Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Six Ways To Sunday - Tangan Kanan Lucifer 4.2



Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


"Tante, Adara ntar di rumah Tante juga?"

"Enggak. Itu siapa?"

"Adikku," jawab bocah itu singkat dan aku harus menahan diri untuk tidak menoleh ke arahnya di tengah jalanan ibu kota yang padat.

Sebentar. Kalau adik, berarti itu anaknya Amos juga, kan? Sejak kapan Amos punya anak lagi?

Eh, bukannya aku perlu tahu semua kehidupannya, sih. Tapi ini kan anak kedua, hal besar yang aku sama sekali tidak tahu. Aku juga tidak melihat atau mendengar suara anak kecil lain sewaktu mengambil tas berisi pakaian dan perlengkapan mandi Liora tadi di rumah Bou. Tapi sekali lagi, aku sudah memutus semua kontakku dengan Amos. Bahkan aku tidak pernah membuka media sosialnya, ataupun istrinya seperti saat Liora lahir.

Kamu tahu kan kalau orang-orang yang memendam cinta sendiri itu suka menyiksa diri mereka sendiri? Kita adalah kaum-kaum kepo yang sudah tahu akan nyesek jika mencari tahu, tapi tetap dilakukan dengan asas 'sekali ini aja' atau 'gue cuma mau lihat wajahnya' dan berujung tangisan sepanjang malam.

Mama juga nggak pernah membicarakan mengenai Adara. Tapi Mama, yang tahu mengenai perasaanku, tidak pernah membahas mengenai Amos setelah patah hati terberatku itu terjadi. Entah bagaimana, Bou juga tidak pernah membicarakannya. Makanya aku cukup terkejut sewaktu Amos muncul di depan gerbang rumah itu.

Aku juga sedikit marah sebenarnya, karena aku merasa seperti mendapatkan serangan dadakan. Jika tahu kalau Amos akan datang juga, sudah pasti aku menolak setengah mati untuk datang ke sana. Aku akan mengirimkan Rei, meskipun harus mendengarnya bersungut-sungut selama satu minggu penuh dan dia menguras tabunganku sebagai balas dendam.

Tenggorokanku tercekat. Aku perlu berdeham tiga kali sampai bisa mengeluarkan suara yang tidak mencicit. "Kamu punya adik?"

"Seingetku sih, iya. Nggak tahu deh kalau aku tiba-tiba salah."

Dengusan keluar tanpa bisa kutahan. Jawaban ngaco ini khas Amos sekali. Aku semakin bisa melihat kemiripan mereka berdua.

"Dia baru tiga tahun," kata Liora sambil menunjukkan tiga jari mungilnya. "Tadi pagi dia sama Ompu. Kata Papa, Ara baru masuk sekolah tahun depan."

"Terus, kalau kamu dan papamu nggak di rumah dia sama si—" aku memasukkan bibirku ke dalam mulut sehingga membentuk satu garis tipis. Untuk apa aku bertanya hal-hal ini sama anak kecil? Untuk apa juga aku tahu?

"Sama nanny atau di daycare dekat kantor Papa."

Aku tidak mau melanjutkan pembicaraan itu lagi dan membiarkan Liora mengoceh tanpa aku dengarkan hingga kami tiba di rumahku. Aku menoleh ke arah rumah Amos dengan bimbang sambil menggigit bibir. Lalu helaan nafas kasar keluar dari bibirku.

"Ayo, ke rumah kamu sebentar. Biar ompumu bisa tidur dulu seharian ini."

"Okay!"

Liora langsung berlari menuju rumah sampingku dengan aku yang mengekori di belakangnya sambil mengetik pesan SOS pada Rei yang sudah menghilang sejak pagi tadi. Satu anak mungkin aku masih bisa membuatnya hidup sampai malam nanti, tapi dua anak? Salah satu akan kehilangan nyawanya bersamaku.

Okay, itu berlebihan. Hanya aku yang akan kehilangan nyawaku hari ini.

"Ompu!" teriak Liora begitu tiba di depan pintu seraya menggedornya, "Aku mau jemput Ara."

Aku menunggu di belakang Liora yang menggedor dengan penuh semangat 45 dan teriakan yang membahana. Ini anak calon orator kayaknya nanti sewaktu kuliah.

"Iya, iya. Sebentar." Pintu terbuka dan aku bisa melihat mata tua lalu sisanya tertutup masker sambil menggendong balita yang menempelkan pipi pada ceruk lehernya. "Kamu kok ke sini? Di rumah Tante dulu sampai malam, okay?"

Liora yang tadinya ceria tiba-tiba diam. Aku merasa bocah itu tidak akan memberikan jawaban dan antusiasme yang menyelubunginya sejak aku mengutarakan ide tadi langsung luruh.

"Aku yang bilang, Bou. Ara sekalian sama aku aja. Bou perlu istirahat 'kan?"

Mendengar namanya disebut, bocah yang bergelung di pelukan Bou melirik ke arahku lalu mengeratkan pelukannya di leher tua yang tengah kesusahan bernapas.

"Dia susah sama orang baru." Lalu batuk kencang yang berturut-turut terdengar setelah Bou mengucapkannya. Sudah jelas dia kesusahan bernapas dan perlu istirahat. Tubuhnya tidak lagi muda, jadi istirahat diperlukan saat sedang sakit seperti sekarang.

Tiba-tiba saja aku merasa kesal. Kenapa Amos tidak mencari orang untuk mengasuh anaknya? Bisa-bisanya dia pergi ke kantor sementara ibunya yang sudah tua mengurus dua anak? Apa tidak cukup beliau melakukannya saat mengurus mereka dulu?

"Lio kan bukan orang baru, Bou." Aku memiringkan kepala untuk mengintip ke arah Ara yang menyembunyikan wajah di balik lengan kecilnya. Beberapa helai rambut ikalnya menutupi wajah. "Ara mau sama Kakak Lio, nggak?"

Mata bulat itu menatapku ragu-ragu lalu mengangguk kecil.

"Tuh, Aranya mau."

Bou menurunkan bocah yang langsung berlari menuju kakaknya yang masih diam, tapi kedua tangan kecil itu kini saling menggenggam satu sama lain.

"Kamu bisa pegang dua anak?"

"Ada Rei juga. Dia sudah jalan pulang," jawabku asal. Padahal Rei sampai sekarang belum membaca pesanku. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan jika harus menunggunya pulang di malam hari nanti. Tapi aku mendorong hal itu jauh-jauh kala mendengar batuk Bou lagi.

Ini kamu lakukan untuk Bou yang sering menjagaku sewaktu Papa dan Mama pergi, bukan untuk Momo. Suara di dalam kepalaku yang sangat rasional berulang kali mengucapkannya tanpa jeda, hingga aku dapat tersenyum untuk meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja.

"Aku bisa. Sesusah apa urus dua anak, sih? Bou dulu sering urus tiga dan kelihatannya masih senang-senang aja," candaku yang sebenarnya untuk meyakinkan diri sendiri ketimbang meyakinkan Bou bahwa aku akan baik-baik saja.

Bimbang yang menghantui mata Bou menghilang sedikit dan dia mengangguk. "Bou ambilkan dulu baju gantinya dia," katanya kemudian menghilang ke dalam rumah.

Fokusku kini berpindah pada dua bocah. Yang kecil kini memeluk pinggang kakaknya sambil menatapku di balik bulu mata lebatnya.

Tentu saja lebat, kedua orang tuanya memilikinya, dengusku dalam hati.

Keduanya bagaikan langit dan bumi. Bukan parasnya, kedua sama-sama cantik, lebih kepada pembawaan mereka. Liora yang sangat ramah pada orang baru, sedangkan Ara terlalu berhati-hati hingga menempel terus pada orang yang dikenalnya.

"Kalau ada apa-apa hubungi Bou," ujar Bou yang mengalihkan perhatianku dari kedua bocah itu, lalu mengangsurkan tas punggung berbentuk kepik berwarna merah kepadaku.

Aku mengangguk, masih dengan senyum yang aku paksakan di bibirku. "Siap. Bou tidur aja. Nanti kalau ada apa-apa aku hubungi."

Kami bertiga melambai dan memasuki gerbang rumahku.

Begitu pintu rumahku tertutup, aku kembali mengirimkan sepuluh pesan SOS pada Rei.

15/12/22

Hayooo anaknya dua wkwkwkw

puyeng kaga noh si Jaja

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro