Six Ways To Sunday - Jaja & Momo 8.4
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
"Lo yang bilang nggak kenal. Tapi, bener juga. Gue nggak tahu lo yang sekarang." Mata Amos meneliti kedua lenganku. Satu tangan Amos menggaruk belakang lehernya, "Dipikir-pikir lagi, gue juga nggak terlalu kenal lo yang dulu, ya." Se per sekian detik aku seperti melihat Amos yang dulu; tanpa beban dan seenaknya. Bukan Amos yang sudah menjadi orang tua. Itu membuat pijakanku ke masa depan sedikit goyah dan kaki lainnya menjejak masa lalu.
Aku menguatkan diri dengan amarah, karena itu lebih masuk akal untuk dilakukan. Terutama karena aku tidak mau emosi lain mengambil alih responsku. Amarah terhadap Amos yang menumpuk selama bertahun-tahun menjadi jalur yang paling mudah.
Aku belum sempat menjawab, tapi Amos sudah membuka mulutnya dengan helaan napas panjang nan berat. "Tapi kalau lo masih punya perasaan sama gue, gue nggak bisa apa-apa juga, sih. Gue tahu kalau gue terlalu ganteng. Belum lagi tren Daddy I'd like to Fuck, gue jelas-jelas masuk ke dalam kategorinya," ucapnya penuh percaya diri yang membuatku muak. Kenapa seiring berjalannya waktu bukan sifat ini yang menghilang? Ke mana perginya sisi dinginnya kemarin? Aku lebih bisa menghadapi sisi itu dibandingkan yang ini.
"Titit lo terlalu kecil buat ego lo yang lebih gede dari menara Eifel."
"Hei! Itu nggak adil! Lo lihatnya watu kita kecil."
Aku sudah pernah bilang kalau aku sering dititipi ke rumah Amos, kan? Juga denganku yang beberapa kali dimandikan bareng dengannya karena Namboru tidak punya banyak waktu jika bergantian, sehingga terpaksa memandikan kami bersamaan. Kalau tidak salah saat itu umur kami lima tahun. Berhenti saat aku mulai bertanya: "Bou, kenapa aku nggak punya belalai kayak Momo? Aku juga mau kalau kencing bisa buat siram tanaman." Yang mengakibatkan Namboru menarik lanugonya hingga dia berteriak kesakitan.
Dengkusan keluar tanpa bisa aku rem. "Sama kayak kapasitas otak lo yang nggak bertambah seiring usia, gue ragu kalau itu juga tambah besar." Aku melarikan telunjuk ke seluruh tubuhnya, pura-pura berpikir. "Satu-satunya yang tumbuh cuma tinggi lo doang."
Amos berdiri dengan cepat hingga kursi yang didudukinya jatuh. "Dan lo nggak ada tumbuh sama sekali," balasnya berapi-api dengan mata yang tertuju pada dadaku, "bisa-bisanya makin tua, tapi masih kayak tripleks. Nggak sekalian aja lo pakai buat cuci baju?"
Aku tidak terima dia mengatai dadaku yang menjadi bagian paling sensitif dan sumber tidak percaya diri nomor wahid. Tanganku memegang dada, "Enak aja! Dibandingkan dulu ini bertambah, ya. Gue naik ukuran!"
Pintu rumahku terbuka cepat. Rei muncul dari baliknya dengan latar suara Cocomelon yang kencang. "Guys, tolong bahas organ intimnya pelan-pelan. Gue takut Lio dan Ara dengar," bisik sahabatku dengan ringisan. Matanya melihat ke dalam rumah, seketika aku dan Momo paham maksud dari ucapannya.
Teguran itu membuat kami berdua diam dan menjauh dari satu sama lain dengan tatapan sinis ke satu sama lain.
"Pulang sana lo. Ganggu banget," usirku akhirnya, "gue masih banyak kerjaan dan mau makan bomboloni. Kalau belum dihabisin sama Lio," sambungku. Emosi menghabiskan tenagaku, padahal ini belum genap satu jam dari mereka datang ke rumah.
Amos hanya mendengkus dan memasuki rumah. Dia keluar dengan kedua anaknya di tangan kanan dan kiri, menyuruh mereka mengucapkan terima kasih lalu menghilang dari pekarangan rumahku.
Akhirnya keadaan kembali tenang. Minus dengan suara youtube yang diputar Rei.
Aku berbalik dan menemukan Rei menatapku lama. "Apa?"
Dia menyengir hingga gigi putihnya yang rapi terpampang, "Gue ngerasa lagi lihat kalian berdua kayak dulu lagi. Apa ini berarti dekat dengan rekonsiliasi?" Rei menelengkan kepalanya. "Tapi bagian DILF, gue setuju, sih. Tinggi, dada bidang, punggung lebar, rambut hitamnya yang punya sedikit uban kayak salt and pepper." Dia mengeluarkan helaan napas pendek dan tatapan mata dreamy. "Tenang. Dia tetep off limit di kamus gue. Bingung juga jelasin ke anaknya ntar konsep open marriage gimana," celoteh Rei seakan dia sudah memikirkan rencana jangka panjangnya.
Aku tahu aku melakukan hal ini sudah terlalu banyak malam ini, tapi aku mendengkus lagi. "Rekonsiliasi apaan? Lo jangan mikir aneh-aneh." Kakiku bergerak cepat memasuki rumah dan menaiki tangga. Tujuanku sudah pasti ruang kerja kami. Mengalihkan pikiran dengan pekerjaan adalah cara terbaik. Terutama dengan begitu, kami bisa mendapatkan uang untuk membayar tagihan serta rencana liburan yang sudah ada sejak tahun lalu.
Namun, tubuhku bukannya bergerak seperti biasanya dan membiarkan kepalaku kosong tanpa pikiran, dia justru berkhianat dengan tidak melakukan apa pun. Membiarkan otakku berjalan-jalan ke kejadian beberapa saat yang lalu dengan Amos.
Obrolan kami tidak sampai sepuluh menit, tapi rasanya terlalu lama dan sebentar di saat yang bersamaan, kalau itu masuk akal.
Jari-jariku terjalin dan daguku bersandar di sana. Menatap kosong pada jendela terbuka yang menampilkan malam yang tidak berubah semenjak Amos pulang tadi. Masih sama gelapnya. Masih sama mendungnya, tinggal menunggu waktu hingga ada air berjatuhan dari gumpalan awan yang terlihat sangat berat itu.
Aku memutuskan untuk tidak melakukan apa pun malam ini. Hanya menunggu. Terus menunggu hingga tetesan pertama jatuh ke jendela dan disusul dengan air lainnya dengan kecepatan tinggi dan jumlah yang lebih banyak. Aku membuka jendela sedikit. Menikmati bau debu dan tanah yang tercium pekat di udara serta musik dari alam yang mengalun saat tiap tetesnya mengenai bumi, lalu sedikit teredam saat menabrak kaca. Aku menarik napas panjang. Menghidu udara yang sedikit lebih bersih akibat hujan.
Sedikit lebih ringan. Sedikit lebih bersih. Sedikit lebih segar.
Pikiranku berjalan-jalan tanpa tujuan dan untuk kali ini aku membiarkannya.
3/3/23
wkwkwk ributin titit ma toket ini gimana
monggo yan gmau baca yang udah tamat di WPku bisa ke The Honeymoon Is Over, Love Or Whatnot, Every Nook And Cranny, dan Rumpelgiest.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro