Six Ways To Sunday - Si Tukang Marah-marah 5.1
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Rei
Gue nggak bisa balik cepat. Ini baru on the way ke makam nyokap.
Itu adalah pesan yang aku terima tiga jam yang lalu. Ralat, hampir empat jam. Batang hidung Rei masih belum muncul juga dan tenagaku sudah terkuras.
Liora berlarian di halaman belakang, sedangkan Adara mengikutinya dengan air mata yang mengembang karena tidak mau ditinggal. Sering kali juga menangis karena tidak bisa mengikuti kakaknya yang menaiki rumah pohon. Kedua kaki kecilnya belum sampai memanjat tangga gantung itu.
Aku? Aku harus menahan telingaku yang pengang akibat suara Adara yang menangis dan sedikit was-was jika Liora terjatuh dari rumah pohon. Biarpun aku masih sering menaikinya dan masih menjadikan tempat itu persembunyianku kalau sedang tidak mau diganggu, tapi aku takut kalau bocah itu akan terjatuh dari sela-sela pembatasnya yang cukup besar.
Rumah kayu itu memang dibuat untuk anak kecil. Peninggalan saat aku masih anak-anak yang kini sudah aku renovasi sedikit bagian dalamnya. Semuanya terbuat dari kayu kokoh, dengan empat jendela. Satu di setiap sisi rumah yang berbentuk kubus itu. Sisa-sisa cat saat aku kecil masih menempel di beberapa sisi. Warna toska yang sudah memudar, lebih banyak warna cokelat kayu yang kini terlihat di sana.
Liora dan Adara sudah makan. Tepat seperti perkataan Bou, Liora menyisihkan sayurnya di sisi kanan piring.
"Kenapa nggak dimakan kembang kol dan wortelnya?" tanyaku setelah menyuapkan makanan. Di meja makan sudah ada capcai serta ayam goreng bawang putih hasil memesan dari ojek online.
Liora mendorong sayuran itu semakin jauh hingga hampir terjatuh dari piring. "Aku alergi."
Aku hampir tertawa saat melihat wajah serius Liora saat mengatakannya, seakan-akan aku akan langsung memakan kebohongannya mentah-mentah. "Kalau tomat dan timunnya?" tanyaku lagi sambil menunjuk dengan sendok ke arah kiri piringnya.
"Sama, aku alergi buah tomat dan timun juga."
Aku mengangguk. Setidaknya bocah ini cukup pintar untuk tahu kalau tomat dan timun dikategorikan sebagai buah-buahan. Aku tidak melanjutkan obrolan itu dan membiarkan Liora merasa menang karena berhasil menipuku. Hanya satu hari tidak memakan buah dan sayur tidak akan berakibat fatal, kan? Toh, besok juga bocah ini akan dipaksa memakan sayur dan buah oleh ompunya.
Not my circus not my monkeys.
Setelah makan, Adara lanjut tidur siang di kamarku sedangkan Liora yang mengikrarkan diri bukan lagi anak bayi seperti adiknya menolak untuk tidur. Dia asyik menonton TV setelah aku sedikit memaksanya untuk mengerjakan PR, sedangkan aku mencuci piring. Lalu kami bertiga berakhir di belakang rumah, dengan kondisi yang aku jelaskan tadi di sore hari. Kedua monye—euh, anak ini belum mandi dan aku kebingungan mengenai cara memandikannya.
Apa bocah tiga tahun sudah bisa mandi sendiri? You know, menggosok tubuh, keramas, dan membilasnya sendiri? Apa aku sudah bisa menjadi pengawas saja atau harus turun tangan untuk melakukannya? Apa ada daerah yang tidak bisa aku pegang? Aku bukan anggota keluarganya, pun aku tidak memiliki pengalaman memandikan anak kecil. Atau jangan-jangan apa aku juga tidak boleh mengawasi mereka mandi? Tapi apa itu aman? Membiarkan dua bocah tanpa pengawasan di dalam sana.
Banyak pertanyaan yang tidak dapat aku temukan jawabannya di dalam kepalaku. Silih ganti berdatangan dan membuat panikku mencelat naik saat menyadari aku tidak memiliki pengalaman di bidang peranak kecilan, tapi kenapa aku berani-beraninya menawarkan diri menjaga dua bocah sekaligus.
"Lio, turun. Kamu dan Ara harus mandi," teriakku untuk yang ketiga kalinya karena mendadak Liora kehilangan kemampuan pendengarannya di atas sana.
Kesabaranku sudah habis dan aku menaiki tangga gantung itu, diiringi suara tangisan Adara yang semakin kencang. Setibanya di anak tangga terakhir, aku melihat Liora tengah memainkan Barbie lamaku yang berada di kotak penyimpanan mainan yang berbentuk kotak harta karun. Beberapa mainan lainnya, seperti boneka berbentuk hewan, berada di sekitar bocah yang sudah mengganti pakaian sekolahnya dengan baju rumahan; kaos dan celana pendek.
"Liora, turun," kataku tegas yang langsung mendapatkan perhatian dari bocah itu.
Bibir bawah Liora maju. "Aku masih mau main sebentar di sini."
"Mandi, Liora." Aku tidak memberikan ruang untuk Liora membalas ucapanku karena aku sudah turun tangga, menggendong Adara yang meraung dengan kedua tangan terangkat ke arah kakaknya yang berjalan menundukkan kepala di belakangku.
Di tengah rasa kesal dan sebalku, aku memutuskan untuk melakukan apa yang dulu Bou lakukan kepadaku, Amos, dan Bang Bona. Memandikan kedua bocah ini bersamaan.
Adara masih setia dengan tangisan dan tarikan ingusnya, sedangkan Liora masih setia mengocehkan hal yang sama semenjak lima menit yang lalu.
"Aku boleh kan main ke rumah pohon lagi?" atau "Nanti aku main Barbie di rumah pohon lagi, ya?" atau jenis pertanyaan yang sama hanya berbeda variasi saja. Aku yang lelah dengan pertanyaannya pun hanya mengangguk dengan ogah-ogahan.
Pukul enam lewat sedikit, aku berhasil memakaikan baju kedua bocah ini dan tangan kanan sudah siap memesan makanan ketika pintu depan diketuk. Langkahku cepat menuju pintu dengan hati riang karena berpikir kalau masa-masa kelamku sudah lewat dan aku dapat melimpahkan tanggung jawab ini ke Rei.
"Reeeee—" lalu kalimat pujian mendayu-dayu yang mau keluar dari bibirku mati begitu saja karena bukan perempuan berambut merah yang ada di sana.
"Papa!" pekikan girang Liora menyerbu masuk ke telinga lalu disusul dengan tubuh kecil itu yang menyenggolku yang kehilangan beban tubuh dan kekuatan di kaki. "Kok ada di sini? Katanya Ompu, Papa pulang malem banget."
"Papa pulang cepat waktu Ompu bilang kalau yang jaga Tante Jaja," jawabnya sambil melirikku yang masih melongo.
Ini bukan rencananya. Rencananya adalah aku mengantar kedua bocah itu setelah makan malam, tanpa bertemu dengan Amos. Dan apa-apaan itu? Dia masih memanggilku Jaja.
Suara langkah kaki kecil lainnya terdengar menyusul dan menghambur memeluk kaki Amos yang lainnya. Air mata yang tadi sudah tidak ada lagi, kini membanjiri pipi Adara. Secepat kilat Amos menaruh kedua tangan di bawah ketiak bocah itu dan menggendongnya dengan raut wajah khawatir.
"Kenapa Ara nangis?"
Bukannya menjawab, bocah itu menenggelamkan wajah ke ceruk leher papanya sehingga Amos menuntut jawaban kepada Liora. "Kenapa Ara nangis?" ulangnya lagi.
Liora hanya mengangkat bahu sekali, lalu Amos mulai mengoceh dengan nada sedikit lebih tinggi. "Kenapa kamu nggak tahu? Kamu kan kakaknya, Lio. Kamu harusnya bisa jagain Ara." Amos mengelus pelan punggung Adara untuk menenangkan bocah itu, sementara kini tampaknya Liora yang sudah mau menangis.
Sesuatu dari pemandangan itu membuatku kesal dan memutuskan untuk mengangkat suara. "Dia juga masih anak kecil. Masih tujuh tahun. Lo ngarepin dia buat gantiin peran lo buat jagain adiknya? Nggak salah?"
Aku tahu ini bukan tempatku untuk berbicara, tapi ini rumahku, jadi aku punya hak untuk mengutarakan apa yang ada di kepalaku kan?
29/12/22
We laffff girl with a backbone wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro