Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Six Ways To Sunday - Jaja & Momo 8.1


Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


"We step on a wrong foot." Kalimat itu terlalu scripted terucap dari Amos yang berdiri kaku di depan rumahku. Tidak ada tanda penyesalan pun dia tidak sedang mendalami apa yang dikatakannya barusan. Seperti bocah yang terpaksa meminta maaf karena dipaksa ibunya.

"Its more like you step on my foot," ucapku sengit ke arah Amos yang datang dengan persembahan sekotak bomboloni dari Dunkin. Aku tahu itu bomboloni karena dia biasa membawanya dulu dengan dalih aku menyukainya, padahal di antara kami berdua, Amos yang paling suka makanan dengan isian cokelat itu. Setiap kali membawanya, dia akan menghabiskan 70 persen dari satu lusin.

Aku tengah menikmati rokokku saat melihat mobilnya melewati depan rumah, lalu wajahnya muncul tidak lama setelah aku mendengar pintu mobil yang tertutup.

Amos mendorong pagar tiga kali hingga gembok beradu dan mengeluarkan bunyi yang mengganggu. "Ini pagar nggak dibuka? Gue ngomong dari depan sini banget kayak lagi minta sumbangan?"

"Gue nggak mau ngobrol sama lo."

"Siapa yang mau ngobrol? Gue bilangnya ngomong. Itu berarti lo yang dengerin terus diem aja."

Ujung bibrku berkedut kesal. Bisa-bisanya orang minta maaf tapi malah bikin lebih kesal lagi? "Pulang ke alam lo sana."

Dia mengerucutkan bibir, memandang rumahnya lalu ke arahku. Dia terlihat ragu. "Buka dulu sebentar."

Mataku memerhatikan penampilannya. Kemeja lengan panjang yang dilipat hingga ke siku berwarna biru langit dan pantalon berwarna hitam. Bajunya sudah berantakan dan keluar dari celana. Yang tidak kalah kusut dari bajunya. Aku mendengkus. "Lo nggak diboleh pulang kan sama Bou?" tembakku langsung.

Namboru selalu menghukum Amos dan menyuruhnya meminta maaf padaku jika ingin masuk ke dalam rumah. Biasanya karena mamaku mengadu kepada namboru, tapi semalam mungkin karena kami bertengkar di teras, makanya beliau bisa tahu.

Tebakanku 100% benar karena Amos sekarang makin mutung. Dia pasti tidak mau ada di sini sekarang. Aku hampir terbahak karena mengingat bagaimana Amos bukan lagi bocah yang bisa dihukum oleh ibunya, bahkan sudah memiliki anak sendiri, tapi masih dikunciin di depan rumah. Untuk menyenangkan hatiku yang semalam sudah kesal, aku berdiri dan berjalan memasuki rumah, bukannya membukakan pagar yang langsung diganjar teriakan panik dari Amos.

"Jaja Miharja! Jangan kabur lo!"

Hatiku berhenti berdetak selama lima detik penuh saat mendengar nama sialan itu meluncur keluar dari bibir Amos. Aku harus mengumpulkan serpihan otakku yang berceceran untuk tetap melangkahkan kaki memasuki rumah dan mengabaikan cowok yang semakin barbar menggoyangkan pagarku.

"Pergi lo sana. Jangan sampai gue panggil satpam dan ngadu ke Pak RT soal lo yang ganggu tetangga."

"Ja, gue nggak dibolehin masuk sama Mami kalau lo nggak ambil bomboloninya!" seru cowok itu semakin panik.

Bahuku bersandar pada daun pintu rumahku dengan tangan yang terlipat di dada. Aku terlihat cuek, tapi menikmati betul bagaimana Amos menderita di luar sana. Pernah satu kali aku membiarkan Amos tanpa menerima permintaan maafnya, dan cowok itu terpaksa tidur di teras rumah karena Namboru bersikeras tidak mau membukakan pintu. "Emangnya itu urusan gue? Lo mau ngemper di jalan raya juga gue nggak peduli."

Amos yang memang dasarnya sangat mencintai ibunya, tidak mungkin kabur begitu saja dari perintah. Melihat Amos dewasa tidur di teras lagi akan menjadi pemandangan yang paling indah di bulan ini. Aku tidak akan mau melewatkannya.

Amos menggigit bibirnya untuk menahan kesal mendengar balasanku yang tidak peduli. Mata bergera-gerak mencari alasan yang tepat untuk diucapkan padaku, dan baru berhenti ketika mendapatkannya.

"Mami bilang kalau Lio yang gangguin lo terus-terusan," ucap Amos cepat. Tapi aku tahu kalau Amos tidak akan meminta maaf karena egonya lebih tinggi dari langit. Permintaan maaf Amos selalu hanya tersirat dari bomboloni yang dibawanya atau dia yang datang meskipun ogah-ogahan di depan rumahku. Seumur-umur dia nggak pernah mengatakannya. Bisa jadi sekarang yang pertama, jadi aku membuka telingaku lebar-lebar dan penuh dengan antisipasi. "Dia bakalan gue suruh minta maaf ke sini besok. Dia juga sudah gue tegur dan bilang supaya jangan gangguin lo."

"Lalu?" pancingku dengan tidak sabaran. "Buat lo yang sudah tuduh gue sembarangan gimana?"

Wajah Amos sedikit memerah, tapi dia masih juga menolak untuk mengatakannya. "Bom-bomboloni," balasnya terputus-putus.

"Tidur aja lo di luar sana." Aku menutup pintu dengan kesal. Bodo amat dia tidur di teras atau jalanan sekalian.

Aku memasuki kamarku dan membuka website kami. Memeriksa pesanan yang sudah masuk lalu menutup beberapa pesanan karena bahan baku yang sudah habis. Kami memang sering kali kehabisan beberapa warna karena kami gunakan di beberapa desain, kami harus mengirimkan email ke pemesan untuk mengabari ini dan menawarkan alternatif warna lain. Saat aku sedang membuat email, Rei yang baru saja pulang setelah seharian ini pergi memasuki kamarku dengan sekotak Dunkin. "Dibawain sama Amos. Makan yuk," katanya santai seraya menepuk perut ratanya.

Aku berjengit ngeri melihat kotak yang memasuki kamarku itu. "Kenapa lo ambil?!" teriakku histeris.

Rei mengerutkan alisnya bingung. "Dia bilang lo tadi lupa bawa pulang waktu ke rumahnya.

Si sialan satu itu berbohong! Aku mengurut pelipisku karena kepalaku tiba-tiba saja pusing. Dia bermain curang.

"Lo ketemu di mana?"

Ibu jari Rei menunjuk ke belakang tubuhnya melalui pundak. "Di pagar depan. Dia bilang sudah panggil-panggil lo tapi nggak ada yang keluar. Jadi gue menawarkan diri buat bawain ke dalam." Rei diam dan melihatku lamat-lamat. "Gue barusan dibohongin sama Amos, ya?"

"Gagal gue lihat dia tidur di depan teras," kesahku panjang.

"Gue mau tanya gimana ceritanya, tapi badan gue capek banget. Gue perlu makan bomboloni dulu sebelum dengar keributan apa yang terjadi hari ini." Rei membawa kotak itu keluar dari kamarku dan meletakkannya di meja makan. Aku mengekori dan mencomot satu bomboloni cokelat ketika bokongku sudah menempel di kursi meja makan.

Secepat kilat, bomboloni itu hanya tersisa enam buah dari satu lusin lima belas menit yang lalu. 

14/2/23

Monggo buat yang mau baca ceritaku yang sudah tamat lainnya. Ada The Honeymoon Is Over (marriage life - romcom), Love Or Whatnot (arrange marriage - she fell first, he fell harder), Every Nook And Cranny (fake dating - metropop), dan Rumpelgesit (romantasy)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro