Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

SKAJORIE - 2

Hi. Sebelum baca wajib vote ya 🙂
Jangan lupa comment juga~ thank you!

🅂🄺🄰🄹🄾🅁🄸🄴

Tengah malam Skajorie terpaksa menemui seseorang yang datang ke kediamannya sambil menangis. Skajorie keluar sendirian. Ia melarang adik lelakinya—yang cerewet dan mengekorinya terus—untuk ikut mendatangi perempuan yang kini berdiri di teras rumah.

Kehadiran Skajorie membuat air mata Cassia kembali jatuh. "Ska ...," lirihnya.

Skajorie mengangkat sebelah alis dengan kening mengerut tipis. Entah apa yang terjadi sampai Cassia menangis tersedu-sedu, membuat matanya bengkak.

"Kenapa kamu bikin lukisan kayak gitu?" Cassia bertanya, jemari lentiknya mengusap sudut mata.

"Keluarga besarku dan keluarga besar dia udah lihat lukisan itu. Bahkan pengunjung restoran tadi banyak yang lihat juga. Aku malu, Ska. Itu lukisan paling vulgar yang pernah aku lihat seumur hidup," tuturnya.

"Lalu? Itu seni." Skajorie membalas.

"Seni seharusnya bisa dinikmati, Ska. Lukisan kamu itu bikin aku stres! Aku enggak bisa nikmati sama sekali. Aku ditegur habis-habisan sama keluargaku dan tunanganku," balas Cassia diselingi isakan.

Skajorie sangat mencintai dunia lukis. Dia berusaha keras menjadi pelukis yang karyanya dapat dinikmati banyak orang dari berbagai kalangan. Dia ingin hasil goresan tangannya terpajang di mana-mana, terlebih di museum ternama. Ketika karyanya disebut tidak indah, hatinya otomatis patah.

Biasanya sehabis menerima kritik ia akan meningkatkan kemampuannya dengan membuat karya serupa sampai mendapatkan pujian tulus dari orang yang telah mengkritiknya.

Skajorie maju selangkah, tatapannya begitu mendalam tertuju ke bola mata cokelat terang milik perempuan di hadapannya. "Saya nikmati itu," ucap Skajorie.

"Karena kamu pelukisnya, makanya cuma kamu yang nikmati itu!" seru Cassia, sedikit menyentak.

"Saya nikmati tubuh kamu." Skajorie menambahkan, ia memperdalam tilikan sampai harus menunduk lama demi memandangi Cassia yang tingginya hanya mencapai dadanya.

"Tapi, kamu enggak mikirin perasaan aku, Skajorie ...." Cassia sesenggukan.

Skajorie tak membalas. Satu ibu jarinya tiba-tiba mengusap pipi Cassia begitu lembut. Ia menghapus air mata yang berjejak di sana sampai ke dagu.

Bohong bila Cassia berkata jantungnya tidak berdetak sangat-sangat cepat akibat perlakuan manis Skajorie. Ia sulit berpikir normal, seolah baru saja terhipnotis. Disentuh lembut, diusap air matanya, dan ditatap lekat oleh Skajorie dengan jarak sedekat ini berhasil membuatnya resah. Cassia bingung ingin bereaksi seperti apa.

"Saya suka setiap detail tubuh kamu. Saya puas bisa mengabadikan kamu di kanvas." Suara rendah Skajorie membangunkan bulu roma Cassia.

"Ternyata kamu tidak suka saya abadikan dalam lukisan, ya." Skajorie menjauhkan tangannya dari wajah cantik tersebut. Nadanya mewakilkan kekecewaan menghadapi kenyataan bahwa lukisannya tak disukai Cassia.

"Sayang, kenapa harus kayak gitu posenya?" tanya Cassia. "Kamu enggak sensor apa-apa. Aku kayak perempuan murahan di lukisan itu!"

"Bukan kayak, tapi memang. Kamu datang dan memohon ke saya buat sentuh kamu." Skajorie menyahut tenang.

Sesak di dada Cassia menyembul ke permukaan lagi. Skajorie semudah itu mengubah-ubah mood seseorang. Lantas, setetes air kembali luruh ke pipi.

Sesungguhnya Cassia teramat bahagia bisa merasakan tubuh Skajorie. Itu keinginannya sejak lama, tapi terhalang gengsi dan malu-malu untuk mengajak. Namun, di lain sisi ia juga ingin tetap terjalin mesra dengan tunangannya.

Cassia mengaku egois untuk perkara satu ini. Ia labil. Tidak bisa tegas memilih harus ke jalan yang mana. Harus mendekati Skajorie terus, atau tetap menjadi calon istri seorang lelaki yang mencintainya sepenuh hati.

"Saya tidak mau moment kemarin berakhir tanpa arti. Saya mau itu selalu diingat kamu dan dia. Lebih bagus lagi kalau keluarga besarmu tau." Skajorie bertutur tanpa beban.

"Tanpa kamu sadarin, kamu permaluin aku terang-terangan di depan banyak orang. Atau sebenarnya kamu sadar? Kamu sengaja!" cetus Cassia.

"Ya, saya sengaja. Mereka perlu tau kamu perempuan saya." Skajorie berkata penuh penekanan.

"Apa maksudnya 'perempuan saya'? Jangan bikin aku semakin bingung gimana hadapin kamu, Ska. Sebetulnya aku ini dianggap apa, sih, sama kamu?" Cassia terheran.

"Kamu berharap apa?" Pertanyaan Skajorie terdengar seperti jebakan.

"Menurut kamu perempuan yang disebut 'perempuan saya' sama lelaki yang dia suka dari lama, bakal mikir apa setelah dengar kata-kata itu? Bakal biasa aja?" ceplos Cassia, ia bicara sampai berapi-api.

Sudut kanan bibir Skajorie bergerak sedikit, mengukir senyum miring dan tipis yang justru membuat tampangnya semakin menggetarkan hati Cassia. Tatapan Skajorie menajam, tapi juga terkesan nakal.

Fakta tersembunyi seorang Skajorie ialah memiliki banyak cara melemahkan perempuan.

Tak perlu bertindak kasar apalagi memaksa, tidak perlu menebar kalimat romantis, tidak perlu juga berlaku sebaik malaikat ... dia akan dengan tenang membuat perempuan tunduk. Apa yang dia lakukan adalah tindakan menjatuhkan harga diri seseorang, tapi korbannya tidak bisa marah karena lidah serta tubuh mereka seperti dibekukan Skajorie lewat tatapan.

"'Perempuan saya' itu sebutan untuk mereka yang pernah saya pakai." Skajorie meluruskan.

"Mereka?" Cassia merasakan panas di wajah. Begitu pedih hatinya sampai suaranya mengecil saat lanjut berkata, "Kenapa aku disamain sama mereka? Aku enggak spesial buat kamu, Ska? Aku teman kamu, bukan orang asing yang biasa kamu pungut entah di mana, buat kamu jadiin santapan."

"Kamu santapan saya juga. Apa bedanya?" respons Skajorie. "Sama-sama perempuan saya, kan?"

"Aku enggak mau disamain sama mereka! Seharusnya aku punya posisi tersendiri. Jangan rendahin aku gini. Jangan pandang aku selevel sama mereka. Hargai aku sedikit aja sebagai teman kamu," mohon Cassia.

Skajorie membuang napas berat. "Kamu sendiri punya tunangan. Jangan merasa spesial di mata saya."

Degup jantung Cassia menggebu. Ia mendekatkan diri, menghapus jarak dengan Skajorie sampai bisa memeluk tubuh atletis itu. Cassia meremas pakaian Skajorie tanpa berhenti mendongak untuk menatapnya.

"Jadi, kamu maunya kita gimana? Kamu mau aku bubar sama dia?" Cassia berucap. "Kamu kirim lukisan itu biar hubungan aku dan dia rusak, kan?"

Skajorie mengerutkan kening lagi. Ia mengalihkan pandangan, enggan menjawab omongan Cassia yang terdengar ngawur di telinganya. Cassia terus memeluk Skajorie sambil sesekali menghirup harum parfumnya yang menempel di serat baju.

"Kalau kamu mau aku selesai sama dia ..., oke, aku kabulin. Setelah itu kamu harus bawa hubungan kita ke tahap yang lebih jelas. Jangan bikin aku bingung terus sama sikap kamu." Cassia bertutur serius.

Tidak ada tanggapan dari Skajorie. Cassia melepas pelukannya, ia mengambil ponsel dari tas kecil yang tersampir di bahu. Ia takut, ragu, sedih, tapi Cassia melawan rasa negatif itu dengan langsung menelepon tunangannya. Berkali-kali ia menarik napas dalam dan membuangnya perlahan.

Demi Skajorie ia sampai bertindak tanpa berpikir panjang. Ia mengakhiri hubungannya dengan sang tunangan. Alasannya karena ia memilih lelaki yang telah menciptakan lukisan erotis tersebut.

Keputusan Cassia hanya menambah masalah di hidupnya. Keluarganya pasti akan marah, terlebih keluarga mantan tunangannya. Cassia menahan tangis setelah sambungan telepon berakhir. Pengap sekali dadanya.

"Aku sama dia udah enggak ada hubungan apa-apa. Sekarang, kamu mau kita kayak gimana, Ska?" Cassia berbinar-binar menatap Skajorie.

"Gimana, apa?" Skajorie bingung.

"Aku udah batalin rencana pernikahanku sama dia. Aku dan dia bukan pasangan tunangan lagi. Kamu mau itu, kan? Kamu mau aku enggak punya pasangan biar kamu bisa bebas kasih aku perlakuan lebih spesial dibanding perempuan lain," ucap Cassia.

"Saya tidak pernah mengatakan kalimat semacam itu." Skajorie menegaskan.

"Ska...? Aku baru aja akhirin hubungan aku sama dia!" Cassia kalap. "Aku bela-belain pasang muka tebal demi kamu. Aku enggak tau malu banget bilang selesai via telepon."

"Apa urusannya sama saya?" sahut Skajorie.

Cassia kehilangan kata. Ia menatap nanar Skajorie yang tidak sedikit pun menunjukkan rasa iba. Mata Skajorie menyorot tajam, menakutkan, sama sekali tak peduli pada rasa sakit yang bercampur-campur di relung hati Cassia.

Sekarang fokus Skajorie teralih ke ponselnya yang berdering. Ia menerima panggilan masuk dari seseorang yang tidak Cassia ketahui siapa.

"Perempuan saya nelepon. Lebih baik kamu pulang sekarang," tutur Skajorie.

Untuk bicara saja Cassia tidak sanggup. Ia menahan air mata yang hampir tumpah lagi sampai lehernya tercekat dan sakit. Sudah lelah matanya mengeluarkan buliran air terus, tapi ia juga sulit menghentikannya.

"K—kamu enggak kasihan sama aku, Ska? Enggak ada niat kamu antar aku pulang? Kamu yang bikin aku kacau begini. Kamu hancurin kebahagiaan aku dalam sekejap," lirih Cassia.

Skajorie menurunkan ponselnya sebelum ia mengangkat panggilan tersebut. Ia berdiri tegap di hadapan Cassia, membuat tubuhnya semakin terlihat tinggi.

"Kamu menyepelekan banyak waktu saya yang terpakai untuk membuat lukisan itu. Kamu merendahkan mahakarya saya. Sekarang kamu berharap saya antar pulang?" Skajorie menyetus tajam.

"Jelas aku kaget lihat lukisan itu. Itu aku, Skajorie! Kamu bikin lukisannya terlalu nyata makanya aku syok!" Cassia setengah berteriak saking lelahnya.

"Kamu tidak menghargai lukisan saya. Jadi, silakan kamu pergi. Saya tidak betah lama-lama lihat kamu," usir Skajorie.

"Kamu setega itu? Kamu lelaki, Ska. Apa pun masalah yang terjadi di antara kita sekarang, kamu sebagai lelaki harus tetap utamain perempuan. Kamu berengsek kalau ngebiarin aku pulang sendirian di tengah malam begini," sambar Cassia.

"Saya sudah dicap berengsek dari lama, jauh sebelum kenal kamu. Saya bukan anak kemarin sore, Cassia." Suara Skajorie bertambah berat dan rendah, semacam bisikan yang membuat lawan bicaranya merinding.

Tatapan Skajorie makin dingin saat berucap, "Pulang."

🅢 🅚 🅐 🅙 🅞 🅡 🅘 🅔

Sudah dua hari Skajorie menjalani kegiatan kesehariannya dengan semangat yang turun drastis. Keributan antara dia dan Cassia menjadi alasan utama. Bukan Cassia-nya yang ia pikirkan, melainkan lukisannya.

Ia benar-benar merasa direndahkan setelah tahu respons Cassia dan mantan tunangannya akan lukisan tersebut.

Skajorie kesal, tapi juga tidak ingin berhenti menciptakan karya. Ia tak mau waktu berharganya terbuang dengan tidak melakukan apa-apa.

Alhasil, Skajorie meluncurkan sebuah pengumuman di platform digital berupa pencarian satu perempuan untuk dijadikan muse karya terbarunya. Ia tidak menerima perempuan lama. Skajorie mau perempuan baru yang memiliki visual unik. Syarat utama; perempuan tersebut harus berpengalaman, atau setidaknya paham dunia 'orang dewasa'.

Perempuan yang terpilih akan diberi tahu ketentuan-ketentuan apa saja yang harus ia lakukan. Bila setuju, ia akan menerima bayaran fantastis. Semakin tinggi bayarannya, maka semakin lama Skajorie menjamah tubuhnya.

Satu jam setelah pengumuman di-publish, sementara ini sudah masuk lebih dari seribu pendaftar. Bukan Skajorie yang memilih. Ada asisten yang akan memilihnya beberapa secara acak, kemudian disaring lagi dengan melihat fisiknya. Perempuan pemilik wajah terunik akan dipilih.

Skajorie masih menunggu sampai menerima kabar dari asistennya. Ia berada di lantai empat. Di sekelilingnya terdapat banyak sekali lukisan yang semuanya lahir dari tangan ajaib Skajorie.

Ia tidak hanya ahli melukiskan tubuh perempuan, tapi tak kalah jago dalam melukis hewan dan alam berupa tumbuhan, pegunungan, laut, danau, dan lainnya. Lukisan rumah ini pun ada. Semuanya ia buat mendetail menyerupai aslinya.

Di tengah keheningan ini, Skajorie mendapatkan informasi dari asistennya mengenai perempuan yang terpilih. Asisten berkata bahwa perempuan tersebut sudah tiba di lantai bawah.

"Bawa dia ke lantai dua. Ke ruangan biasa," perintah Skajorie.

🅢 🅚 🅐 🅙 🅞 🅡 🅘 🅔

Keadaan rumah sepi. Itu sebabnya Skajorie memiliki kesempatan membawa perempuan masuk ke kamar. Kalau ada ayah atau ibunya, ia tidak akan bertidak gegabah.

Skajorie berdiri membelakangi pintu kamar. Ia menyapukan jemari pada helaian rambut silver-nya yang telah tumbuh lebih panjang dari biasanya. Tidak panjang-panjang banget, kok. Tidak segondrong rambut Laut alias sang ayah.

"H—halo? Permisi." Suara lembut itu membuat Skajorie berhenti menyentuh rambutnya.

Ia berbalik, menemukan sumber suara yang asalnya dari seorang gadis di ambang pintu kamar. Gadis bernama Lillie itu mengenakan dress panjang berwarna putih susu yang menjuntai sampai menutupi mata kaki. Rambutnya cokelat terang, lurus, panjangnya mencapai sikut.

Skajorie berjalan pelan mendekati Lillie. Auranya membuat Lillie seketika menunduk. Tidak berani menatap lama lelaki di hadapannya.

Tangan Skajorie bergerak seperti ingin menggapai pipi Lillie yang mendadak tremor dan memucat. Namun tiba-tiba Lillie membeku karena ternyata Skajorie bertujuan menutup pintu, bukan menyentuh wajahnya. Memang searah, sih ....

Setelah pintu terkunci, Skajorie menjauh dari gadis yang sungguh asing baginya. Sambil berjalan ia berucap, "Kamu berada di sini, jadi saya anggap kamu sudah tau apa yang akan kita lakukan."

Suara Lillie bergetar saat merespons, "I—iya, Tuan. Saya tau dan paham."

Tuan. Perempuan lama akan menyebutnya Sir, bukan Tuan. Itulah yang dinamakan perbedaan.

"Kamu memilih harga paling tinggi, sedang, atau paling rendah?" Skajorie bertanya sembari melepas deretan kancing kemeja dari atas.

Sebenarnya dia tahu semua tentang gadis itu sesuai rangkaian data yang telah diisi dalam formulir pendaftaran, tetapi Skajorie perlu bertanya kembali untuk memastikan langsung jawabannya serupa dengan informasi dari asisten, atau malah beda.

"Saya memilih harga paling tinggi, Tuan." Suara Lillie mengecil, dan menunduk seperti malu menjawabnya.

Skajorie berdeham singkat. Hanya suara dehaman, tapi dampaknya detak jantung Lillie semakin tak terkendali. Setiap satu langkah mendekati Skajorie sama dengan bertambahnya frekuensi getar di sekujur tubuh. Rasanya mau kabur, tapi dia butuh uang dari kegiatan ini.

"Langsung naik ke kasur." Skajorie bahkan tidak meliriknya.

Lillie menelan ludahnya yang pahit. Tak menyangka dirinya senekat ini menawarkan diri untuk menjadi muse Aire Skajorie Lonan.

"Buka pakaian kamu," titah Skajorie.

Mata Lillie panas dan hendak menumpahkan banyak air. Kalau bukan karena kebutuhan mendesak, ia tidak akan mau mencoba mengirim data ke asisten Skajorie. Entah ini keberuntungan atau apa, ia terpilih menjadi muse dari antara ribuan pendaftar.

Skajorie menyusul naik setelah mematikan lampu. Ia menunggu Lillie melepas seluruh pakaiannya. Lama sekali, sampai Skajorie turun tangan untuk mempersingkat waktu.

Bisa didengar napas Lillie menderu berat ketika badannya tak tertutup sehelai kain. Ia meremas selimut, serasa ingin membungkus diri dengan benda tebal itu. Pipinya merona pekat karena Skajorie mengamatinya dari kepala sampai kaki.

Skajorie melempar kemejanya ke sudut kasur. Ia naik ke atas badan gadis tersebut. Skajorie memulainya dengan menghirup harum rambut serta lehernya.

Telapak tangan Skajorie meraba pundak, lengan, lalu pinggang rampingnya. Skajorie menikmati sekaligus mengamati dari dekat tekstur kulit Lillie yang saat ini bulu-bulunya meremang serempak.

Bermenit-menit terpakai untuk pemanasan. Kini Skajorie mengambil posisi untuk menyatukan diri dengan Lillie.

Skajorie menatap gadis itu. Ia bertutur, "Are you a virgin?"

Lillie mengangguk takut-takut.

"Bukankah salah satu syarat pendaftaran harus berpengalaman? Kamu tidak punya pengalaman." Skajorie jengkel.

"Saya tau, tapi saya butuh 'pekerjaan' ini, Tuan. Saya butuh kesempatan ini untuk biaya pendidikan saya. Saya terancam dikeluarkan dari sekolah karena menunggak pembayaran sampai tujuh bulan," ujarnya.

"Sekolah?" Skajorie mengernyit dalam. "Kamu umur berapa?"

"Delapan belas menuju sembilan belas tahun, Tuan. S—saya enggak apa-apa. Saya siap." Kemudian Lillie menggigit bibir bawahnya saking ketakutan.

Skajorie mengetahui satu hal baru dari Lillie. Dia berbohong mengenai usianya. Di pendaftaran, Lillie mengisi usianya 21 tahun.

Ternyata ... usia dia enam tahun di bawah Skajorie.

"Saya tidak menanggung risiko apa pun. Kamu yang menyerahkan diri ke saya," tegas Skajorie.

"Iya, Tuan. Saya mengerti." Dia menyahut pasrah.

Selepas itu, momen yang tak pernah terpikirkan oleh Lillie tiba-tiba terjadi di hari ini. Ironi. Ini seperti .... Skajorie membeli keperawanannya. Sudah diambil, dan tidak mungkin bisa dikembalikan.

Air mata Lillie mengalir sepanjang kegiatan ini berlangsung. Hatinya menjerit. Mau menyesalinya pun percuma, ini merupakan niatnya yang murni membutuhkan bayaran dari Skajorie.

Beginilah keadaan yang harus Lillie hadapi sebagai anak dari keluarga miskin. Tidak punya harta untuk dijual, sampai akhirnya mengambil keputusan menjual diri kepada pelukis tampan, tapi sinting.

🅢 🅚 🅐 🅙 🅞 🅡 🅘 🅔

Empat hari kemudian.

Momen intim bersama Skajorie terngiang setiap hari di benak Lillie. Ia kesulitan tidur, bahkan tidak bisa berkonsentrasi menjalani hari. Ia dihantui rasa gelisah karena telah melakukan tindakan di luar batas sebagai seorang remaja yang belum menikah.

Lalu, hari ini Lillie menjadi bahan omongan seluruh penghuni sekolah. Itu karena sebuah lukisan berbau p*rnografi berukuran besar terpajang di lobby sekolah, entah siapa yang memajang dan kapan dipajangnya.

Ini lebih parah dari lukisan Cassia. Pada lukisan itu, mulut Lillie *** *** ***. Badannya berkeringat. Ekspresinya ketakutan. Bagian bawahnya merah dan terdapat sedikit noda darah bercampur tetesan lain.

Judul pada lukisan itu adalah;

Getar Perawan di Bawah Saya
—Ska, inspirasi dari kejadian nyata. Datang sebagai perawan, pulang tidak lagi perawan.

Lukisan itu dilihat semua orang, dijadikan bahan tawaan, bahan ejekan, dan Lillie yang menjadi model dalam lukisan tersebut diolok-olok sampai trauma serta ketakutan setengah mati.

─────🅂🄺🄰🄹🄾🅁🄸🄴─────

hai, babygeng manisku~ gimana part 2? kasih komentar kalian yuk hehehe 😇💜

sebenernya ada kelanjutan adegan setelah Lillie di sekolah. tapii tida baik kalo aku taro di wp 😌

spam "💖" sebagai penyemangat untukku :]

INFO ⚠️‼️ SKAJORIE versi lengkap tanpa sensor, adegan kebrutalannya lengkap, dll, cuma tersedia di KaryaKarsa @radexn yaaa. bukan untuk di bawah umur!

sampai ketemu lagi di hari Jumat, babygeng!
—mamiw raden—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro