Six Ways To Sunday - Seroja 1.1
A/N Part awal ditulis tahun 2022 saat belajar nulis POV 1 (biasa nulis pakai POV 3),jadi maklum ya kalau ada kepleset. Sengaja nggak direvisi karena nggak mau ngelingangin komen yang ada di tiap par-nya. Ke belakang mendingan, kok. Terima kasih!
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Aku menguap lebar untuk yang keempat kalinya dalam satu jam terakhir. Soldering iron yang berada di tangan kanan mengenai stained glass yang tengah dikerjakan. Mengerang pelan ketika melihat kekacauan yang kubuat di tengah pesanan yang sedang dikerjakan.
"Lo kayaknya mending tidur dulu, deh." Rei, sahabat dan juga rekan kerjaku, memberikan secangkir kopi yang masih mengebul. Uap yang keluar dari sana membawa serta aroma kopi yang menggoda, tetapi tidak cukup kuat untuk tetap membuat mata terjaga. "Lo ngapain aja sampai nggak tidur?"
"Mimpi buruk," jawabku singkat. Tanganku meraih cangkir berwarna kuning dengan garis-garis putih acak di sekeliling. Cairan berwarna hitam itu tidak pernah menyentuh lidah, hanya berada di bawah hidung untuk dihirup. Lambungku tidak kuat untuk minum kopi.
Rei masih setia berdiri di samping meja kerja dari kayu dekat jendela besar yang menghadap ke taman samping dan juga tempat asal muasal mimpi burukku datang. "Mimpi buruk yang mana? Yang dia minta lo jadi best woman-nya atau dia yang propose istrinya?" Pertanyaan ini aku hadiahi helaan napas panjang.
Mimpi burukku ada banyak, tapi yang paling sering muncul adalah kedua hal yang disebutkan oleh Rei tadi. Sebenarnya itu bukan mimpi buruk, melainkan kejadian di dunia nyata yang menghantui hingga ke mimpi.
Aku tidak mungkin lupa hari di mana mimpiku kandas dan sadar kalau janji yang kami buat tidak akan terjadi lagi. Kala itu aku tengah membuat pesanan di tengah malam dengan mata yang tidak berhenti menatap ke jendela seberang kamar yang merangkap ruang kerja. Menunggu pertanda ada lampu yang menyala hanya untuk melihat sekilas keberadaan Amos. Sekedar tahu kalau cowok itu sudah pulang. Yes, it does sound creepy, tapi aku tahu batasan menghubungi pacar orang lain. Amos dalam hal ini adalah pacar orang lain, meskipun kami sudah bertetangga dan menjadi sahabat sejak lahir.
Cemas dan gelisah menggerogotiku seharian ini. Aku mengecek ke Mama yang memilih tinggal di kampung setelah pensiun, mereka sehat. Beberapa teman dekatku pun tidak kenapa-kenapa. Yang tersisa hanya Amos. Jadi dengan perasaan gundah, aku menunggui Amos di tempat kami biasa berbicara. Jendela kamar yang menghadap satu sama lain. Bukan dengan ponsel, melainkan dengan kaleng yang diikat benang yang menggantung di dekat jendela kami. Kuno memang, tapi memori perubahan suara Amos yang pecah ketika melewati usia remaja terekam jelas di kepalaku.
Untuk alasan menyedihkan yang aku tidak ingin bagi ke orang lain adalah karena ini membuatku memiliki koneksi yang berbeda dengan pacar-pacar atau gebetan Amos. Tidak mungkin kan mereka memiliki jalur komunikasi yang sama denganku? Itu membuatku merasa spesial.
Aku menunggu ... terus menunggu hingga akhirnya mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumah di sebelah. Terima kasih kepada suasana tengah malam yang sepi dan juga jendela kamar yang terbuka sehingga suara mobil Amos terdengar jelas. Jemariku berderam di atas meja kerja, menunggu dengan sabar hingga lampu berwarna kuning menyala.
Kesabaran adalah nilai lebih yang kumiliki. Aku sudah bersabar selama puluhan tahun, tambah beberapa menit lagi tidak masalah. Toh, aku tahu kalau firasat buruk hari ini hanyalah omong kosong. Amos sudah tiba di rumah dengan selamat.
Rasa senang tidak dapat ditahan lagi ketika jendela kamar Amos terbuka dan wajah cowok yang itu muncul di baliknya dengan senyum yang jarang terlihat. Kali ini rasa tenang yang hinggap di perutku digantikan lagi dengan rasa gelisah. Ada sesuatu yang salah, tetapi aku tidak tahu apa.
Amos yang mengenakan kemeja flanel berwarna hijau dan hitam menunjuk kaleng yang tengah dipegang oleh cowok itu. Kode kalau ia mau berbicara. Aku mengambil kaleng di samping jendela dan langsung mengarahkan ke telinga.
"She said yes!" ujar Amos ceria sedangkan sirkuit di kepalaku tiba-tiba saja putus. Informasi itu membuat kepalaku kosong seketika. Dunia berhenti berputar. Rasa senang yang baru saja dipijak ditarik paksa dari bawa kaki dan kini aku terjerembap.
Mataku tidak dapat lepas dari Amos, tetapi telingaku tidak menangkap satu kata yang melewati bibir itu. Aku hanya melihat mulutnya bergerak-gerak. Aku tenggelam dalam lubang hitam yang menarikku sangat dalam.
Aku tenggelam dalam patah hati yang seharusnya sudah aku sadari ketika Amos mengatakan kalau kali ini sahabatku itu serius. Aku hanya mengira kalau ini akan berakhir seperti patah hati lainnya yang akan kami habiskan dengan makan bomboloni serta bermain lego. Atau mungkin aku tahu, tapi aku berpura-pura kalau ini sama seperti sebelumnya. Mengulur waktu sambil berharap kalau hatiku tidak benar-benar remuk dan Amos menyadari kalau selama ini cowok itu mencintaiku.
Mimpi yang dulu terlihat sangat dekat, tetapi nyatanya tidak tergapai.
Itu kejadian delapan tahun lalu, namun lukanya tidak juga mengering, seperti baru saja terjadi kemarin. Mimpi buruk lainnya hadir setelah itu.
Kuku Rei yang beradu dengan permukaan kayu meja kerja membuat fokusku kembali pada masa kini. Ibu jari perempuan itu menunjuk ke jendela seberang rumah. "Dia nggak di sini lagi, kan?" Pertanyaan bodoh yang Seroja tahu tanpa perlu berpikir lebih dari satu detik. Rei juga sebenarnya tahu. Kami sudah bekerja dari rumah ini semenjak dua tahun lalu. Namun, tujuan pertanyaannya bukan itu.
"Kalian nggak ada hubungan lagi, kan?"
Aku menggeleng. "Enggak, semenjak Momo nikah sama Anya." Nama yang disebutkan terakhir membawa rasa getir tersendiri ke lidahku. "Lo tahu ini karena practically lo tinggal di sini dan gue sama lo semacam kembar dempet. Kita ke mana-mana lebih sering bareng dibanding enggak,"
Rei menggaruk belakang kepala yang dihiasi rambut sebahu berwarna merah. "Terus ini kenapa nggak diturunin?" Kepala Rei kini menunjuk pada kaleng yang masih menggantung di samping jendela kamar.
"Itu ... itu ... gue lupa." Jelas kebohongan besar karena aku tidak mungkin melupakan satu-satunya hal yang mengingatkanku mengenai masa lalu. Panggilan tengah malam saat tidak bisa tidur. Yang perlu aki lakukan hanya menggoyangkan senar hingga kaleng milik Amos menabrak jendela berkali-kali. Membangunkan bocah itu hanya untuk mengomel ke arahku. Bagian favoritku bukan omelan itu, melainkan Amos yang akan terus mendengarkanku mengoceh setelahnya. Ketakutanku berevaporasi secara perlahan lalu kantuk kembali menyapa.
Amos adalah selubung aman yang kumiliki selama bertahun-tahun. Tempatku kabur ketika mimpi buruk datang. Ketika cowok itu memutuskan untuk menikah, saat itu juga aku kehilangan bukan hanya Amos, tetapi juga rasa aman yang kudapatkan.
Aku juga kehilangan cinta pertamaku.
"Lo kayaknya perlu balik ke bursa cari pacar, deh." Rei tiba-tiba memutuskan hal ini lalu merebut ponsel milikku. Mengutak-atiknya tanpa persetujuan hingga akhirnya senyum puas terulas di bibir perempuan itu. "Selesai," ucapnya sambil menunjukkan layar ponsel yang mempertontonkan wajahnya serta berbagai macam tulisan yang aku tidak mau baca. Aku tahu benar apa yang sedang dilakukan oleh Rei.
"Lo ngapain bikin akun gue di dating app?"
"Lo terakhir pacaran itu tiga tahun lalu. Ini waktunya buat gelar dagangan lagi di pasar."
4/10/22
Seroja enaknya dipanggil apa, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro