Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Six Ways To Sunday - 22.1 There's no way I'm letting you go


Question of the day: es krim vanila atau cokelat?

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG, twitter, tiktok @akudadodado yaaw.

Thank you :)

🌟

Aku mematut diri di depan cermin kamar mandi. Kaos Amos sudah pasti kebesaran, tapi tidak lantas membuatku sangat tenggelam karena tubuhku yang juga tinggi. Panjangnya setara dengan celana pendek yang aku kenakan. Rambutku tergerai dengan wajah yang sudah aku basuh. Bibirku masih bengkak setelah maraton ciuman yang kami lanjutkan setelah makan malam.

Telunjukku mengusap bibir yang sudah aku usapkan pelembab yang Amos berikan bersama dengan satu pouch sabun cuci muka serta skin care milikku yang tidak tahu kapan berada di tangannya. Ini pasti ulah Rei lagi.

Setelah aku mengatur napas lima kali serta mengumpulkan keberanian yang berhamburan setelah aku tidak lagi dalam pengaruh ciuman Amos. Sialan, ciumannya adiktif dan yang aku inginkan sekarang adalah menarik bibirnya kembali.

"Lo nggak punya celana yang lebih panjangan?" Aku bertanya setelah keluar dari kamar mandi. Amos menunggu di depan pintu hanya dengan celana pendek. Erangan kecil lolos dari tenggorokanku. Aku lupa kalau dia lebih sering tidur tanpa baju sejak dulu.

Mata Amos berlari ke seluruh tubuhku seolah tidak tahu di mana dia harus berhenti. Tatapannya seolah menelanjangiku dan kembali menggoda seluruh indraku setiap matanya berhenti lebih lama di satu titik.

"Kalau ada juga gue tetep kasih lo yang lebih pendek," jawabnya enteng, "koloran aja kalau enggak."

"Kepala lo gue kasih kolor mau?" Aku melewati Amos tanpa berani melihat ke dadanya. Perutnya tidak sekotak-kotak dulu. Tapi semua otot itu masih ada meski samar, menggoda resolusiku untuk menambahkan gigi di hubungan kami yang aku rencanakan perlahan.

Namun, siapa yang aku bohongi? Aku sudah menancap gas saat menciumnya lebih dulu.

"Kalau kolor lo boleh juga dicoba. Gue pakai di kepala kayak di komik-komik hentai."

Aku berhenti dan berbalik hingga tubuh Amos yang mengekoriku tepat berada di hadapanku. Ibu jari dan telunjukku mencubit bibirnya kencang dengan gemas. "Harus ya nyebut kolor sama hentai?"

Tanpa beban, Amos menangkap tanganku yang akan melepaskan bibirnya dan justru memasukkan jari telunjukku ke dalam mulut. Mengisapnya berulang kali sambil terus menatap mataku.

Help! Aku tidak tahu bagaimana menghentikan Amos yang sudah terlanjur melewati garis sahabat di antara kami dan hinggap di batas seksual.

Aku panas dingin hingga dia berhenti dan mengeluarkan jari telunjukku dengna bunyi pop yang nyaring. "Enggak. Lo sama gue kan obrolannya kayak gitu. Kita lebih romantis dan erotis aja. Hoh, berirama. Romantis dan erotis." Amos menggeser satu tangannya yang menganggur seolah sedang memberikan judul di udara. "Operasi Jaja: kencan yang romantis nan erotis."

I have to keep my libido in check. Karena Amos yang ngebanyol pun membuatku ingin mendaratkan ciuman ke bibirnya.

Aku menarik tanganku dari genggaman Amos dan berjalan menuju kamarnya tanpa banyak kata. Tapi wajahku yang memerah pasti yang membuat dia tertawa di belakangku, mengekori dengan langkah ringan.

Aku langsung naik ke atas ranjang Amos. Mengambil sisi yang paling dekat dengan pintu dan dia mengisi yang lainnya. Aku sudah menutup mata, membiarkan Amos menarikku hingga tubuh kami hanya terpisah dengan lembaran kain saja. Kepalaku dinaikkan ke atas lengannya agar menjadi bantalanku.

"Ja, lo nggak kelupaan sesuatu?"

Mataku masih terpejam saat menjawab pertanyaan itu. "Lupa apa?"

"Goodnight kiss gue mana?"

**

Hal yang tidak pernah aku harapkan saat kembali dari dapur juga toilet dan hendak kembali tidur adalah melihat dua pasang mata lainnya yang menatap penuh minat serta dua kepala dengan rambut berantakan yang mencuat ke segala arah.

Aku berteriak lantang dan tubuhku otomatis mundur.

"Ja, berisik," sewot Amos. Aku masih diam karena jantungku menyumbat tenggorokan melihat dua bocah yang tiba-tiba ada di dalam kamar Amos.

Ini bukan pengalaman yang aku inginkan saat ini baru kali kedua aku menginap di sini. Tepat empat minggu setelah acara menginap pertama dan bertepatan juga dengan Namboru yang pergi keluar kota dengan teman-teman arisannya. Kami berpakaian lengkap. Selain makeout hingga bibirku kebas, Amos dan aku hanya spooning lalu tidur. Tapi ini rasanya aku seperti tertangkap basah melakukan sesuatu dan panik serta malu berebut menjadi juara pertama untuk emosi yang aku rasakan.

Aku berjalan seperti kepiting di bawah pengawasan dua bocah, lalu menendang Amos karena dia masih tidak juga menyadari kedua anaknya yang menatap kami dengan bola mata sebesar anggur di sisi tempat tidur. Hanya setengah kepalanya yang tampak, tapi setengah kepalanya itu berisikan rambut yang mengembang bagai singa. Akan sulit melewatkannya begitu saja.

"Mo, ada Lio dan Ara." Aku berusaha berbisik, tapi Amos masih asyik memejamkan mata. Bisikan ketiga matanya baru terbuka lebar dan langsung terarah ke dua manusia kerdil yang masih berjongkok di sisi ranjang.

"Kalian bukannya bobo sama Tante Rei?" Amos sama gagapnya denganku. Bedanya dia langsung mengambil jarak terjauh dariku dan berjalan melwatiku begitu saja. Ada bagian kecil dariku yang kecewa.

"Aku sama Ara mau ambil mainan, tapi mau nyapa Papa dulu sebelum balik ke rumah Tante Jaja." Liora menjawab masih dengan mata yang bergantian menatapku dan Amos. "Kok Tante Jaja ada di rumah sama Papa?"

Amos menggiring kedua putrinya keluar kamar sembari bertanya. "Ini masih pukul enam pagi, girls. Kalian ke sini sudah izin Tante Rei belum?"

Adara dan Liora menggeleng.

Amos menutup pintu kamar hingga aku hanya dapat sayup-sayup mendengar suaranya yang memberikan ceramah ke kedua putrinya. Aku tahu selain untuk mengalihkan fokus mereka, Amos melakukannya juga karena khawatir. Di zaman edan seperti sekarang, berada di depan rumah pun anak-anak masih dapat diculik.

Aku merapikan rambutku dan mengikatnya menjadi satu di atas kepala lalu aku tidak tahu harus melakukan apa sehingga aku hanya duduk di atas ranjang. Tatapan heran Liora tidak dapat aku lewatkan. Mata bocah itu sangat ekspresif menunjukkan apa yang ada di pikirannya. Juga alis tebal turunan bapaknya itu berkerut di dahi.

Hampir dua bulan aku dan Amos menjalin hubungan. Semua kencan kami mengikuti jadwal kedua anaknya, tapi yang tahu hubungan kami hanya Rei. Sekarang aku tidak tahu harus bersikap seperti apa ke kedua bocah itu.

Berada di rumah ini, kamar ini, dengan anak-anak Amos yang memergoki kami hanya membuatku canggung.

Aku buru-buru berdiri dan keluar dari kamar. Mataku langsung berserobok dengan milik Liora yang masih mengenakan ekspresi yang sama. Hatiku mencelus.

Amos masih membelakangiku. Aku tidak berani mendekat. "Mo, gue balik dulu. Dah Lio dan Ara." Cowok itu belum sempat menoleh dan kerutan yang semakin dalam dari Liora tanpa balasan dan cengiran khasnya hanya mempercepat langkahku untuk hengkang dari rumah itu.

13/10/23

jangan lupa baca cerita lain yang sedang on going yaa biar nggak ketinggalan intermezzo part yang aku hapus 24 jam setelah apdet hihi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro