Six Ways To Sunday - DuGem Berak 3.1
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Aku dan Rei membatu di tempat kami berdiri hingga mobil itu melintasi kami dan parkir dengan tidak sampai sepuluh langkah. Otakku blank tiba-tiba, tapi secepat kilat insting kabur mengambil alih saat aku mendengar pintu mobil yang terbuka. Aku tidak siap untuk bertemu dengan Amos atau berkenalan dengan putrinya. Delapan tahu tidak bertemu otomatis membuat hubungan kami berubah drastis. Kehidupan Amos yang berbeda membuatku menempatkan cowok itu ke kategori lain; orang asing.
Jarak antara pagar rumahku dan Amos sangat pendek, tapi sekarang terasa terlalu jauh karena ketika tiba di depan pagar, tanganku kesusahan untuk memasukkan kunci ke gembok. Pada usaha ketiga, aku baru berhasil memasuki rumah tanpa menoleh ke belakang.
Jantung yang berdentum di rongga dada menulikan telinga dari panggilan Rei yang minta ditunggu. Aku baru berhenti ketika sudah tiba di dalam kamar dan buru-buru mengambil satu tarikan napas panjang saat paru-parukuu protes karena kekurangan oksigen padahal si jantung bekerja keras. Tujuan pertamaku adalah ranjang dan langsung menenggelamkan wajah di atas bantal kepala. Akku fokus menenangkan diri hingga tidak mendengar Rei yang mengikuti ke dalam kamar dan langsung mengoceh.
"Gila. Baru kali ini gue lihat lo lari kenceng banget."
Aku masih diam di posisinya. Telingaku menangkap suara Rei, tetapi tidak ada yang masuk ke dalam kepala dan mampu diproses oleh otak yang masih dalam kondisi tidak sadarkan diri.
"Itu tadi Amos, kan?" lanjut Rei tanpa peduli aku yang enggan membahasnya. "Terus bocah yang kelihatan tengil di belakang itu anaknya bareng Anya?"
"Bukan, anaknya sama demit," jawabku asal karena pertanyaan Rei yang tidak masuk akal, tapi sahabatku itu malah memelintir ucapanku dan menusukkan ke dada.
"Gue tahu lo jelous, tapi nggak ngatain orang yang sudah meninggal demit juga."
Kepalaku terangkat dari bantal secepat kilat dan menatap Rei dengan mata yang membulat lebar dan mulut yang mengaga, sementara orang yang mengaku sahabatku itu menyengir hingga gigi bagian depannya terlihat.
"Mulut lo sembarangan banget." Tidak terbayang kalau Rei menggunakan trik ini guna menarik perhatianku. Namun, cara ini berhasil menarik pikiranku dari kejadian barusan dan fokus ke apa yang baru saja diucapkan oleh Rei yang menyulut kesal. "Jangan asal jeplak. Pamali ngomongin orang yang nggak ada lagi." Aku menggunakan bantal untuk memukul Rei yang kini duduk di sebelahku.
Aku masih telungkup, kini dahiku bersandar pada kedua lengan yang bertumpuk satu sama lain. "Dia ... lihat gue nggak tadi?"
"Menurut lo? Lo kabur macam maling takut ketangkap gitu. Satpam lewat juga gue yakin lo bakalan dikejar."
Aku mengentakkan kaki pada ranjang, memejamkan mata erat, dan mengerih. Mengulangi ketiga hal itu hingga tiga kali secara berurutan, tapi tidak juga merasa lega. Justru malu datang tanpa diundang karena bertingkah konyol. Kenapa insting pertama gue waktu lihat masalah itu lari, sih? gerutuku dalam hati.
Ponselku yang berada di dalam kantong bergetar. Aku membukanya dan melihat pesan dari Bou.
Bou Momo
Kamu kenapa pulang? Bou kirimin makanannya aja, ya?
Me
Aku baru inget kalau ada pesanan yang penting, Bou.
Pesan di atas belum dikirimkan dan perutku berbunyi. Kepanikan tadi membuatku lupa akan lapar untuk sesaat. Rei yang melongok pada layar ponsel pun berucap.
"Gue laper. Kirimin, please. You owe me that much, sesudah bikin gue kerja rodi."
"Nggak ada privasi banget di sini?" keluhku. Aku menambahkan kalimat "Boleh, Namboru. Terima kasih." di pesan yang kukirim.
"Privasi adalah sebuah ilusi," jawab Rei asal. Memang di antara kami berdua, tidak ada batasan jelas mengenai privasi. Jika aku membuatnya pun, Rei akan menerobosnya dengan senang hati dan tanpa beban.
"Cocok lo jadi Patkai."
"Apa lo kata aja, deh. Yang penting perut gue diisi makanan tanpa perlu pesen atau masak hari ini. By the way, Amos berarti DuGem, ya?"
Aku perlu waktu untuk mengenkripsi ucapan Rei sebelum memberikan tanggapan. "Iya. DuGem Berak."
Kedua alis Rei menukik tinggi, gantian mencoba untuk memecahkan kode yang baru saja diucapkan olehku. Matanya fokus pada tato rosario yang melingkari pergelangan kiri serupa gelang dan salibnya berhenti di jari manis itu, tapi dari wajahnya, jelas sekali dia tidak mengerti. "Apaan, tuh?"
"Duda Gemes Beranak."
"Singkatan lo nggak ada yang lebih bagus apa?"
Rei berdiri dan melenggang keluar dari kamar. Aku merenung selama beberapa saat di posisi yang sama hingga memutuskan untuk membersihkan diri. Siapa tahu dengan tubuh yang segar, kepala pun dapat berpikir jernih.
Niatku untuk tiduran setelah mandi terhalang karena suara tawa yang didengar dari luar. Aku keluar kamar dan kepalaku kembali kosong melompong saat melihat bocah kecil yang membuatku lari tunggang langgang tadi berada di sofa bunga-bunga kesayangan Mama. Rei berada di samping anak kecil itu dan satu buah rantang empat tingkat ada di atas coffee table.
Rambut panjangnya masih terikat tinggi di atas kepala, tapi kini pakaiannya sudah berubah. Bocah itu menggunakan kaos bergambar bunga besar dengan warna pink dan dasarnya kuning lalu celana pendek dengan warna bunga. Ketimbang mengikuti mamanya, bocah ini memiliki kulit papanya yang cenderung sedikit gelap. Aku menggeleng ketika mengingat Anya, ketika aku hendak kabur lagi, bocah itu justru memanggil.
"Tante Jaja!"
12/11/22
wkwkw dugem berak. Mari kita kembali ke duda~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro