Itu memberi kesan remang yang hangat di mata Skajorie.
Penjaga keamanan setia menunggu Skajorie sampai puas menelusuri ruangan-ruangan yang tak lagi didatangi banyak orang. Musa menemani penjaga keamanan yang sebetulnya adalah robot menyerupai manusia.
Skajorie berjalan menghampiri lukisan naga miliknya. Ia pandangi ukiran-ukiran yang tergores sempurna pada permukaan kanvas. Ia tatap mata perak naga yang seketika membuat senyumnya terukir tipis.
My holy black-gold dragon ..., batin Skajorie.
Ia mengagumi lukisannya sendiri. Tatapannya teduh meresapi keelokan hewan fantasi tersebut. Campuran warna yang ia pakai sangat memanjakan mata.
Skajorie tak berharap naga itu diberi pujian oleh orang-orang, apalagi sampai dipuji berlebihan. Ia akan merasa dihargai bila mahakaryanya ini tidak difoto, direkam, ditiru, dan disentuh seperti yang tertulis di papan larangan.
Satu yang pasti, jangan sampai dia mendengar seseorang berkata ingin lukisan naganya diturunkan dari dinding. Skajorie akan merasa sakit sesakit-sakitnya ... karena itu ibarat menancapkan pedang di dadanya.
"Permisi, Tuan Skajorie."
Suara serak perempuan sedikit mengejutkannya. Berasal dari arah belakang, maka Skajorie berbalik untuk melihat siapa yang tidak tahu diri menghampirinya ketika sedang berkonsentrasi mencari ide di tempat remang.
Lillie. Remaja itu ternyata belum pulang. Ia menunggu Skajorie sampai berjam-jam lamanya. Sudah berkali-kali dihubungi ibunya karena khawatir, tapi Lillie tetap ingin menemui Skajorie sebelum kembali ke rumahnya yang terbilang jauh dari lokasi Malv de Arte.
"Tolong saya, Tuan ... jangan pajang lukisan itu di sekolah saya," pintanya.
Skajorie bosan dan sebal mendengar permohonan itu lagi. Ia mendengkus malas, mengalihkan pandangan ke objek lain. Tampang menyedihkan Lillie membuatnya dongkol.
"Kasih saya hukuman apa pun buat menebus kesalahan saya, Tuan." Lillie berkata.
Tak mungkin Skajorie menuruti keinginan Lillie untuk membatalkan niatnya mengembalikan lukisan vulgar tersebut ke sekolah. Sekali Skajorie bilang tidak, maka seterusnya tetap tidak.
"Tuan ...," lirih Lillie.
Skajorie tak menanggapi. Ia berlalu dari hadapan Lillie, tidak ingin bicara lagi dengan orang yang sudah berkali-kali merendahkan lukisannya.
Lillie belum menyerah. Dia mengekori Skajorie sambil sesekali memohon dan menyeka air mata. Skajorie memanggil Musa, dia meminta pemuda itu membawa Lillie sejauh-jauhnya dari galeri seni.
Setelah Lillie minggat, maka Skajorie masuk ke ruang rahasia yang berisi banyak lukisan perempuan tak berbusana. Tidak tahu ilmu apa yang Skajorie pakai sampai keluarganya tak mengetahui keberadaan lukisan-lukisan tersebut. Antara dia yang pintar menyembunyikannya, atau ada 'sesuatu' yang menutupi mata keluarganya ....
Skajorie mengembus napas panjang. Ia melangkah pelan sambil meraba lembut kanvas-kanvas yang terpajang rendah di tiap sisi dinding ruangan. Iris peraknya melirik wajah-wajah perempuan yang ekspresinya berbeda-beda ketika sedang berhubungan badan dengan dia.
Ada yang tersenyum nakal, tertawa, panik, takut, tersenyum manis, bahkan ada pula yang menangis histeris.
Skajorie berhenti sejenak. Ia mendatangi sofa yang letaknya tepat di tengah-tengah ruangan. Untuk sesaat Skajorie ingin duduk santai, kakinya diluruskan ke lantai, dan memejamkan mata sambil merekam suasana di tempat senyaman ini.
"Excuse me, Sir."
Baru delapan menit Skajorie menutup mata, dia harus membukanya lagi karena ada seseorang datang. Sempat mengira itu Lillie, tapi ternyata bukan.
"Hi." Perempuan itu berjalan anggun menghampiri Skajorie.
Skajorie mengernyit. Ia amati figur perempuan ini dari atas sampai bawah. Pakaiannya cukup terbuka. Belahan dadanya terpampang, rok terlalu pendek, dan kelihatannya baju dia sudah sempit. Rambutnya lurus hitam legam mencapai paha.
Saat jarak mereka tersisa setengah meter, perempuan bertubuh seksi itu berdiri tepat di depan Skajorie yang masih duduk di sofa. Ini bukan pertama kali Skajorie bertemu dia. Cukup sering mereka 'main' bersama.
"Aku telat, ya?" Ia bicara seraya membungkuk. Satu tangannya menempel di kepala sofa, tepat di samping bahu Skajorie.
Namanya Bridget. Perempuan jelita yang dikenal sebagai penggemar nomor satu karya-karya Skajorie. Dia mengoleksi banyak sekali lukisan Skajorie di rumahnya yang bagaikan istana.
"Maaf. Aku baru aja balik dari Paris. Aku langsung ke sini buat ketemu kamu. Seneng banget karena kamu belum pulang," ungkap Bridget.
Tanpa pikir panjang, Bridget mengangkat satu kakinya hendak naik ke pangkuan Skajorie. Dengan cepat Skajorie menjauhkan kaki Bridget sebelum perempuan ini berhasil menjadikan pahanya alas tempat duduk.
"Sayang, aku tau kamu lagi enggak happy. Ada perempuan yang nangis-nangis minta sesuatu ke kamu, kan?" Bridget menggapai pipi Skajorie untuk dielus.
Skajorie menepis tangan Bridget. "Jangan sentuh saya sesukamu, Brie."
"Kenapa? Aku maunya sesuka aku," balas Bridget sambil mengelus rambut Skajorie.
Skajorie menyingkirkan tangan lentik Bridget dari kepalanya. Dia risi bila dipegang-pegang tanpa izin. Semakin Skajorie melarang, maka Bridget makin liar menjalankan tangannya menyentuh kulit Skajorie.
"Kamu itu, ya." Skajorie melayangkan tatapan marahnya.
"Apa?" Bridget menantang, dia tersenyum miring sambil terus melawan Skajorie yang tak memperbolehkannya naik ke pangkuan dia.
Terjadi cekcok kecil di antara mereka. Skajorie mengusir, tapi Bridget tidak mau pergi. Lirikan tajam Skajorie tak meruntuhkan semangat Bridget. Omelan dan bentakannya tidak mempan bagi Bridget.
Dan, Bridget memakai cara terakhir untuk menenangkan Skajorie. Ia memegang kedua bahu Skajorie, mengusapnya pelan menuju dada, lalu naik lagi ke bahu. Bridget melanjutkan usapannya ke leher hingga telapaknya tiba di pipi. Ia menangkup kedua pipi Skajorie, ibu jarinya membelai sudut bibir Skajorie, kemudian Bridget lumat pelan-pelan.
Bridget melakukannya dengan penuh ketenangan sampai tak terasa dia sudah naik ke pangkuan Skajorie.
"Kamu selalu ganggu saya setiap saya butuh konsentrasi," ungkap Skajorie setelah berhasil menghentikan ciuman Bridget.
"Kamu butuh konsentrasi buat melukis apa? Perempuan?" Bridget menatap Skajorie dengan senyum manis.
Skajorie menggeleng. "Bukan perempuan."
"Yah ... padahal aku pengin dilukis kamu lagi," sahut Bridget. "Kalau aku request, gimana? Boleh, enggak?"
"Tidak." Skajorie menolak.
"Ck. Aku kecewa." Bridget cemberut. "Apa kamu enggak sadar, Sayang?"
Skajorie bungkam memandang perempuan satu ini. Ia belum menjawab, tapi Bridget sudah lebih dulu berbisik. Bisikannya diikuti desahan pendek, lalu ujung lidah Bridget menyentuh cuping telinga Skajorie yang berbentuk unik.
"Saya tidak mau tau." Skajorie menyeletuk setelah Bridget memberi informasi dirinya tak mengenakan pakaian dalam.
Bridget tidak peduli Skajorie mau tahu atau tidak. Ia segera melepas pakaian atasnya dan memamerkan dada kepada Skajorie yang langsung buang muka. Berkali-kali Bridget memancing, namun malam ini Skajorie sulit sekali terpancing.
"Kamu mau aku keluar dari sini?" Bridget menyentuh dagu Skajorie.
"Ya." Skajorie menyetus tajam.
"Kamu betulan enggak mau bikin karya baru? Bukannya kamu suka tubuh aku?" tutur Bridget. "Kamu belum pernah lukis aku di sofa ...."
Skajorie masih tidak mau menyentuh Bridget. Dia ribut dengan pikirannya sendiri yang ingin menjadikan Bridget muse lagi atau cari perempuan baru. Memang benar Bridget memiliki bentuk tubuh yang sangat disukai Skajorie, muse favoritnya, tapi bukan berarti dia yang teristimewa bagi sang pelukis.
Bridget mendengkus. "Ya udah, deh."
Dia turun dari pangkuan Skajorie dan bersiap meninggalkan tempat dengan tubuh tanpa pakaian atas. Skajorie menatapnya dari posisi duduk. Ketika Bridget berputar badan untuk lanjut melangkah ke pintu, segeralah Skajorie meraih pergelangan tangannya.
"Kamu mau keluar tanpa pakaian atas?" Skajorie tampak tidak senang.
"Kenapa? Palingan aku cuma ketemu Musa di depan, dan beberapa pengunjung," sahut Bridget, kemudian membebaskan tangannya dari genggaman Skajorie.
Skajorie tak berkata-kata, tapi langsung menarik Bridget kembali ke dekatnya, dan ia setir tubuh itu sampai telentang di sofa. Bridget menahan senyum lantaran berhasil memancing Skajorie.
Tubuh kekar itu berada di atasnya.
"Tanpa condom, hm? Mulai berani?" Bridget bertutur, lalu mengecup garis rahang Skajorie.
"Kamu pikir saya takut hanya karena tidak memakai itu?" Skajorie merespons setengah kesal.
Tawa kecil Bridget terdengar mengejek, tentu saja Skajorie jadi agak jengkel. Segera Bridget memeluk erat pinggang Skajorie, tak akan membiarkannya menjauh apalagi berhenti dalam waktu cepat.
"Kamu enggak mau punya keturunan?" kekeh Bridget.
Skajorie menggeleng samar. "Tidak, apalagi lahirnya dari kamu."
"Oh, ya?" Bridget tak menanggapinya serius. "Dari sekian banyak perempuan kamu, cuma aku yang bisa bikin kamu luluh. Aku enggak yakin kamu jadiin aku muse tanpa terlibat perasaan."
"Pasti ada sedikit perasaan kamu buat aku, ya? Kamu naksir aku?" Kini Bridget cekikikan.
"Teruslah berharap, Brie."
"Berlutut di depan kamu juga aku sanggup. Mau sekarang? Aku gigit dulu kamu," ceplos Bridget, kemudian betulan menggigit pipi Skajorie.
"Ah!" Skajorie refleks mengelap pipinya yang tercetak jejak gigi Bridget. Ya, gigitannya kencang.
Aktivitas Skajorie dan Bridget berlangsung lebih lama dari perkiraan mereka. Lebih lama dari moment kebersamaan mereka sebelum-sebelumnya. Skajorie mengamati ekspresi Bridget yang berubah-ubah tiap ia memainkan kecepatan tempo.
Bukan Skajorie saja yang merekam setiap detail tubuh Bridget. Bukan hanya Skajorie yang memerlukan bahan untuk menciptakan sebuah karya menakjubkan. Mata biru Bridget pun diam-diam merekam semua yang ia lihat di tubuh Skajorie.
Ia juga akan mengabadikan Skajorie dalam lukisannya.
Lalu, Bridget akan memajangnya di galeri serba Skajorie di rumahnya. Ia menyimpan banyak sekali benda tentang Skajorie. Akta nikah palsu dengan nama mereka pun ada, ia membuatnya tanpa sepengetahuan Skajorie. Sampai-sampai memanfaatkan teknologi masa kini untuk mengubah foto pernikahan orang lain menjadi wajah dia dan Skajorie.
Dia mengagumi Skajorie tanpa batas. Terobsesi sekali pada Skajorie. Menjadi muse Skajorie adalah suatu kebanggaan bagi Si Bungsu dari keluarga terpandang itu.
Skajorie menatap Bridget dan berucap dalam hati, "Perempuan saya yang paling sinting."
•─────🅂🄺🄰🄹🄾🅁🄸🄴─────•
hai, babygeng manisku~ gimana part 3? kasih komentar kalian yuk hehehe 😇🖤
Lukisan naga Skajorie bukan sembarang lukisan. 💀
Di adegan menuju akhir itu (sebelum Skajorie bicara dalam hati tentang Bridget) aku cut karena tidak aman banget yaaa :) beberapa percakapan mereka pun aku filter. mohon pengertiannya~ versi lengkapnya cuma di KaryaKarsa.
terima kasih banyak babygeng udah dukung karyaku ini dengan memberi vote dan comment 🤍
spam "🌞" sebagai penyemangat untukku :]
INFO ⚠️‼️ SKAJORIE versi lengkap tanpa sensor, adegan gilanya lengkap, dll, cuma tersedia di KaryaKarsa @radexn yaaa. bukan untuk di bawah umur!
Sejauh ini, terhitung 12 Januari 2024, karyakarsa SKAJORIE udah sampe chapter 12.
sampai ketemu lagi di hari Jumat, babygeng!
—mamiw raden—
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro